Kamis, 27 Desember 2007

“SPIRITUALITAS HARUS TERUS DIASAH”

ANGGOTA dewan gubernur di Bank Indonesia (BI) tentu saja orang pilihan. Ia harus memahami persoalan yang menghimpit ekonomi Indonesia, termasuk di dalamnya industri perbankan. S Budi Rochadi adalah salah satu Deputi Gubernur bank Indonesia selain Miranda S. Goeltom (Deputi Gubernur Senior), Bun Bunan EJ. Hutapea (Deputi Gubernur), Aslim Tadjuddin (Deputi Gubernur), Hartadi. A. Sarwono (Deputi Gubernur), Siti Chalimah Fadjrijah (Deputi Gubernur), dan Muliaman D. Hadad (Deputi Gubernur).
Budi mengawali karirnya di Bank Indonesia (BI) sebagai staf bagian pengawasan kredit, pada tahun 1975. Selang enam tahun kemudian, Budi ditugaskan pada bagian pemeriksaan bank, tingkat III, masih pada bagian yang sama yaitu pengawasan kredit. Tahun 1984, Budi kembali dipindahtugaskan, kali ini pada bagian penilitan dan pengembangan, sebagai kepala desk.
Tahun 1988, pria kelahian Solo, 24 Maret, 56 tahun lalu ini, karirnya mulai menanjak, yaitu menjadi Wakil Kepala Bagian Pengolahan Data. Tak lama setelah itu, pada tahun 1991, ia diangkat menjadi Kepala Bagian Pengolahan Data.
Tahun 1994, Budi kembali ke pengawasan perbankan, kali ini menjabat sebagai Pemeriksa Bank Eksekutif Senior, di Urusan Pengawasan Bank Umum I. Tidak lama kemudian karirnya kembali meningkat, ia dipercaya menjabat sebagai kepala urusan Pengawasan Bank Umum III pada tahun 1997.
Ketika terjadi krisis ekonomi, Budi menjabat sebagai Kepala Urusan Pengaturan dan Pengembangan Perbankan. Sebelum kemudian pada tahun 1998, dia ditunjuk untuk memimpin Kantor Bank Indonesia (KBI) Semarang.
Tahun 2000, dia dipanggil kembali ke kantor pusat, untuk menjabat sebagai Pegawai Utama Setingkat Direktur, di Direktorat Sumber Daya Manusia. Tak lama berselang dia ditugaskan untuk memimpin KBI Medan pada September 2000.
Sebelum menjabat sebagai Kepala Kantor Perwakilan BI di Tokyo, Jepang sejak tahun 2003, Budi sempat menjadi staf ahli Gubernur BI, di biro sekretariat. Dan sekarang ia menjabat Deputi Gubernur di BI Jakarta.
***
SEBAGAI Deputi Gubernur BI, Budi memegang prinsip pengabdian dalam menunaikan tugas-tugas yang ia emban. “Selama menjabat, saya tidak merasa ada halangan, karena dasarnya pengabdian. Jadi apa saja jabatannya, itu bukan persoalan. Saya tidak ada target, harus jadi ini atau itu. Karena dasarnya adalah pengabdian dan ibadah,” katanya.
Prinsip mengabdi tersebut, sudah ia tanamkan selepas bangku SLTA. Keteguhannya ini terinspirasi dari ayahandanya yang berprofesi sebagai guru. “Ayah saya dulu seorang guru sehingga lebih banyak mengabdikan dirinya pada negara. Namanya Sunarto Hadiaswoyo. Beliau sebenarnya tentara kemudian keluar untuk menjadi guru. Jadi sepanjang perjalanan hidupnya itu hanya untuk mendirikan sekolah di tempat-tempat terpencil dan mengajar dengan naik sepeda yang saya pikir cukup jauh dari rumah saya di Solo. Jaraknya kira-kira 20 kilometer. Itu tiap hari,” ceritanya kepada wartwan SC.
Seiring perjalanan hidup yang ia jalani, prinsip pengabdian ternyata melahirkan ketenangan bagi suami Ny. Sri Wati Rochadi ini. Terlebih setelah ia mengikuti beberapa komunitas yang bergiat dalam bidang spiritualitas, seperti Perguruan Tenaga Perana dan Pelatihan Shalat Khusyu. Mengenai pengalamannya dalam bidang spiritual, berikut petikan wawancara wartwan SC dengan bapak dua putra ini di halaman rumahnya, Puri Handayani di jl Rasamala:

Apa prinsip anda dalam menapak karir di dunia perbankan?
Prinsipnya adalah pengabdian dan ibadah. Karena Orang mengabdi itu kan mau jadi apa saja kan bukan persoalan. Jadi tidak ada target, bahwa saya harus jadi ini dan itu.

Apakah prinsip itu anda tanam sejak muda?
Semangat pengabdian itu sejak SMA. Harapan pertama saya itu menjadi tentara. Ingin mengabdi pada negara. Tapi perjalanan membawa saya berkarir di dunia perbankkan. Sikap mengabdi itu akan mempengaruhi sikap yang tanpa pamrih. Pekerjaan sebagai ibadah. Jadi tiap tugas yang saya emban, akan saya lakukan dengan sebaik mungkin.

Siapakah yang mempengaruhi anda?
Bila pendidikan saya kira kurang mempengaruhi. Tapi bila lingkungan, mungkin. Dulu ayah saya seorang guru sehingga lebih banyak mengabdikan dirinya pada negara. Namanya Sunarto Hadiaswoyo, beliau sebenarnya tentara kemudian keluar untuk menjadi guru. Jadi sepanjang perjalanan hidupnya itu hanya untuk mendirikan sekolah di tempat terpencil dan mengajar dengan naik sepeda yang saya pikir cukup jauh lokasinya dari rumah saya di Solo. Jaraknya kira-kira 20 kilometer. Ia naik tiap hari. Selain tauladan dari ayahanda, pengaruh berikutnya adalah pergaulan bersama teman-teman. Kebetulan saya bergaul dengan kawan-kawan dari Jogja dan Solo. Orang Jogja dan Solo itu kan sikapnya tidak terlalu memikirkan materi. Lain dengan Jakarta.

Bila spiritualisme apakah juga mempengaruhi anda?
Saya pikir iya. Karena saya memang senang sesuatu yang banyak spiritualnya. Misalkan saya ikut perguruan tenaga dalam. Itu sebanarnya juga olah batin. Kemudian saya juga ikut Tenaga Perana, yang guru besarnya dari Filipina. Itu juga spiritual. Kemudian ketemu dengan ustadz Abu Sangkan, itu satu hal yang memengaruhi hidup saya.

Apa yang anda ambil dalam komunitas spiritual itu?
Saya selalu mengambil yang bener. Artinya tidak ada yang untuk kesaktian. Karena kebatinan untuk kesaktian itu kan ada. Intinya adalah kepasrahan dan mencoba untuk bergerak prospektif.

Dari tenaga dalam itu ada sisi spiritualnya?
Ada. Saya ambil contoh yang dasarnya bukan Islam. Misalkan Tenaga Perana. Itu guru besarnya dari Filipina, eks pengusaha dan beragama katolik. Tapi dasar spiritualnya sesuatu yang general. Misalnya, di situ kan olah meditasi yang akhirnya memberikan blessing (kedamaian) kepada dunia. Ini seperti sholat kan? Bila waktu tahiyat akhir itu ada salam ke kanan dan ke kiri. Nah di waktu salam terakhir itu, kita dianjurkan untuk tersenyum kan? Nah ini dalam bahasa jawanamanya mewayuning ayuning bawono.

Adakah perbedaan dari pelbagai komunitas spiritual yang anda ikuti?
Tentunya ada. Misalkan dalam sholat. Dulu, saya dua tahun di Semarang, sementara keluarga di Jakarta. Setiap malam, saya banyak shalat malam, terutama bila menghadapi pelbagai persoalan yang sulit dipecahkan. Segala yang menjadikan saya pusing itu saya ajak untuk sholat. Membaca bacaan-bacaan sholat dengan penuh kepasrahan. Alhamdulillah setelah sholat saya sembuh. Tapi itu berat sekali. Karena harus membutuhkan konsentrasi penuh. Nah hal ini, sebenarnya sama saja dengan di Perguruan Perana yang mengutamakan meditasi dan konsentrasi untuk tujuan tertentu yang tentunya baik. Jadi dalam hal ini, saya melihat ada hubungannya. Misalkan kalau di Perguruan Perana itu kan melihat kekuatan kita. Begitu kita membayangkan Ka’bah, tenaga kita menjadi makin besar. Jadi ada nilai universalnya. Karena di Perguruan Perana juga selalu dihubungkan dengan Ketuhanan.

Tidak ada perbedaan dengan sholat?
Ada. Yaitu tingkat kepasarahan.

Dengan meningkatnya spiritualitas anda, apakah juga meningkatkan kinerja anda sebagai Deputi Gubernur?
Persisinya saya tidak tahu. Mungkin secara positif, ada. Tapi saya tidak pernah menghubungkannya. Tapi intinya saya bekerja menjadi lebih ikhlas. Kalau bekerja lebih ikhlas, tentunya pekerjaan akan menjadi lebih baik kan? Gitu aja prinsipnya. Saya tidak bisa mengukur diri saya. Susah. Tapi saya berusaha bekerja tanpa pamrih dan lillahi ta’ala. Gitu sajalah. Saya bekerjanya amar makruf nahi mungkar yang kadang-kadang tak semua orang bisa melakukannya. Yah, di antaranya mungkin karena spiritualitasme. Bila kita sudah punya dasar tapi bila diasah terus dengan baik, akhirnya kan akan menjadi lebih tajam.

Sesuatu yang belum anda capai saat ini apa?
Apa ya? Kalau saya, untuk masalah dunia tampaknya tidak ada. Karena saya tidak punya keinginan terlalu muluk. Saya ingin menjalani hidup ini apa adanya saja.

Ada yang mengatakan, kebahagiaan itu ada empat: kasih sayang, prestasi/harta kekayaan, spiritualitas dan meninggalkan kenangan terindah bagi generasi sesudahnya. Kira-kira di antara keempat hal ini apa yang belum anda capai?
Barangkali spiritual. Karena saya ingin bekerja dan mengabdi dengan ikhlas. Bila harta... bukannya saya sok, tapi saya tidak terlalu memikirkannya terlalu dalam. Misalkan kalau saya kehilangan sesuatu, kalau Tuhan memang menghendakinya... ya apa boleh buat? Tak masalah.

Kalau poin keempat?
Kalau itu jelas. Dan itu harus diupayakan terus.

Upaya-upayanya?
Antara lain, dulu itu saya mengajar di beberapa perguruan tinggi/lembaga pendidikan seperti IPPM, Universitas Bina Nusantara, Universitas Diponegoro dan Institut Bisnis Indonesia. Nah, dalam mengajar itu kan harus ikhlas. Dan untuk orang-orang tertentu ini susah. Bila saya, saya bersyukur karena saya tidak punya obsesi yang kuat tentang dunia.

Tidak ada keinginan karena semuanya sudah tergapai atau bagaimana?
Oh tidak-tidak. Kalaupun saya misalnya tidak menjadi Deputi Gubernur, ya tidak apa-apa. Jadi saya hanya berusaha mengabdi dan beribadah dengan apa adanya. Nah mengenai tingkat kebahagiaan yang keempat, antara lain saya menangani kredit kecil, agar masyarakat bawah bisa sepadan dengan masyarakat kaya seperti yang ditegaskan dalam UUD 1945. Itu kalau yang ingin disebut keinginan yang belum dicapai.

Selain itu?

Kalau di kantor, diskripsi jabatan saya itu kecil sekali. Saya ingin melampaui diskripsi jabatan tersebut. Dan sekarang saya banyak bertemu dengan orang-orang di luar, mengajak teman-teman seperti para penguasaha. Tidak sekedar bicara sektor formal atau untung-rugi, tapi juga bagaimana bicara mengajak masyarakat kecil bisa ikut bekerja bersama.

Kalau tadi banyak bicara ikhlas, sebenarnya menurut anda ikhlas itu pemberian atau sesuatu yang harus diperjuangkan?
Ikhlas itu harus diusahakan pada semua orang. Jadi bukan pemberian. Bukan apa adanya. Yah... bolehlah bila menggunakan bahasa anda, yaitu diperjuangkan.*


Wawancara dengan S Budi Rochadi, Deputi Bank Indonesia Jakarta
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No IV

Tidak ada komentar: