Kamis, 27 Desember 2007

MENGENAL ALLAH DAN PRIBUMISASI NILAI TAUHID

BAGI Prof Dr KH Said Agil Siradj, melaksanakan ibadah haji merupakan kemudahan yang diberikan Allah SWT kepadanya. Tapi dari sekian kali kesempatan, Aqil mengaku pengalamannya berhaji pada tahun 1994 adalah yang tak bisa terlupakan. Saat itu, pria kelahiran Cirebon 3 Juli 1953 silam ini berkesempatan melaksanakan ibadah haji bersama mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) beserta sejumlah kiai lainnya. Saat menjalani proses wukuf di Arafah, Aqil mengaku melihat Gus Dur keluar dari tenda dan memisahkan diri dari jamaah lainnya, mengambil tempat menyendiri dan duduk melakukan dzikir. “Saat itulah saya melihat tepat di atas Gus Dur langit terbuka dan memancarkan sinar tepat ke tubuh Gus Dur. Anda boleh tidak percaya, tapi itulah yang saya lihat dengan mata saya sendiri,” kata Aqil kepada SC, di kediamannya Jl Sadar Raya No 3A Rt 08/04 Cianjur.
Rasa takjub itu membuatnya menanyakan apa yang dilakukan Gus Dur. Menurut Gus Dur, ia sedang membaca surah Al Fatihah seribu kali dan memanjatkan doa kepada Allah SWT untuk menjauhkan rakyat Indonesia dari kedzaliman dan perlakuan tak adil dari penguasa. “Padahal saat itu jelas Gus Dur belum jadi presiden,” lanjutnya
Mendengar penuturan Gus Dur, Aqil mengaku air matanya tak tertahankan jatuh di pipinya. Dia senantiasa merasa tergugah oleh sikap Gus Dur yang mempersembahkan doanya di tanah suci untuk kebaikan seluruh rakyat Indonesia dibandingkan untuk dirinya sendiri. Atas pengalaman itulah, Aqil bertekad seoptimal mungkin mampu ‘mengikuti’ jejak langkah Gus Dur untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan bangsa.
Di penguhujung musim haji ini, kepada SC, bapak empat putra ini mengingatkan para jamaah calon haji Indonesia hendaknya mampu memanfaatkan kesempatan naik haji dan bisa mengaktualisasikan nilai-nilainya di tanah air. Berikut petikannya:

Bisa diceritakan sejarah haji?
Pertama kali yang diperintahkan haji adalah Nabi Ibrahim. Selanjutnya diwajibkan kepada Rasulullah sejak tahun ke 4 Hijriyah, diwajibkan kepada umat manusia melaksanakan ibadah haji ke baitullah dengan niat karena Allah bagi yang sudah mampu. Kemampuan ini meliputi aspek lahir berupa uang, waktu, fisik dan batin berupa kesiapan mental, kesabaran, ketekunan dan kehati-hatian.
Haji juga merupakan nipak talas sejarah. Misalkan wuquf di Arofah, di sana ada Jabal Rahmah, tempat pertemuan Adam dan Hawa. Mulanya Hawa kan diusir dari surga dan diturunkan di Jiddah. Sementara Adam di India. Setelah ratusan ribu tahun saling mencari dengan berpuasa setiap hari dan selalu berdo’a, robbanaa dzolamnaa angfusanaa wa inlam tagfir lanaa wa tarhamnaa lanakunannaa minal khosiriin, akhirnya Allah menerima tobat mereka dan mempertemukannya di Jabal Arofah. Malam pertama mereka berada di sebuah bukit kecil bernama Khuda’ah yang sekarang menjadi Masjid Mas’aril Haram di Muzdalifah. Makanya orang haji harus mabid di sini.
Dari Muzdalifah inilah sejarah manusia dimulai, makhluk yang aneh dan unik karena terdiri dari dua unsur, ‘alamil malakut yaitu ruhani dan ‘alamul mulki yaitu fisik yang dibuat dari tanah liat dan sperma yang isinya dua hal, ghorizatul ghotob (dorongan angkara murka, ambisi dan ingin berkuasa) dan ghorizatul syahwat (dorongan ingin senang dan hidup mewah). ‘Alamul mulki ini juga disebut basyarun, sementara ‘alamul malakut disebut insan atau ruh. Insan inilah hakikat manusia yang akan hidup dunia-akhirat. Di dalam insan ini ada basyirah, dhomir (moral), fuad (nurani), asror (kekuatan misterius) dan terakhir lathifah atau lathoif (perangkat sangat halus yang bisa mengakses ke mana-mana sampai ‘alam ghaib).
Dalam haji diwajibkan mengenakan pakaian ihram. Karena ihram berarti melepaskan ghorizatul ghotob dan ghorizatul syahwat. Ini sesuai dengan nama kota Makkah, makka-yamukku-makkatan yang berarti, meremuk, menghancurkan. Jadi orang yang masuk ke Makkah harus menghancurkan hawa nafsunya.
Mengenai tawaf, apakah Ibrahim yang melaksanakan pertama kali?
Yang pertama kali tawaf di Ka’bah para malaikat, sebelum Allah menciptakan Adam. Adapun bangunannya sudah ada, meski bentuknya sekedar gundukan tanah yang kemudian dibangun oleh Ibrahim dan Ismail.
Makna tawaf adalah al-bahstu ‘ala dzaat, mencari jati diri kita sebenarnya. Ini tergambar dari perjalanan mulai ujung pojok Hajar Aswad dan kembali lagi ke Hajar Aswad, minallah wa ilahhi. Jadi hidup ini hanya sementara, dari Allah untuk ke Allah. Sehingga hidup ini jangan hanya diwarnai ghorizatul ghotob dan syahwat, tapi harus ada ruang moral, iman dan syukur-syukur makrifat.
Mencium Hajar Aswad saat tawaf, secara metafor melakukan sumpah setia dengan Allah. Sehingga muncul kesadaran bahwa setiap hari kita hadir bersama Allah atau sadar bahwa Allah itu selalu hadir bersama kita.
Lalu apa makna sa’i?
Sa’i itu kan fas’au ila dzikrillah, bergegas berdizikir kepada Allah. Inna shofa wal marwata min sya’airillah dan seterusnya... Shofa dan Marwah itu tanda kebesaran Allah, barang siapa haji dan umrah hendaklah sa’i antara Shofa dan Marwah.
Dzikir di sini meliputi qaulan (perkataan), ‘amalan (perbuatan), mauqifan (diam), wa fikron (pemikiran). Apa pun amal-soleh yang kita niatkan karena Allah itu adalah dzikir. Berbeda dengan wirid yang asal mulanya dari waarid-waaridaat, bacaan-bacaan tertentu yang mengharapkan sesuatu melimpah dari Allah.
Setelah sa’i wuquf dulu, waktunya setelah tergelincirnya matahari saat dhuhur tanggal 9 Dzulhijjah hingga malam. Di situlah seharusnya berdo’a. Karena Allah sedang mengobral ampunan dan rahmatnya. Lau kaanat dzunubukum ladzabatil bahr, la kaanat maghfirotullahi akbar, lau kaanat dzunubukum mistla turobil ardhi, la maghfirotullahi aksar, andai dosamu seluas lautan, maka ampunan Allah lebih luas, dan andai dosamu seperti debu yang bertebaran di bumi, maka ampunan Allah lebih banyak. Saat itu kita harus yakin dosanya diampuni. Kalau ragu-ragu malah dosa lagi. Karena menduga Tuhan itu pelit.
Setelah itu berangkat ke mas’aril haram di Muzdalifah. Dalam Al Qur’an surah Al Baqarah: 198, tidak ada perintah mencari batu untuk melempar setan, tapi Nabi Muhammad saat di Muzdalifah mencari batu sebanyak tujuh butir dan digunakan untuk jumratul aqobah pada tanggal 10. Lempar jumrah ini juga merupakan napak tilas sejarah Ibrahim yang di goda setan sampai tiga kali saat hendak melaksanakan perintah Tuhan untuk menyembelih putranya. Kurban merupakan pertarungan hebat antara kecintaan Ibrahim pada putranya yang masih lucu-lucunya dengan kerelaan mengikuti perintah Allah.
Apakah ketiga berhala itu bisa dikontektualisasikan dengan zaman sekarang, misalkan simbol penindasan, kapitalisme dan kemunafikan?
Ya boleh-boleh saja. Melempar hawa nafsu diri kita juga boleh. Karena diri kita ini lebih dari sekedar setan. Awal kata setan itu dari syatona, ba’uda yang artinya jauh. Jadi apa saja yang menjauhkan diri kita dari Allah adalah setan.
Oya, sebelumnya ada tahallul dan paling afdhal adalah dipangkas hingga gundul. Ini dido’akan rasulullah sampai tiga kali, ya Allah berilah rahmat bagi orang yang memangkas rambutnya, gundul, lalu ada sahabat yang berkata, wa muqossirin, baru kemudian rosulullah mendoakan orang yang memotong rambut. Tahallul ini simbol dari ketundukan kita kepada Allah, karena rambut adalah lambang kehormatan manusia.
Setelah melakukan haji, kita berziarah ke makam Rasulullah. Ziarah ini bukan termasuk ibadah haji, tapi ada hadist, man hajja wa lam yazurni faqod jafaani, barang siapa haji dan belum berziarah ke tempatku, maka ia tidak dekat denganku. Selain hadist, ada juga ayat Al Qur’an, walau annahum idzdholamuu angfusahum jaauka fastaaghfarullaha wastaghfaru lahum rosula lawajaduullaha tawaaba rohiima, seandainya orang-orang yang dholim dan kemudian datang keadamu ya Muhammad, lalu istighfar di sebelahmu, dan rosulullah pun ikut memintakan ampunan untuk orang tersebut, maka orang-orang tersebut akan memperoleh ampunan Allah. Artinya, Nabi memiliki hak prerogaif memohonkan ampunan kepada Allah untuk siapa pun.
Ada yang mengatakan hikmah tawaf dan sa’i adalah pemecah kontradiksi antara Menyandarkan pada-Nya atau pada kehendak manusia. Bagaimana menurut anda?
Boleh saja. Tapi yang gampang, secara etimologis haji bermakna al qosdu, menuju secara sungguh-sungguh kepada Allah. Kalau di tanah air ini kan hanya menyapa, tapi kalau di sana adalah menuju ke makrifat Allah.
Tanda haji mabrur?
Setelah haji ia mengalami perubahan positif, baik iman, perilaku dan kehidupan sosialnya dibanding sebelum haji. Dan sepengetahuan saya, orang yang sudah haji itu tidak akan murtad, karena sudah merasakan kebenaran dan kebesaran Allah.
Bila banyak orang haji, tentu perilaku bangsa lebih baik. Tapi bangsa ini tetap kurang baik keadaannya. Kenapa?
Itu karena lebih banyaknya gap (jarak), baik dari sisi sosial, ekonomi, intelektual hingga spiritual. Misalkan kita punya cendikiawan kelas internasional macam almarhum Nurkholis Majid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tapi di sisi lain banyak sekali dari bangsa ini yang masih buta huruf. Ada juga konglomerat yang tingkat kekayaannya sudah mendekati orang terkaya di dunia, tapi tak sedikit dari bangsa ini yang cari makan saja kerepotan.
Bila ada pendapat, haji perlu dibatasi sekali saja seumur hidup dan bila ingin haji lagi diharapkan uangnya disedekahkan kepada fakir miskin, bagaimana?
Begini, ada orang kaya. Ia sudah zakat, sedekah, sudah bayar pajak, bangun masjid dan memenuhi kewajiban-kewajiban lainnya. Tapi ternyata uangnya masih lebih... ya tidak apa-apa haji lagi. Karena orang yang sudah haji itu, pasti merasa ada yang kurang, mungkin tawafnya, sa’inya dan lainnya. Ia berhaji lagi untuk menyempurnakan haji yang kurang tersebut. Ini sah-sah saja dan hak setiap umat Islam. Karena bila kita pikir secara jernih, sesungguhnya yang bertanggung jawab terhadap persoalan kemiskinan itu adalah pemerintah, dan itu termaktub dalam UUD.

Wawancara dengan Prof Dr KH Said Aqil Syiraj (Ketua PBNU Jakarta)
Adib Minanurrachim, Bilyantoro dan Azty Arlina
Dimuat di SC Magazine No V

Tidak ada komentar: