Tampilkan postingan dengan label WAWANCARA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label WAWANCARA. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Februari 2008

“SUFI ITU INKLUSIF”


AGUS MUSTOFA lahir di Malang, 16 Agustus 1963. Putra Syech Djapri Karim, guru tarekat yang sekaligus mantan Dewan Pembina Partai Penganut Tarekat Indonesia pada masa Bung Karno ini, dikenal sebagai penulis produktif buku serial diskusi tasawuf modern. Di antara buku-bukunya adalah, Pusaran Energi Ka’bah, Ternyata Akhirat Tidak Kekal, Untuk Apa Berpuasa, Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh, Bersatu dengan Allah dan masih banyak lagi. Kegemaran terhadap tasawuf, selain dipengaruhi sosok ayahandanya juga karena pergaulannya dengan beberapa intelektual Islam modern seperti Prof Ahmad Baiquni dan Ir Sahirul Alim M Sc, semasa kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Januari lalu, kepada penulis yang sedang menyelesaikan buku berjudul Bersyahadah Dalam Rahim ini, saya mewawancarainya seputar fenomena spiritualisme yang makin digandrungi masyarakat modern saat ini. Berikut petikannya:


Seiring meningkatnya popularitas spiritualisme, ada fenomena tentang seorang spiritualis tapi tidak religius. Bagaimana pendapat anda?

Pertama, spiritual itu tergantung bagaimana kita melihat. Sama dengan agama dan Tuhan, tergantung siapa yang melihat. Bisa jadi antara saya dan anda berbeda. Begitu pula dengan spiritual: kata yang sama, tapi setiap orang bisa mendefinisikannya secara berbeda-beda. Tapi inti spiritual adalah sebuah upaya untuk masuk ke dalam jiwa kita. Sebagai manusia, dalam diri kita terdiri dua hal, fisikal juga spiritual.
Tiap agama punya spiritualism, bahkan orang-orang dinamisme dan animisme juga punya. Tapi dalam Islam saya kira berbeda dan menunjukkan kualitas tertentu yang jauh dari yang lainnya. Jadi sekedar definisi secara umum, yang monggo saja.
Kedua, kita sebagai seorang muslim memiliki begitu banya kaidah-kadaih untuk membangunkan spiritual kita. Tapi kunci utamnya adalah menghilangkan ego kita sebagai manusia dan kemudian memunculkan sifat-sifat ketuhanan dalam pikiran, hati dan keseluruhan hidup kita, mengarah pada tauhid. Ini merupakan tingkat spiritualitas yang sangat tinggi.
Dalam Islam, seluruh ajaran Rasulullah merupakan proses spiritualitas kita, tak kecuali rukun Islam. Dan syahadah merupakan pintu masuk spiritualitas seorang muslim.
Saat seseorang sudah mengorientasikan hidupnya dan kepentingannya hanya kepada Allah (laa ilaha illa Allah), sesungguhnya dia sudah mematok sebuah spiritualitas yang tertinggi di seluruh alam semesta ini, dan mengakui Muhammad sebagai pembawa ajaran spiritualitas tersebut.
Jadi, kalau kita kupas spiritualias Islam itu sangat luas dan dalam. Buktinya sejak berada di dalam rahim, kita ini sudah bersyahadah. Kata Allah dalam surah al A’raf ayat 172, ketika Allah mengeluarkan anak-anak Adam dari tulang sulbinya (masih berbentuk ovum dan sperma), lalu dipertemukan di dalam rahim, jiwa itu sudah terbentuk dan kemudian bersyahadah. Saat itu Allah bertanya, alastu birobbikum? (bukankah aku ini Tuhanmu?), mereka menjwab, bala syahidna (ya kami bersaksi bahwa Engkau Tuhanku). Dari sini, bisa diambil kesimpulan bahwa secara fitrah, manusia itu sudah mengarah kepada spiritualitas. Kemudian saat dilahirkan di dunia, dia (jiwa) diminta bersyahadah lagi secara syariah (teori), dan selanjutnya syahadah itu didefinisikan, dipelajari, difahami dan dilaksanakan.
Laa ilaha illa Allah itu bukan hanya teori, tapi juga harus diamalkan, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Bagiamana dia makan pagi ingat Allah, bekerja ingat Allah dan seterusnya. Bila ini bisa dilakukan, maka syahadah manusia akan mencapai tahap bahagia bersyahadah dalam seluruh amal perbuatannya, karya-karyanya. Kalau diteruskan lagi, maka akan sampai pada puncaknya, yaitu berserah diri. Kesaksian yang sesungguhnya.
Dari sini, ternyata seluruh ibadah yang dibawa Rosulullah, baik dzikir, sholat dan seterusnya, merupakan proses spiritualisme yang akan membawa seorang muslim menuju puncak spiritualitas Islam.

Dalam mencari kebahagian, begitu ragam jalannya. Ada orang yang tak beragama, bahkan atheis, mengaku bisa mencapai kebahagiaan. Ada pula yang melalui training- training instan, dan ada juga yang melalui pendakian yang panjang dan konsisten. Nah adakah titik pembeda pengalaman spiritual di antara mereka?

Tiap orang memang bisa mengalami proses-proses spiritual, termasuk orang yang mengaku tidak beragama semisal melalui semedi dan meditasi. Mereka bisa mengalami relaksasi. Tapi ada perbedaan yang sangat mendasar pada tingkatannya. Antara ketenangan satu dengan ketenangan lainnya bisa berbeda. Begitu juga dengan kebahagiaan satu dengan kebahagiaan lainnya. Ini semua tergantung pada siapa kita menggantungkan proses ketenangan dan kebahagiaan tersebut. Anda diam-diam begini sambil mendengarkan musik klasik, atau musik yang tenang dan tentram, anda bisa dibawa menuju gelombang otak alfa yang bisa memunculkan relaksasi. Atau anda ikut pengobatan relaksasi dengan aromaterapi, anda juga akan mengalami ketenangan. Karena itu, hal semacam ini bisa juga disebut dengan spiritualism.
Tapi kalau kita bandingkan, antara menggantungkan proses spiritualism itu kepada benda dengan kepada Dzat yang tak berhingga (Allah), maka tingkat ketenangan, ketentraman dan kebahagiaannya akan sangat berbeda.
Tingkat tersebut bisa dipahami dari gambaran surga yang bertingkat-tingkat. Ini menunjukkan bahwa ada fase-fase atau kualitas-kualitas, di mana di antara manusia memiliki kualitas spiritual yang berbeda-beda. Jangankan antara muslim dengan non muslim, antar sesama muslim sendiri ada kualitas yang berbeda-beda. Bahkan definisi tentang Tuhan antara saya dan anda bisa berbeda, tergantung sejauh mana kenalnya kita dengan Allah. Dalam Al Qur’an disebutkan mereka belum mengagungkan Allah dengan semestinya. Mereka belum kenal Allah dengan sesungguhnya. Jadi pendekatan kepada Allah untuk meningkatkan kualitas jiwa kita, itu perjalanan yang tak berhingga.
Nah di sini, monggo saja setiap orang meningkatkan kualitas dirinya masing-masing. Tapi pendekatan apa yang dilakukannya? Bila hanya sesuatu yang sederhana, ya sampai di situ saja. Coba bandingkan secara fair seperti yang diajarkan dalam Islam, yang memiliki beberapa pendekatan, yaitu syari’at, tarikat, hakikat dan makrifat, yang kualitasnya berbeda-beda.

Bagaimana bisa melakukan pendekatan spiritual yang tak berhingga tersebut?

Secara utuh, saya melihat bahwa orang itu akan mengalami kualitas jiwa yang tak berhingga apabila dia berusaha meniadakan dirinya, yang dalam syahadah, sejak awal sudah diajarkan laa ilaha illa Allah. Ini sesungguhnya makna yang sangat luar biasa, tergantung siapa yang membahas dan mendalaminya. Semua Nabi dan Rasul, misinya adalah menegakkan kalimat tauhid. Tapi demikian, laa ilaha illa Allah antara tiap muslim bisa berbeda kualitasnya. Tergantung sejauh mana peniadaan diri (ego) kita di hadapan Allah dan membesarkanNya dalam skala tak berhingga. Itulah yang akan memunculkan kualitas yang berbeda.
Jadi titik pembeda antara pelbagai macam spiritualitas yang ada saat ini adalah, sejauh mana meniadakan diri di hadapan Allah tersebut. Nah saat kita bisa meniadakan diri kita di hadapan Allah, mendadak kita bisa merasa bersatu di dalam kebesaran Dzat Allah tersebut. Ini yang saya jelaskan dalam buku saya, Bersatu dengan Allah. Di situlah tempat kebahagiaan yang luar biasa dan tidak berhingga serta tak bisa digambarkan dalam kata-kata lagi, yang dalam Al Qur’an dikatakan bahwa orang yang dekat dengan Allah itu tidak punya rasa takut, khawatir dan tidak gelisah, kecuali tentram. Tapi ingat, tentram antara satu orang dengan lainnya bisa berbeda.
Tingkatan manusia dalam Al Qur’an itu ada tiga; Iman, Taqwa dan Islam. Ya ayuha alladzina amanuu ittaqullaha haqqo tugotih wala tamutunna illa wa antum muslimuun. (Wahai orang yang beriman, taqwalah dengan sekuat-kuatnya dan sebenar-benarnya dan jangan mati kecuali dalam keadaan berserah diri). Di sini gambaran kualitasnya terlihat. Iman itu sebatas gambaran pemahaman keilmuan sampai yakin. Disuruh naik lagi dengan taqwa dengan usaha yang sungguh-sungguh. Itu tidak gampang. Ada proses panjang untuk meluruskan seluruh ibadah yang kita jalankan. Nah bila ini bisa dilalui, buahnya adalah berserah diri kepada Allah. Dan berserah diri ini ada contohnya, yaitu Nabi Ibrahim saat disuruh mengorbankan putranya yang begitu dicintainya. Ini merupakan contoh tertinggi.
Ukuran seorang spiritualis itu digambarkan Al Qur’an, yakni puncak misi seorang muslim adalah rahmatan lil ‘alamiin. Itu tanda-tanda yang bisa diamati. Makanya seorang Muhammad diutus untuk rahmatan lil ‘alamiin (wamaa arsalna muhammad illa lilrahmatan ‘alamiin). Seorang muslim harus bermanfaat seluas-luasnya bagi siapa saja, tidak terbatas pada muslim, mukmin dan muttaqiin saja. Tapi seluruh umat manusia dan sekalian alam. Jadi ukurannya di sini.

Tapi ada juga kan yang mencintai Tuhan tapi enggan hidup sosial, alias nyepi saja. Ini bagaimana?

Wah itu eksklusif, itu tidak benar. Kata Allah, ke mana pun kamu menghadap, kamu berhadapan dengan Allah. Walillahi al masyriqu wal maghrib. Kita melihat matahari terbit, kita berhadapan dengan Allah. Kita melihat pohon, semut, binatang, air dan semuanya kita melihat Allah. Nah bila sudah demikian, maka mencintai Allah itu tidak eksklusif, tapi malah inklusif. Karena kita melihat kehadiran Allah itu di seluruh benda, peristiwa dan semuanya. Jadi salah besar bila ada yang mengatakan bahwa menyatu dengan Allah, itu menjadi eksklusif! Uzlah atau mengasingkan diri, seakan akan hidup ini hanya dirinya dengan Allah, itu tidak benar. Karena misi manusia diciptakan adalah untuk menjadi rahmatan lil ‘alamiin. Justru dengan memberikan rahmat kepada alam, kita sedang berproses menjadikan sifat-sifat kita seperti Allah yang tidak pilih kasih dan mencintai semua makhluk.*

Adib Minanurrachim

“DANAH ZOHAR TELAH MENDUNIAKAN KEKELIRUANNYA”


JALALUDDIN RAKHMAT, lahir di Bandung, 29 Agustus 1949. Kang Jalal—begitu panggilan populernya—dikenal sebagai salah satu tokoh cendikiawan dan mubaligh Islam terkemuka di Indonesia, bersama Gus Dur (KH Abdurahman Wahid) dan almarhum Cak Nur (Prof.Dr. Nurcholis Madjid).
Dari sekian panjang pergulatannya dalam pemikiran Islam, Kang Jalal pernah menyimpulkan bahwa fiqih hanyalah pendapat para ulama dengan merujuk pada sumber yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Ia tidak setuju bila klaim kafir dialamatkan pada orang yang berbeda pendapat tentang tafsir Al-Qur’an dan Sunnah. “Bila menentang Al-Qur’an dan Sunnah, itu baru kafir,” katanya.
Karena silang-pendapat fiqh itu pula, Kang Jalal memfikirkan solusi alternatif yang bisa mempersatukan umat Islam, dan pilihannya jatuh pada akhlak. Menurutnya, dalam akhlak, semua orang—apa pun mazhabnya—bisa saling sepakat. Pemikiran ini ia tuangkan dalam buku, Dahulukan Akhlak di Atas Fikih (2002).
Sebagai cendikiawan muslim, Kang Jalal juga bergulat dengan tasawuf. Ketertarikannya pada dunia sufi ini bermula saat bersama-sama Haidar Bagir dan Endang Saefuddin Anshory diundang pada sebuah konferensi di Kolombia pada 1984. Dari konferensi itu ia bertemu dengan ulama-ulama asal Iran yang memiliki pemahaman mendalam tentang tasawuf, dan ia merasa kagum pada mereka.
Pasca kepulangan dari konferensi tersebut, Kang Jalal tenggelam dalam dunia tasawuf dan melahirkan beberapa karya seperti Reformasi Sufistik (1998), Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik (1999) dan Tafsir Sufi Al-Fâtihah (1999). Selain tasawuf, Kang Jalal juga menulis buku-buku Psikologi, seperti Psikologi Komunikasi (1985) dan Psikologi Agama (2003).
Berangkat dari kemampuan Kang Jalal yang multi disiplin ilmu tersebut, keempat wartawan SC Adib Minanurrachim, Kholis Bakrie, Billyantoro, Azty Arlina dan satu fotografer, Heru Haryono, mewawancarainya seputar perkembangan antara science dan spiritualisme. Berikut petikannya:

Fenomena fusi antara spiritualitas dengan science seperti yang dilakukan Danah Zohar, penemuan God Spot dan Fisika Quantum, apakah itu merupakan fenomena baru dari perjalanan spiritualisme di barat?

Di barat, spiritualitas muncul karena kekecewaan mereka terhadap science yang didasarkan pada logika dan empirisisme. Manusia melihat dunia ini absurd. Untuk apa seluruh kehidupan ini bila diakhiri dengan kematian? Segala usaha manusia sia-sia. Kata Soren Keirkegaard, ada semacam kecemasan yang luar biasa bagi manusia modern saat mereka memikirkan akhir kehidupan. Ia menyebutnya kegelisahan yang tak difahami.
Pertanyaan itulah yang membawa orang-orang ke spiritualisme. Mereka merasa rasio yang menjadi dasar sceince ternyata buntu dan tidak bisa memberikan jawaban, selain mereka juga kecewa terhadap science yang matrealistis.
Mengenai God Spot itu sama kontroversinya dengan G Spot (titit birahi) yang cuma mitos, karena hingga saat ini tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.
Sekarang ini ada penelitian neurologis tentang pengalaman-pengalaman keruhanian. Ada yang mengalami keruhanian, misalnya melalui brain imaging, pemasangan semacam saluran-saluran di sekitar kepala untuk melihat gelombang-gelombang otak. Bila orang mengalami pengalaman ruhaniah, ada bagian otak yang katanya berkaitan dengan perasaan, letaknya di sekitar hipocampus (pusat memori harian). Menurut neurolog, di bagian hipocampus itu ada satu tempat yang disebut lobus temporal, berfungsi mengatur kesadaran waktu dalam kehidupan kita. Bila mendadak kesadaran waktu hilang atau tenggelam dalam satu situasi, maka keadaan orang tersebut flow. Nah kata orang, itu yang diseput God Spot, titik yang menyambungkan manusia dengan Tuhan.
Pendapat lain mengatakan, God Spot itu sebenarnya bukan persambungan kita dengan Tuhan, tapi seperti mata lahir ini. Hanya saja, God Spot tidak bisa membuktikan adanya Tuhan, kecuali hanya alat yang bisa merasakan kehadiran Tuhan.
Tapi persoalannya, para ahli neurolog juga menemukan bahwa keadaan blink (‘berkedip’) itu juga dialami orang sakit jiwa. Para penderita skizofrenia dan paranoida juga mengalami rangsangan di tempat yang sama. Dengan kata lain, orang saleh sebetulnya juga mengalami pengalaman neurologis yang sama dengan orang sakit jiwa atau orang gila. Nah, apakah hal itu kita sebut sebagai God Spot (titik Tuhan) atau Mad Spot (titik gila)? Hehehe...

Dalam pengantar anda di buku Danah Zohar, anda memberikan catatan bahwa Danah Zohar masih terjebak psikologisme. Maksudnya bagaimana?

Danah Zohar itu bukan psikolog, bukan pula neurolog. Dia keliru—kekeliruan yang menjadikannya populer dan sekaligus membumikannya—dengan menyebut kecerdasan spiritual sebagai SQ (spiritual quotient). Karena huruf Q itu kan quotient yang berarti hasil bagi. Huruf Q, dalam matematika merupakan hasil pembagian dari X dibagi Y (X:Y=Q). Ini cocok bila diterapkan pada IQ (Intelligence Quotient). Karena teori ini membagi usia mental dengan usia kronologis. Misalkan ada anak yang usia kronologisnya 5 tahun, tapi kecerdasan mentalnya sudah seperti anak berusia 10 tahun. Maka teorinya adalah 10:5x100= 200. Jadi IQ anak itu adalah 200.
Di kalangan Psikolog tidak ada SQ, yang mungkin ada adalah kecerdasan spiritual atau Spiritual Intelligence (SI). SI ini pernah diusulkan kepada Howard Garner yang berpendapat bahwa manusia setidaknya memiliki delapan kecerdasan yang ada tempatnya di dalam otak. Misalkan kecerdasan kinestetik yang berkaitan dengan cerebellum (otak kecil sebelah belakang yang mengusai koordinasi otot-otot). Tapi kata Garner, di mana letak kecerdasan spiritual? Tidak ada.
Mengenai pandangan Danah Zohar tentang berspiritual tanpa beragama, sebetulnya malah ada yang lebih ekstrim, yakni berspiritual tanpa ada kepercayaan terhadap Tuhan. Agama Budha itu sangat spiritual, tapi mereka tidak percaya sama Tuhan. Alasannya, Tuhan itu tidak bisa digambarkan dan didefinisikan. Seorang antropolog pernah menanyakan teologi mereka. Tapi jawab mereka, our dance is our theology (tarian kami adalah teologi kami). Karena mereka tidak membicarakan Tuhan, mereka hanya membicarakan bagaimana meghilangkan derita dalam kehidupan.
Fenomena itu juga tergambar dalam dunia modern saat ini. Tak sedikit orang berkata, saya seorang spiritual tapi bukan seorang religius. Dalam hal ini, saya kira benar. Sementara yang tidak benar itu adalah ketika SQ itu beredar di Indonesia dan menjadi semacam training-training. Sebenarnya mereka itu bingung membedakan antara mana yang disebut emotional intelligence dan spiritual intelligence? Lalu mengambil jalan pintas dengan menggabungnya dan bernama ESQ, tanpa ada batasan-batasan yang jelas.
Secara ilmiah ESQ itu adalah something you are not able to check and to account (sesuatu di mana anda tidak bisa memeriksa dan melaporkan). Jadi tidak bisa dijelaskan melalui topangan-topangan ilmiah yang bersifat empiris dan logis.
Lebih jauh, apa sih ukuran ESQ? Tangisan? Kalau sudah menangis, maka kita sudah mendapat ridho Allah? Siapa saja yang tidak menangis, maka hatinya sudah membatu dan tidak mendapat petunjuk. Begitukah?
Jadi menurut saya, ESQ itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan emosional, spiritual dan intelegensi. ESQ itu hanya mengulang kesalahan seperti zaman romawi, yaitu Th Holy Roman Empire (kerajaan romawi yang suci), yang merupakan kerajaan Paus. Padahal sebenarnya, itu bukan kerajaan, bukan romawi dan sama sekali tidak suci.

Tapi di antara alumninya banyak yang mengalami perubahan kepribadian menjadi baik?

Kalau mereka menjadi baik itu hanya dongeng saja. Apa sih ukuran kebaikan itu? Ia rajin sholat, hanya itukah? Coba gunakan ukuran lainnya; kenapa sifatnya makin ekstrim terhadap tetangga atau teman sekerjanya? Mengapa ia menganggap orang yang tidak pernah ikut ESQ adalah orang yang belum dapat hidayah? Mengapa pula ia menganggap dirinya sebagai yang paling sholeh?

Motif kegilaan masyarakat kota terhadap ESQ karena apa?

Mungkin karena pemasarannya yang sangat bagus. Ada teknik marketing yang menurut saya sangat bagus. Semua teknik yang dipakai multylevel marketting itu juga dipakai dalam ESQ, dan setiap alumninya bisa menjadi marketter sekaligus. Selain itu, memang ada kecenderungan umum, bahwa orang-orang Indonesia ini suka hal-hal yang instan.

Bagaimana dengan tariqoh-tariqoh yang di antara jalan menuju Allah itu melalui puasa dan lainnya. Apakah ini yang dimaksud dengan spiritual dalam Islam?

Iya. Tapi dalam Islam, perjalanan menuju Tuhan itu perjalanan yang panjang dan sama sekali tidak instan. Dulu saya mendirikan pusat kajian tasawuf dan pernah masuk di beberapa tarekat, tapi akhirnya keluar dengan kekecewaan. Karena saya tidak menemukan pengalaman ruhani yang benar-benar tulus. Sulit membedakan pengalaman batin antara orang gila dengan orang sholeh. Sense keduanya itu sama.

Apakah termasuk dzikir akbar?

Dzikir Akbar itu bisa memberikan pengalaman ruhani karena orang yang bergerak dengan gerakan yang sama, bersuara dengan suara yang sama, dan bahkan kadang-kadang pakaiannya juga sama. Dalam situasi seperti itu anda dalam keadaan suggestable, sangat mudah dipengaruhi. Kemudian pembicaranya berbicara dengan menyentuh emosi, kalau perlu juga berakting menangis. Nah, apakah itu pengalaman spiritual? Menurut saya tidak.

Lalu perjalanan menuju Allah itu seperti apa?

Perjalanan menuju Allah itu transformasi personal dari satu tahap ke tahap yang lebih spiritual. Transformasi ini merupakan perubahan menyeluruh dari seluruh kepribadian kita. Ada seorang sufi modern memberi contoh, bila kita ingin menghilangkan sakit kepala, kita bisa beli obat di apotik, analgesik atau bodrek. Tapi dengan obat, sebenarnya kita hanya menghilangkan sementara rasa sakitnya. Penyakitnya masih tetap. Karena itu bila ingin sembuh, sebenarnya kita juga harus makan teratur dan mengikuti 3 J: jenis makanannya apa, jumlahnya berapa dan jadwalnya teratur-tidak? Artinya, kita juga harus merubah cara hidup kita. Tak cukup membeli obat di apotik saja.
Nah, The Road to Allah adalah upaya untuk tranformasi tersebut. Kita harus merubah cara hidup kita, bukan hanya mengobatinya dengan dzikir. Bila hanya dzikir tanpa melakukan perubahan kepribadian yang buruk, ya sama saja.
Dalam Islam, The Road to Allah itu tasawuf. Tapi persoalannya, orang awam pun pada ngomong tasawuf. Sama dengan spiritual. Selain itu, banyak orang yang terlalu gampang puas. Mengklain dirinya sebagai sufi bila sudah mengambil rujukan kepada kitab Ahmad bin Atha’illah As-Sakandary, yaitu al Hikam, atau bila sudah mulai membahas Kitab Al Ghozali, Ihya ‘Ulumuddin.
Jadi menurut saya, ukuran orang yang menapak jalan menuju Allah itu lebih pada transformasi spiritual, perubahan tingkah laku. Dan ukuran yang lebih utama adalah apakah dia makin penyayang terhadap sesamanya, lebih toleran terhadap orang-orang yang berbeda denganya, dan lebih berkeinginan memberikan kontribusi berharga terhadap kesejahteraan orang lain?*

Dimuat di SC Vol VI

“PENGALAMAN SPIRITUAL TIDAK INHEREN DI OTAK”


Dr H Taufik Pasiak, M Pdi, M Kes lahir di Manado, 29 Januari 1970. Staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Samratulangi, Manado ini, sudah lama menggeluti pelbagai persoalan yang berhubungan dengan otak manusia. “Saya sudah berkali-kali membelah otak manusia,” katanya saat berkunjung di kantor redaksi SC beberapa waktu lalu. Sekarang, alumni Universitas Gadjah Mada, Fakultas Kedokteran, Jurusan Spesialis Neuroanatomi ini, sedang melakukan penelitian tentang hubungan otak dengan pengalaman spiritual manusia, untuk tugas disertasinya. Berbetulan sama dengan tema disertasi yang ia angkat, saya mewawancarainya seputar misteri Gos Spot dan hubungan otak dengan pengalaman spiritual. Berikut petikannya:

Apa hubungan spiritualisme dengan otak?

Pengalaman spiritual merupakan salah satu kajian di bidang ilmu otak yang cukup menarik. Di bandingkan dengan dulu, saat ini memang memuncak. Kasus seperti Lia Aminuddin dan Ahmad Mushoddeq, itu merupakan kasus-kasus yang membuat ahli mulai memasuki wilayah ini. Mereka mencari tahu, apakah spiritualitas itu berdiri sendiri ataukah ada kaitannya dengan otak manusia?
Ada tiga teori yang berkembang dalam dunia kedokteran terutama yang mendalami hubungan otak dengan spiritualisme, khususnya soal kehadiran Tuhan. Teori pertama adalah God Modul atau God Spot, yang sering salah dipakai oleh orang yang tidak mengerti. Di Indonesia ini banyak sekali kesalahan memakai istilah God Spot, seolah-olah Tuhan itu merupakan sesuatu yang berupa bercak atau modul dalam otak manusia. Teori ini yang mengenalkan adalah Prof V.S. Ramachandran, Direktur Center for Brain and Cognition di Universitas California. Ramachandran berpendapat bahwa pada bagian otak yang namanya lobus temporal itu ada bagian yang kalau dipicu, manusia akan ada pada pengalaman spiritual. Tapi yang dia maksud tidak sesederhana yang dibayangkan oleh orang-orang yang tidak mengerti tentang ini. Seolah-olah God Spot adalah segala-galanya bagi sebuah spiritualitas.
Teori kedua, teori circuit. Artinya kehadiran Tuhan itu bukan sebuah modul tapi sirkuit, beberapa komponen yang saling berhubungan. Jadi dalam otak kita, menurut beberpa ahli ada sirkuit yang kalau dipicu salah satu komponen maka manusia memiliki pengalaman spiritual.
Dan ketiga, yang menurut saya paling tepat, yaitu teori katalisator atau enzim. Enzim itu fungsinya adalah mengkatali sebuah perubahan kimia dalam tubuh. Jadi misalnya dalam otak itu ada sirkuit spiritual yang spesifik untuk hal-hal yang membaur dengan spiritualitas. Ini terletak di bagian depan yang kita sebut dengan area asosiasi orientasi, dan area asosiasi atensi yang terletak di otak belakang. Ini adalah komponen otak yang berperan ketika seseorang itu merasa memiliki pengalaman spiritual. Tapi pengalaman spiritual itu tidak inheren di otak, harus dipicu dari luar, yang dalam istilah para sufi itu kehadiran Tuhan.
Jadi perasaan spiritualitas itu datang kepada otak manusia dan bergabung dengan sirkuit spiritual, yang kemudian melahirkan pengalaman spiritual. Jadi spiritualitas bukan sesuatu yang berada dalam diri manusia. Manusia hanya menyediakan semacam antena atau katalisator yang memandu informasi dari luar.
Sementara itu, pengalaman spiritual itu ada empat termin. Ibarat orang berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain, maka dia harus melewati keempat terminal yang keempat-keempatnya merupakan pengalaman spiritual, dilihat dari kaca mata bagian otak yang terlibat.
Pertama perasaan estetik. Ini terjadi bila anda melihat sebuah bunga yang indah, anda melihat alam semesta yang hebat, Ibu yang melahirkan dan seterusnya, anda akan mengalami perasaan estetis. Itu pengalaman mistis. Anda dan atau semua orang pernah mengalaminya.
Kedua namanya cinta, ketika ia merasa terlibat pada sebuah tindakan. Misalkan ketika ia melihat air mengalir, ia merasa seolah-olah merupakan bagian dari air itu.
Ketiga namanya takjub, rasa kagum di luar batas ketika seseorang mengamati sesuatu. Jadi melebihi pengalaman estetik yang pertama dan kedua.
Dan keempat adalah penyatuan atau univikasi, yang dalam istilah hindu disebut nirwana, Kristen union mistika dan Islam menyebutnya fana.

Bisa dijelaskan tentang univikasi?

Misalkan al Hallaj memverbalkan pengalaman spiritualnya dengan istilah Ana Al Haq, saat itu fungsi sistim limbik dan batang otak atau area asosiasi orientasi yang terletak di bagian belakang otak yang berfungsi membentuk imaginasi tentang diri pada level 3 dimensi, itu hilang digantikan oleh sistem talamokortikal yang sangat giat sekali aktivitasnya. Akibat hilangnya fungsi area asosiasi orientasi, maka diri seseorang itu tidak bisa dipersepsi. Seseorang itu merasa menyatu dengan alam semesta, dia merasa menyatu dengan lingkungan sekitar. Dia tidak lagi melihat dirinya sendiri di mana. Ini pengalaman unifikasi yang dalam kajian neuroscience terjadi saat otak belakang, terutama area asosiasi visual yang befungsi menyusun struktur tubuh manusia dalam posisi 3 dimensi itu hilang. Ini posisi tertinggi yang dialami seseorang yang saat itu merasa menjadi bagian dari alam semesta. Nah dari pengalaman tersebut, acapkali kita salah faham, kita menganggap al Hallaj itu mengaku sebagai Tuhan. Padahal tidak.
Nah pada pengalaman estetik sebaliknya, yang aktif saat itu justru visual, yakni area asosiasi orientasi yang terletak di otak belakang. Jadi kesadaran sebagai manusia masih ada. Tapi pada unifikasi, keasadaran sebagai manusia yang sadar itu hilang. Dengan kata lain kesadarannya berubah menjadi menyatu dengan alam semesta.
Ini tentang pengalaman spiritual, makanya bila anda perhatikan pelatihan-pelatihan yang banyak dilakukan saat ini, termasuk pengalaman yang dialami Lia Aminuddin, itu pengalaman spiritual pada level satu atau paling tinggi pada level cinta. Mereka belum sampai pada level penyatuan atau unifikasi. Jadi pengalaman yang dialami Lia Aminuddin itu pengalaman biasa yang kita semua bisa alami.
Dari pengalaman spiritual di atas, yang terpenting itu adalah, apakah pengalaman spiritual itu semata-mata hanya pengalaman spiritual saja ataukah pengalaman spiritual itu mampu membawa perubahan pada seseorang? Kalau pengalaman spritual itu benar-benar pengalaman spiritual yang sebenarnya, maka orang itu pasti akan berubah menjadi baik. Tentu saja ada ukuran tertentu untuk menilainya.

Ada yang mengatakan, pengalaman ‘spiritual’ antara orang gila dengan orang saleh itu sama. Bisa dijelaskan?

Pertama, kalau orang gila (skizofrenia), itu pengalaman tanpa sadar. Tidak ada yang memicu. Sementara pengalaman spiritual itu dipicu oleh stimulus dari luar. Kedua, pada orang gila itu memang kelainan. Sementara pengalaman orang soleh itu tidak. Ketiga, pengalaman mistik ini biasanya terjadi hanya sekali, dan tidak bisa berlangsung lama. Paling hanya berlangsung 2-3 menit saja atau paling lama 30 menit. Ini seperti hasil riset yang pernah dilakukan terhadap Pendeta Zen di Jepang. Sementara orang gila itu bisa sepanjang waktu.

Konon, berkat God Spot, pengalaman spiritual itu bisa dialami semua orang meski pun ia atheis?

Pengalaman spiritual dalam otak itu bukan spot atau nokhtah. Spot itu titik saja. Pengalaman spiritual itu sirkuit, yaitu ada beberapa titik yang saling berhubungan. Itu pemahaman keliru orang yang tidak paham. Jadi God Spot yang ditemukan oleh Prof V.S. Ramachandran yang dipopulerkan oleh media massa itu tidak seperti yang dia maksud. Karena Ramachandran itu menunjuk pada daerah otak yang disebut lobus temporal, tapi ternyata pengalaman spiritual itu tidak hanya titik yang bernama lobus temporal, dia terlibat dalam sebuah sirkuit. Bila titik, ibarat telphon itu hanya satu, dan anda tidak bisa berkomunikasi. Sementara sirkuit, ibaratnya anda melibatkan telephon anda pada orang lain, dan anda bisa berkomunikasi. Sementara God Spot itu hanya menunjuk satu titik saja. Jadi teori God Spot itu tidak kuat. Itu menjadi kuat hanya pada pelatihan-pelatihan yang tidak mengerti tentang apa itu God Spot!
Jadi sirkuit spiritual dalam otak, itu tidak akan bisa berfungsi bila tidak ada stimulus dari luar. Apa itu stimulus spiritual? Bisa macam-macam. Pertama, ada semacam obat-obatan kimia di mana bila anda menghirupnya, maka sirkuit spiritual anda akan aktif dan anda punya pengalaman spiritual. Kedua, bila anda menderita epilepsi, dan sirkuit spiritual itu teraktivasi, anda juga bisa mempunyai pengalaman ‘spiritual’. Ketiga, bila ada stimulasi listrik ke sirkuit spiritual anda (seperti yang dilakukan oleh Dr Persinger, red), maka anda juga akan merasakan pengalaman spiritual. Keempat, pengalaman spiritual yang datang dari luar, diberi oleh Tuhan, yang kemudian masuk ke dalam sirkuit spiritual anda, sehingga menghasilkan pengalaman spiritual. Jadi sirkuit spiritual atau katalisator itu bisa dipicu dengan berbagai macam hal. Indikator orang yang mengalami pengalaman spiritual yang tepat itu adalah, setelah mengalaminya maka akan ada perubahan menjadi lebih baik. Ini indikator penting.

Kalau pengalaman spiritual yang diperoleh secara instan dengan pendakian panjang, adakah perbedaan antara mereka?

Yang dialami oleh orang-orang yang mengikuti pelatihan-pelatihan itu memang benar sirkuit spiritual, tapi itu instan. Karena untuk mengakifkan sirkuit spiritual di otak itu tidak hanya dengan menonton, mendengar atau lainnya. Ada ritual-ritual tertentu, yang kemudian sirkuit ini bisa teraktivasi secara konstan. Nah untuk melihat perbedaan, apakah ini pengalaman spiritual yang dipicu oleh spiritual instan atau tidak, itu bisa kita lihat dari perilaku mereka dalam ranah sosial.
Ada penelitian di Jepang yang membedakan antara Pendeta Zen yang sedang bermeditasi dengan penderita skizofrenia. Ini ilmiah. Mereka menemukan data bahwa pengalaman mistik yang dialami Pendeta Zen itu menujukkan pengalaman spiritual yang dialaminya bisa hilang dan bisa datang lagi. Sementara pengalaman mistik yang dialami oleh penderita skizofrenia itu terus berlangsung tanpa ada fase berhenti. Itu tanda pertama. Artinya, seorang mistikus atau sufi, itu menyadari bahwa dia mengalami pengalaman spiritual. Berbeda dengan penderita skizofrenia yang tidak sadar dengan apa yang dialaminya.
Kedua, bila seorang sufi mengalami pengalaman spiritual maka ia akan kembali kepada masyarakat dan melakukan pencerahan. Ini yang ditampilkan oleh Rosulullah setelah Isra’ Mi’raj. Coba anda bayangkan, kalau dipikir-pikir secara logis, Nabi Muhammad sudah ada di Surga, ngapain balik di dunia? Jadi bagi orang yang memiliki pengalaman spiritual yang unik ini, ia harus kembali kepada masyarakat dan memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Nah kepada teman-teman yang bergiat dalam dunia pelatihan tersebut, saya memberikan apresiasi yang sangat dalam kepada mereka, artinya sebagai usaha yang patut dihargai. Tapi sekali lagi, spiritualitas yang dilahirkan itu instan sekali. Spiritual yang bobotnya lebih rendah apabila dibandingkan dengan spiritualitas yang ditumbuhkan secara baik dari diri sendiri.
Orang yang mengikuti spiritualitas instan itu merasa beriman ketika ada induksi dari luar. Jadi bila anda ada dalam sebuah ruangan dan anda diinduksi dengan film, cerita dan lainnya, anda akan menjadi sangat beriman. Tapi ketika anda pulang ke rumah, maka keimanan anda tertinggal di ruangan tadi. Jadi efeknya sejenak saja. Tapi bila melalui pendakian yang sangat dalam, maka efeknya akan sangat panjang.
Nah selama ini yang kita lihat, pelatihan yang melibatkan banyak orang, para peserta itu memang menangis dan merasa dekat dengan Tuhan. Tapi setelah pulang, mereka kemudian menjadi biasa. Itu kan sama saja dengan dzikir massal yang sejak zaman dulu sudah ada.
Jadi para peserta pelatihan instan itu terkondisikan sedemikian rupa, tapi setelah kondisi itu hilang, maka hlang pulalah pengalaman itu. Bahkan menurut saya yang dialami bukan pengalaman spiritual, tapi seolah-olah pengalaman spiritual.*

Adib Minanurrachim

Kamis, 27 Desember 2007

MENGENAL ALLAH DAN PRIBUMISASI NILAI TAUHID

BAGI Prof Dr KH Said Agil Siradj, melaksanakan ibadah haji merupakan kemudahan yang diberikan Allah SWT kepadanya. Tapi dari sekian kali kesempatan, Aqil mengaku pengalamannya berhaji pada tahun 1994 adalah yang tak bisa terlupakan. Saat itu, pria kelahiran Cirebon 3 Juli 1953 silam ini berkesempatan melaksanakan ibadah haji bersama mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) beserta sejumlah kiai lainnya. Saat menjalani proses wukuf di Arafah, Aqil mengaku melihat Gus Dur keluar dari tenda dan memisahkan diri dari jamaah lainnya, mengambil tempat menyendiri dan duduk melakukan dzikir. “Saat itulah saya melihat tepat di atas Gus Dur langit terbuka dan memancarkan sinar tepat ke tubuh Gus Dur. Anda boleh tidak percaya, tapi itulah yang saya lihat dengan mata saya sendiri,” kata Aqil kepada SC, di kediamannya Jl Sadar Raya No 3A Rt 08/04 Cianjur.
Rasa takjub itu membuatnya menanyakan apa yang dilakukan Gus Dur. Menurut Gus Dur, ia sedang membaca surah Al Fatihah seribu kali dan memanjatkan doa kepada Allah SWT untuk menjauhkan rakyat Indonesia dari kedzaliman dan perlakuan tak adil dari penguasa. “Padahal saat itu jelas Gus Dur belum jadi presiden,” lanjutnya
Mendengar penuturan Gus Dur, Aqil mengaku air matanya tak tertahankan jatuh di pipinya. Dia senantiasa merasa tergugah oleh sikap Gus Dur yang mempersembahkan doanya di tanah suci untuk kebaikan seluruh rakyat Indonesia dibandingkan untuk dirinya sendiri. Atas pengalaman itulah, Aqil bertekad seoptimal mungkin mampu ‘mengikuti’ jejak langkah Gus Dur untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan bangsa.
Di penguhujung musim haji ini, kepada SC, bapak empat putra ini mengingatkan para jamaah calon haji Indonesia hendaknya mampu memanfaatkan kesempatan naik haji dan bisa mengaktualisasikan nilai-nilainya di tanah air. Berikut petikannya:

Bisa diceritakan sejarah haji?
Pertama kali yang diperintahkan haji adalah Nabi Ibrahim. Selanjutnya diwajibkan kepada Rasulullah sejak tahun ke 4 Hijriyah, diwajibkan kepada umat manusia melaksanakan ibadah haji ke baitullah dengan niat karena Allah bagi yang sudah mampu. Kemampuan ini meliputi aspek lahir berupa uang, waktu, fisik dan batin berupa kesiapan mental, kesabaran, ketekunan dan kehati-hatian.
Haji juga merupakan nipak talas sejarah. Misalkan wuquf di Arofah, di sana ada Jabal Rahmah, tempat pertemuan Adam dan Hawa. Mulanya Hawa kan diusir dari surga dan diturunkan di Jiddah. Sementara Adam di India. Setelah ratusan ribu tahun saling mencari dengan berpuasa setiap hari dan selalu berdo’a, robbanaa dzolamnaa angfusanaa wa inlam tagfir lanaa wa tarhamnaa lanakunannaa minal khosiriin, akhirnya Allah menerima tobat mereka dan mempertemukannya di Jabal Arofah. Malam pertama mereka berada di sebuah bukit kecil bernama Khuda’ah yang sekarang menjadi Masjid Mas’aril Haram di Muzdalifah. Makanya orang haji harus mabid di sini.
Dari Muzdalifah inilah sejarah manusia dimulai, makhluk yang aneh dan unik karena terdiri dari dua unsur, ‘alamil malakut yaitu ruhani dan ‘alamul mulki yaitu fisik yang dibuat dari tanah liat dan sperma yang isinya dua hal, ghorizatul ghotob (dorongan angkara murka, ambisi dan ingin berkuasa) dan ghorizatul syahwat (dorongan ingin senang dan hidup mewah). ‘Alamul mulki ini juga disebut basyarun, sementara ‘alamul malakut disebut insan atau ruh. Insan inilah hakikat manusia yang akan hidup dunia-akhirat. Di dalam insan ini ada basyirah, dhomir (moral), fuad (nurani), asror (kekuatan misterius) dan terakhir lathifah atau lathoif (perangkat sangat halus yang bisa mengakses ke mana-mana sampai ‘alam ghaib).
Dalam haji diwajibkan mengenakan pakaian ihram. Karena ihram berarti melepaskan ghorizatul ghotob dan ghorizatul syahwat. Ini sesuai dengan nama kota Makkah, makka-yamukku-makkatan yang berarti, meremuk, menghancurkan. Jadi orang yang masuk ke Makkah harus menghancurkan hawa nafsunya.
Mengenai tawaf, apakah Ibrahim yang melaksanakan pertama kali?
Yang pertama kali tawaf di Ka’bah para malaikat, sebelum Allah menciptakan Adam. Adapun bangunannya sudah ada, meski bentuknya sekedar gundukan tanah yang kemudian dibangun oleh Ibrahim dan Ismail.
Makna tawaf adalah al-bahstu ‘ala dzaat, mencari jati diri kita sebenarnya. Ini tergambar dari perjalanan mulai ujung pojok Hajar Aswad dan kembali lagi ke Hajar Aswad, minallah wa ilahhi. Jadi hidup ini hanya sementara, dari Allah untuk ke Allah. Sehingga hidup ini jangan hanya diwarnai ghorizatul ghotob dan syahwat, tapi harus ada ruang moral, iman dan syukur-syukur makrifat.
Mencium Hajar Aswad saat tawaf, secara metafor melakukan sumpah setia dengan Allah. Sehingga muncul kesadaran bahwa setiap hari kita hadir bersama Allah atau sadar bahwa Allah itu selalu hadir bersama kita.
Lalu apa makna sa’i?
Sa’i itu kan fas’au ila dzikrillah, bergegas berdizikir kepada Allah. Inna shofa wal marwata min sya’airillah dan seterusnya... Shofa dan Marwah itu tanda kebesaran Allah, barang siapa haji dan umrah hendaklah sa’i antara Shofa dan Marwah.
Dzikir di sini meliputi qaulan (perkataan), ‘amalan (perbuatan), mauqifan (diam), wa fikron (pemikiran). Apa pun amal-soleh yang kita niatkan karena Allah itu adalah dzikir. Berbeda dengan wirid yang asal mulanya dari waarid-waaridaat, bacaan-bacaan tertentu yang mengharapkan sesuatu melimpah dari Allah.
Setelah sa’i wuquf dulu, waktunya setelah tergelincirnya matahari saat dhuhur tanggal 9 Dzulhijjah hingga malam. Di situlah seharusnya berdo’a. Karena Allah sedang mengobral ampunan dan rahmatnya. Lau kaanat dzunubukum ladzabatil bahr, la kaanat maghfirotullahi akbar, lau kaanat dzunubukum mistla turobil ardhi, la maghfirotullahi aksar, andai dosamu seluas lautan, maka ampunan Allah lebih luas, dan andai dosamu seperti debu yang bertebaran di bumi, maka ampunan Allah lebih banyak. Saat itu kita harus yakin dosanya diampuni. Kalau ragu-ragu malah dosa lagi. Karena menduga Tuhan itu pelit.
Setelah itu berangkat ke mas’aril haram di Muzdalifah. Dalam Al Qur’an surah Al Baqarah: 198, tidak ada perintah mencari batu untuk melempar setan, tapi Nabi Muhammad saat di Muzdalifah mencari batu sebanyak tujuh butir dan digunakan untuk jumratul aqobah pada tanggal 10. Lempar jumrah ini juga merupakan napak tilas sejarah Ibrahim yang di goda setan sampai tiga kali saat hendak melaksanakan perintah Tuhan untuk menyembelih putranya. Kurban merupakan pertarungan hebat antara kecintaan Ibrahim pada putranya yang masih lucu-lucunya dengan kerelaan mengikuti perintah Allah.
Apakah ketiga berhala itu bisa dikontektualisasikan dengan zaman sekarang, misalkan simbol penindasan, kapitalisme dan kemunafikan?
Ya boleh-boleh saja. Melempar hawa nafsu diri kita juga boleh. Karena diri kita ini lebih dari sekedar setan. Awal kata setan itu dari syatona, ba’uda yang artinya jauh. Jadi apa saja yang menjauhkan diri kita dari Allah adalah setan.
Oya, sebelumnya ada tahallul dan paling afdhal adalah dipangkas hingga gundul. Ini dido’akan rasulullah sampai tiga kali, ya Allah berilah rahmat bagi orang yang memangkas rambutnya, gundul, lalu ada sahabat yang berkata, wa muqossirin, baru kemudian rosulullah mendoakan orang yang memotong rambut. Tahallul ini simbol dari ketundukan kita kepada Allah, karena rambut adalah lambang kehormatan manusia.
Setelah melakukan haji, kita berziarah ke makam Rasulullah. Ziarah ini bukan termasuk ibadah haji, tapi ada hadist, man hajja wa lam yazurni faqod jafaani, barang siapa haji dan belum berziarah ke tempatku, maka ia tidak dekat denganku. Selain hadist, ada juga ayat Al Qur’an, walau annahum idzdholamuu angfusahum jaauka fastaaghfarullaha wastaghfaru lahum rosula lawajaduullaha tawaaba rohiima, seandainya orang-orang yang dholim dan kemudian datang keadamu ya Muhammad, lalu istighfar di sebelahmu, dan rosulullah pun ikut memintakan ampunan untuk orang tersebut, maka orang-orang tersebut akan memperoleh ampunan Allah. Artinya, Nabi memiliki hak prerogaif memohonkan ampunan kepada Allah untuk siapa pun.
Ada yang mengatakan hikmah tawaf dan sa’i adalah pemecah kontradiksi antara Menyandarkan pada-Nya atau pada kehendak manusia. Bagaimana menurut anda?
Boleh saja. Tapi yang gampang, secara etimologis haji bermakna al qosdu, menuju secara sungguh-sungguh kepada Allah. Kalau di tanah air ini kan hanya menyapa, tapi kalau di sana adalah menuju ke makrifat Allah.
Tanda haji mabrur?
Setelah haji ia mengalami perubahan positif, baik iman, perilaku dan kehidupan sosialnya dibanding sebelum haji. Dan sepengetahuan saya, orang yang sudah haji itu tidak akan murtad, karena sudah merasakan kebenaran dan kebesaran Allah.
Bila banyak orang haji, tentu perilaku bangsa lebih baik. Tapi bangsa ini tetap kurang baik keadaannya. Kenapa?
Itu karena lebih banyaknya gap (jarak), baik dari sisi sosial, ekonomi, intelektual hingga spiritual. Misalkan kita punya cendikiawan kelas internasional macam almarhum Nurkholis Majid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tapi di sisi lain banyak sekali dari bangsa ini yang masih buta huruf. Ada juga konglomerat yang tingkat kekayaannya sudah mendekati orang terkaya di dunia, tapi tak sedikit dari bangsa ini yang cari makan saja kerepotan.
Bila ada pendapat, haji perlu dibatasi sekali saja seumur hidup dan bila ingin haji lagi diharapkan uangnya disedekahkan kepada fakir miskin, bagaimana?
Begini, ada orang kaya. Ia sudah zakat, sedekah, sudah bayar pajak, bangun masjid dan memenuhi kewajiban-kewajiban lainnya. Tapi ternyata uangnya masih lebih... ya tidak apa-apa haji lagi. Karena orang yang sudah haji itu, pasti merasa ada yang kurang, mungkin tawafnya, sa’inya dan lainnya. Ia berhaji lagi untuk menyempurnakan haji yang kurang tersebut. Ini sah-sah saja dan hak setiap umat Islam. Karena bila kita pikir secara jernih, sesungguhnya yang bertanggung jawab terhadap persoalan kemiskinan itu adalah pemerintah, dan itu termaktub dalam UUD.

Wawancara dengan Prof Dr KH Said Aqil Syiraj (Ketua PBNU Jakarta)
Adib Minanurrachim, Bilyantoro dan Azty Arlina
Dimuat di SC Magazine No V

“SPIRITUALITAS HARUS TERUS DIASAH”

ANGGOTA dewan gubernur di Bank Indonesia (BI) tentu saja orang pilihan. Ia harus memahami persoalan yang menghimpit ekonomi Indonesia, termasuk di dalamnya industri perbankan. S Budi Rochadi adalah salah satu Deputi Gubernur bank Indonesia selain Miranda S. Goeltom (Deputi Gubernur Senior), Bun Bunan EJ. Hutapea (Deputi Gubernur), Aslim Tadjuddin (Deputi Gubernur), Hartadi. A. Sarwono (Deputi Gubernur), Siti Chalimah Fadjrijah (Deputi Gubernur), dan Muliaman D. Hadad (Deputi Gubernur).
Budi mengawali karirnya di Bank Indonesia (BI) sebagai staf bagian pengawasan kredit, pada tahun 1975. Selang enam tahun kemudian, Budi ditugaskan pada bagian pemeriksaan bank, tingkat III, masih pada bagian yang sama yaitu pengawasan kredit. Tahun 1984, Budi kembali dipindahtugaskan, kali ini pada bagian penilitan dan pengembangan, sebagai kepala desk.
Tahun 1988, pria kelahian Solo, 24 Maret, 56 tahun lalu ini, karirnya mulai menanjak, yaitu menjadi Wakil Kepala Bagian Pengolahan Data. Tak lama setelah itu, pada tahun 1991, ia diangkat menjadi Kepala Bagian Pengolahan Data.
Tahun 1994, Budi kembali ke pengawasan perbankan, kali ini menjabat sebagai Pemeriksa Bank Eksekutif Senior, di Urusan Pengawasan Bank Umum I. Tidak lama kemudian karirnya kembali meningkat, ia dipercaya menjabat sebagai kepala urusan Pengawasan Bank Umum III pada tahun 1997.
Ketika terjadi krisis ekonomi, Budi menjabat sebagai Kepala Urusan Pengaturan dan Pengembangan Perbankan. Sebelum kemudian pada tahun 1998, dia ditunjuk untuk memimpin Kantor Bank Indonesia (KBI) Semarang.
Tahun 2000, dia dipanggil kembali ke kantor pusat, untuk menjabat sebagai Pegawai Utama Setingkat Direktur, di Direktorat Sumber Daya Manusia. Tak lama berselang dia ditugaskan untuk memimpin KBI Medan pada September 2000.
Sebelum menjabat sebagai Kepala Kantor Perwakilan BI di Tokyo, Jepang sejak tahun 2003, Budi sempat menjadi staf ahli Gubernur BI, di biro sekretariat. Dan sekarang ia menjabat Deputi Gubernur di BI Jakarta.
***
SEBAGAI Deputi Gubernur BI, Budi memegang prinsip pengabdian dalam menunaikan tugas-tugas yang ia emban. “Selama menjabat, saya tidak merasa ada halangan, karena dasarnya pengabdian. Jadi apa saja jabatannya, itu bukan persoalan. Saya tidak ada target, harus jadi ini atau itu. Karena dasarnya adalah pengabdian dan ibadah,” katanya.
Prinsip mengabdi tersebut, sudah ia tanamkan selepas bangku SLTA. Keteguhannya ini terinspirasi dari ayahandanya yang berprofesi sebagai guru. “Ayah saya dulu seorang guru sehingga lebih banyak mengabdikan dirinya pada negara. Namanya Sunarto Hadiaswoyo. Beliau sebenarnya tentara kemudian keluar untuk menjadi guru. Jadi sepanjang perjalanan hidupnya itu hanya untuk mendirikan sekolah di tempat-tempat terpencil dan mengajar dengan naik sepeda yang saya pikir cukup jauh dari rumah saya di Solo. Jaraknya kira-kira 20 kilometer. Itu tiap hari,” ceritanya kepada wartwan SC.
Seiring perjalanan hidup yang ia jalani, prinsip pengabdian ternyata melahirkan ketenangan bagi suami Ny. Sri Wati Rochadi ini. Terlebih setelah ia mengikuti beberapa komunitas yang bergiat dalam bidang spiritualitas, seperti Perguruan Tenaga Perana dan Pelatihan Shalat Khusyu. Mengenai pengalamannya dalam bidang spiritual, berikut petikan wawancara wartwan SC dengan bapak dua putra ini di halaman rumahnya, Puri Handayani di jl Rasamala:

Apa prinsip anda dalam menapak karir di dunia perbankan?
Prinsipnya adalah pengabdian dan ibadah. Karena Orang mengabdi itu kan mau jadi apa saja kan bukan persoalan. Jadi tidak ada target, bahwa saya harus jadi ini dan itu.

Apakah prinsip itu anda tanam sejak muda?
Semangat pengabdian itu sejak SMA. Harapan pertama saya itu menjadi tentara. Ingin mengabdi pada negara. Tapi perjalanan membawa saya berkarir di dunia perbankkan. Sikap mengabdi itu akan mempengaruhi sikap yang tanpa pamrih. Pekerjaan sebagai ibadah. Jadi tiap tugas yang saya emban, akan saya lakukan dengan sebaik mungkin.

Siapakah yang mempengaruhi anda?
Bila pendidikan saya kira kurang mempengaruhi. Tapi bila lingkungan, mungkin. Dulu ayah saya seorang guru sehingga lebih banyak mengabdikan dirinya pada negara. Namanya Sunarto Hadiaswoyo, beliau sebenarnya tentara kemudian keluar untuk menjadi guru. Jadi sepanjang perjalanan hidupnya itu hanya untuk mendirikan sekolah di tempat terpencil dan mengajar dengan naik sepeda yang saya pikir cukup jauh lokasinya dari rumah saya di Solo. Jaraknya kira-kira 20 kilometer. Ia naik tiap hari. Selain tauladan dari ayahanda, pengaruh berikutnya adalah pergaulan bersama teman-teman. Kebetulan saya bergaul dengan kawan-kawan dari Jogja dan Solo. Orang Jogja dan Solo itu kan sikapnya tidak terlalu memikirkan materi. Lain dengan Jakarta.

Bila spiritualisme apakah juga mempengaruhi anda?
Saya pikir iya. Karena saya memang senang sesuatu yang banyak spiritualnya. Misalkan saya ikut perguruan tenaga dalam. Itu sebanarnya juga olah batin. Kemudian saya juga ikut Tenaga Perana, yang guru besarnya dari Filipina. Itu juga spiritual. Kemudian ketemu dengan ustadz Abu Sangkan, itu satu hal yang memengaruhi hidup saya.

Apa yang anda ambil dalam komunitas spiritual itu?
Saya selalu mengambil yang bener. Artinya tidak ada yang untuk kesaktian. Karena kebatinan untuk kesaktian itu kan ada. Intinya adalah kepasrahan dan mencoba untuk bergerak prospektif.

Dari tenaga dalam itu ada sisi spiritualnya?
Ada. Saya ambil contoh yang dasarnya bukan Islam. Misalkan Tenaga Perana. Itu guru besarnya dari Filipina, eks pengusaha dan beragama katolik. Tapi dasar spiritualnya sesuatu yang general. Misalnya, di situ kan olah meditasi yang akhirnya memberikan blessing (kedamaian) kepada dunia. Ini seperti sholat kan? Bila waktu tahiyat akhir itu ada salam ke kanan dan ke kiri. Nah di waktu salam terakhir itu, kita dianjurkan untuk tersenyum kan? Nah ini dalam bahasa jawanamanya mewayuning ayuning bawono.

Adakah perbedaan dari pelbagai komunitas spiritual yang anda ikuti?
Tentunya ada. Misalkan dalam sholat. Dulu, saya dua tahun di Semarang, sementara keluarga di Jakarta. Setiap malam, saya banyak shalat malam, terutama bila menghadapi pelbagai persoalan yang sulit dipecahkan. Segala yang menjadikan saya pusing itu saya ajak untuk sholat. Membaca bacaan-bacaan sholat dengan penuh kepasrahan. Alhamdulillah setelah sholat saya sembuh. Tapi itu berat sekali. Karena harus membutuhkan konsentrasi penuh. Nah hal ini, sebenarnya sama saja dengan di Perguruan Perana yang mengutamakan meditasi dan konsentrasi untuk tujuan tertentu yang tentunya baik. Jadi dalam hal ini, saya melihat ada hubungannya. Misalkan kalau di Perguruan Perana itu kan melihat kekuatan kita. Begitu kita membayangkan Ka’bah, tenaga kita menjadi makin besar. Jadi ada nilai universalnya. Karena di Perguruan Perana juga selalu dihubungkan dengan Ketuhanan.

Tidak ada perbedaan dengan sholat?
Ada. Yaitu tingkat kepasarahan.

Dengan meningkatnya spiritualitas anda, apakah juga meningkatkan kinerja anda sebagai Deputi Gubernur?
Persisinya saya tidak tahu. Mungkin secara positif, ada. Tapi saya tidak pernah menghubungkannya. Tapi intinya saya bekerja menjadi lebih ikhlas. Kalau bekerja lebih ikhlas, tentunya pekerjaan akan menjadi lebih baik kan? Gitu aja prinsipnya. Saya tidak bisa mengukur diri saya. Susah. Tapi saya berusaha bekerja tanpa pamrih dan lillahi ta’ala. Gitu sajalah. Saya bekerjanya amar makruf nahi mungkar yang kadang-kadang tak semua orang bisa melakukannya. Yah, di antaranya mungkin karena spiritualitasme. Bila kita sudah punya dasar tapi bila diasah terus dengan baik, akhirnya kan akan menjadi lebih tajam.

Sesuatu yang belum anda capai saat ini apa?
Apa ya? Kalau saya, untuk masalah dunia tampaknya tidak ada. Karena saya tidak punya keinginan terlalu muluk. Saya ingin menjalani hidup ini apa adanya saja.

Ada yang mengatakan, kebahagiaan itu ada empat: kasih sayang, prestasi/harta kekayaan, spiritualitas dan meninggalkan kenangan terindah bagi generasi sesudahnya. Kira-kira di antara keempat hal ini apa yang belum anda capai?
Barangkali spiritual. Karena saya ingin bekerja dan mengabdi dengan ikhlas. Bila harta... bukannya saya sok, tapi saya tidak terlalu memikirkannya terlalu dalam. Misalkan kalau saya kehilangan sesuatu, kalau Tuhan memang menghendakinya... ya apa boleh buat? Tak masalah.

Kalau poin keempat?
Kalau itu jelas. Dan itu harus diupayakan terus.

Upaya-upayanya?
Antara lain, dulu itu saya mengajar di beberapa perguruan tinggi/lembaga pendidikan seperti IPPM, Universitas Bina Nusantara, Universitas Diponegoro dan Institut Bisnis Indonesia. Nah, dalam mengajar itu kan harus ikhlas. Dan untuk orang-orang tertentu ini susah. Bila saya, saya bersyukur karena saya tidak punya obsesi yang kuat tentang dunia.

Tidak ada keinginan karena semuanya sudah tergapai atau bagaimana?
Oh tidak-tidak. Kalaupun saya misalnya tidak menjadi Deputi Gubernur, ya tidak apa-apa. Jadi saya hanya berusaha mengabdi dan beribadah dengan apa adanya. Nah mengenai tingkat kebahagiaan yang keempat, antara lain saya menangani kredit kecil, agar masyarakat bawah bisa sepadan dengan masyarakat kaya seperti yang ditegaskan dalam UUD 1945. Itu kalau yang ingin disebut keinginan yang belum dicapai.

Selain itu?

Kalau di kantor, diskripsi jabatan saya itu kecil sekali. Saya ingin melampaui diskripsi jabatan tersebut. Dan sekarang saya banyak bertemu dengan orang-orang di luar, mengajak teman-teman seperti para penguasaha. Tidak sekedar bicara sektor formal atau untung-rugi, tapi juga bagaimana bicara mengajak masyarakat kecil bisa ikut bekerja bersama.

Kalau tadi banyak bicara ikhlas, sebenarnya menurut anda ikhlas itu pemberian atau sesuatu yang harus diperjuangkan?
Ikhlas itu harus diusahakan pada semua orang. Jadi bukan pemberian. Bukan apa adanya. Yah... bolehlah bila menggunakan bahasa anda, yaitu diperjuangkan.*


Wawancara dengan S Budi Rochadi, Deputi Bank Indonesia Jakarta
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No IV

“SILATURRAHMI SEBAGAI KOMUNIKASI PRODUKTIF”

DARI sudut pandang sosiologi, silaturrahmi adalah interaksi yang dijalin antar indvidu dalam sebuah komunitas yang bisa memunculkan understanding (pemahaman bersama), dan pada saat yang sama juga melahirkan transbuilding (saling percaya). Selanjutnya diharapkan akan muncul sinergi untuk menggalang cita-cita bersama. Jadi ukhuwah itu sarana membangun modal sosial. Dalam hal ini ada ayat Al Qur’an yang menggambarkan bahwa Allah menciptakan manusia bersuku-suku, laki-perempuan dan seterusnya untuk saling kenal-mengenal.
Interaksi masyarakat komunal itu face to face. Karena pekerjaan, tempat tinggal dan lingkungannya sama. Itu merupakan interaksi yang membangun budaya. Sementara dalam masyarakat modern, interaksi face to face sulit dilakukan karena situasi dan kondisinya. Tapi biasanya dijembatani dengan telp, sms dan lainnya. Understanding dan trust dalam interaksi adalah modal dasar untuk melakukan sinergi atau gotong royong. Ada perbedaan gotong royong antara masyarakat paguyuban dan patembayan. Dalam masyarakat patembayan, gotong royongnya lebih pada hubungan profesional dan harus dilandasi ikatan kontrak berupa MoU. Sementara pada masyarakat paguyuban itu lebih loose (longgar) dan tidak perjanjian tertulis.
Sebenarnya, gotong royong itu universal. Di India atau di Amerika, yang namanya masyarakat pedesaan itu tidak kalkulatif. Jadi tidak unik Indonesia. Tapi bahwa di Indonesia gotong royong merupakan suatu yang dominan, ya memang kita masyarakat kerabat. Bahkan satu kampung bisa saudara semua.
Di Indonesia, gotong royong antara desa dan kota berbeda. Dan di kota juga ada perbedaan antara kampung dan daerah seperti Menteng ini. Di dekat sini ada kampung Bonang dan intensitas gotong royongnya masih terasa. Karena interaksi face to face-nya masih intensif. Tapi beda dengan di Menteng ini. Misalkan saya dengan tetangga di depan itu hampir tidak pernah ketemu. Karena situasi dan kondisinya memang berbeda, tak selalu bertatap muka secara langsung karena sudah diblok dengan pagar. Ini juga dialami keluarga yang kerabatnya berpencar di mana-mana, baik di Indonesia atau di Amerika dan Eropa. Di Amerika, kerenggangan ini biasa dijembatani dengan moment yang bisa mengumpulkan seluruh keluarga, yaitu Thank Giving Day. Ini merupakan sejarah di mana orang Eropa datang dan disambut oleh orang Indian dengan sajian makanan kalkun. Itu kemudian menjadi tradisi. Ini sama dengan kita bila tiba Idul Fitri. Ada tradisi mudik lebaran, media untuk mengintegrasikan communal feelling yang terpecah karena situasi dan kondisi.
Ada perbedaan antara silaturrahmi dari dimensi sosiologis dan silaturrahi dari dimensi teologis. Dua pengertian ini bisa disebut ayat kauniyah dan qouliyah. Nah ayat kauniyah ini sudah saya katakan tadi. Kalau qauliyah, itu bertolak dari fenomena sosial seperti tadi terus ditambah dengan ukhuwah yang didasarkan pada semangat beribadah, memperkuat komitmen dan menumbuhkan rasa keberagamaan hingga menumbuhkan komunitas religius. Jadi ada spirit agama. Sama saja dengan anak-anak yang pulang kampung. Mereka tak sekedar memperkuat kerekatan antara anak dan orang tua semata, tapi pada saat yang sama juga terjadi check dan recheck tentang spiritual conditionnya. Karena tujuan hidup itu kan tak sekedar cari makan dan berteman, tapi juga bagaimana struggle untuk menetapi sebuah visi-misi yang bersifat sangat pribadi (agama), tapi pada saat yang sama juga kolektif. Makanya juga mengenal jamaah. Nah, jamaah itu kan sebenarnya memperkuat visi-misi keagamaan individu secara kolektif. Sehingga ukhuwah itu mempunyai dimensi spiritual collective.
Sekarang, bisakah silaturrahmi itu mempengaruhi peradaban? Ada istilah human capital, orang punya profesi dan kemampuan sendiri-sendiri. Pada saat mereka bergabung, maka daya rubahnya menjadi lebih besar. Misalkan seorang insinyur atau civil engineer bertemu dengan pemodal dan scientist untuk melakukan kerja bersama. Nah ukhuwah dalam terjemahan seperti ini bila ditransformasikan dalam agenda kerja, akan melahirkan social capital. Bila kuat ukhuwah dan makin besar jaringan ukhuwahnya, harusnya secara teoritis bisa melakukan kerja bersama dan menciptakan perubahan. Tapi bila ukhuwahnya hanya sebatas kangen-kangenan tanpa ada action plan, maka yang muncul hanyalah kerumunan. Bukan barisan.
Menuju masyarakat barisan itu tak mudah. Butuh manajemen, keahlian dalam organisasi dan pemahaman tentang team work. Tapi orang bertemu atas nama ukhuwah tidak selalu menjadi team work. Dan team work juga tak selalu menjadi action. Apalagi melahirkan hasil yang memuaskan. Jadi ada tahapan-tahapannya.
Misalkan kita ingin memajukan komunitas kerumunan menjadi barisan. Dalam masyarakat barisan itu kan ada pembagian tugas (division of labor), ada pemimpin yang bisa dipilih secara teratur, bergilir dengan batas tertentu. Berikutnya ada mekanisme kerja, salah satunya dari sudut keuangan itu harus ada audit. Terus ada program kerja yang dirancang secara bersama-sama. Bukan prgram tokoh tertentu. Tapi seluruh anggota terlibat di dalam merancang dan melaksanakan program.
Sekarang kita diskusi soal ukhuwah. Misalkan, saat ini banyak komunitas pengajian yang tampaknya diisi oleh orang-orang kota. Tapi apakah di dalamnya selain ada ukhuwah emosional juga ada ukhuwah fungsional? Orang datang dan bertemu itu kan lebih pada emosional attachment. Tapi tidak hanya itu yang saya maksud. Ok, emosional attachment itu penting tapi juga harus ditranformasikan ke dalam fungsi: untuk apa kita bertemu?
Dalam idul fitri, idealnya itu ada dua dimensi, dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Tapi setelah kita breakdown tadi, ternyata dimensi horisontal hanya mengarah pada emosional attachment, tidak functional attachment. Itu yang menjadi problem. Sehingga pertemuan itu hanya berisi kangen-kangenan.
Barangkali, itu karena kita seringkali terjebak dalam ritualisme tanpa spiritualisme. Misalkan dalam bentuk yang lebih mikro, waktu orang tua terhadap anak kan ada dua pendapat, quality time atau quantity time? Ada yang berpendapat hendaknya kita ini memberikan waktu yang selonggar-longgarnya kepada anak. Tapi ada juga yang bilang, banyak waktu tapi bila tidak ada kualitasnya kan tidak bermakna? Nah ukhuwah juga begitu. Ukhuwah sering dilakukan, tiap hari dan tiap minggu. Tapi problem qualitynya di mana?
Memang di situ ada emosional quality seperti curhat, heart to heart interaction hingga nangis-nangis. Tapi functional quality yang lebih konkrit bagaimana? Apakah nangis-nangis itu bisa nolongin bayar hutang? Apakah bisa ikut kerja melakukan sebuah agenda konkrit untuk economic empowerment, misalkan. Jadi hal itulah yang harus dijabarkan. Sehingga bisa menumbuhkan kesalehan sosial dan bisa mensupport peradaban.

Wawncara dengan Imam B Prasojo (Sosiolog UI)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No IV

“SHILATURRAHIM BAGIAN PERADABAN ISLAM”

Apa makna shilaturahim dalam Islam?
Dalam Islam, shilaturahim itu bukan basa-basi, tapi bagian penting dari kehidupan beragama. Karena Rosulullah pernah ditanya, Islam bagaimana yang paling baik? Ketika itu Nabi baru datang di Madinah, beliau menjawab, yang utama dalam Islam adalah liinul kalam (tutur kata yang lembut), wa ifsyaul kalam (menyebar kedamaian), shillatul arham (membina dan mengembangkan hubungan kekeluargaan), dan ith’amu tho’am (memberi makan orang-orang yang lapar). Jadi rukun Islam yang lima yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji ditambah empat lagi yang disebutkan tadi, itulah gambaran Islam yang lebih sempurna.
Keempat jawaban Nabi itu menyangkut kepedulian kita pada masyarakat, tak kecuali yang namanya shillatul arham atau shilaturahim. Ini sangat penting diterapkan dalam kehidupan masyarakat, baik di tingkat yang paling kecil bernama keluarga hingga masyarakat yang lebih besar di luar keluarga semisal bangsa dan bahkan antar bangsa.
Jadi begitu gambarannya. Sehingga dengan adanya shilaturahim, ukhuwah Islamiyah, wathoniyah dan basyariyah akan mudah terbentuk.
Dalam bulan Ramadhan, ada pentunjuk-petunjuk untuk meningkatkan shilaturrahim. Jadi tidak terbatas pada puasa, tarawih, tadarus al Qur’an dan lainnya yang biasa disebut dengan paket Ramadhan. Tapi juga termasuk di dalam Ramadhan adalah pengembangan shillaturahim. Allah sendiri memberikan satu arahan pada beberapa ayat yang membicarakan puasa dan segala rangkaiannya dalam surat al Baqarah ayat 183-189. Di situ diselipkan satu ayat mengenai betapa pentingnya menjalin keakraban. Keakraban pertama adalah keakraban dengan Allah, yakni wa idza saalaka ‘ibadzi ‘anni, fainni qoriib (kalau kamu—Muhammad dan para orang beriman—bertanya tentang Allah, katakan bahwa Allah itu akrab). Allah itu akrab/dekat dan selalu siap menerima permohonan orang-orang yang memohon. Itu salah satu rangkaian dalam ajaran Islam yang berbicara mengenai puasa. Jadi saat orang Islam menunaikan ibadah puasa, patut kita gugah kesadaran berakrab-akaraban, baik kepada Allah maupun pada sesama. Adapun yang sesama itu namanya shilaturrahim.
Tapi saat ini, bagi bangsa Indonesia, shilaturrahim kita belum optimal pelaksanaannya. Karena yang terjadi masih antar orang perorang. Seharusnya ada kesungguhan mengembangkan shilaturahim, baik golongan, kelompok, ormas atau partai di Indonesia. Karena di negeri tercinta ini masih banyak kekalutan dalam kehidupan bermasyarakat yang terjadi karena adanya komunikasi yang tidak sambung. Bukan sekedar antarindividu tapi juga terjadi antargolongan, etnis, agama dan partai. Sehingga kehidupan bermasyarakat tidak bisa dinikmati dengan baik. Keakraban, kerukunan dan kedamaian terasa mahal.
Berangkat dari penjelasan anda, bisakah shilaturrahim itu diklasifikasikan menjadi beberapa macam, seperti shilatul fikri, shilatul rizki hingga shilatul ruh?
Ya, benar. Ungkapan saudara itu memang tercangkum di dalamnya. Karena misalkan anda mengatakan ada shilatul fikri atau shilatul afkar, artinya ada keterbukaan menerima pemikiran orang lain dan begitu pula sebaliknya. Ini merupakan bagian penting dalam kehidupan bersama, karena bisa meminimalisir terjadinya konflik.
Dalam Islam, perbedaan pendapat itu biasa dinamakan ikhtilaf ar ro’yi. Kata ikhtilaf sendiri banyak disebut dalam Al Qur’an. Dalam kitab suci itu, perbedaan lebih banyak diletakan pada segi positifnya. Sementara manusia banyak mempersepsikan perbedaan sebagai sesuatu yang negatif.
Dalam Al Qur’an, misalkan ada ungkapan ikhtifalul laili wa nahar (perbedaan malam dan siang). Ini fenomena alam di mana manusia terlibat di dalamnya, hidup di antara siang dan malam. Selain itu ada juga ungkapan, ikhtilaful alsinatikum wa alwanikum (perbedaan bahasa dan warna kulit kalian). Ini juga bagian dari kehidupan alamiah. Dan kita harus mampu menjadikannya sebagai pelajaran, bahwa kita harus mampu hidup di alam perbedaan-perbedaan itu agar kita bisa lebih menikmati kehidupan ini.
Beberapa kategori shilah yang anda katakan tadi, menurut saya merupakan satu rangkaian kesatuan, bukan bediri sendiri. Soal rizki seperti kaya-miskin, atau sosial seperti profesi itu kan satu paket kehidupan. Jadi semua itu harus diletakkan pada posisi ikhtilaf yang positif. Nah hal ini sesuai dengan jawaban Nabi di atas, yaitu ith’amu tho’am, liinul kalam dan ifsyaul salam. Jadi harus simultan. Itu semua satu paket shilaturrahim.
Apakah bisa dikatakan bahwa persolan sosial itu terjadi selain karena kurangnya shilaturahim dalam arti subtantif, juga karena rendahnya tingkat spiritual bangsa?
Dalam islam, bicara tentang rendah tingginya tingkat spiritual, itu mengacu pada iman. Sementara indikator spiritualas yang sehat dan baik, adalah berfungsinya iman pada diri seseorang. Ada salah satu petunjuk yang jelas dari Rosulullah ketika ditanya tentang mukmin, yaitu almukminu man aminahu annas ‘ala dimaa’ihim wa amwalihim (orang yang mukmin adalah mereka yang oleh masyarakat mendapat kepercayaan bahwa mereka tidak mengganggu kemanan dirinya dan harta bendanya). Jadi salah satu indikator iman itu adalah menjadi kepercayaan orang lain. Orang lain tidak terganggu dari segala sikapnya, termasuk pembicaraannya. Atau dengan kata lain, seorang yang beriman harus mampu menciptakan lingkungan kehidupan yang aman. Nah itu salah satu indikator keimanan. Itulah spiritual menurut pandangan Islam.
Artinya shilaturrahim bisa meningkatkan spiritual seseorang?
Benar sekali. Karena itu saya katakan bahwa shilaturrahim itu bukan basa-basi dan semboyan politik. Tapi satu bagian penting dari ajaran Islam.
Adakah perbedaan shilaturrahim dalam idul fitri dan di luar idul fitri?
Saya kira shilaturrahim di mana-mana itu satu. Cuma idul fitri itu dijadikan momentum di mana shilaturrahim ditonjolkan sedemikian rupa sehingga menjadi acara utama. Seperti misalnya kalau kita di Indonesia ada acara formal bernama halal bil halal, itu merupakan lembaga shilaturrahim.
Jadi maknanya tetap sama. Jadi meski di luar Idul fitri, shilaturrahim harus tetap terbina terus.
Bisakah kemudian dikatakan bahwa shilaturrahim merupakan media untuk mensupport peradaban Islam?
Oh ya tentu. Shilaturrahim itu merupakan bagian penting dari peradaban Islam. Tapi yang disesalkan, sejauh ini shilaturrahim tidak terbina secara optimal. Ini merupakan salah satu kesalahan. Padahal pada waktu Rasulullah dan para sahabat itu, shilaturrahim sangat terjaga. Sementara orang-orang non muslim juga merasa aman di tengah-tengah masyarakat muslim, mulai zaman Rasulullah hingga zaman kekhalifahan.*

Wawancara dengan Prof KH Ali Yafie (Mantan Rektor IIQ Jakarta)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No IV

BERIBADAH DENGAN MOTIVASI CINTA

TIDAK Mudah menemui Dr. Moh Sholeh. Jadwal kegiatan pria kelahiran Kediri 9 Desember 1960 ini sangat padat. Selain sibuk keliling dalam berbagai pelatihan tentang shalat yang mampu menenangkan hati dan menyembuhkan penyakit, ia juga membuka praktik Klinik Terapi Tahajud di Masjid Al-Akbar Surabaya. Tak sedikit wartawan yang kesulitan menemuinya. Tapi alhamdulillah, setelah beberapa kali menghubuginya, SC berhasil mewawancarainya. “Saya sedang melayani pasiens. Interviewnya besok pukul tujuh pagi saja,” kata pria yang menjadi Guru Besar di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya ini.
Pria yang dijuluki profesor tahajud ini menjadi terkenal karena disertasinya tentang shalat tahajud ketika menyelesaikan jenjang pendidikan S 3 di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair Surabaya). Disertasi itu akhirnya menjadi salah satu buku best seller, yaitu Terapi Shalat Tahajud: Menyembuhkan Berbagai Penyakit. “Shalat tahajud bisa membawa ketenangan jiwa. Sementara ketenangan jiwa dapat meningkatkan ketahanan tubuh imunologik, mengurangi risiko terkena penyakit jantung,” katanya optimis.
Terkait dengan keahliannya menganalisis hikmah shalat tahajud dari ilmu kedokteran, kali ini SC mewawancarainya tentang Lailatul qodar. Berikut petikannya dalam bentuk narasi:
***
LAILATUL QODAR merupan sebuah malam yang diistimewakan oleh Allah. Bila malam itu senantiasa dimanfaatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, insya Allah pahalanya seperti yang dijanjikan oleh Al Qur’an, sama dengan seribu bulan. Jadi hendaknya jangan disia-siakan mengingat umur kita amat sangat pendek.
Sejauh ini masih ada cara pandang yang kurang benar tentang lailatul qodar. Karena pengertian satu malam seperti seribu bulan, acapkali dipahami secara politis. Artinya dijadikan aji mumpung untuk bertobat sementara hari-hari sebelumnya tidak dimanfaatkan untuk bertobat. Menurut saya, bila ingin menjadi kekasih Allah, jangan dipisah-pisahkan antara ibadah wajib dan sunnah atau ibadah yang berpahala besar dan kecil. Karena bagi orang yang cinta kepada Allah, tidak diberi pahala pun tidak apa-apa. Sehingga tidak punya pikiran ekonomis.
Sayyidina Ali ra berkata bahwa tingkatan ibadah itu ada tingkatan pedagang dan orang merdeka. Bila ibadah hanya untuk mendapatkan pahala, itu ibadahnya pedagang. Tapi bila beribadah semata-mata karena Allah itu ibadahnya orang yang merdeka.
Sebagai seorang muslim, alhamdulilah, baik di bulan Ramadhan maupun lainnya, insya Allah saya tidak pernah meninggalkan shalat tahajud. Di bulan Ramadhan, saya tidak hanya mengerjakannya pada sepuluh hari terakhir untuk mengintai kedatangan lailatul qodar, tapi mulai tanggal satu Ramadhan hingga satu Syawal saya selalu rutin menjalankan shalat tahajud dan membaca Al-Qur’an.
Dengan shalat tahajud yang istiqomah tersebut, alhamdulillah saya memperoleh rahmat dari Allah berupa kesembuhan dari penyakit yang saya derita, yaitu kanker kulit. Padahal kanker ini sangat sulit disembuhkan. Dulu kulit saya ini seperti membusuk. Saya sudah pergi ke mana-mana dan semua dokter angkat tangan semua. Kemudian saya melaksanakan tahajud setiap malam, alhamdulillah penyakit saya sembuh dan tidak ada bekas sedikit pun.
Beribadah antara niat mengejar pahala dan karena semata-mata cinta kepada Allah itu beda. Karena niat mengejar pahala, itu bisa disesatkan oleh setan karena ada kepentingan-kepentingan. Misalkan kita ingin mimpi bertemu dengan Rasulullah, bisa saja setan berubah wujud dan menjadi sesuatu yang kita kehendaki. Jadi niat yang benar adalah semata-mata karena Allah.
Memang keinginan itu juga perlu. Tapi kita harus sadar bahwa di atas keinginan itu ada ketentuan Allah yang tidak bisa diotak-atik. Bila ini tidak disadari, akan berakibat frustasi. Ini banyak saya temui ketika saya menghadapi para pasien. Misalkan dia ingin memperoleh kesehatan melalui shalat tahajud yang rutin. Tapi setelah shalat tahajud berulang-ulang kali ternyata kondisinya tidak segera sehat. Akhirnya ia frustasi, “ngapain saya shalat tahajud selama ini bila ternyata saya tidak sehat-sehat?” katanya. Nah dari kasus ini, hendaknya kita ambil pelajaran bahwa bila kita tidak cermat maka bisa tersesat.
Menjalankan shalat tahajud, seharusnya diiringi dengan keikhlasan hati. Karena sebagai manusia kita hanya bisa terus-menerus berusaha, sementara yang menentukan adalah Allah. Sehingga apapun yang terjadi itu bukan berarti do’a kita tidak didengar. Karena Allah itu Maha Mendengar dan Maha Pemberi.
Ibadah yang lillahi ta’ala itu menentramkan jiwa. Karena target yang kita tentukan itu kita pasrahkan pada Allah. Ibadah yang lillahi ta’ala akan menimbulkan perubahan pada diri kita, yaitu hormon kortisol tidak terlepas dari tubuh melampaui batas toleransi tubuh. Kortisol adalah sejenis hormon yang dilepas oleh anak ginjal yang hanya akan dilepas oleh tubuh bila kita ada beban. Tapi bila kondisi kita tenang, pasrah, tawakal dan khusnudzon pada Allah, maka kortisol itu tidak akan dilepas melampaui batas toleransi tubuh. Jadi bila orang ingin sehat maka manfaatkanlah momen-momen ibadah seperti lailatul qodar itu untuk menyerahkan diri kepada Allah, insya Allah penyakitnya sembuh.
Lebih jauh, bila ibadah ikhlas, tulus, istiqomah, dipenuhi dengan tawakkal dan cinta kasih kepada Allah, maka ada hormon yang dilepas yaitu oksitosin, sehingga orang itu akan menjadi saleh. Tapi saat ini, mengapa banyak orang sholat, haji dan seterusnya tapi perilakunya jauh dari pesan moral dari shalat dan haji? Karena shalat dan hajinya masih dalam tataran lidah. Tidak sampai relung hati yang paling dalam. Hati itu kan dibagi menjadi empat, yaitu sodr (paling pinggir) yang berkaitan dengan metabolisme tubuh, hormon dan jantung. Bila seseorang berdzikir sampai pada batas ini (sodr) kemudian dzikirnya menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan harapannya (keuntungan) maka dia akan mengalami kesenangan yang luar biasa. Tapi ketika dia mendapatkan kesusahan maka dia akan frustasi. Jadi senang dan susah masih menyelimuti seseorang yang dzikirnya berada dalam tataran sodr. Dzikir orang yang seperti ini tak ubahnya seperti burung beo saya. Burung beo itu saya drilling dan bisa mengucapkan assalamu’alaikum, astaghfirullah al’adzim, alhamdulillah, dan laa ilaha illallaha. Ini hanya sebatas ucapan dan belum bisa merubah perilakunya. Jadi sholat yang masih dalam tataran sodr itu belum bisa merubah perilakunya.
Agak dalam dikit namanya al-qolb, lalu fuad dan terakhir adalah lub. Maka ada istilah ulul al-bab. Nah, orang yang pada tataran lub ini selalu memaknai segala sesuatu secara positif. Apa pun ujian dari Allah dia akan selalu memaknainya positif. Karena dia yakin pasti ada hikmah. Ini memang langka. Barangkali misalnya seperti bilal ketika dipukuli orang-orang suku Quraish tapi dia tidak merasa sakit karena berdzikir ahad, ahad, ahad. Atau juga yang dialami oleh Sayyidina Ali yang terkena panah dan minta tolong kepada sahabat-sahabatnya untuk mencabut panah ketika ia dalam keadaan shalat. Jadi khusu’nya itu sudah merubah perilaku. Dalam teori kedokteran ada, otak melepaskan seretonin, betaindorfin, melatonin kemudian mengikat glutamat. Glutamat itu nerotransmeter, hormon yang menyebar rasa sakit. Nah kalau kita dalam kondisi cinta kepada Allah sampai pada tingkat lub, rasa sakit itu bisa diikat oleh seretonin, betaindorfin, melatonin. Sehingga tidak menebarkan rasa sakit. Ditusuk jarum pun tidak akan merasakan sakit.
Tapi demikian, ini semua adalah proses. Selain kita terus berusaha, kita juga sadar bahwa Allah itu yang berhak menentukan keputusan. Tapi ini jangan diartikan pasrah tanpa ada dinamika usaha.

Wawancara dengan Dr Muh Sholeh
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol III

“KEMERDEKAAN ADALAH TONGGAK INTROSPEKSI”

KOMUNIKASI politik yang terpenting dalam kemerdekaan adalah bagaimana seorang pemimpin seperti presiden atau kepala daerah, selalu mengevaluasi dan memperbaiki janji-janji politik yang mereka lakukan pada masa pemilu. Jadi dari 17 Agustus pertama ke 17 Agustus selanjutnya, adakah sesuatu yang terealisasi dari janji-janjinya?
Memang orang bisa mengukur semenjak pertama kali ia dilantik. Tapi hari kemerdekaan adalah tonggak yang bisa dijadikan ukuran, dan selayaknya pejabat itu mengevaluasi diri, apakah sudah bisa memerdekakan rakyatnya dari jabatan yang ia emban, baik dari janji-janji kampanye atau sebagai pejabat yang memiliki amanah.
Bicara kemerdekaan, maka juga bicara soal bagaimana masyarakat bawah itu bisa berjuang untuk memerdekakan dirinya dari pembodohan dan pemiskinan. Saat ini masih banyak fenomena yang mengindikasikan pembodohan dan pemiskinan. Di antaranya adalah kesenjangan intelektual dan ekonomi di antara bangsa sendiri.
Pemiskinan bisa terjadi karena bangsa ini dijajah oleh neoliberalisme dan atau karena sebagian kelompok dari bangsa ini tanpa sadar memikirkan dirinya sendiri sehingga memiskinkan kelompok lainnya. Sikap individualis ini merupakan salah satu karakter koruptor. Dan parahnya, korupsi sudah menjalar ke mana-mana. Ini luar biasa betul. Hanya orang bodoh yang tidak tahu bahwa dia sedang dikorupsi. Karena itu, ini tugas semua kalangan yang pro terhadap kemerdekaan ideal-subtansial. Ada tugas wartawan, mahasiswa, akademisi dan lainnya untuk membantu proses pemerdekaan ini.
Memang dalam memperjuangkannya, tentu setiap orang harus berusaha sendiri. Artinya secara individual, mereka juga berjuang melawan pembodohan dan pemiskinan. Tapi saya ingin mengatakan bahwa ini adalah tugas bangsa, tugas kita semua untuk melakukan pemerdekaan. Bila bangsa ini bisa merdeka dari dua hal itu, niscaya akan menjadikan bangsa mandiri. Memang ada sebagian orang yang mengatakan bahwa, ada juga dong orang miskin yang bisa berdikari. Tapi ini bukan lingkungan ideal yang dimaksud oleh UUD 1945 yang mencita-citakan pembangunan bangsa Indonesia seutuhnya. Karena pembangunan itu hanya bisa dicapai bila bangsa ini merdeka dari pembodohan dan pemiskinan. Jadi bila dari atas ada pembodohan dan pemiskinan, maka dari bawah harus ada pemerdekaan diri. Nah sekarang bagaimana melawannya. Bila dulu kita melawan penjajah Belanda, kemudian rezim otoriter, nah bila sekarang apa? Sekarang kebebasan sudah ada, tapi bukan berarti perjuangan berhenti, masih ada tugas melawan pembodohan dan pemiskianan, yaitu melalui pendidikan.
Salah satu agenda penting saat ini adalah bagaimana memperjuangkan peningkatan anggaran pendidikan 20%. Selanjutnya bagaimana memantau pelaksanaannya dengan baik dan benar. Karena ketika dana mengucur ke bawah, acapkali ada potongan-potongan yang koruptif.
Sementara itu, dalam rangka pemerdekaan, ada yang menawarkan terbentuknya civil society (CS). Sebenarnya CS itu sudah ada dan berakar dari kebudayaan kita. Banyak orang yang menganggap bahwa CS adalah kaum borjuis yang memulai perjuangan dari kafe-kafe pada zaman kebangkitan di era pencerahan Eropa. Tapi sebenarnya CS adalah sebuah masyarakat yang bisa lepas dan mandiri dari kungkungan pasar dan negara/penguasa. Saat ini tekanan dari penguasa masih ada, paling tidak penguasa yang belum bersungguh-sungguh merealisasikan janji-janjinya pada masa kampanye, dan belum menjadikan kehidupan rakyatnya sejahtera. Sementara disisi lain, tekanan pasar justru luar biasa. Saat ini kami berjuang melawan pembodohan dari pasar, salah satunya adalah melawan sinetron-sinetron yang cukup mempengaruhi dan bahkan menghegemoni pola pikir generasi muda. Itu pembodohan besar bagi bangsa. Nah dalam hal ini sudah ada CS yang melawannya, misalkan gerakan satu hari tidak melihat televisi.
Selanjutnya juga perlu ada perlawanan akibat negatif dari globalisasi. Karena ini bisa melunturkan jati diri bangsa. Ini sudah dapat dipastikan. Kami dari Salemba School menemukan indikasi bahwa ada kelompok tertetu yang ingin melunturkan jati diri bangsa, baik dengan menjadikan diri kita tergantung terhadap tekhnologinya dan atau super culture yang mereka anggap baik. Jadi mereka sangat senang sekali bila kita demikian cepat mengambil American Idol dan program-program lainnya, supaya kita terus-menerus mengikuti trend mereka. Indikatornya adalah capital flow, makro ekonomi dan lain-lain. Padahal jati diri kita semisal gotong-royong dan senasip sepenanggungan makin menipis. Coba dilihat berapa dana yang ada di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) saat ini dan tidak bergerak untuk sektor riil? Inilah bukti bahwa kita belum merdeka dan belum bebas dari upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak tertentu yang bertujuan memiskinkan bangsa sendiri.
Jadi sebenarnya, andai tidak dimiskin-miskinkan betul, kita ini adalah bangsa besar dan bisa maju. Tapi karena persoalannya tidak demikian, maka langkah terbaik saat ini adalah bagaimana kita bersama-sama mengajak—dari lingkungan kita yang terkecil—kita perbaiki sendiri. Andai ada hutan yang rusak, mari kita coba perbaiki sendiri. Bila ada sekolah yang rusak, mari kita perbaiki sendiri. Jangan terlalu tergantung terhadap pemerintah. Tapi demikian, pada saat yang sama kita tekan pemerintah untuk mematuhi janji-janjinya dan bisa mematuhi amanahnya serta tanggung jawabnya.

Wawancara dengan Effendi Gazali, Ph.D., MPS ID (Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol II

“SOLUSINYA EKONOMI SYARI’AH”

SAAT INI masyarakat kita tengah menghadapi masalah-masalah ekonomi. Ini terbukti dari makin meningkatnya jumlah orang miskin. Tahun 2005 jumlah orang miskin adalah 35, 2%. Sementara pada tahun 2006 meningkat menjadi 39,4%. Sementara jumlah pengangguran adalah 11 % dari angkatan kerja. Saya kira hal ini menunjukkan bahwa betapa beratnya masalah-masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat kita.
Beberapa waktu yang lalu harga minyak tanah naik. Sementara baru-baru ini adalah minyak goreng dan susu. Ini berpengaruh pada daya beli masyarakat yang semakin rendah. Jangankan yang tidak punya penghasilan, yang punya penghasilan saja mengalami kesulitan. Ini hanya sedikit contoh betapa masalah ekonomi merupakan persoalan yang sangat berat.
Lebih jauh, kondisi mikro ekonomi kita hampir tidak jalan, meski dari sudut makro ekonomi kita membaik. Tapi membaiknya sudut makro ini bukan karena membaiknya ekonomi dalam negeri, tapi karena banyaknya uang yang mengalir ke Indonesia. Sekarang ini ada sekira 500 trilyun uang luar negeri yang mengalir ke dalam negeri. Tapi uang tersebut hanya disimpan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk diambil bunganya. Tidak diberikan kepada sektor riil. Akibatnya, meski uang banyak tapi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tambah tidak baik. Sementara upaya-upaya yang dilakukan, tampaknya belum bisa merubah keadaan.
Masalah ekonomi ini karena dua hal, kultural dan struktural. Kultural itu dicirikan dari etos kerja yang semakin melemah. Orang lebih banyak mengandalkan pada belas kasihan orang lain, seperti masih banyaknya pengemis-pengemis yang sehat di jalanan. Ini sama dengan kondisi negara yang juga mengemis kepada negara-negara maju. Ini sikap yang tidak arif. Sementara secara struktural, kebijakan-kebijakan pemerintah masih belum berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Misalkan seperti kebijakan impor beras yang justru merugikan sektor ekonomi mikro. Seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih berani. Sudahlah soal beras biar kita penuhi sesuai dengan kekuatan kita sendiri. Bahkan bila perlu kita berpuasa. Jadi harus ada larangan tentang impor. Kembali pada tahun sebelum 66. Ini tidak apa-apa. Tapi ironisnya saat ini kita serba mengimpor. Mulai dari sagu, gula, terigu dan lainnya. Ini tidak baik. Sangat membahayakan. Kita akan menjadi bangsa yang dependen. Tidak independen!
Sementara Bulog sejauh ini belum banyak berperan. Misalkan sebelum petani panen harga bawang adalah Rp 20.000,00. Tapi begitu panen mendadak harga bawang menjadi rendah, hanya Rp 10.000.00. Nah ini kan sangat melemahkan semangat petani untuk meningkatkan hasil panen. Seharusnya yang Rp 20.000,00 ditetapkan. Sementara sisa barangnya dibeli Bulog. Jadi rakyat itu menjualnya ke Bulog. Lalu Bulog menyimpannya untuk dijual ke masyarakat. Tapi saat ini yang terjadi kan malah sebaliknya, bagaimana uang Bulog itu dikorup sedasyat-dasyatnya.
Tampaknya ini merupakan indikasi menurunnya kesalehan sosial atau tanggung jawab sosial dari masyarakat kita. Artinya orang-orang yang mendapatkan amanah dan kedudukan itu hampir tidak ada kesalehan sosialnya.
Melihat hal di atas dan mengingat sebagian besar warga Indonesia adalah muslim, ini memang ironis. Tapi walau bagaimana pun, kita patut bersyukur bahwa mayoritas masyarakat kita muslim. Hanya barangkali saat ini pemahaman tentang keislaman perlu menyeluruh. Karena sejauh ini Islam hanya dipandang hanya dalam sudut pandang vertikal. Jadi yang terpenting adalah bagaimana kita membangun kesalehan secara individu dengan Allah SWT. Padahal bila kita melihat dari berbagai macam ayat dan hadist, yang individual itu harus tercermin dari kesalehan sosial. Shalat yang baik itu bukan hanya ditentukan dari praktik shalat yang baik, tapi juga ditentukan bagaiamana setelah shalat itu dia semakin sayang sama masyarakat, bertanggung jawab, selalu merasa bahwa Allah selalu mengawasi kita, melarang kita untuk KKN. Jadi tidak dipisahkan.
Kedua adalah sistemnya yang belum jalan. Jadi norma-norma agama itu belum terefleksikan dalam sistem. Seharusnya kan sudah menjadi sistem. Bukan sekedar norma-norma saja.
Jadi, menurut saya pemerintah harus serius betul memperhatikan masalah ekonomi ini. Jika tidak, akan memburuk. Salah satu yang krusial adalah perubahan sistem ekonomi. Kita harus berganti kiblat. Bukan lagi kapitalis, tapi syariah. Jika syariah, penekanannya bukan pada bunga tapi pada sistem bagi hasil. Saya kira ini akan membawa perubahan yang lebih baik.

Wawancara dengan Prof. Dr. KH. Didin hafiduddin (Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol II

“PENDIDIKAN YANG MENGUTAMAKAN AKHLAK”

MENJELANG kemerdekaan Indonesia yang ke 62 tahun ini, alhamdulillah, saya melihat bangsa ini masih tegar meski berbagai macam krisis telah menimpa. Hanya saja ada fenomena-fenomena yang mungkin kurang menyamankan. Misalkan masih banyak penyelewengan, perselingkuhan, pelacuran, keamanan sosial yang kurang ideal dan masalah ketetanngan jiwa yang berkurang. Ini dari sisi sosial. Kalau bukan karena kekokohan iman, barangkali kondisinya makin meburuk.
Jadi, secara sosial-ekonomi bangsa Indonesia belum merdeka dalam arti sesungguhnya. Misalkan soal beras kita masih mengimpor, dan baru-baru ini kerepotan masalah susu. Artinya bangsa ini masih belum bisa mandiri. Padahal tanah luas dan kekayaan alam melimpah. Ini memprihatinkan.
Hal itu terjadi, barangkali selain karena kita sendiri boleh jadi tidak serius untuk bisa mandiri, juga karena ada faktor x yang menginginkan bangsa ini agar tidak merdeka seutuhnya.
Dari dalam, coba saja kita lihat fenomena pembalakan hutan secara liar hingga menimbulkan kekeringan dan para petani pun kebingungan. Bukankah ini bukti bahwa kita belum arif terhadap alam dan belum serius untuk mandiri? Lebih jauh, masih banyak orang Indonesia yang mementingkan diri sendiri dan kelompok, kurang memikirkan bangsa dan negaranya.
Sementara dari luar, seakan-akan ada negara asing yang membantu kita. Tapi membantunya bukan untuk menjadikan bangsa ini mandiri, tapi sebaliknya menjadi tergantung kepada mereka. Hal ini, meski sulit dikatakan, tapi faktanya memang terjadi. Bila ada bantuan misalkan gandum, itu bukan bertujuan agar kita bisa menanam sendiri dan mandiri. Tapi sebaliknya, agar kita tergantung. Atau bantuan lainnya seperti dari IMF dan World Bank. Jadi ini semua adalah perangkap ekonomi yang menjadikan kita seakan-akan tidak akan pernah merdeka dalam arti ideal subtansial.
Kemerdekaan bila ditinjau dari Islam, kita merupakan bangsa yang kurang memiliki kekokohan iman. Belajar pun kurang serius dan kurang memiliki tujuan mulia. Misalkan para pelajar saat ini, mereka itu menuntut ilmu untuk memajukan bangsa atau sekedar belajar agar mendapatkan ijazah dan memperoleh pekerjaan? Dua hal ini berbeda. Bila belajar hanya untuk memperoleh kerja, secara tidak langsung pola pikir politik etis yang diterapkan Belanda pada masa lalu terulang kembali. Karena Belanda memberikan kebijakan politik etis, itu hanya supaya kita menjadi pekerja mereka.
Jadi keilmuan yang dalam Islam akan dimintai pertanggungjawaban, itu tidak diteruskan melalui pengabdian kepada nusa dan bangsa. Hanya sedikit dari bangsa ini yang malkukannya. Nah ini dari orang-orang yang akan membina/mengurus bangsa. Bila sudah begini, bagaimana generasi kita selanjutnya?
Sementara dari sisi penguasa, tampak masih didominasi oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Cobalah anda teliti, berapa persen dari seluruh pejabat di Indonesia yang punya ketulusan untuk memajukan bangsa dan negara ini? Jadi nasionalisme yang mereka omongkan ketika masih belum menjadi pejabat adalah nasionalisme semu. Karena mereka lupa setelah mendapatkan jabatan.
Dalam Islam, itu kan disebutkan khoiru annaasi angfauhum linnaas. Nah bila ini ditanamkan, bahwa kita berjuang untuk membahagiakan orang lain, itu kan baik. Tapi sayang ini kurang ditanamkan dalam bangsa ini.
Pola pikir yang individual tersebut, bisa juga dikatakan bahwa ada fenomena ketakmerdekaan spiritual dari bangsa ini. Karena sikap individual adalah salah satu bukti bahwa orang itu terjangkiti kekeringan spiritual. Bila memiliki spiritual yang tinggi, pasti ia akan memikirkan nasib orang lain.
Memang secara materi, manusia itu membutuhkan makan dan segala hal yang terkait kebutuhan jasmani. Tapi bila spiritualitasnya tinggi, yang ingin ia capai adalah kebahagiaan spiritual. Apa bedanya antara kebahagiaan jasmani dan spiritual? Bila jasmanai itu terbatas, sementara spiritual itu tidak terbatas. Misalkan keinginannya adalah kepuasan seksual. Setelah ia memperolehnya,maka ya sudah, selesai. Tapi ada satu kesenangan yang tak terbatas, yakni kesenangan spiritual. Karena hidup bagi spiritualis itu bukan untuk dapat, tapi untuk memberi. Mudahnya bisa diibaratkan dengan orang tua kita. Ketika masih kecil, kita sangat menginginkan sebuah mainan. Kala itu orang tua kita tidak bisa membelikannya karena tidak punya uang. Tapi demikian, orang tua kita tidak berarti tidak berusaha. Mereka berusaha sekeras tenaga mencari reziki dan menabung sedikit demi sedikit agar bisa membeli mainan tersebut. Nah melihat ia berhasil membelikan mainan untuk anaknya, dan anaknya senang dengan mainan itu, hati si orang tua sudah senang. Padahal ia mengeluarkan biaya. Jadi, bila spiritualitas seseorang itu tinggi, maka dia tidak akan menyakiti orang lain. Karena Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang. Sehingga yang keluar dari orang tingkat spiritualitasnya tinggi maka segala ucapan dan tindakannya akan penuh kasih sayang. Nah nilai-nilai seperti ini dan atau pola cinta kasih oraang tua kepada anaknya, seharusnya diterapkan oleh para penguasa pada bangsa dan negara ini. Tapi sayang, ini masih belum ditanamkan kepada generasi bangsa secara total.
Fenomena di atas, barangkali juga kurang maksimalnya pendidikan agama di Indonesia. Karena fenomena yang terjadi, pendidikan agama hanya ditujukan untuk mengisi intelektualitas saja. Belum mengarahkan bagaimana bisa terjun ke masyarakat dan memberikan pengorbanan untuk mereka. Lebih jauh pendidikan agama masih sangat kurang. Karena pendidikan di Indonesia ini sudah sekuler. Sehingga belajar agama itu hanya sekilas. Karena pendidikan agama tidak dijadikan faktor untuk lulus-tidaknya seseorang. Bagaimana perilakunya di kelas, di rumah dan di lingkungan lain tidak tidak menjadi faktor yang signifikan bagi kelulusan seorang pelajar.
Jadi akhlak itu seharusnya dijadikan faktor fital bagi menilai seorang pelajar. Karena akhlak itu adalah buah dari sebuah keyakinan dan ibadah. Kalau aqidah dan ibadahnya benar maka buahnya benar. Lebih jauh Rosulullah bersabda, innamaa bu’istu liutammima makarimal akhlak (saya diutus untuk memperbaiki akhlak).
Jadi, tujuan pendidikan Islam secara umum adalah menciptakan seorang mukmin yang ahli ibadah, soleh, baik dunia dan akhirat.
Tentang hal ini, Yusuf Qordawi mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menciptakan satu generasi muslim, bukan pribadi, tapi generasi yang menyatu dan mampu menjadi perekat ummat. Nah bila ada lembaga pendidikan yang mengajarkan menjadi perekat ummat, ini baik. Misalkan Gontor atau pesantren-pesantren lainnya yang mengajak orang menjadi perekat ummat.
Sebagai da’i saya menginginkan agar bangsa ini menyadari dan kembali pada Allah dan melakukan evaluasi mengapa bangsa ini seakan-akan sulit untuk bisa mengarah ke depan. Ummat Islam dan umat lainnya perlu bersatu dan saling bahu-membahu membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan agar kehidupan bangsa Indonesia bisa membaik.

Wawancara dengan DR H Ahmad Satori Ismail, MA (Ketua Umum Ikatan Da’i Indonesia)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol II

“PENDIDIKAN GERBANG PEMERDEKAAN”

(II)

MENYAMBUT kemerdekaan ini, sudah sepatutnya kita bersyukur kepada Allah SWT. Memang masih banyak persoalan yang perlu segera diselesaikan. Sehingga ada yang mengatakan bahwa secara ideal-subtansial, kita belum merdeka.
Di tengah pelbagai masalah yang menimpa bangsa ini, ada yang memberikan tawaran radikal dengan perubahan bentuk negara. Alasan yang dikemukakan bermacam-macam. Ada yang mengatakan bahwa hingga detik ini Pancasila belum bisa menawarkan perubahan yang signifikan, para pejabatnya bayak yang korup dan keluar dari nilai-nilai Islam begitu pula masyarakatnya, sehingga mereka beranggapan perlu ada penerapan syariah, menjadi negara Islam. Dalam konteks ini, saya tidak bicara salah-benar atau baik-tidak baik. Tapi persoalannya ini bukan masalah dasar negara atau filosofi kebangsaannya. Tapi semata-mata persoalan manusianya yang belum beres.
Khilafah, itu kan sistem politik. Namanya kholifah misalkan, kecuali khulafaurrasyidin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, yang dholim juga tidak kurang-kurang. Misalkan Kholifah Malik Abdul Malik bin Marwan. Selama menjadi kholifah—waktu itu jumlah manusia di dunia barangkali masih berkisar 3, 5 juta—ia telah membunuh rakyat sebanyak 70 ribu. Begitu pula kholifah-kholifah pada masa Dinasti Usmani, juga banyak melakukan kedzoliman. Jadi sistem itu memang harus baik. Tapi jangan hanya simbol. Saat ini persoalannya bukan simbol. Tapi orangnya. Pancasila sudah baik, UUD juga sudah baik. Hanya implementasinya saja yang kurang baik.
Inti kemerdekaan, salah satunya harus punya jati diri yang utuh. Tidak terkontaminasi dan tidak terpengaruh oleh siapa pun. Dulu nenek moyang kita dijajah oleh belanda lebih dari 300 tahun, justru semakin kokoh mempertahankan jati diri bangsa. Tapi sekarang, hanya karena pengaruh globalisasi, internet dan televisi kita menjadi belanda semua, menjadi kebarat-baratan. Sikap gotong-royong dan toleran terkikis menuju individualis, rela berkorban terkikis menjadi pamrih dan seterusnya.
Untuk memajukan menuju bangsa, yang paling mendasar dibutuhkan saat ini adalah pendidikan. Contoh mudahnya adalah Jepang. Setelah Negeri Sakura ini mengalami efek dari bom atom, yang ditanyakan pertama kali oleh Kaisar Jepang adalah jumlah tenaga pendidik. Karena bila masih ada pendidik, masih ada harapan negara itu bisa bangkit kembali. Nah persoalannya saat ini, pendidikan di Indonesia memang sangat merosot. Salah satunya adalah soal anggaran pendidikan. Sehingga perhatian yang kurang ini kurang bisa melahirkan generasi yang mandiri dan berakhlak mulia. Ini bisa dilihat dari perilaku para pejabat yang korup, mereka itu kan sarjana, tapi kenapa masih korup? Nah, berarti ada sesuatu yang hilang dari dunia pendidikan, yaitu moral dan nilai-nilai agama. Selama ini yang ditonjolkan masih sisi materi saja, unsur rohani kurang diberi ruang. Padahal ini penting. Karena bila sebuah generasi memiliki iman yang kokoh, dalam dirinya akan timbul kesadaran penuh bahwa ia adalah manusia yang selalu bersama Tuhan, selalu dimonitor dan dideteksi. Sehingga yang lahir dalam bentuk perilaku adalah semangat untuk berbuat baik.
Dalam bahasa arabnya, pendidikan adalah tarbiah, bukan sekedar ta’lim. Bila ta’lim itu tranfer of knowledge. Sementara tarbiyah itu berasal dari kata ruh. Sehingga ada kesadaran bahwa kita punya ruh, kita punya Tuhan yang selalu bersama kita. Sehingga dalam diri kita akan lahir semangat berbuat baik. Sementara ketika akan berbuat jahat, kita akan berpikir ulang-ulang. Karena Tuhan selalu bersama kita.
Pendidikan itu harus menyeluruh. Karena yang membentuk karakter seseorang itu juga lingkungan. Misalkan saya punya anak empat. Mereka sudah saya didik dengan benar, baik ibadah dan seterusnya. Sementara anak orang lain terserah, saya tidak ikut campur. Nah ini tidak bisa. Karena anak saya yang empat itu kan akan tergabung dengan... misalkan 94 anak-anak lainnya, baik di sekolah atau di lingkungan lainnya. Bayangkan apakah anak saya yang empat itu bisa mewarnai yang 94 anak lainnya? Bukankah malah sebaliknya? Jadi, pendidikan moral ini adalah pendidikan bersama. Tidak bisa secara sendiri-sendiri.

Wawancara dengan Prof Dr KH Said Aqil Syiraj (Ketua PBNU Jakarta)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol II

“PERBEDAAN MADZHAB TAK MENGURANGI SOLIDARITAS ISLAM”

(I)

DALAM Islam, kita harus memaknai kemerdekaan sebagaimana Al-Qur’an mengatakan kuntum khoiro ummatin ukhrijat linnas ta’muruna bil makruf wa tanhauna anil mungkar wa tu’minuna billah.
Salah satu nilai kemerdekaan adalah kebebasan. Tapi ini juga ada batasannya. Karena kebebasan yang tanpa batas itu akan mengganggu orang lain. Namanya Interaksi sosial, saling menyempurnakan itu pasti ada batasnya. Begitu juga dalam beragama. Kita bebas beragama, tapi jangan mematikan agama lain.
Dalam Islam itu yang baku dan tidak boleh diotak-atik itu hanya 5 %, seperti rukun Iman dan Islam. Ada lagi 13 item yang tidak boleh dimakan, seperti bangkai, babi dan lainnya. Ada pula beberapa perempuan yang tidak boleh dikawin, adik kandung, ibu kandung dan lainnya. Selain itu adalah wilayah kita berkreasi, wilayah kita untuk ijtihad, memahami nilai-nilai Islam untuk dikembangkan. Makanya Islam itu tidak sekedar menawarkan aqidah dan syari’ah, tapi Islam juga menawarkan tsaqofah (ilmu pengetahuan), muhadloroh (budaya) dan tamddun (sistem). Misalkan ketika Rosulullah membangun madinah, beliau membangun masyarakat yang memiliki UU agar sadar akan hak dan kewajiban, sehingga disebut mutamaddin atau masyarakat madani. Kotanya yang mulanya bernama Yatsrib diganti Madinah. Sementara sistemnya namanya tamaddun.
Jadi kemunculan madzhab itu sama sekali tidak mengganggu dan mengurangi solidaritas umat Islam. Karena kita satu Tuhan, satu Al-Qur’an dan satu Qiblat. Madzhab itu pemahaman masing-masing individu sesuai dengan imamnya.
Soal fanatisme, itu memang ada di mana-mana. Tidak hanya di Islam, tapi juga ada di Katolik, Hindu dan seterusnya. Yang menjadi persoalan hanya bila fanatisme itu melahirkan kekerasan, itu sudah tidak benar. Membuktikan bahwa kadar intelektualitasnya sangat rendah. Karena tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan.
Sementara untuk mempersatukan umat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia umumnya, marilah kita tonjolkan Islam yang rahmatan lil alamin. Karena Islam itu agama yang humanis, bukan hanya aqidah dan syariah. Jadi... ibadah shalat, zakat, puasa dan seterusnya yang berhak menilai atau memberi pahala itu Allah. Kita tidak usah masuk di situ. Karena bila kita masuk di situ, kita nanti akan menjadi Tuhan. Kita ini wilayahnya adalah budaya, peradaban dan ilmu pengetahuan. Komunikasi dan interaksi dan bagaimana kita mengajak orang, melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Seperti yang dilakukan oleh Wali Songo.
Jadi marilah kita laksanakan Islam dengan ramah. Selain shalat, zakat dan seterusnya kita juga berakhlakul karimah. Salah satu contoh yang menarik adalah bank syari’ah, yang kabarnya para nasabahnya juga banyak yang non muslim. Di sana ada kejujuran dan keterbukaan. Nah dakwah seperti inilah yang bagus.

Wawancara dengan Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, MA (Ketua PBNU Jakarta)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol II