Kamis, 22 November 2007

CINTA TUHAN, SHALAT NIKMAT

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh amat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka kembali kepada-Nya. (QS. Al-Baqarah, 2: 45-46)”

BAGI sebagian besar muslim, bukan rahasia bila menjalankan ibadah shalat acapkali dirasakan sebagai rutinitas yang melelahkan. Bahkan tak jarang, shalat dipahami sebagai rutinitas yang kadang-kadang menghambat seseorang dalam proses perolehan nafkah kehidupan. Ini biasanya dirasakan oleh sebagian masyarakat yang letih menghadapi himpitan hidup di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan lainnya. Sehingga di antara mereka tak sedikit yang dengan terpaksa meninggalkan shalat.
Perspektif di atas, tampakya bertolak dari pemahaman bahwa shalat adalah kewajiban yang harus dijalankan agar terhindar dari sanksi neraka dan harapan masuk surga. Pemahaman ini tidak salah. Tapi bila seseorang hanya memahami shalat sebatas rutinitas kewajiban yang harus dilaksanakan, maka dapat dipastikan ia akan mengalami kelelahan dan bahkan kebosanan. Hingga kemudian, ia bisa dengan mudah meninggalkan shalat.
Bertolak dari hal tersebut, dibutuhkan pemahaman tentang hikmah shalat yang nota bene bisa menjadikan jiwa seseorang menjadi tenang dan tentram. Tapi sayang, ini tak mudah dilakukan. Karena sebagaimana karakternya, hikmah tak mudah dicerna dengan panca indera kecuali rasa. Sehingga selain dibutuhkan pemahaman filosofis tentang shalat juga dibutuhkan pelatihan yang sungguh-sungguh untuk mendalami hakikat shalat, dengan harapan bisa memperoleh hikmah yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
***
SIFAT dasar manusia adalah pamrih. Kita akan merasa enggan bila memberikan sesuatu kepada orang lain bila kita tidak memperoleh sesuatu pun darinya. Tapi sikap pamrih ini ternyata tidak berlaku bagi seseorang yang jatuh cinta. Orang yang mabok asmara, bisa dipastikan akan melakukan segala sesuatu (meski kadang mustahil dilakukan) untuk seseorang yang ia cintai. Ia rela memberi meski ia tidak menerima. Sebab baginya, membahagiakan impian hati adalah kebutuhan dari gejolak rasa yang terus meluap tiada henti.
Keadaan mabuk asmara tersebut, adalah sebuah ibarat yang disampaikan Abu Sangkan dalam bukunya, Pelatihan Shalat Khusyu, Shalat sebagai Meditasi Tertinggi dalam Islam, untuk lebih mempermudah seseorang menyelami dan meresapi shalat khusyu (hal. 12). Dalam buku yang sudah dicetak sebanyak 12 kali ini, secara subtantif, ia hendak mengatakan bahwa dengan mencintai Tuhan, maka kita bisa mengerjakan shalat dengan khusyu. Karena itu dalam bukunya ia tidak terlalu memfokuskan pada pembahasan fiqhiyyah shalat. Tapi ia lebih tertarik mengajak seseorang untuk menyelami hakikat shalat yang nota bene merupakan wasilah untuk berdialog langsung dengan Tuhan. Harapannya, ada tetes-tetes hikmah yang bisa membasuh sikap dan perilaku setiap muslim menjadi muslim yang berakhlakul karimah. Sederhananya, Abu Sangakn ingin berkata seperti Jalaluddin Arrumi, kalian punya sayap tapi kenapa kalian tidak terbang ke langit? Malah terus-menerus merayap di bumi?
***
DALAM buku setebal 136 ini, Abu Sangkan mencoba membagi pengalamannya dalam menjalankan ibadah shalat. Buku ini terbagi menjadi beberapa bab. Tapi secara subtantif buku ini mengupas kedalaman shalat mulai dari persiapan menjelang shalat seperti wudhu hingga doa.
Buku ini cocok untuk semua umat islam yang mengalami kekeringan makna ketika menjalankan ibadah shalat. Lebih jauh, buku ini adalah ajakan untuk bersama-sama lebih mencintai Allah SWT melalui shalat khusyu. Bila anda ingin mencicipi nikmatnya bercinta dengan Tuhan, anda bisa membaca buku ini. Minimal anda akan mendapatkan pemahaman tentang hakikat dan hikmah shalat, meski itu semua butuh perjuangan yang tak pernah putus.

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol I

RESTO TRADISIONAL, SENTUHAN ISLAMI

Bagi warga urban di Jakarta, menikmati masakan tradisional bersama keluarga di sebuah tempat yang asri dan terasa di kampung sendiri memang tak mudah. Tapi kesulitan itu dijawab Restoran Pondok Laras. Selain menyediakan menu masakan tradisional, saung yang luas, tempat mainan anak-anak, Pondok Laras juga memberikan sentuhan Islami.

SEKILAS, restoran bergaya tradisional Jawa ini kurang menarik dilihat. Halamannya hanya bisa menampung beberapa mobil. Sementara bagian dinding depannya terbuat dari kayu yang sudah mulai kusam. Sehingga orang yang tidak pernah berkunjung ke sana, tampak ngeh untuk mampir dan menikmati makanan di dalamnya.
Tapi setelah kita masuk di dalamnya, perasaan ngeh tadi akan berubah takjub. Dengan luas sekira 700 m, restoran ini ternyata tak sekedar menyajikan menu masakan tradisional khas Jawa yang lezat, tapi juga menyediakan ruangan yang luas dan lingkungan yang asri seperti di taman rekreasi.
Restoran ini terdiri dari dua ruangan. Di ruangan pertama, selain kita bisa memilih duduk di kursi atau lesehan, kita juga bisa membaca buku-buku Islami di perpustakaan mini yang sengaja disediakan di pojok ruang depan. Sementara bila kita ingin lebih menikmati masakan dengan nuansa alami, kita bisa turun ke ruang kedua yang terletak di bawah. Di sana kita bisa memilih beberapa saung yang memiliki ukuran berbeda-beda. Mulai saung kecil yang cukup ditempati untuk satu keluarga hingga saung yang bisa memuat sekira 300-an orang dan bisa digunakan untuk acara hajatan semisal pernikahan hingga acara rapat atau syukuran. Saung-saung ini berdiri di atas kolam ikan. Menariknya, nama-nama saung ini diambil dari tempat-tempat haji, seperti Makkah, Madinah, Mina dan lain sebagainya. Sementara di sekitarnya terdapat rerumputan hijau dan bunga-bunga yang menyegarkan mata. Lebih jauh, terdapat beberapa hewan untuk melengkapinya, seperti monyet dan burung kausari.
Restoran ini terasa makin tentram dengan nuansa Islami yang bersumber dari mushalla yang indah dengan kubah menjulang tinggi. Bangunan ini tak sekedar diperuntukkan ibadah shalat saja, tapi juga untuk pengajian dan tahsin al-Qur’an. Di samping itu, kita juga akan senang dengan sikap ramah gadis-gadis berjilbab ketika melayani pesanan makanan.
Lebih jauh, restoran ini juga cocok bagi keluarga yang membawa putra-putrinya. Karena di ruangan bawah, terdapat beberapa mainan. Sehingga, selain bisa menikmati masakan yang lezat pengunjung juga bisa bercengkerama dengan keluarga. Dus, restoran pondok laras memang sesuai dengan namanya, tempat beristirahat. “Sesuai namanya, saya ingin menjadikan restoran ini sebagai rumah makan plus tempat melepas penat,” kata H. Djoko Waloeyo, pemilik restoran Pondok Laras kepada SC Magazine.
MENU TRADISIONAL
SEBAGAIMANA diceritakan Djoko, menu yang disajikan hanya masakan-masakan tradisional Jawa. “Ini sebagai bentuk keprihatianan saya terhadap fenomena masakan tradisional yang mulai di lupakan oleh bangsa Indonesia, khususnya warga perkotaan.”
Salah satu menu utama restoran yang berdiri sejak tahun 1991 ini adalah ayam plenet. Masakan yang terbuat dari ayam goreng yang diplenet/ditumbuk dengan sambal pedas ini merupakan masakan yang paling digemari para pengunjung. Ketika ditanya tentang asal mula menu tersebut, Djoko mengatakan bahwa ayam plenet ini berasal dari Nganjuk, Jawa Timur. “Ketika saya mampir di salah satu warung di Nganjuk, saya dihidangkan masakan ayam plenet. Setelah merasakan kelezatannya, saya meminta resepnya dan kemudian istri saya mencobanya di rumah. Ternyata hasilnya nikmat. Sejak itu saya menjadikannya salah satu menu utama di restoran ini,” kata bapak berpenampilan sederhana ini.
Selain ayam plenet, Djoko juga mempunyai daftar menu tradisional yang cukup variatif dan menggoda selera. Daftar menu tersebut di bagi menjadi enam. Pertama masakan tradisional semisal, gurame asam manis, ayam plenet, pecel lele, sop iga dan lainnya. Kedua masakan laut semisal, cumi goreng tepung, udang saus tiram, udang goreng tepung dan udang asem manis. Ketiga makanan kecil semisal, lumpia, otak-otak, tempe mendoan dan lainnya. Keempat jus, semisal jus tomat, melon, markisa, strawbery dan lainnya. Kelima wedang, semisal wedang bajigur, beras kencur, temulawak, jahe dan lainnya. Terakhir makanan penutup semisal, asinan, rujak gobet dan buah.
SENTUHAN ISLAMI
SEMENTARA mengenai nuansa Islam yang hadir di restoran, Djoko mengaku menerapkannya setelah dekat dengan Islam. Awalnya ia sering bertemu dengan beberapa orangtua murid saat mengantar anaknya di sekolah Dasar Islam Nurul Fikri pada tahun 1993 lalu. Dari situ kesadaran Islamnya bersemi, hingga akhirya dia dan seluruh kelaurganya berupaya mengamalkan Islam secara kaffah. Bahkan para pegawai wanitanya yang berjumlah 17 orang diwajibkan berjilbab.
“Memang pada awalnya berat. Tapi setelah kita beri pengertian dan penyadaran mengenai agama, malah mereka semakin senang,”ujarnya menjelaskan. Kepedulian Djoko dengan da’wah tidak sebatas itu, bahkan dia acapkali mengundang masyarakat sekitar untuk mengikuti pengajian di Mushollanya. Sekira 40 orang hadir setiap Selasa Malam. Kini dia merasakan betul, ternyata sentuhan Islam di restorannya turut menarik pembeli. Bila di hari-hari biasa saja sudah ramai, apalagi di Bulan Ramadhan dan Idul Fitri. “Bila Ramadhan kita hanya buka mulai jam 4 hingga setelah Maghrib. Melihat pembeli, masyaaallah restoran ini seperti lautan putih. Kebahagiaan yang saya rasakan melebihi keuntungan yang saya dapatkan,” katanya berkaca-kaca.
Menurut Djoko, selain yakin kepada Allah, ketekunan dan kesabaran adalah kunci suksesnya. “Dengan ketekunan dan kesabaran kita akan mampu mengatasi berbagai permasalahan,” ujarnya.
Lebih dari itu, landasan dalam berusahanya mengacu pada Surat Al-Baqarah ayat 45, yakni sabar dan shalat sebagai penolong kaum mukmin. Hingga kini dia bersyukur selalu dimudahkan dalam berusaha.
Sekarang, pria kelahiran Manahan, Solo 12 Desember 62 tahun lalu ini merasa bahagia dengan restoran yang diwarnai sentuhan Islami itu. Namun bukan pemilik saja yang merasakannya, salah satupengunjung dan pelanggan yang berhasil di temuai SC Magazine, menyatakan hal yang sama. “Saya suka makan di sini, selain tempat dan pelayannya yang menyenangkan, makan di sini juga menyejukkan suasana hati,” kata Wahyu, pelanggan yang berprofesi sebagai dosen di STAI Al-Qudwah Depok.
Sentuhan Islami terbukti membuat Pondok Laras semakin digemari pengunjung, namun suasana Islami itu tak sekedar polesan penarik langganan, tapi Djoko dan keluarganya tak segan-segan menegur jika di tempatnya dijadikan sebagai ajang kencan. Bahkan sepasang muda-mudi diberi tempat di ruang depan dan jika suasana agak sepi beberapa pelayan berkumpul di ruang sebelahnya. Semua ini bukan hanya untuk menjaga citra, namun menegaskan bahwa sebagai pengusaha ia juga dapat berdakwah.
“Saya ini tidak pandai berceramah, tapi saya yakin apa pun profesinya, kita harus berupaya menegakkan syiar Islam,” tambahnya tegas.*

Adib Minanurrachim dan Azti Arlina
Dimuat di SC Magazine Vol I

Minggu, 11 November 2007

PANCASILA DAN DEMOKRASI

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda // Mereka memang berbeda, tapi bagaimanakah bisa dikenali?// Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal // Terpecah belahlah itu, tapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran. (Mpu Tantular, Kakawin Sutasoma)

KUTIPAN bait di atas adalah terjemahan dari Bahasa Jawa Kuna (Kawi), yang dikutip dari Kakawin (Kitab) Jawa Kuna Sutasoma, karya Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit di abad XIV. Kakawin ini istimewa, karena menggambarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha di bawah bendera Majapahit. Atas sikap toleran dan kehendak bersatu ini, Majapahit pernah mengalami masa keemasan dan terkenal sebagai nation state (negara-bangsa) yang memiliki pola organisasi rapi seperti Imperium Romawi, dan merupakan negara maritim terbesar di dunia pada zamannya.
Subtansi pemikiran Mpu Tantular itu, lalu dijadikan motto Bangsa Indonesia dengan nama Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu). Ini seperti ditegaskan Ir. Soekarno di hadapan anggota Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945, bahwa Bangsa Indonesia hendak mendirikan sebuah negara “semua untuk semua”, bukan untuk satu orang atau satu golongan. Soekarno menegaskan subtansi ajaran itu, karena menyadari bahwa Bangsa Indonesia terdiri dari pelbagai macam suku, adat, ras dan agama yang berbeda-beda. Dia bercita-cita mendirikan nation-state seperti zaman Sriwijaya dan Majapahit melalui Pancasila dan demokrasi. Dengan Pancasila, Bangsa Indonesia memiliki karakteristik sekaligus cita-cita. Sementara demokrasi adalah instrumen perjuangannya.
Menurut Otto Bauer, tokoh Prancis yang dikutip Soekarno dalam pidato pertamanya, bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Bangsa bukan karena kesamaan suku, adat, ras dan agama. Bangsa adalah sikap bersama ketika nasib yang sama mempersatukannya. Sederhananya, menurut Ernest Renan, ada kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble). Ini dibuktikan ketika pada masa perjuangan, Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke memiliki kecenderungan sikap yang sama untuk merdeka dari cengkeraman penjajah Belanda maupun Jepang.
Tapi sebagai bangsa kita tidak kemudian menjadi chauvinis, mengaku sebagai bangsa tertinggi di dunia dan merendahkan bangsa lain. Kita harus menuju pada persatuan dan persaudaraan dunia. Bukan sebaliknya.
Cita-cita Bangsa Indonesia adalah terkandung dalam nilai-nilai dari Pancasila (lima sila/azas), yang mendasari berdirinya Negara Indonesia. Nilai-nilai itu adalah; pertama pluralisme agama (kebebasan menganut dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing); kedua humanisme; ketiga nasionalisme; keempat demokrasi; kelima ekonomi kerakyatan. Kelima nilai ini—meminjam istilah Jurgen Habermas—merupakan ‘proyek’ masa depan yang tak pernah usai, yang harus diperjuangkan terus-menerus agar kita bisa merasakan tetes-tetes sari patinya.
Bukti tak kunjung usainya ‘proyek’ itu, adalah masih sedemikian banyaknya masalah yang terus-menerus dihadapi Bangsa Indonesia sejak merdeka hingga era reformasi saat ini. Mulai soal terancamnya nilai pluralisme dengan konflik antaragama di Poso Sulawesi Tengah, obsesi membuat peraturan daerah tentang pemberlakuan ajaran agama tertentu; terancamnya humanisme dengan kasus trafficking, buruh; terancamnya nasionalisme dengan gerakan separatisme seperti Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku; terancamnya demokrasi dengan oligarki partai, fenomena ‘hukum rimba’ Pilkada; terancamnya ekonomi kerakyatan dengan makin maraknya KKN, dll.
Pertanyaannya, mengapa masalah itu bermunculan? Ada yang menjawab, itu terjadi karena Pancasila mulai kehilangan ruh dan maknanya. Sehingga perlu ada restorasi (pemugaran kembali) agar Pancasila bisa kembali bermakna dan lebih bisa memberi motivasi agar bangsa ini lebih mempererat persatuan.
Pendapat itu, barangkali merupakan keresahan sebagian kalangan terhadap fenomena kurangnya penjiwaan Bangsa Indonesia terhadap nilai-nilai Pancasila. Sebelumnya, ini juga terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin Soekarno dan lebih-lebih Demokrasi Pancasila Soeharto.
Pertama, Soekarno membubarkan parlemen dan mengumpulkan kekuasaan dalam hanya dirinya. Meski langkah diktatorial ini didukung oleh rakyat yang tak sabar dengan “cekcok para politisi”, tapi menurut Bung Hatta, sistem yang mengandalkan kekuasaan pada orang per orang, tak ubahnya seperti rumah kertas yang cepat rontok. Kedua, Soeharto memposisikan Pancasila sebagai instrumen politik untuk menjaga kelestarian status quo. Sehingga rezim ini menjadi tertutup, otoriter-represif dan menumbuh-suburkan KKN di segala lini dan tingkatan.
Merespon tawaran restorasi itu, KH. Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Republik Indonesia mengatakan bahwa restorasi tidak perlu, tapi Pancasila perlu dikembangkan. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila itu perlu terus diperjuangkan.
Sementara itu, sejauh ini instrumen perjuangan yang masih dianggap relevan adalah demokrasi. Karena demokrasi menjamin persamaan hak asasi manusia. Sehingga kita bisa memperbaiki pelbagai masalah melalui jalur musyawarah dan mufakat.
Lebih jauh, melalui demokrasi, kita tidak menjadi bangsa yang merdeka tapi kaum kapitalisnya merajalela. Artinya, kita punya peluang merealisasikan kesejahteraan sosial. Ini diperkuat dengan nilai sila kelima, yaitu ekonomi kerakyatan.
Meski demikian, jika demokrasi tanpa disertai dengan supremasi hukum yang independen, tujuan mulia di atas masih juga bisa dimanipulasi. Contoh mudahnya adalah kasus KKN Soeharto dan kroni-kroninya. Mereka lolos bukan karena tidak ada hukum, tapi karena hukum yang tidak independen.
Sementara itu, keberadaan pers bebas yang bertanggung jawab, sejauh ini ternyata bisa menjadi pilar demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Karena pers bisa meminimalisir kasus-kasus kejahatan melalui publikasi, yang kemudian dilanjutkan dengan kontrol oleh masyarakat. Mengingat betapa penting kehadiran pers bebas dan bertanggungjawab ini, barangkali kehadiran RUU Rahasia Negara perlu ditolak dan menggantinya dengan turut memperjuangkan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik menjadi legal drafting.
Terakhir, dalam rangka memperjuangkan nilai-nilai Pancasila, kehadiran civil society (masyarakat kuat) mutlak diperlukan. Ini bisa dilakukan bila segenap elemen pro demokrasi bersatu, merapatkan barisan untuk melakukan pendidikan terhadap masyarakat. Sehingga nantinya akan tercipta masyarakat yang berdaya. Karena itu, falsafah Bhinneka Tunggal Ika yang telah berurat akar ratusan tahun di bumi Indonesia, perlu terus kita pelihara dan jaga. Ini seperti kutipan syair lagu Iwan Fals yang berjudul Di Bawah TiangBendera: Pada tanah yang sama kita berdiri // Pada air yang sama kita berjanji // Karena darah yang sama jangan bertengkar // Karena tulang yang sama usah berpencar // Indonesia... Indonesia.

Adib Minanurrochim
Dimuat di ALFIKR No 14 Th XIV Desember 2006 Februari 2007

MENGGUGAT KESAKTIAN PANCASILA

Peringatan hari Kesaktian Pancasila telah berlalu. Tapi polemik soal mengapa ada peringatan Kesaktian Pancasila, hingga kini masih berlanjut. Lebih-lebih, benarkah Pancasila sakti, bertuah? Tapi mengapa masih banyak fenomena yang jauh dari nilai-nilai Pancasila? Adakah yang tak tuntas? Perlukah Restorasi Pancasila?

APA filosofi Indonesia merdeka?" tanya Bung Karno dalam pidatonya tentang Pancasila di hadapan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945, di Surabaya.
Menurut Goenawan Muhammad, Redaktur Senior Mingguan TEMPO, subtansi pidato Bung Karno itu membicarakan tentang kemerdekaan dan persatuan. "Tak mengherankan bila pidato hari itu—diucapkan tanpa teks yang dipersiapkan—berulang-ulang bicara tentang dua hal. Yang pertama kemerdekaan. Yang kedua persatuan," tulisnya dalam Catatan Pinggir, Juni lalu.
Kemerdekaan, ibaratnya adalah sebuah jembatan emas yang harus dilalui bangsa Indonesia untuk mandiri dan menyempurnakan masyarakatnya. Sementara untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang plural, menurut Bung Karno, dibutuhkan satu pandangan hidup atau filsafat (Weltanschauung), karena Indonesia hendak mendirikan negara "semua untuk semua", bukan untuk satu orang atau satu golongan.
"Tapi bila yang pertama telah jadi sebuah keputusan, yang kedua masih satu persoalan genting. Bila yang pertama dapat dipersiapkan oleh BPUPKI, maka yang kedua masih harus diteguhkan. Itulah sebabnya Bung Karno menyebut perlunya mencari satu pandangan hidup atau filsafat, Weltanschauung, yang kita semua setujui," lanjut penulis produktif yang akrab disapa GM ini.
Untuk memperkuat pendapatnya soal Weltanschauung, Bung Karno mengambil contoh beberapa negara yang berdiri atas dasar sebuah Weltanschauung. "Lenin mendirikan negara Soviet di atas satu "Weltanschauung", yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas satu "Weltanschauung", yaitu "Tennoo Koodoo Seishin". Saudi Arabia, Ibnu Saud, mendirikan Arabia di atas satu "Weltanschauung", bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam. Lalu kita hendak membuat "Weltanschauung" apa?" kata Bung Karno.
Lalu Soekarno menawarkan lima dasar berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pertama, Kebangsaan Indonesia. Kedua, Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Ketiga, Mufakat atau Demokrasi. Keempat, Kesejahteraan Sosial. Kelima, Ketuhanan Yang Maha Esa. Lima dasar itu kemudian diberi nama Pancasila. "Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indera. Pandawa pun lima orangnya. (Tapi, red) Namanya bukan Panca Dharma, tetapi—saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa—namanya ialah Panca Sila," katanya.
"...di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia kekal dan abadi," lanjut Bung Karno berapi-api, dan disambut tepuk tangan meriah peserta sidang.
Mengomentari Pancasila dalam pidato Bung Karno itu, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, Frans Magnis Suseno, SJ., kepada ALFIKR mengatakan bahwa, Bung Karno mencetuskan Pancasila itu karena alasan strategis bagi negeri ini. "Sebab waktu itu, para founding fathers, yakni anggota BPUPKI terancam perpecahan karena persoalan dasar negara. Sebagian mereka menginginkan negara nasional, menjadikan barat modern sebagai kiblat. Tapi tak sedikit yang menghendaki Islam sebagai dasar negara, karena alasan mayoritas bangsa Indonesia adalah muslim."
Tapi sebagaimana yang pernah dirilis Mingguan ternama di Jakarta, perdebatan soal dasar negara itu bisa diselesaikan setelah para anggota BPUPKI melakukan pemungutan suara. Hasilnya, 15 suara mendukung dasar negara Islam, dan sisanya, 45 suara memilih kebangsaan.
Meski demikian, para pemimpin muslim memberikan catatan bahwa Sila Pertama dari Pancasila harus tentang Ketuhanan. Akhirnya, melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), para pemimpin Islam berhasil memperjuangkan Sila Ketuhanan pada Sila Pertama dari Pancasila.
Lebih jauh, melalui keputusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, kelompok Islam juga berhasil menempatkan "tujuh" kata dalam Sila pertama, yaitu "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Tapi pada malam tanggal 18 Agustus, ada kabar bahwa masyarakat dari Indonesia Timur yang tidak beragama Islam, merasa keberatan bila "tujuh kata" di atas tetap dimuat dalam Pancasila. “Jika terpaksa terus disahkan, mereka mengancam tak mau bergabung dengan Indonesia,” cerita Franz Magnis kepada ALFIKR di STF Driyarkara, Jakarta
Merespon kabar tersebut, Muhammad Hatta (Bung Hatta), memanggil empat anggota PPKI yang dianggap mewakili Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku Muhammad Hasan dan Kiai Wahid Hasyim. Akhirnya, demi keutuhan bangsa, pada saat-saat genting ini, mereka setuju untuk menghapuskan "tujuh kata" tersebut. "Itu merupakan pengorbanan umat islam. Karena mereka bersedia tidak mengistimewakan Islam dalam UUD dan Mukadimah yang memuat Pancasila, demi persatuan. Ini sebuah prestasi yang luar biasa," lanjut pria yang biasa dipanggil Romo ini kagum.
***
SETELAH 61 tahun Pancasila dipercaya sebagai dasar NKRI, tapi bukan berarti Pancasila selalu diposisikan sebagai falsafah bangsa yang nilai-nilai luhurnya terus diperjuangkan. "Pada masa Orde Baru (Orba), Pancasila disakralkan dan dijadikan instrumen politik untuk menjaga kelestarian status quo rezim Soeharto. Padahal, langkah ini jelas jauh dari semangat pemimpin bangsa di masa pergerakan kemerdekaan," kata Dr. Gumilar Rusliwa Soemantri, mantan Panitia Pengembangan dan Penelitian FISIP UI, Jakarta, ketika diwawancarai salah satu harian terkemuka di Jakarta.
Senada dengan Gumilar, Purnawirawan Letnan Kolonel Bungkus, mantan Pasukan Tjakrabirawa pada masa kepemimpinan Bung Karno, mengatakan bahwa pada masa Orde Baru Pancasila berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. "Salah sedikit orang ngomong Pancasila, pasti ditangkap dan diasingkan. Masak begitu Pancasila yang memuat nilai demokrasi? Saya tetap menentang jika cara begitu yang dimaksud Kesaktian Pancasila. Itu semua serba bertentangan dengan hati saya. Orang tidak boleh ngomong apa-apa," ceritanya pada ALFIKR di kediamannya, Besuki Situbondo Jawa Timur.
Lebih jauh, akibat praktik distorsi nilai-nilai Pancasila itu, sebagian bangsa Indonesia menjadi muak jika berbicara Pancasila. "Sesudah Soeharto lengser, Pancasila seakan-akan tidak bisa diandalkan, karena orang seakan-akan sudah muak dengan Pancasila. Ketika saya mengisi penataran P4 dan masalah kebudayaan, saya ingat betul betapa mahasiswa heran waktu saya mengatakan bahwa Pancasila itu penting. Mereka menganggap Pancasila itu hanya kedok ideologis Soeharto, menjadi pembenar otoritarianisme. Pancasila dijadikan alat untuk menindas komunis, juga Islam politik selama 30 tahun," ceritan Franz Magnis.
"Islam politik itu tidak ada di Pancasila. Meski demikian, Pancasila tidak mengatakan bahwa partai atas dasar agama itu tidak boleh. Asal taat pada konstitusi itu boleh. Tapi Soeharto memonopoli Pancasila untuk mengekang Islam politik. Karena dia takut, Islam politik akan menjadi oposisi setelah komunis tersingkir," lanjutnya.
Sementara itu, menjawab asal mula kelahiran hari Kesaktian Pancasila, Bungkus mengatakan bahwa, "Munculnya Kesaktian Pancasila, itu berawal dari maraknya pemberontakan–pemberontakan di dalam negeri."
Senada dengan Bungkus, Franz Magnis mengatakan bahwa, "pada tanggal 1 Oktober gerakan 30 September memang malakukan makar. Mengambil alih kekuasaan, melakukan sebuah kudeta. Kemudian, kejadian itu dibangkitkan menjadi hari Kesaktian Pancasila."
Lebih jauh, menurut HD. Haryo Sasongko, Ketua Lembaga Kajian Humaniora di Depok, dalam tulisannya Pak Harto; dari Eksekusi ke Korupsi, mengatakan bahwa, pada tanggal 1 Oktober 1965, telah terjadi eksekusi yang sangat jauh dari nilai-nilai Pancasila. Sebab menurutnya, para jenderal yang dituduh Soeharto makar ternyata dihukum mati tanpa terlebih dahulu menjalani pemeriksaan apalagi diadili. "Ketika terjadi Tragedi 1 Oktober 1965 yang kita kenal dengan Gestok (Gerakan Satu Oktober, istilah Bung Karno), atau G-30-S/PKI (istilah Pak Harto) yang berlangsung adalah eksekusi. Mula-mula ada enam orang jenderal dan seorang perwira menengah (yang dikira Jenderal Nasution) yang dieksekusi oleh para prajurit Tjakrabirawa atas perintah Letkol Untung sebagai Ketua Dewan Revolusi dalam rangka "menyelamatkan Presiden Soekarno yang akan digulingkan oleh Dewan Jenderal". Mereka dieksekusi tanpa diperiksa apalagi diadili dan harus menjalani hukuman terlebih dahulu bila memang terbukti bersalah. Mereka langsung ditembak mati pada saat itu juga. Ada yang dilaksanakan di rumahnya, ada pula yang baru dilaksanakan setelah mereka sampai di Lubangbuaya. Yang jelas, kesemuanya kemudian dibuang ke sumur tua tanpa nyawa lagi dan hanya membawa stigma sebagai anggota Dewan Jenderal yang akan menggulingkan pemerintah yang sah di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno," tulisnya.
"Peribahasa mengatakan, sekali dayung dua pulau terlampaui. Soeharto dengan lincah telah mengayunkan dayung itu. Sekali tebas, para pengikut atau yang dituduh pengikut PKI sekaligus Presiden Soekarno, tumbang. Eksekusi ini berkembang bukan hanya dalam bentuk pembunuhan massal melainkan juga pembuangan massal ke Pulau Nusakambangan dan Pulau Buru, di samping ratusan ribu lagi yang harus mendekam di ribuan penjara lokal di seluruh Indonesia. Dari eksekusi ke eksekusi sama modelnya: Tak pernah ada pemeriksaan, pengadilan, langsung vonis hukuman. Kecuali yang sempat naik ke panggung sandiwara mahmillub. Mereka yang dieksekusi ada yang mati, setengah mati, bahkan sanak saudara, anak cucu sampai bayi dalam kandungan pun ikut terkena vonis," lanjutnya.
Mengenai peringatan 1 Oktober ini, Franz Magnis mengatakan bahwa hal itu merupakan manipulasi Orba terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. "Itu sudah keliru, karena Pancasila adalah suatu rumusan bangsa Indonesia bersama yang tidak memiliki kesaktian pada dirinya sendiri. Pancasila bukan semacam jimat yang seakan-akan bisa menyelamatkan," katanya.
Senada dengan Franz, Francisco Budi Hardiman mengatakan bahwa Kesaktian Pancasila merupakan alat lgitimasi untuk melestarikan status quo Soeharto. "Kenyataannya, hal itu tidak inheren dengan substansi Pancasila, tapi hanya inheren dengan suatu rezim yang ingin melanggengkan kekuasaannya."
"Jadi perilaku memberhalakan itu adalah watak rezim Orba. Tapi jika watak bangsa ini pemberani dan warga negaranya punya keberanian, maka bangsa ini tak butuh peringatan hari-hari suci semacam itu. Bisa jadi momentum Kesaktian Pancasila tak harus tanggal 1 Oktober," lanjutnya.
***
BAGAIMANA dengan peristiwa Supersemar? Menjawab pertanyaan ini, Bungkus mengaku waktu itu sudah dipenjara. Cuma dirinya heran jika tulisan Bung Karno sebagai kepala negara sampai dirubah orang lain. "Tulisan kepala negara itu tidak bisa dirubah oleh siapa pun. Waktu itu saya mendengar, ada pemikiran salah seorang pejabat bahwa ada tiga lembar tulisan kepala negara yang sudah diperkecil menjadi dua lembar. Seperti itu kan tak boleh, walau hanya satu kalimat," katanya.
"Surat yang dibawa oleh Jenderal Yusuf itu adalah surat resmi. Lalu menurut Yusuf, sudah dibawa pada Jendral Soeharto. Suatu ketika, pernah salah seorang Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) menghimbau seluruh rakyat, mengharap siapa pun yang mengetahui kertas-kertas kecil (yang dimaksud adalah Surat Perintah Sebelas Maret, red) untuk dikembalikan. Nah ini kan aneh. Kenapa minta kepada rakyat, wong mereka tak tahu? Akhirnya saya berkesimpulan bahwa administrasinya kocar-kacir, atau memang sengaja dirahasiakan dan dilenyapkan supaya hilang bekasnya. Pak Yusuf sendiri berkata, waktu dipanggil sebetulnya tak tahu apa-apa, sebab saat mengambil dari Bogor telah diberikan pada Jendral Soeharto," lanjut pria yang pernah dijebloskan rezim Orba tanpa proses pengadilan ini.
Merespon persoalan Supersemar, Franz Magnis mengatakan bahwa Supersemar adalah sebuah manipulasi politik pihak yang mau berkuasa waktu itu. "Kejadian pada tanggal 1 Oktober 1965 sebenarnya tidak ada kaitan langsung dengan Pancasila. Melainkan hal itu memang sebuah makar politik, ingin mengambil alih kekuasaan," katanya.
Sementara itu, menanggapi persoalan polemik sejarah bangsa Indonesia, dalam sebuah wawancara dengan salah satu media di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan, bahwa perlu perspektif yang benar ketika melihat sejarah.
"Terdapat beberapa tonggak sejarah yang mengubah sejarah Bangsa Indonesia, mulai dari generasi 1908, 1928, 1945, 1966 serta 1998 dan barangkali akan muncul tonggak sejarah yang akan mengoreksi apa yang dilakukan sekarang ini. Itu adalah historical continuity. Karena itu marilah kita melihat sejarah dalam perspektif yang benar, tidak perlu ada kegamangan dalam melihat langkah ke depan dan juga tidak perlu ada suatu kegusaran melihat kembali dengan jernih masa lalu kita," papar Presiden.
Dengan cara pandang yang jernih, lanjut Presiden, maka tidak perlu lagi Bangsa Indonesia menciptakan sejarah serta memelihara luka atas yang terjadi di masa lalu. "Tapi dengan semangat rekonsiliasi, dengan semangat melihat ke depan, justru melihat masa lalu untuk memetik pelajaran yang berharga. Jangan terjadi lagi, dan kehidupan kita makin matang, demokrasi kita makin mekar, hak asasi manusia semakin kita hormati," ungkap Presiden.
***
REFORMASI telah berjalan sewindu. Tapi peringatan hari Kesaktian Pancasila—Meski ada perubahan pada naskah ikrar kesetiaan kepada Pancasila, dan Presiden bersama Wapres untuk pertama kalinya tidak lagi berkeliling Monumen Kesaktian Pancasila untuk melihat museum dan diorama tragedi G30S/PKI—masih terus berlangsung.
Sementara itu, ketika diwawancarai soal Pancasila di era Reformasi ini oleh salah satu media di Indonesia, Presiden SBY menegaskan bahwa, meski belum ada fenomena nyata yang mengancam Pancasila, tapi sikap waspada tetap perlu dijaga. "Meski saat ini tidak ada gerakan politik ataupun pernyataan untuk mengganti Pancasila, tetapi ancaman selalu ada. Jika kita tidak waspada, barangkali ada pengaruh, gerakan yang bisa meminggirkan Pancasila. Barangkali ingin menawarkan dan memaksakan dasar falsafah negara yang lain," ungkapnya.
Sementara itu, menjawab bagaiaman agar Pancasila tidak menjadi alat ideologisasi dan kepentingan seseorang/golongan dan atau rezim yang berkuasa, pernah ada sebuah usulan agar Pancasila dirubah menjadi ilmu, tidak sebagai ideologi lagi. Ini seperti yang ditulis Budiarto Danunjaya dalam tulisannya Reinventing Ideology. "Pada Januari 2001 dalam sebuah diskusi bertajuk Radikalisasi Ideologi Negara di Universitas Gadjah Mada, misalnya, sejarawan-novelis Dr Kuntowijoyo mengatakan, kita perlu mengubah persepsi Pancasila sebagai ideologi menjadi ilmu. Dengan begitu, ia bersifat obyektif, menghormati fakta, dan terbuka. Sebagai ilmu, Pancasila dapat dianggap filsafat sosial, cara pandang negara terhadap gejala sosial sekaligus metodologinya."
Usulan ideologi sebagai ilmu itu, menurut Budiarto (Budiarto mengutipnya dari harian Suara Merdeka, 26/1/2001, red), akan memunculkan kekhawatiran. "Kalau-kalau karena terlalu prihatin melihat kesemrawutan kehidupan bermasyarakat dan bernegara kini, kita lalu membiarkan atau tak menyadari penyusupan kembali kecenderungan lama ideologisasi dalam menciptakan kesadaran palsu mengenai sebuah model pembangunan ekonomi "ideal" dengan restriksi "sementara" di bidang-bidang lain, yang sampai Orba tutup buku sekalipun belum juga dicabut status kesementaraannya. Disemangati kekhawatiran semacam inilah kita perlu mempertanyakan upaya menghidupkan kembali diskursus Pancasila sebagai ilmu seperti dilontarkan Kuntowijoyo (semoga saja wartawannya salah menyimpulkan)," tulisnya.
Upaya semacam itu, mengingatkan bangsa Indonesia akan salah satu perwujudan Pancasila dalam kehidupan bangsa ala P4, saat Pancasila menjadi satu-satunya alam berpikir dan dipaksakan menyeruak ke segenap aspek kehidupan, termasuk ke dalam dunia ilmu pengetahuan kita. "Tentu belum lekang dari ingatan kita, ketika mantan Ketua PSSI Jenderal Bardosono menandaskan, sepak bola Indonesia sekali pun harus bercorak sepak bola Pancasila," lanjutnya.
Sementara itu, untuk memperkuat argumentasinya tentang penolakan Pancasila sebagai Ilmu, Budiarto memberikan beberapa contoh. "Upaya ideologisasi ilmu semacam itu, bukan monopoli Orba. Jauh sebelumnya, para negarawan Uni Soviet semacam Lenin juga melakukannya dengan membuat secorak ideologi komunisne yang kerap disebut sebagai Marxisme Ilmiah sebagai garis resmi Partai Komunis, yang harus menjadi haluan dan norma terakhir bagi kebenaran ilmu, politik, dan moral. Upaya reduktif semacam ini bahkan dapat dikatakan pekerjaan lazim rezim pemerintahan yang tiranikal untuk mengurangi kerepotan pluralisme berwacana dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jadi, meminjam cara berpikir Thomas S Kuhn, jelas bahwa ideologi bukan, dan tak mungkin menjadi, ilmu," tulis mantan Redaktur Opini Harian Kompas ini.
***
SELAIN terdapat kekhawatiran tentang kebangkitan fenomena ideologisasi Pancasila, sebagian kalangan juga merasa bahwa era reformasi yang telah berjalan sewindu ini, masih jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila. Di antaranya adalah terancamnya nilai pluralisme dengan konflik antar agama seperti di Poso Sulawesi Tengah, obsesi membuat peraturan daerah (Perda) tentang pemberlakuan ajaran agama tertentu, terorisme; terancamnya humanisme dengan kasus trafficking, buruh, kehadiran Perpres No. 36/2005 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum; terancamnya nasionalisme dengan gerakan separatisme seperti Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, UU Pemerintahan Aceh, praktik jual-beli pulau; terancamnya demokrasi dengan oligarki partai, efek dari Otonomi Daerah, fenomena ‘hukum rimba’ Pilkada, mentalitas buruk para politisi; terancamnya ekonomi kerakyatan dengan kebijakan ekonomi pro globalisasi, kehadiran RUU Rahasia Negara, maraknya KKN, makin senjangnya jarak antara si miskin dan si kaya, dan lain-lain.
Menjawab persoalan tersebut, Prof Dr Azyumardi Azra pernah melontarkan pendapat bahwa perlu revitalisasi Pancasila sebagai faktor integratif negara-bangsa Indonesia.
Sementara itu, Asvi Warman Adam, Pengamat Ahli Utama LIPI, Jakarta, mengatakan bahwa semangat persatuan di Indonesia sejauh ini masih ada. "Tentu saja masih ada, meski semangat sebagai bangsa yang kebingungan. Menjadi bingung, karena terlampau banyak masalah yang harus diselesaikan dalam waktu yang secepatnya. Selama 30 tahun lebih persoalan ditumpuk dan baru meledak pada tahun 1998 lalu," katanya kepada ALFIKR di kantor LIPI, lantai 11 no 18, Jakarta.
Lebih jauh, Asvi mensinyalir bahwa bangsa dan negara Indonesia terkesan lambat mencegahnya. "Pembenahan pelbagai persoalan itu nggak cepat. Misalnya soal otonomi yang menurut saya agak kacau Karena seharusnya otonomi itu diberikan ke daerah tingkat I. Karena hanya daerah tingkat I yang secara SDM dan SDA mampu untuk otonom dan mampu berhubungan dengan luar negeri. Tapi kala itu, ada trauma dari pemerintah pusat bahwa jika otonomi diberikan kepada daerah tingkat I akan terjadi pemberontakan-pemberontakan seperti Sumatra Barat pada tahun 1958. Sementara itu, jika otonomi diberikan kepada daerah tingkat II, mereka hanya memiliki SDM dan SDA yang terbatas. Sehingga ini dijadikan kesempatan bagi elit-elit daerah untuk berbuat macam-macam, anggota DPR korupsi di mana-mana," lanjutnya.
Sementara Franz Magnis, ketika ditanya soal perlu-tidaknya restorasi Pancasila, mengatakan bahwa Pancasila tidak perlu direstorasi. "Menurut saya, Pancasila tidak perlu direstorasi. Kita masih bisa hidup di negara Pancasila. Adapun yang perlu dikembalikan itu ingatan (penjiwaan) akan Pancasila. Karena Pancasila adalah pondasi untuk mempersatukan semua kelompok bangsa ini, tanpa harus menghilangkan identitas kultural dan agama masing-masing."
Senada dengan Franz, KH. Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI mengatakan bahwa restorasi tidak perlu, tapi Pancasila harus terus dikembangkan. "Kok perlu direstorasi, ada apa? Gimana bentuk tawarannya? Nggak jelas kan. Jadi Pancasila itu tidak perlu diotak-atik kembali. Tapi jika dikembangkan, iya," katanya kepada ALFIKR di kediamannya, Ciganjur Jakarta Selatan.
Sementara itu, menjawab bagaimana menilai sebuah nation-state ini telah menjalankan nilai-nilai Pancasila, Romo Franz Magnis (demikian dia akrab disapa) mengatakan bahwa, "pancasila harus menjadi semacam tolak ukur kritis untuk menilai keberhasilan kepemimpinan eksekutif, legislatif, yudikatif dan lainnya. Coba saja pantau, apakah keadilan sudah tercapai? Apakah kita betul-betul hidup bersama secara adil dan beradab?"

Adib Minanurrachim, Mahfudz Sunarjie, M Sa'dullah dan M Iqbal
Dimuat di ALFIKR No 14 Th XIV Desember 2006 Februari 2007

MENYULAM SEJARAH PANCASILA YANG TERKOYAK

Enam puluh satu tahun Indonesia Merdeka, enam puluh satu tahun pula Pancasila dipercaya sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tapi pada umur setengah abad lebih itu, Pancasila ternyata tidak sepi dari polemik dan pengkaburan nilai-nilai luhurnya.

PADA masa kejayaan Kerajaan Majapahit di abad XIV, banyak ditemukan pujangga-pujangga hebat. Mereka banyak menciptakan karya sastra yang berisikan tentang kebesaran Kerajaan Majapahit dan nilai-nilai luhur bangsanya. Di antaranya adalah Mpu Prapanca dan Mpu Tantular.
Mpu Prapanca merupakan Darmadyaksa Kasogatan (Pemimpin Agama Budha). Salah satu kakawitannya (kitab) yang terkenal adalah Negara Kartagama yang ditulis dalam Bahasa Jawa Kuna (Kawi). Kitab ini banyak menceritakan kebesaran Kerajaan Majapahit.
Sementara Mpu Tantular, pengarang kitab Ki Arjunawijaya dan Sutasoma ini lebih banyak bercerita tentang tingginya rasa toleransi antara umat Hindu Siwa dan umat Budha yang hidup berdampingan di bawah bendera Majapahit. Ini tergambar dalam Kitab Sutasoma pupuh 139 bait 5, yaitu: "Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa (Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda) // Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen (Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?) // Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal (Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal) // Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran)".
Mpu Tantular menulis Kitab Sutasoma ini selama 7 tahun. Ia terinspirasi dari keberhasilan Senopati Gajah Mada dalam menyatukan nusantara pada abad pertengahan. Atas persatuan ini, Majapahit kemudian terkenal sebagai nasionale staat (negara-bangsa) yang memiliki pola organisasi rapi seperti Imperium Romawi, dan merupakan negara maritim terbesar di dunia pada zamannya.
Bertolak dari karya emas Mpu Tantular itu, para pendiri Bangsa Indonesia (founding father) lalu merumuskan semboyan Bangsa Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu). Lebih jauh, ini juga dijadikan pijakan bagi para founding father untuk merumuskan dasar-dasar NKRI. Ini seperti tergambar dalam isi Pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia—BPUPKI), bahwa Bangsa Indonesia hendak mendirikan sebuah negara "semua untuk semua", bukan untuk satu orang atau satu golongan.
Lebih jauh, subtansi nilai-nilai luhur Bangsa Majapahit di atas, bersama azas modernisme (demokrasi, sosialisme) turut serta menjadi inspirator terhadap kelahiran Pancasila.
***
SEKIRA akhir Mei 1945, terjadi diskusi panjang—dari jam 7 malam sampai 4 pagi—di rumah Muhammad Yamin, antara Soekarno dan M. Yamin (nasionalis) dengan pemimpin muslim, yaitu KH. Wahid Hasyim, KH. Mansyur dan KH. Kahar Muzakkir, sebelum merumuskan dasar-dasar berdirinya NKRI. Ini seperti ditulis Andree Feillard dalam bukunya NU vis-a-vis Negara. Ceritanya sebagai berikut:
"Dulu orang Jawa punya kebiasaan pergi ke pinggir sungai, di pohon besar untuk semedi. Di antara mereka juga ke langgar dan atau masjid untuk meminta pertolongan sama Tuhan, baik keselamatan, rezeki dan lainya," kata Yamin.
"Nah, itu namanya mencari Tuhan. Bagaimana jika Bangsa Indonesia adalah Bangsa Ketuhanan?" usul Soekarno.
"Setuju!" jawab anggota diskusi.
"Lalu apa selanjutnya?"
"Bangsa Indonesia, jika ada tamu dikasih minuman, jika waktu makan diajak makan. Pokoknya toleransinya luar biasa. Selain itu, solidaritas sosialnya juga cukup tinggi. Ini diatur dalam hukum Islam, yakni dalam zakat kepada fakir miskin. Jadi Bangsa Indonesia berperikemanusiaan, suka tolong menolong antar sesama," jawab Kiai Wahid Hasyim, putra Pendiri Organisasi Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy'ari.
"Tapi itu harus adil. Biar pun anaknya sendiri, tapi jika salah... ya salah, yang benar ya benar. Ini Islam," lanjutnya.
Pada akhir diskusi, kaum muslim menyepakati lima pokok, merujuk pada Rukun Islam yang lima, untuk menjadi dasar berdirinya NKRI dan kemudian dikembangkan.
Sementara Soekarno dalam pidato pertamanya tentang Pancasila, menawarkan hasil diskusi di atas dengan urutan sebagai berikut: pertama, Kebangsaan Indonesia; kedua, Internationalisme atau Perikemanusiaan; ketiga, Mufakat atau Demokrasi; keempat, Kesejahteraan Sosial; dan kelima, Ketuhanan, sebagai lima dasar berdirinya NKRI.
Tawaran itu kemudian disusun kembali oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sehingga menjadi: pertama, Ketuhanan Yang Mahas Esa; kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; ketiga, Persatuan Indonesia; keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebjaksanaan dan Permusyawaratan Perwakilan; dan kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Menurut Dr. Frans Magnis Suseno SJ, Direktur Pasca Sarjana pada Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Pancasila merupakan integrasi pemikaran para founding father's yang diambilkan dari nilai-nilai luhur nenek moyang Bangsa Indonesia dan nilai-nilai modern. "Para founding father sangat ingin mempersatukan modernitas dan budaya khas Indonesia. Pertama, ini tampak dari kesadaran mereka terhadap ideologi modernitas. Kita ingat karangan Soekarno, Islamisme-Nasionalisme-Marxisme, sebagai sumber ideal perjuangan kemerdekaan. Sementara Bung Hatta menulis buku soal Filsafat Yunani yang hingga kini masih bagus. Jadi mereka itu sangat up to date mengenai modernitas. Lalu mereka memutuskan bahwa negara Indonesia harus negara yang modern, sebuah republik. Tidak monarkhi. Kedua, meski modern, Indonesia terbuka terhadap luar negeri. Tapi kita tidak lantas latah, kepribadian Indonesia harus tetap dipertahankan. Sehingga Indonesia tidak tertutup seperti Kamboja di bawah Khmer Merah," ceritanya pada ALFIKR di STF Driyarkara, Jakarta.
***
MESKI telah dirumuskan oleh PPKI, ternyata Pancasila masih menyisakan ketidakpuasan bagi sebagian kalangan dari Bangsa Indonesia. Pro-kontra mewarnai Pancasila antara golongan nasionalis dan Islam. Salah satu perdebatan yang mengemuka adalah perlu-tidaknya pemberlakuan syari'at Islam diatur dalam Pancasila dan atau Pembukaan UUD 1945. Tapi tawaran itu ditolak. Ini seperti isi pidato Soekarno tentang Pancasila.
Tapi kelompok Islam terus memperjuangkan aturan pemberlakuan syariat Islam. Sehingga, pada tanggal 22 Juni 1945, Piagam Jakarta lahir. Salah satu keputusannya, menerima Pancasila sebagai dasar negara dengan syarat menempatkan "tujuh kata" dalam sila pertama, yaitu, "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Piagam ini diteken oleh Panitia Sembilan, termasuk Mr. AA. Maramis, tokoh Kristen.
Tapi pada tanggal 18 Agustus 1945, tujuh kata itu dicoret dari pembukaan UUD 1945. Selanjutnya, pada Bulan Nopember 1956, kelompok Islam tertentu kembali memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam Sidang Konstituante di Bandung. Tapi pada tanggal 22 April 1959, usulan ini ditolak Presiden Soekarno dengan menganjurkan untuk kembali pada UUD 1945. Meski demikian, pada tanggal 26 Mei 1959, fraksi-fraksi Islam kembali mengusulkan agar Piagam Jakarta dimasukkan dalam Mukaddimah UUD. Tapi lagi-lagi, keinginan ini kandas melalui Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.
Setelah Dekrit Presiden yang menandai era Demokrasi Terpimpin itu, isu penerapan aturan syariat Islam tenggelam selama 41 tahun. Isu ini kembali mencuat pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)—tepatnya menjelang Sidang Tahunan Agustus 2000—melalui usulan amandemen UUD 1945 dan revitalisasi Piagam Jakarta.
SEMENTARA itu, perdebatan soal kurangnya penjiwaaan Pancasila juga terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin. Ini terjadi setelah eksperimen demokrasi parlemen kisruh dan Presiden Soekarno membubarkannya melalui Dekrit Presiden. Meski demikian, langkah pembubaran parlemen dan pengumpulan kekuasaan dalam hanya dirinya ini, didukung oleh massa rakyat yang kian tak sabar oleh "cekcok para politisi".
Merespon fenomena dekrit 5 Juli di atas, Muhammad Hatta (founding father sekaligus mantan Wakil Presiden RI) pernah mengingatkan bahwa fenomena itu akan membahayakan posisi Soekarno sebagai Presiden RI. "Sistem yang mengandalkan kekuasaan pada orang per orang, tak ubahnya seperti rumah kertas yang cepat rontok, tak lebih lama dari umur sang diktator sendiri," kata negarawan sekaligus penulis buku Alam Pemikiran Yunani ini.
Ramalan Bung Hatta di atas akhirnya benar. Demokrasi terpimpin tak lama umurnya. Pada tahun 1966, Soekarno runtuh. Adapun Soekarno sendiri kemudian insyaf, bahwa kekuasaan presiden ada batasnya. Ini seperti pesannya yang tercatat rapi dalam secarik kertas dan disampaikan kepada putri sulungnya, Megawati Soekarno Putri, sebelum wafat, pagi hari 21 Juni 1970. "Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun, ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan YME," tulis Sang Proklamator.
***
SETELAH rezim Demokrasi Terpimpim Soekarno runtuh, Bung Hatta pernah berpesan, jika bangsa ini bersedia belajar terhadap kegagalan, demokrasi yang "tertidur" akan bangun kembali. "Suatu barang yang bernilai seperti demokrasi, baru dihargai bila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita ingin belajar dari kesalahannya, dan berpegang kembali pada ideologi negara dengan jiwa yang murni, Insya-Allah, demokrasi yang tertidur sementara akan bangun kembali," tulis Hatta dalam risalah tipis Demokrasi Kita.
Tapi sayang, nasehat politisi santun itu tidak diindahkan oleh rezim Orde Baru. Karena penjiwaan terhadap nilai-nilai Pancasila ternyata makin menurun bahkan terdistorsi. "Saat itu, Pancasila disakralkan dan dijadikan instrumen politik untuk menjaga kelestarian status quo rezim Soeharto. Padahal, langkah ini jelas jauh dari semangat pemimpin bangsa di masa pergerakan kemerdekaan," kata Dr. Gumilar Rusliwa Somantri, mantan Panitia Pengembangan dan Penelitian FISIP UI, Jakarta, ketika diwawancarai salah satu harian terkemuka di Jakarta.
Senada dengan Gumilar, Franz Magnis Suseno, mengatakan bahwa Demokrasi Pancasila Soeharto juga telah menghegemoni comman sense rakyat dengan mendistorsi Pancasila melalui peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober. "Sebetulnya, yang terjadi pada tanggal 1 Oktober tidak ada kaitannya dengan Pancasila. Itu sudah keliru. Pancasila adalah rumusan Bangsa Indonesia yang tidak memiliki kesaktian pada dirinya sendiri."
Meski demikian, seperti ditulis Akhmad Zaini Abar dalam bukunya Kisah Pers Indonesia (1966-1974) bahwa, di awal berdirinya, rezim Orde Baru memang seolah-olah memberikan iklim berbangsa dan bernegara dengan begitu demokratis. Tapi ternyata, itu dilakukan hanya untuk konsolidasi kekuatan semata. Karena pasca Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), rezim ini menjadi begitu tertutup dan represif. Sebanyak 12 suratkabar, baik harian dan mingguan terkemuka saat itu dibreidel, di antaranya adalah Pedoman dan Indonesia Raya. Sikap represif ini juga berlanjut pada Juni 1994, dengan membreidel tiga mingguan, yaitu TEMPO, DeTik dan Editor.
Lebih jauh, selama 30 tahun lebih, Soeharto telah memberangus kedaulatan rakyat dengan dominannya eksekutif di atas legislatif dan yudikatif. Sehingga, rezim ini hanya mewariskan KKN di segala lini dan tingkatan dalam birokrasi Indonesia.
***
BAGAIMANA dengan reformasi? Meski saat ini era keterbukaan telah tercanang sejak peristiwa berdarah Mei 1998, tapi masih banyak fenomena yang mengindikasikan lemahnya penjiwaan nilai-nilai yang terkandung dalam lima azas NKRI ini. Di antaranya adalah terancamnya nilai pluralisme dengan konflik antar agama seperti di Poso Sulawesi Tengah, obsesi membuat peraturan daerah (Perda) tentang pemberlakuan ajaran agama tertentu, terorisme; terancamnya humanisme dengan kasus trafficking, buruh, kehadiran Perpres No. 36/2005 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum; terancamnya nasionalisme dengan gerakan separatisme seperti Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, UU Pemerintahan Aceh, praktik jual-beli pulau; terancamnya demokrasi dengan oligarki partai, efek dari Otonomi Daerah, fenomena ‘hukum rimba’ Pilkada, mentalitas buruk para politisi; terancamnya ekonomi kerakyatan dengan kebijakan ekonomi pro globalisasi, kehadiran RUU Rahasia Negara, maraknya KKN, makin senjangnya jarak antara si miskin dan si kaya, dan lain-lain.
Bertolak dari hal di atas, demi menjaga integritas bangsa dan lebih-lebih memperjuangkan nilai-nilai Pancasila—agar bangsa ini tidak lagi mengulang kegagalan masa lalu dan bisa menatap masa depan dengan lebih cerah, ada sebagian kalangan yang menawarkan restorasi. Artinya, Pancasila perlu dipugar kembali agar niali-nilai luhurnya bisa dipahami dan dijiwai oleh segenap bangsa Indonesia. Tapi demikian, tak sedikit yang menganggap restorasi itu tidak perlu, tapi cukup dengan terus memperjuangkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.

Adib Minanurrachim, Yatimul Ainun dan Taufiq Hasan
Dimuat di ALFIKR No 14 Th XIV Desember 2006 Februari 2007

AMBIGUITAS KEBIJAKAN PENDIDIKAN

“Bolehkah kami bertanya, apakah artinya bertugas mulia ketika kami hanya terpinggirkan tanpa ditanya, tanpa disapa? // Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam? // Kapan pengetahuan kami bukan ilmu kadaluwarsa? // Mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk? //Kenapa ketika orang kekenyangan, kami harus kelaparan? // Bolehkah kami bermimpi didengar ketika kami berbicara? // Dihargai layaknya manusia?” (Prof Dr Winarno Surachmad)

SESUAI dengan pembukaan UUD 1945, tujuan mendirikan negara adalah, pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keempat, ikut serta menjamin perdamaian dunia yang adil dan berperadaban.
Pembukaan UUD 1945 yang mencerminkan tujuan eksistensi negara tidak bicara target atau utopia, melainkan tentang nilai-nilai ideal yang diperjuangkan sebagai tujuan mendirikan sebuah negara merdeka-berdaulat.
Secara praksis, pada dasarnya republik ini adalah negara untuk rakyat. Negara harus melindungi segenap lapisan masyarakat. Kekuasaan negara harus benar-benar di tangan rakyat melalui lembaga perwakilan yang berorientasi untuk rakyat dan melindungi rakyat. Sehingga negara memiliki visi lebih demokratis, lebih digantungkan pada supremasi hukum dan penghargaan HAM.
Tapi sial, sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 hingga sekarang, cita–cita ideal di atas belum banyak terealisasi. Sebagian besar lapisan masyarakat masih kurang merasakan kebijakan negara yang benar-benar bijak. Diantaranya adalah soal UU Guru dan Dosen yang telah disahkan pada tanggal 6 Desember lalu. Peningkatan kesejahteraan yang dijanjikan negara terhadap para guru dan dosen ternyata masih buram. Penghapusan Pasal 14 ayat 2, ketika berupa rancangan, yang menyatakan gaji guru dan dosen minimal 2 kali gaji PNS non-guru dan tunjangan profesi keguruan 50% dari gaji pokok, ternyata harus dihapus karena bertentangan dengan Pasal 5 UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam UU No. 10/2004 itu dikatakan bahwa tiap produk UU harus memenuhi asas dapat dilaksanakan, sementara keuangan negara (APBN) cukup terbatas.
Tuntutan kenaikan gaji guru, sebenarnya adalah masalah klasik dunia pendidikan Indonesia yang hingga kini belum terselesaikan. Tuntutan ini, menurut Darmaningtyas, anggota dewan penasehat CBE Jakarta dalam tulisannya Kesejahteraan Guru, Masalah Klasik Pendidikan Kita, karena gaji guru Indonesia memang rendah. Ukurannya adalah, pertama, bila dibandingkan dengan kesejahteraan guru di negara-negara lain, termasuk tetangga Malaysia. Kedua, bila dibandingkan dengan alokasi waktu yang dicurahkan oleh guru dan beban tanggung jawab yang mereka pikul. Ketiga, bila dibandingkan dengan nilai tukar uang atas kebutuhan hidup sehari-hari seorang guru.
Kenyataan pahit di atas, tampak akan terus bertambah. Karena janji kesejahteraan akan terealisir (meski masih buram) jika para guru telah memiliki sertifikasi profesi mengajar. Sementara sertifikasi bisa didapatkan bila para guru telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan lulus dalam uji kompetensi. Bertolak dari rumitnya memperoleh kesejahteraan ini, wajar jika ada yang menyebut sebagai UU sertifikasi guru.
Memang, tahapan sertifikasi itu merupakan wujud perhatian pemerintah untuk menjadikan guru dan dosen profesional, agar bisa lebih meningkatkan mutu pendidikan yang selama ini banyak dikeluhkan. Hal ini seperti harapan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla (Wapres MJK) ketika menghadiri peringatan Hari Guru Nasional sekaligus ulang tahun PGRI dan Hari Aksara Internasional di Solo, Jawa Tengah, Nopember lalu. Dalam sambutannya, Wapres berharap, bahwa kualitas guru harus baik. Karena guru merupakan pembentuk jiwa sekaligus motivator semangat bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Tapi persoalannya, jika dalam proses pelaksanaan sertifikasi profesi tidak transparan dan akuntabel, maka praktik percaloan yang selama ini akrab di Indonesia tidak mustahil akan terjadi.
Selain itu, perlu ada standar khusus yang benar-benar bisa mengukur kemampuan riil seorang guru, agar tidak sekedar formalisasi belaka. Misalkan, pertama, seorang guru harus terampil berkomunikasi, mampu menterjemaahkan teori-teori yang sulit dicerna menjadi lugas dan mudah dipahami. Kedua, jujur dalam menyelenggarakan ujian dan pemberian nilai. Ketiga, menjadi motivator bagi siswa untuk menjadi kritis, dan lainnya.
Lebih jauh, peningkatan mutu pendidikan melalui tuntutan profesionalitas guru tampak akan timpang bila tidak diirigi dengan elemen-elemen pendidikan lainnya, seperti kurikulum yang jelas (tidak bongkar-pasang); sarana penunjang berupa perpustakaan yang lengkap dengan buku, majalah dan referensi lain; serta sarana penunjang lainnya.
Tapi ironisnya, beberapa elemen yang turut menunjang peningkatan mutu pendidikan ini terganjal dengan tidak terealisasinya amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) yang menegaskan bahwa, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Sejauh ini, realisasi dana pendidikan masih berkisar 7% dari total anggaran APBN dan APBD (Penjelasan Pasal 49 (1) UU Sisdiknas). Padahal angka 7% menurut praktisi pendidikan tidak banyak menjawab kebutuhan dunia pendidikan.
Bertolak dari hal di atas, tampak demokrasi dalam dunia pendidikan masih belum sepenuhnya terealisasi. Guru yang nota bene merupakan bagian dari bangsa Indonesia, suaranya masih didengar setengah hati. Jika demikian, mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk?

Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 13 Th XIV April-Juni 2006

USTADZ DI PESANTREN: YANG LUPUT DARI PERHATIAN UU GURU

Dengan hadirnya UU Guru dan Dosen, tiap guru di Indonesia dijanjikan akan ditingkatkan kesejahteraannya. Bagaimana dengan para ustadz di Pondok Pesantren? Bukankah mereka juga termasuk guru?

SEJAK tiga bulan RUU guru dan dosen diwacanakan hingga kemudian disahkan pada tanggal 6 Desember 2005 lalu, konon pemerintah akan bertekad memenuhi janjinya untuk meningkatkan kesejahteraan bagi para guru di jalur pendidikan formal, baik itu guru PNS dan Swasta. Sementara untuk para ustadz yang berada di lingkungan pesantren, secara tersurat tidak disebutkan dalam UU guru dan dosen. Bahkan menurut Ahmadie, M. Pd, Kepala Seksi Pendidikan Umum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, UU Guru dan Dosen cenderung memperhatikan nasib guru PNS. “Jika melihat masukan dari Jakarta, UU ini cenderung ke PNS saja. Memang menurut aturan kan sama antara PNS dan non PNS. Tapi kok masih cenderung yang PNS saja,” tuturnya pada ALFIKR.
Munculnya harapan soal perlunya perhatian pemerintah terhadap pesantren, tampaknya tidak lepas dari peran-serta pesantren dalam membangun akhlak dan ikut mencerdaskan bangsa. Sebab, selain berfungsi sebagai lembaga keagamaan, pesantren juga merupakan lembaga pendidikan. Hal ini seperti dituturkan KH. Mujib Imron, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Yasini Pasuruan, “selain sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga sebagai lembaga dakwah, di mana juga membentuk watak dan wawasan kebangsaan yang sangat luhur. Selain itu, pesantren juga sebagai pusat pembentukan kader yang madani dan benteng bagi bangsa Indonesia.”
Lebih jauh, pesantren juga sudah cukup banyak berjasa meringankan beban pemerintah mengingat kewajiban pemerintah yang termaktub dalam Pasal 31 ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Dan di sisi lain, pesantren sebagai lembaga keagamaan dan pendidikan yang berperan besar meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia bangsa, ternyata lebih dahulu ada di bumi pertiwi ini dari pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Karena pesantren itu lebih dahulu ada daripada NKRI ini,” kata KH. Ali Maschan Moesa, Ketua PWNU Jawa Timur.
Sementara itu, pengakuan bahwa pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan keagamaan juga tercantum dalam Pasal 30 ayat 4 UU No 23/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yaitu “pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.” Selanjutnya dalam Pasal 13 juga disebutkan bahwa, “jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.”
Bertolak dari hal di atas, KH. Mahmud Ali Zain, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan berharap, sertifikasi profesi tidak hanya untuk para sarjana saja, tapi juga diberikan kepada siapa saja yang secara kualitas bisa melakukan uji kompetensi. “Jadi, arahnya pada formalitas atau skill? Jika skill, maka sistem rekrutmennya juga berbeda, sistem sertifikasinya juga beda. Seperti dulu kan pernah ada tes sertifikasi tukang bangunan. Apakah harus lulusan sarjana tekhnik, pertukangan, atau lulusan SMK pertukangan? Menurut saya, siapa pun yang bisa untuk diuji, berhak mendapat sertifikat. Karena contohnya begini, kenapa petugas bagian lapangan di pertanian itu tidak laku di hadapan masyarakat? Apa karena dia tidak faham betul terhadap pertanian itu? Setelah diselidik, ternyata dia cuma bisa di atas kertas-kertas saja. Nah! Jika demikian bagaimana dia akan menjadi penyuluh pertanian? Bagaimana mungkin?!” tandasnya kepada ALFIKR.
Senada dengan Kiai Mahmud, Agus Sunyoto, Dosen Fakultas Sastra Inggris Universitas Brawijaya Malang mengatakan bahwa kualitas guru yang telah memiliki gelar sarjana tidak musti lebih berkualitas dari pada ustadz-ustadz pesantren. “Siapa yang menjamin guru-guru yang tidak sarjana itu lebih rendah kualitas keilmuannya dengan para guru yang memiliki kualifikasi akademik dan bersertifikat? Bagaimana dengan kiai-kiai di pondok pesantren? Apa mereka tidak pantas menjadi guru?” tandasnya.
Sementara itu, harapan terhadap perhatian pemerintah kepada pesantren, kususnya terhadap para ustadz-ustadznya, menurut Kiai Mujib, harus seimbang. “Kita tidak bisa sepihak; satu sisi kesejahreraan dituntut tapi di sisi lain peningkatan profesionalisme sebagai kewajiban tidak. Itu tidak fair. Kita harus melihat semangat Surah Al-Fatihah ayat 5 yang bisa dirinci dengan lafadz, Iyaaka Na’budu (hanya kepada-Mu kami menyembah), artinya kewajiban yang harus didahulukan. Kemudian wa Iyyaka Nasta’in (dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan), baru menuntut hak,” tutur Kiai yang juga termasuk anggota Dewan Perwakilan Daerah Jawa Timur ini.
Di sisi lain, mengenai pola uji kompetensi dan sertifikasi profesi yang tepat bagi para ustadz pesantren, Dr. Ibrahim Bafadhal, Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Malang mengatakan,“untuk madrasah diniyah, untuk halaqoh-halaqohnya, kepesantrenannya, dan keagamaannya, saya kira harus pakai kriteria khusus. Tidak seperti kriteria UU ini. Sama dengan saya memandang untuk guru seni rupa, tidak sekedar kriteria formal, yaitu ijazah? Tidak! Bahkan untuk yang seni rupa, saya memandangnya pada sektor informalnya; yang punya bakat, punya minat, ahli orgen dan ahli melukis, lebih baik dari pada S1 seni rupa tapi nggak bisa apa-apa. Untuk guru olahraga juga begitu. Justru yang bakat-bakat itu yang harus lebih diutamakan. Nah, hal ini juga sama untuk para kiai, ustadz-ustadz atau guru-guru madrasah diniyah, saya kira juga khusus; tidak menggunakan sistem sertifikasi. Jika untuk formalnya ok. Pesantren Sidogiri di Pasuruan, tidak ada madrasah formalnya. Tapi Pondok Miftahul Ulum, banyak kan madrasah diniyahnya dan untuk ustadz-usyadznya mungkin bukan sertifikasi seperti ini. Yang merancang bukan Diknas, harus orang-orang yang pas, mungkin RMI yang merumuskannya dan DPR yang menggodoknya. Jika Diknas yang menanganinya, jelas mereka nggak ngerti soal madrasah diniyah.”
Senada dengan Ibrahim, H. Ahmad Saerozi, M. Pd,. Ketua PW LP. Ma’arif NU Jawa Timur, mengatakan, “jika pesantren punya semangat untuk menjadikan ustadz-ustadznya profesional, maka yang lebih berhak mengeluarkan sertifikasi bukan LPTK tapi asosiasi kiai sepuh. Dan jika hal ini dilakukan, maka pendidikan formal akan kalah. Karena selama ini tidak ada asosiasi guru yang profesional dalam salah satu bidang, misalkan MTK (Matematika), yang nanti akan menguji bahwa guru ini ahli dalam bidang MTK.
Lebih jauh, Saerozi menambahkan, “LPTK kita yang ada di pendidikan agama itu kan kalah wibawa dengan pesantren. Misalkan begini, wibawa mana antara IAIN dengan NU dalam bidang mengeluarkan fatwa? Coba bandingkan antara Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel dengan Rois Syuriah PWNU dalam bidang mengeluarkan fatwa, wibawa mana? Nah, hal ini bisa ditangkap oleh asosiasi kiai untuk membuat seperti itu; profesi untuk ustadz pesantren.”
Meski demikian, menurut Ali Maschan, yang terpenting adalah bagaimana kita memiliki kemauan untuk meningkatkan kualitas pesantren, tanpa harus terlalu bergantung kepada ada atau tidak adanya undang-undang yang mengatur profesi ustadz di pesantren. “Jika saya mewakili orang pesantren, tidak perlu terlalu melihat UU itu. Tapi mari kita tingkatkan kualitas kita. Ada UU atau tidak ada UU itu kan sama saja,” tegasnya.

Adib Minanurrachim
Dimuat di 13 Th XIV April-Juni 2006.

UU GURU DAN DOSEN: JANJI KESEJAHTERAAN YANG MASIH BURAM

“Sejak sekarang, tiada lagi guru tanpa tanda jasa. Semua guru dengan tanda jasa,” kata Mendiknas, Bambang Soedibyo. Tapi benarkah?

SOAL tuntutan kesejahteraan guru, memang tidak lepas dari kondisi riil para guru yang jauh dari cukup. Banyak di antara guru, lebih-lebih swasta, yang mencari obyek kerja selain mengajar di sekolah, seperti berdagang dan lainnya. Hal ini seperti yang dialami Pak Broto, guru agama di salah satu sekolah swasta di Surabaya. Sore itu, di tengah kesibukannya berdagang Hand Phone (HP) di salah satu Pasar di Kota Surabaya, ia mengatakan, “yah! gimana lagi mas? gaji juga segitu-gitu aja.”
Pilihan bisnis seperti yang dilakukan Pak Broto, akhirnya berakibat pada kurang maksimalnya dedikasi guru terhadap dunia pendidikan, khususnya terhadap perkembangan keilmuan si murid. Melihat fenomena ini, banyak dari masyarakat yang kemudian merasa dirugikan dan mempertanyakan tanggung jawab dan konsistensi guru dalam mengajar.
Namun demikian, jika dilihat secara bijak, pilihan mencari obyek kerja seperti bisnis, bukan semata-mata kenakalan para guru, tapi karena memang terdesak oleh kebutuhan ekonomi. Lebih-lebih jika mengingat terus naiknya harga minyak dari tahun ke tahun. Apalagi Bulan Oktober lalu, harga bahan bakar minyak (BBM) naik drastis mendekati angka 100% yang otomatis mempengaruhi seluruh harga kebutuhan pokok. Di sisi lain, gaji guru dan tunjangan yang mereka terima dari pemerintah masih jauh dari cukup. “Wah jelas gak cukup mas! Apalagi BBM naik dan harga kebutuhan pokok naik semua,” jelas Broto.
Sebenarnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di awal masa kampanye pernah berjanji akan memberikan gaji minimal 1 juta bagi para guru. Dan tampaknya, janji pemimpin negeri ini diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen 6 Desember lalu. Selain sebagai payung hukum bagi para guru dan dosen, serta bermaksud meningkatkan kualitas guru agar lebih professional melalui uji kompetensi dan sertifikasi, konon UU ini juga bertujuan meningkatkan kesejahteraan para guru dan dosen.
Sebelumnya, polemik soal pasal-pasal krusial cukup mewarnai proses pengesahan Rancangan UU Guru dan Dosen menjadi UU. Hal ini tampak dari diundurnya rencana pengesahan yang akan dilakukan pada tanggal 25 Nopember 2005, bertepatan dengan Hari Guru Nasional. Tapi, karena banyak dari RUU ini yang harus diperbaiki, maka pengesahannya diundur. Salah satu yang menjadi fokus perhatian ketika masih dalam bentuk RUU, adalah soal kesejahteraan, kususnya belum jelasnya keberpihakan pada kesejahteraan guru swasta. Hal ini seperti yang dituturkan oleh H. Abdul Hamid Wahid, M. Ag., anggota Komisi X DPR RI yang dihubungi ALFIKR via telepon, “di antara yang terpenting adalah soal kesejahteraan. Dan karena alasan ini, terutama perhatian negara terhadap guru swasta, kita sempat menunda pengesahan RUU ini.”
Mundurnya pengesahan RUU itu, ditengarai juga karena masih kurang riilnya pemerintah dalam mempertimbangkan antara janji tingkat kesejahteraan guru dengan kondisi riil keuangan negara. Hal ini seperti yang ditulis oleh Hananto Widodo, Dosen Fakultas Ilmu Sosial Unesa dalam tulisannya yang berjudul, “Dilema Kesejahteraan Guru dan Dosen”, yaitu, “apakah jaminan pasal 14 ayat 2 RUU ini (gaji guru dan dosen minimal 2 kali gaji PNS non-guru. Dan tunjangan profesi keguruan 50% dari gaji pokok, atau sama dengan satu kali gaji pokok PNS, Red) bisa diterapkan? Sebab dalam Pasal 5 UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dikatakan bahwa setiap produk UU harus memenuhi asas dapat dilaksanakan. Sementara kita tahu bahwa keuangan negara cukup terbatas”. Bertolak dari kondisi itu, akhirnya ketentuan pasal 14 RUU itu dihapuskan karena keuangan negara benar-benar terbatas.
Sementara itu, jika melihat perubahan beberapa pasal dari RUU sebelum menjadi UU, tampaknya kalangan guru pantas kecewa. Hal ini seperti yang ditulis ST. Sularto dalam tulisannya yang berjudul “Cerita Tentang Arogansi Kekuasaan”. Dalam tulisan itu, Sularto mengatakan, “setelah menjadi UU, pasal 14 ternyata dihapus. Pasal ini bergeser menjadi pasal 15 dengan tambahan ayat bahwa besarnya akan ditentukan lewat peraturan pemerintah (PP). Yang muncul lalu keharusan guru memiliki sertifikasi mengajar. Karena itu UU ini lebih tepat disebut UU Sertifikasi Guru ketimbang UU Guru dan Dosen.”
Lebih jauh, mengomentari persoalan kesejahteraan guru dan dosen, KH. Ali Maschan Moesa, Ketua PWNU Jawa Timur yang ditemui ALFIKR di kediamannya, mengatakan, “jika bicara soal guru, saya lebih melihat komitmen pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari anggaran pendidikan yang katanya sampai 20 persen. Tapi faktanya? Paling-paling hanya 6 atau 7 persen dari total anggaran negara.”
Memang, sejauh ini realisasi dana pendidikan masih berkisar 7% dari total anggaran APBN dan APBD. Alokasi dana pendidikan yang tidak maksimal itu, tampaknya didukung oleh Penjelasan Pasal 49 ayat 1 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang menyatakan bahwa pemenuhan pendanaan pendidikan (20%, Red) dapat dilakukan secara bertahap. Namun demikian, seperti dilaporkan reporter Majalah Berita Mahkamah Konstitusi (BMK), Rafiuddin Munis Tamara, bahwa telah dilakukan judicial rieview oleh Mahkamah Konstitusi atas permohonan Fathul Hadie Usman—Direktur ACC-SERGAP—terhadap Penjelasan Pasal 49 UU Sisdiknas atas Pasal 31 ayat 4 UUD 1945. Menurut Fathul Hadie, Pasal 49 dari UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) yang menegaskan bahwa, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. (BMK, No. 11/Juli-Agustus 2005).
Senada dengan hal di atas, kepada ALFIKR, KH. Mujib Imron, anggota Dewan Perwakilan Daerah Jawa Timur, juga menjelaskan, ”saya meminta komitmen pemerintah melalui Mendiknas, sejauh mana akan melakukan 20% ini? Mendiknas menjawab, akan ditempuh tahun 2009, sesuai dengan penjelasan yang ada di UU Sisdiknas. Waktu itu saya langsung menaggapi, kesepakatan pemerintah dan DPR itu batal demi hukum. Karena substansi ayat 4 pasal 31 UUD 1945, tidak bisa diinterpretasikan lagi.”
Bertolak dari hal di atas, tampaknya janji pemerintah soal kesejahteraan yang termaktub dalam UU Guru dan Dosen tidak akan jauh berbeda dengan kasus angka 20% dari UU Sisdiknas. “Lagi-lagi saya pesimis. Jangankan bicara peningkatan kesejahteraan guru dan dosen, saya masih sangat pesimis melihat perkembangan ekonomi saat ini. Bayangkan harga BBM saat ini? Sudahlah! Jika anggaran 20% itu diterapkan pemerintah, itu saja baik. Tapi sayang, faktanya itu lho!” sesal Ali Maschan kepada ALFIKR.
Lebih lanjut, ternyata janji kesejahteraan berupa tunjangan profesi itu juga tidak serta-merta mudah diperoleh para guru dan dosen. Dan jika pun bisa, hanya bisa diraih oleh sebagian kecil guru dan dosen yang ada saat ini. Karena mereka harus terlebih dahulu memiliki ijazah minimal SI atau D 4 bagi guru dan S2 bagi para dosen. Selanjutnya mereka juga harus melakukan uji kompetensi dan sertifikasi. “Dari UU ini, pemerintah akan menguji kompetensi para guru. Jika belum kompeten, hak dan kewajibannya belum bisa dipenuhi,” jelas Ahmadie, M.Pd., Kepala Seksi Pendidikan Umum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Melihat persoalan di atas dan mengingat bahwa dari total 2,7 juta guru tetap, baik PNS maupun non-PNS yang memiliki ijazah sarjana saat ini hanya sekitar 570.000 orang, tidak mengherankan bila banyak kalangan yang pesimis terhadap janji pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen. Hal ini seperti diungkapkan oleh Mohammad Abduhzen, Sekretaris Institut for Education Reform Paramadina Jakarta, “apalagi untuk guru SD yang kualifikasi akademiknya rata-rata di bawah S1 atau D4.”
Menanggapi persoalan kesejahteraan ini, H. Ahmad Saerozi, M. Pd, Ketua PW. LP. Ma’arif NU Jawa Timur yang ditemui ALFIKR di kantornya, menghimbau, “seharusnya pemerintah memperhatikan soal batasan minimal gaji. Bagaimana pun cara menikmatinya, jika ikan asin terus kan juga tidak enak. Gaji itu harus manusiawi.”
Senada dengan Saerozi, Ali Maschan menambahkan, “sistem hukum itu kan ada empat; isi hukum, struktur hukum, aparat hukum, dan kultur hukum. Nah, saat ini aturan hukumnya sudah ada, yaitu UU guru dan Dosen. Tapi jika aparat hukum, dan seterusnya tidak mendukung, ya sama saja. Dan repotnya, di setiap produk UU tidak ada yang mengatur soal sanksi bagi pemerintah.”

Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 13 Th XIV April-Juni 2006.

KORUPSI: DILEMA OTONOMI DAERAH

Seiring kebijakan otonomi daerah (Otoda) yang digulirkan 1 januari 2001 lalu, fenomena desentralisasi korupsi banyak ditemukan di daerah-daerah. Bagaimana daerah mengantisipasinya?

INDONESIA amat masyhur di bidang korupsi. Menurut Transparency International—lembaga internasional independen yang berpusat di Berlin, Jerman—di tahun 2004, peringkat korupsi negara Indoensia berada di posisi ke delapan, hampir mendekati posisi puncak sebagai negara terkorup di dunia.
Korupsi yang merupakan penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan pribadi, adalah penyebab utama dari rendahnya kualitas hidup manusia Indonesia. Hal ini tampak dari indeks taraf hidup yang dilaporkan The Economist, bahwa Indonesia menempati peringkat ke 71 dengan indeks sebesar 5.81, kalah jauh dengan Malaysia yang berada di posisi 36 dengan indeks 6.61. Adapun taraf hidup yang dimaksud The Economist, sebuah penerbitan yang mengukur taraf hidup dari penduduk di 111 negara, di antaranya meliputi penghasilan, pengangguran, kehidupan keluarga dan masyarakat. Sementara itu, dari sisi pembangunan manusia, menurut UNDP (United Nation Development Program), Indonesia menempati peringkat ke 110 dari 177 negara.
Melihat persoalan korupsi yang telah mencoreng citra bangsa Indonesia yang konon dikatakan sebagai bangsa religius, tampaknya pemerintah Indonesia tidak sekedar berpangku tangan. Hal ini tampak dari tekad Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika melantik Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada 2 Mei 2005 lalu. Dalam sambutannya, SBY bertekad akan menggusur para koruptor setelah para pendahulunya gagal.
Menaggapi tekad SBY ini, Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah mengatakan bahwa, ajakan cleaning house policy yang dilontarkan SBY patut dipuji. Tapi persoalannya, apakah political will SBY juga diikuti oleh segenap institusi negara, seperti legislatif dan yudikatif baik yang berada di pusat dan juga daerah mengingat pasca digulirkannya Otoda, ‘virus’ korupsi cenderung menyebar ke daerah-daerah?
Di antara bukti terjadinya kasus korupsi di daerah adalah, korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Banten tahun 2004 senilai Rp 1,5 miliar, yang diduga dilakukan oleh Syarifal, Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banten; kasus korupsi APBD Sidoarjo tahun 2003 yang diduga dilakukan oleh delapan belas mantan anggota DPRD Sidoarjo periode 1999-2004; kasus korupsi Usaha Peternakan Aliansi (UPA) senilai Rp. 3,5 miliar yang dilakukan M. Syoebairy, mantan kepala Bappeda dan Asisten II Pemkab Pasuruan; dan di Probolinggo, organisasi non-pemerintah Ampera (Aliansi Masyarakat Peduli Rakyat) mensinyalir adanya kasus korupsi dalam pembangunan Gedung Islamic Center (GIC) dan Pantai Wisata Bentar (PWB) senilai 31,1 M yang diduga melibatkan salah satu orang terkuat di Probolinggo.
Bertolak dari fakta di atas, Otoda yang mulanya diasumsikan sebagai upaya pemerintah pusat untuk lebih memberdayakan masyarakat dengan mengurangi sentralisasi hasil sumber daya alam daerah (SDA), ternyata juga dijadikan ‘lahan basah’ di mana praktik tindak pidana korupsi berlangsung. “Dari harapan-harapan itu (Otoda) nampaknya kita akan sejahtera dan mendapatkan pelayanan yang luar biasa. Tapi ternyata, di balik itu semua sudah muncul kriminologi, yaitu kondisi yang—jika kita tidak hati-hati—memungkinkan terjadinya penyimpangan tindak pidana korupsi,” ungkap Agus Sudaryanto, aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ketika menjadi nara sumber dalam seminar yang diadakan Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC. PMII) Probolinggo pada 22 Desember 2005 lalu.
Masih menurut Agus, “jika dulu sebelum Otoda (rezim orde baru, Red) praktek korupsi begitu terpusat, tapi sekarang sudah terjadi perpindahan korupsi. Daerah sudah terjangkiti penyakit tersebut.”
Sementara itu, melihat praktik korupsi yang selain melibatkan para pejabat eksekutif, juga dilakukan oleh anggota legislatif, Ibrahim Watnobandong, Manager Program Devisi Korupsi Politik dari ICW, dalam seminar PMII bertema “Berkomitmen Menuju Probolinggo Bebas dari Korupsi” menilai bahwa, “kekuatan parlemen yang tidak diperoleh ketika rezim orde baru, seperti pengawasan terhadap kinerja pemerintah, dijadikan alat untuk menekan lembaga pemerintah seperti BUMN maupun departemen lainnya. Dengan begitu, akan terjadi tarik-menarik kepentingan antara pemerintah dengan parlemen yang ujung-ujungnya terjadi korupsi politik.”
Lebih jauh, desentralisasi korupsi ternyata juga melibatkan kalangan partai, tokoh-tokoh kampus, organisasi non-pemerintah (Ornop) yang terlibat di lembaga-lembaga semi-negara seperti KPU dan KPUD serta Panitia Pengawas Pemilu. Dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang telah dilangsungkan beberapa bulan lalu, terbukti sebagai tempat di mana praktek korupsi berlangsung. Hal ini seperti temuan data ALFIKR bahwa, tidak jarang partai-partai menetapkan tarif untuk pasangan gubernur, bupati dan walikota yang meminta dukungan dari mereka (Parpol).
Merespon persoalan ini, Sugeng Hariono, Kepala Kejaksaan Kota Probolinggo, ketika menjadi salah satu nara sumber dalam seminar yang diadakan PC. PMII Probolinggo 22 Desember 2005 lalu, mengatakan, “setelah diundangkannya UU No 16/2004, Kejaksaan Agung Republik Indonesia baru-baru ini telah berkomitmen dan melakukan sumpah untuk bersama-sama memberantas korupsi.”
Memang! Setelah bertubi-tubi diwartakan oleh media massa dan Ornop yang konsentrasi dalam bidang pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), lembaga-lembaga pemerintah tampak menunjukkan komitmen untuk bersama-sama memberantas korupsi. Di antaranya ditunjukkan oleh Kapolri melalui lembaga Tim Tastipikor (Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi).
Meski demikian, upaya pemberantasan korupsi tidaklah semulus yang dibayangkan. Banyak pejabat publik yang dalam beberapa sidang kasus korupsi di pengadilan dinyatakan terlibat tindak pidana korupsi, ternyata dalam sidang pengadilan di tingkat selanjutnya, pejabat itu dinyatakan lolos. Sejarahnya adalah kasus Buloggate II Akbar Tanjung, mantan Ketua DPR RI.
Sementara itu, kendala-kendala pemberantasan korupsi juga dialami oleh daerah. Hal ini seperti yang dilaporkan Gerakan Anti Korupsi (GAK)—bentukan Ampera Probolinggo—dalam laporannya “Setahun Perjalanan Perjuangan Berantas Korupsi di Kabupaten Probolinggo” yang diberikan kepada ALFIKR. Dalam dokumentasi itu dikatakan bahwa, ketika GAK melaporkan dugaan kasus korupsi dana pemilu 2004 senilai 4 miliar lebih kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Probolinggo di Kraksaan pada Bulan Agustus 2005, laporan GAK itu ternyata tidak diproses. Malah di hari yang sama, Kejari mengeluarkan pernyataan bahwa setelah dilakukan investigasi tertutup, tidak ada penyimpangan dalam penggunaan dana pemilu 2004. Dan naifnya, laporan itu berbuntut pada tuduhan pencemaran nama baik yang dialamatkan kepada GAK. Lebih jauh, mereka juga mengalami teror dan intimidasi dari orang yang tidak dikenal.
Melihat persoalan ini, tidak aneh jika kemudian banyak kalangan yang cenderung menilai bahwa korupsi yang dilakukan oleh koruptor yang nota bene terdiri dari para pejabat negara, tidak mudah diselesaikan dari sudut pandang hukum saja. “Korupsi yang terjadi di negara kita bukan lagi fenomena hukum, bukan orang yang melangggar konstitusi dan undang-undang, tapi merupakan fenomena kekuasaan,” ungkap Watnobandong.
Bertolak dari persoalan desentralisasi korupsi dan beberapa kendala yang dihadapi oleh para aktivis Ornop, Agus Sudaryanto menawarkan dua solusi, pertama; melalui gerakan moral yang di antaranya adalah pembuktian terbalik. “Misalnya ada pejabat yang diduga melakukan korupsi, maka masyarakat bisa meminta pertanggungjawabannya untuk disampaikan kepada publik agar membuktikan bahwa, baik kekayaan dirinya sendiri, istrinya, anak-anaknya, maupun keluarganya tidak diperoleh dari hasil korupsi. Ini merupakan salah satu sarana pembelajaran kepada masyarakat. Kita berhak untuk menggunakan kebijakan pembuktian terbalik itu, tapi hal ini perlu keterlibatan beberapa elemen masyarakat agar memiliki kekuatan hukum,” jelasnya.
Kedua, melalui jalur hukum (litigasi). “Ini merupakan fasilitas yang bisa memberdayakan masyarakat dalam penegakan hukum. Apalagi secara litigatif, struktur formal aturan hukumnya sudah jelas, khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Itu bisa digunakan untuk mengontrol proses penegakan hukum,” pesannya pada sekitar 273 orang peserta seminar PMII Probolinggo.

Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 13 Th XIV April-Juni 2006.

KEBUDAYAAN JANGAN TERCEMAR KARENA PILKADA

Bagaimana pandangan Anda tentang fenomena koflik menjelang Pilkada?
Kami, terutama masyarakat yang peduli seni-tradisi menghimbau kepada semua calon, siapa pun yang bakal jadi pemimpin itu jangan sampai melupakan pada hal-hal yang terkait dengan budaya adat
Sementara terhadap masyarakat, kami menghimbau—terutama terhadap masyarakat seni—supaya mengambil kearifan lokal, dan kebudayaan yang kita miliki itu jangan sampai tercemar hanya karena Pilkada. Jangan mencari musuh. Jangan hanya melihat sisi jeleknya. Tapi lihat juga sisi baiknya.
Pesan anda terhadap calon yang gugur bagaimana?
Kepada calon yang jadi maupun tidak, agar mencari nilai baiknya. Jangan nilai kurangnya. Lebih jauh, terhadap calon pemimpin Banyuwangi, kami berharap agar masyarakat adat tidak ditinggalkan.
Adakah manfaat yang diambil dari Pilkada tahun ini?
Manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat Banyuwangi yang sudah jelas adalah para calon ini masing-masing punya kelebihan. Kita tidak mengatakan kekurangannya dari kegiatan-kegiatan yang akan ditampilkan untuk porsi budaya.

Wawancara dengan Hasnan Singodimayan, budayawan Banyuwangi
Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 12 Th XIII Juni - Agustus 2005

BENIH KONFLIK TAK BERUJUNG

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pertanggungjawaban KPUD dan persyaratan calon kepala daerah ditengarai potensial melahirkan konflik. Tapi di Banyuwangi, isu eksekusi tersebut tenggelam karena konflik akibat dualisme kepemimpinan di tubuh Dewan Pengurus Cabang Partai Kebangkitan Bangsa (DPC PKB).

HARAP-HARAP cemas tampak menyelimuti ruang psikologis segenap warga Kota Gandrung menyambut Pilkada yang tinggal menghitung hari. Kecemasan itu bersumber dari berlarut-larutnya konflik antara DPC Minak Jinggo pimpinan Ir Wahyudi dan DPC Pondok Wina pimpinan KH Hasyim Kholil soal legalitas partai dan hasil penetapan calon bupati yang boleh mengikuti Pilkada.
Hampir tiap hari terjadi aksi dukung-mendukung dari kedua belah pihak. Konflik ini bahkan memancing DPP dan DPW PKB Jawa Timur untuk turun ke Banyuwangi. Alih-alih menengahi konflik, tapi tambah menjadikan lebih panas perseteruan antara DPC Minakjinggo yang mencalonkan Ir Wahyudi dan DPC Pondok Wina yang mencalonkan Ir Syamsul Hadi. Meningkatnya tensi konflik itu terbukti dari dibawanya kasus tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya dan Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi.
Meski akhirnya PN Banyuwangi menetapkan pasangan Wahyudi-Eko Sukartono sebagai pihak yangberhak mengikuti Pilkada, namun riak-riak konflik di antara kedua belah pihak masik tampak. “Sebetulnya ada sedikit imbas dari persoalan PKB. Tapi setelah PN Banyuwngi memutuskan Ir Wahyudi sebagai ketua PKB, konflik sedikit mereda,” kata Teguh Dwi Prasetyo, anggota Panwasda Divisi Pengawasan.
Di sisi lain, dampak konflik yang melibatkan orang nomor satu Banyuwangi itu juga berimplikasi pada institusi seperti Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Ini terbukti dengan sulitnya KPUD mendapatkan kucuran dana Pilkada. (Hingga saat ini (21/05/05), sepersen pun dana dari Pilkada belum cair,” kata Daniel Didik HS, Staf KPUD banyuwangi.
Persoalan mancetnya dana tentu menjadikan tahaan-tahapan kinerja KPUD tidak maksimal. Seperti pantauan ALFIKR di lapangan, hingga tanggal 1 Juni, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Sempu, Rogojampi dan Genteng belum membentuk Panitia Pemungutan Suara (PPS). Padahal jadual yang telah ditentukan KPUD, rekrutmen PPS dilaksanakan pada tanggal 14 Mei 2005. Lebih jauh, mancetnya dana Pilkada juga berimlikasi pada komitmen staf KPUD. “Staf di sini banyak yang hengkang karena tidak digaji,” lanjut Daniel.
Implikasi konflik yang dirasakan oleh KPUD ini tidak bisa dilepaskan dari Surat Keputusan (SK) KPUD Banyuwangi No 07 tahun 2005, tentang keputusan menetapkan pasangan Wahyudi-Eko Sukartono dan menolak pasangan Syamsul Hadi dan Gatot Sirajjuddin. “KPUD terlalu berani. Seharusnya mereka menerima pasangan yang sudah matang. Sehingga tidak terkesan ikut intervensi persoalan internal partai politik,” kata Redy, aktivis PMII Banyuwangi.
Senada dengan Redy, Sugihartoyo, SH, rektor Universitas 17 Agustus (untag) Banyuwangi mengatakan, “saya bisa menggambarkan, urusan yuridis diselesaikan secara yuridis lewat lembaga hukum. Sementara yang politis dikembalikan kepada aturan main di masing-masing parpol. Bila yang yuridis dan politis ini sampai melambung ke dalam hal yang administratif di KPUD, akibatnya akan fatal.”
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Aliansi NGO Banyuwangi dalam buku yang berjudul “Peta Konflik; Tahapan Persiapan Pelaksanaan Pilkada tahun 2005 Banyuwangi.” Dalam buku itu dikatakan, KPUD telah melebihi kewenangannya sebagai penyelenggara Pilkada dengan bukti dikeluarkannya SK 07/2005. Menurut Alinasi NGOm SK itu tidak berdasarkan pasal 66 ayat 1 No 32 tahun 2004 pasal 5 PP No 6 tahun 2005, tentang tugas dan wewenang KPUD. Dalam pemberian wewenang itu tidak ada satu pun yang menjelaskan: memerintahkan KPUD bertindak untuk menjadi pihak penentu sebuah keabsahan kepengurusan parpol yang akan ikut Pilkada.
Lain Alinasi NGO lain pula alasan yang diberikan KPUD. Menurut ketua Pokja Pencalonan Bupati dan Wakil bupati KPUD Banyuwangi, Hary Priyanto, dasar dari penerbitan SK 07/2005 adalah UU No 13 tahun 2002 tentang Parpol. “UU No 13/2002 menyebutkan, jika terdapat dualisme kepengurusan Parpol dan pengadilan belum menetapkan yang sah, yang dianggap sah adalah kepengurusan sebelum tejadi pertikaian,” katanya.
Melihat implikasi dualisme kepemimpinan PKB Banyuwangi yang telah menyeret sebagian warga NU dalam aksi dukung-mendukung, KH Masykur Ali, Ketua PCNU Banyuwangi mencoba menengahinya, “sesuai dengan Tausyiah Muktamar NU ke 31, PCNU berusaha menjaga jarak agar tidak terjebak dalam aksi dukung-mendukung salah satu Cabub. Dan kami menghimbau warga NU jangan sampai terjebak konflik yang terjadi menjelang Pilkada, termasuk konflik di tubuh PKB.”
Senada dengan ketua PCNU, budayawan senior Banyuwangi, Hasnan Singodimayan berpesan, “tolong gunakanlah kearifan lokal dalam menyikapi Pilkada.”

POTENSI KONFLIK DARI EKSEKUSI MK
DI TENGAH panasnya konflik di tubuh PKB yang kemudian meluas dan berimplikasi pada lambatnya tahapan-tahapan Pilkada, potensi konflik lainnya adalah implikasi dari eksekusi MK tentang pola pertanggung jawaban KPUD yang tidak lagi kepada DPRD melainkan publik, dan persyaratan pengajuan calon kepala daerah yang bisa dari gabungan partai non parlemen.
Menanggapi eksekusi MK itu, Sugihartoyo mengatakan bahwa keputusan tersebut bias. “Saya pun masih memandang bias. Tapi jika KPUD bertanggungjawab kepada DPRD, minimal dikhawatirkan nanti bilamana pihak-pihak di DPRD kurang puas, maka ukurannya adalah puas-tidaknya DPRD terhadap hasil Pilkada. Ini membahayakan. Bisa jadi karena tidak puas, maka dianggap tidak berhasil,” katanya.
Sementara Teguh dari Panwasda mengatakan, masih ada tarik ulur mengenai mekanisme pertanggungjawaban, apakah seluruh masyarakat Banyuwangi atau DPRD? Tapi berangkat dari Perpu No 03/2005 ia mengatakan bahwa pertanggungjawaban KPUD tetap kepada DPRD lalu dinformasikan kepada publik.
***
PUTUSAN MK yang mengabulkan judicial review UU No 32/2004 tentang persyaratan Parpol yang boleh mengajukan calonnya meski tidak memiliki kursi di parlemen, tapi memiliki suara 15 % saat pemilu legislatif, ditanggapi beragam. Tapi bagi partai-partai gurem, putusan itu bak durian runtuh.
Saat ini di banyuwangi memang terdapat Cabub dan Cawabub yang berangkat dari gabungan 18 Parpol non parlemen. Ke-18 partai itu lebih dikenal dengan sebutan Gabungan Partai Politik Non Parlemen atau GPPNP. Sementara pasangan calon yang mereka usung adalah Ratna Ani Lestari dan Yusuf Nuris.
Menanggapi fenomena baru itu, Wahyudi, SE, Sekretaris DPC PKB Banyuwangi mencoba mengedepankan positive thinking. “Menurut saya, keputusan MK itu tidak menimbulkan ketersinggungan dari partai-partai besar. Karena itu diatur oleh UU dan kita harus mentaatinya.”
Meski demikian, ada juga partai besar yang menyayangkan aturan tersebut. “Bagaimana mereka mengetahui tentang regulasi UU dan sebagainya? Mungkin ini yang perlu disadari,” kata Hari Suharto, Tim Media Center Pemenangan Cabub dan Cawabub dari DPC PDIP Banyuwangi.
Melihat persoalan di atas, pengamat politik Banyuwangi Sugihartoyo mengatakan bahwa aturan tersebut perlu dilihat sebagai iktikad baik pemberdayaan demokrasi. “Kita perlu mensikapinya sebagai pemberdayaan demokrasi,” katanya.
Sementara Redy, calon konstituen dan aktivis PMII kelahiran Sumenep ini memandang keputusan MK dengan nada pesimistis. “Ok. tampaknya tidak ada apa-apa. Tapi bagaimana ketika misalkan partai gurem yang menang? Bagaimana mereka menghadapi kebijakan-kebijakan politis dari parlemen? Kira-kira, ketidak adaannya di parlemen apakan menjamin efektifitas kebijakan yang akan dikeluarkannya?”

Adib Minanurrachim dan Mahfudz Sunarjie
Dimuat di ALFIKR No 12 Th XIII Juni - Agustus 2005

TANAH, TAK SEKEDAR EMAS PERMATA

Sedumuk batuk, senyari bumi ditohi nganti pati (Persoalan hak atas tanah walau hanya sejengkal, taruhannya adalah jiwa)

PERIBAHASA oang Jawa di atas menunjukkan bahwa tanah merupakan harta yang tiada terkira nilainya. Tanah, lebih berharga dari sekedar emas atau permata sekali pun. Di atas tanah manusia bisa mendirikan tempat tinggal, melestarikan keturunan, menjalin hubungan sosial dan menciptakan nilai-nilai kebudayaan.
Selain itu tanah juga merupakan faktor produksi (ekonomi) yang penting dalam sejarah peradaban manusia. Sejak kehidupan berburu, zaman pertanian hingga era industri tanah memiliki peran vital dalam menunjang kehidupan manusia dan kegiatan produktivitasnya. Sejarah kehidupan manusia menunjukkan pula kepada kita, bahwa kebutuhan terhadap tanah dari waktu ke waktu terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Pada era indutrialisasi, kegiatan ekonomi masyarakat tidak hanya semakin meningkat tapi juga semakin beragam. Kebutuhan-kebutuhan untuk mendirikan pabrik, permukiman, kawasan perkantoran, dan daerah pariwisata, jelas semuanya itu membutuhkan tanah-tanah yang luas. Tapi di sisi lain, kondisi luas tanah adalah tetap dan tidak berkembang. Dus, keadaan itu menimbulkan persaingan hingga perebutan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Acapkali kelompok masyarakat ekonmi lemah (miskin), seperti petani gurem, petani penggarap, penduduk marginal, dan kelompok masyarakat adat di pedalaman dikalahkan dalam persaingan sumberdaya tanah. Kekalahan itu bukan karena mereka tidak memiliki hak yang saha mengakses pada proses pengambilan keputusan berkenaan dengan alokasi penggunaan sumber daya tanah. Tapi karena kepentingan atau suara mereka jarang diperhatikan oleh penguasa.
Memang, dalam mengatasi kebutuhan tanah yang semakin meningkat dan beragam itu, pemerintah Indonesia telah menetapkan undang-undang pertanahan seperti Undang-Undang pokok Agraria (UUPA) No 05 tahun 1960. Lahirnya UUPA itu ditujukan untuk mengalokasikan penggunaan tanah sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3, yaitu untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa hampir di setiap menetapkan kebijakan pertanahan, acapkali pemerintah dipengaruhi oleh kepentingan kelompok industri dan bisnis. Di antara contoh kasus tanah yang menggambarkan biasnya kebijakan negara tersebut adalah kasus tanah Jenggawah di Jember, kasus tanah Enoch di Irian Jaya, Kedungombo, Tanah Suarat Ijo Surabaya, penggusuran tanah Merah di Jakarta dan Penggusuran masyarakat urban di Cengkarenga-Jakarta.
Kenyataan pahit nasib rakyat di atas, tampaknya akan makin bertambah mengingat beberapa kelemahan yang terdapat dalam UUPA itu sendiri. Sebagaimana dituturkan M. Hadi Subhan SHCN—doktor Ilmu Hukum pada Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya—bahwa kendati pun secara eksplisit dinyatakan sistem hukum pertanahan berdasarkan hukum adat, ternyata UUPA berlawanan dalam aplikasinya. Satu misal, sistem hukum pertanahan nasional yang secara implisit menggunakan asas perlekatan (accessie) antara tanah dengan yang ada di atasnya, berarti bahwa semua yang ada di atas tanah, baik itu bangunan, tumbuhan maupun lainnya adalah melekat/kepunyaan siapa yang memiliki hak atas tanah tersebut. Nah, ketentuan ini sangat kontradiktif dengan hukum adat yang mengenal asas pemisahan horisontal. Asas perlekatan itu cukup potensial untuk memicu konflik pertanahan karena tidak tegasnya status kepemilikan antara tanah dengan apa yuang ada di atasnya. Kasus kabel listrik Gresik—permukiman rakyat yang di atasnya dilintasi kabel listrik bertenaga ribuan megawatt—meruapakan akibat ambiguitas dari UUPA mengenai penerapan asas perlekatan tanah ini. Karena itu, barangkali perlu ada perubahan sekaligus penegasan dalam UUPA mengenai pemilihan asa perlekatan.
Berangkat dari realitas di atas, perjuangan-aksi terhadap nasib rakyat/petani terus marak ketika ada momentum yang bisa digunakan ke arah itu. Demonstrasi menjadi pilihan utama untuk mengusik kepedulian pemilik modal dan institusi negara yang berwenang. Tidak hanya itu, perlawanan kaum petani juga bergerak dinamis, memasuki pertarungan wilayah kebijakan publik. Sehingga hampir semua elemen-elemen sosial seperti NGO dan Ormas turut merespon dan mengambil langkah-langkah keberperanan untuk melakukan pendampingan dan pelayanan.
Melihat fenomena tersebut, agama Islam yang diyakini sebagai rahmatan lil alamin diharapkan juga bisa memberikan kontribusi solusi bagi kaum petani, baik dalam tataran wacana maupun aksi. Dan organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah, NU atau akademisi-intelektual pesantren, tampaknya juga perlu memberikan advokasi yang berarti bagi mereka. Lebih-lebih bagi NU yang sebagian besar ummatnya berada di sektor ini.
Lebih jauh, dengan prinsip nilai seperti al’adalah, al-syura, al-tawasuth, al-tasamuh dan al-tawazun, tampaknya tidak ada alasan bagi NU dan akademisi-intelektual pesantren untuk menghindar dari masalah tanah di atas. Lebih-lebih bukankah dalam kitab-kitab klasik terdapat bab ihyaul mawaat yang bisa digunakan untuk merespon persoalan tanah?
Memang jika ihyaul mawaat hanya dilihat secara tekstual, akan ditemukan beberapa kesulitan seperti soal posisi imam dan status tanah yang merdeka terkait persoalan tanah dewasa ini. Tapi jika pola penafsirannya lebih ditekankan pada sisi kontekstualnya, kesulitam-kesulitan itu bisa segara diatasi. Bukankah dalam qowaidul fiqh disebutkan, al-hukmu yaduuru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman? Lebih jauh, dalam tubuh NU-Pesantren, selain terdapat manhaj alfikr berupa qowaidul fiqh juga ada ushul fiqh?

Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 11 Th.XI/Maret-Mei 2005

JANGAN SKRIPTUALIS, TAPI KONTEKSTUALIS

PERUMUSAN Ihyaul Mawaat terjadi saat keadaan tanah masih banyak yang kosong dan tidak dimanfaatkan. Hukum Islam itu dasarnya adalah maslahah, baik kepada manusia atau pun lingkungan sebagai ekosistem.
Kondisi sosial-politik saat ihyaul mawaat dirumuskan itu berbeda dengan sekarang. Dulu tanah kosong peninggalan masa jahiliyyah masihbanyak. Sementara saat ini tentu saja sudah terbatas. Namun peluang ihyaul mawaat masih ada.
Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, ihyaul mawaat sudah dilakukan. Apalagi saat ini banyak tanah-tanah kosong akibat penggundulan hutan. Saya pernah diundang Institut Tekhnologi Surabaya (ITS) mengenai penanganan hutan gundul. Menurut mereka hutan gundul di Indonesia sudah mencapai 600.000 Ha. Nah ini bila tidak segera diihyakan atau dilestarikan kembali, akibatnya akan buruk dan berbahaya.
Mekanisme ihyaul mawaat tentu saja harus berkoordinasi dengan pemerintah (BPN). Penekanan koordinasi ini berangkat dari pengertian mu’amalah yang merupakan sifat mu’amalah. Asal kata mu’amalah adalah ta’amul yang berarti proses koordinasi dan komunikasi. Dari sini kita bisa mengambil benang merahnya, bahwa dalam membicarakan ihyaul mawaat tidak bisa sendiri-sendiri, tapi harus ada koordinasi dengan pihak-pihak seperti pemerintah, LSM, Pesantren dan lainnya.
Salah satu kerjasama contoh dari kerjasama antara pemerintah dengan Pesantren adalah yang terjadi di Pesantren Lir Boyo, Kediri. Di sana pemerintah memberikan kesempatan kepada Pesantren dan masyarakat sekitarnya untuk bercocok tanam pada tanah yang nota bene milik pemerintah.
Sementara itu mengenai hak ‘menguasai’ oleh negara yang tertuang dalam pasal 33 itu tidak menghalangi ihyaul mawaat. Karena negara sendiri memiliki kewajiban dalam melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.
Selanjutnya mengenai teks ‘tanah tidak bertuan’ yang terdapat dalam syarat ihyaul mawaat itu tidak perlu dirubah. Karena teks tersebut bisa kita kontekstualisasikan pada tataran praktis. Misalkan kita menemukan tanah kosong, maka kita tinggal mengkoordinasikannya dengan pemerintah setempat, apakah ada pemiliknya? Jika tidak, kita bisa mengolahnya. Mengubah tanah tak produktif menjadi produktif, itulah Islam. Soal UU, itu dibuat memang untuk kesejahteraan rakyat.
Jadi yang ada dalam kitab kuning itu bisa difahami secara kontekstualis. Jangan skriptualis. Sebuah hukum memang ada yang mashodir, tapi di sisi lain hukum itu bisa dilihat dari sisi manfaatnya. Kita sesuaikan saja dengan kaidah fiqh, jalbu al mashoolih wa dar’ul al mafaasid (mengambil manfaat dan membuang mafsadah)
Kontekstualisasi tersebut perlu ditekankan, karena bila hanya cenderung pada teks, maka akan terjerumus pada kebekuan-kebekuan. Bukankah saat menafsirkan Al Qur’an dan Al Hadist kita juga perlu melihat asbab al nuzul-nya? Nah ini juga berlaku pada kitab kuning. Orang-orang pesantren tentu saja sudah faham akan hal ini. Mereka tidak mungkin terjebak pada teks saja. Karena segala persoalan pasti dilihat dari kacamata ushul fiqh dan qowaidul fiqh. Kedua hal ini merupakan instrumen yang komprehensif untuk menganalisis, memahami dan menilai segala persoalan yang ada. Nah ini dalam NU disebut sebagai manhaj al fikr (paradigma berfikir)
Mengenai UUPA saya tidak tahu persis. Tapi hemat saya, setiap UU dibuat untuk mensejahterakan rakyat. Ini sesuai dengan kaidah fiqh, tasarruful al imam ‘alaa ro’iyyati manuutun bi al maslahah (kebijakan kepala negara terhadap rakyat harus berhubungan dengan kebaikan). Meski demikian, UUPA pasti ada kelemahan dan kekurangannya. Apalagi UUPA merupakan produk lama. Mengenai sengketa tanah di Kecamatan Silo, Jember, antara Perhutani dan sekelompok masyarakat yang membuka tanah di hutan lindung dan kemudian mendirikan perkampungan di sana, harus dikembalikan kepada peraturan yang ada. Karena negara ini adalah nation-state, bukan nation-religion.

Wawancara dengan Drs. KH Ali Maschan Moesa, M. Si (Ketua Tanfidziah Pengurus Wiayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur)
Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 11 Th.XI/Maret-Mei 2005