Kamis, 23 Oktober 2014

Merawat Toleransi

Oleh. M. Adib Minanurohim

BUKAN rahasia bila di negara Indonesia, penghormatan terhadap hak asasi manusia masih harus diperjuangkan terus menerus. Karena waktu terus menunjukkan, betapa hak kebebasan menjalankan agama dan keyakinan masih merupakan sesuatu yang bernilai mahal.

Sekedar menyegarkan ingatan, pada tahun 2012 lalu, ada beberapa kasus yang merampas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Di antaranya adalah Penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Bogor; penyerangan dan kriminalisasi terhadap warga Syiah di Sampang; GKI Yasmin di Bogor; dan Kasus HKBP Filadelfia di Bekasi.

Berbagai kasus itu, percikan awal api konfliknya, adakalanya dimulai dari persoalan sosial, ekonomi, politik dan lainnya, hingga kemudian berujung pada konflik agama dan keyakinan, serta melibatkan banyak orang dan/atau kelompok. Peristiwa ini, tidak bisa tidak menunjukkan kegagalan negara dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya (baca; kelompok minoritas). Indonesia yang merupakan negara berideologikan Pancasila dan berfalsafah Bhineka Tunggal Ika, sudah semestinya melindungi kelompok-kelompok minoritas di atas. Karena Indonesia adalah negara yang lahir dari keragaman dan dibangun untuk melindungi keragaman.

Kegagalan negara itu, bisa dilihat dari dua hal sebagai berikut: Pertama, Kepolisian Negara Republik Indonesia yang salah satu tujuannya mewujudkan ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, acapkali gagal mencegah kekerasan yang terus berulang di berbagai wilayah. Kegagalan ini juga merupakan akibat dari tidak dilaksanakannya prosedur tetap penanganan anarki di jajaran kepolisian, yang diduga karena ketakutan atau bahkan kedekatan aparat kepolisian dengan petinggi ormas maupun tokoh-tokoh massa radikal.

Kedua, pemerintah daerah yang merupakan penyelenggara urusan pemerintahan di tingkat provinsi, kabupaten/kota gagal bertindak netral, dan dalam kondisi tertentu terdapat oknum pemerintah yang justru ikut memprovokasi kebencian yang berakibat pada tindak kekerasan. Dalam kasus GKI Yasmin di Bogor, dan HKBP Filadelfia di Bekasi, terdapat dugaan kuat bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin lokal terkait dengan kelompok minoritas sering berat sebelah. Setidaknya 5 gubernur dan 23 bupati/walikota telah mengeluarkan larangan beraktifitas bagi warga Ahmadiyah, dan ini menjadi alat legitimasi bagi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok intoleran.

Bahkan, kabar ironi datang dari kasus Syiah di Sampang. Karena, ketika puluhan warga Sampang berupaya mengakhiri konflik dengan jamaah Syiah di sana, pemerintah daerah Sampang malah membisu. Tak ada secuil pun dukungan yang diberikan pemerintah daerah untuk menjaga dan melanggengkan deklarasi damai yang dilaksanakan warga Sampang.

Tentu saja, dilihat dari kacamata negara yang berideologikan Pancasila dan berfalsafah Bhineka Tunggal Ika, fakta di atas cukup menyedihkan. Lebih-lebih, pada tahun 2013 ini, intoleransi antarumat beragama dan keyakinan yang mengancam keutuhan Indonesia masih berlangsung. Contoh yang paling segar adalah kasus penyerbuan terhadap Pesantren Darussholihin, di Desa Puger Kulon, Kecamatan Puger, Jember, Jawa Timur yang diduga beraliran Syiah, dan sikap antipati warga Lenteng Agung, Jakarta Selatan, terhadap Lurah Susan Jasmine Zulkifli yang bergama Kristen Katolik.

Sementara itu, dilihat dari sudut sosial, sebagian besar masyarakat Indonesia nampak masih kesulitan untuk bersikap toleran terhadap seseorang dan/atau kelompok yang memiliki perbedaan. Lebih-lebih, bila jurang perbedaannya terlampau besar, seperti kelompok minoritas di atas di mata kelompok mayoritas.

Selain itu, sebagai kelompok yang diuntungkan keadaan, kelompok mayoritas cenderung lupa bila sebenarnya mereka juga memiliki perbedaan di mata kelompok minoritas. Dan mereka juga kurang menyadari bila seandainya berada pada posisi kelompok minoritas. Dus, kondisi inilah yang acapkali dimanfaatkan oknum untuk membenihkan rasa benci hingga tumbuh berkembang menjadi kesadisan.

Karena itu, perlu ada gerakan yang bisa memberikan kesadaran bagi kelompok mayoritas sekaligus kelompok minoritas tentang pentingnya sikap saling memahami dan menghargai perbedaan. Pola penyadaran ini, tentu saja harus diiringi dengan internalisasi nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, agar sikap toleran terhadap liyan bisa melekat dalam kesadaran kedua belah pihak.

Gerakan Kultural dan Keagamaan

Menyikapi persoalan di atas, selain dibutuhkan sikap toleran dari para pemegang kebijakan, juga dibutuhkan gerakan kultural dan keagamaan.

Dalam gerakan kultural, kita bisa menyebarluaskan toleransi melalui media seni-budaya seperti pertunjukan wayang, musik, tarian, dan lain sebagainya. Tentang ini, kita bisa mengambil hikmah dari kisah walisongo yang begitu luwes tatkala berhadapan dengan budaya lokal saat itu.

Sementara pada gerakan keagamaan, kita bisa menyebarluaskan toleransi melalui rutinas ibadah dalam setiap agama di Indonesia. Untuk Islam, kita bisa menunjuk shalawatan, yasinan, tahlilan, hingga kuhtbah jumat sebagai media sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai toleransi.

Tentang khutbah jum’ah, ada pengalaman menarik yang pernah saya dapatkan. Saat itu, Jum’at, 6 Sepetember 2013, saya menjalankan ibadah sholat Jum’ah di Masjid Al Ikhlas yang terletak di dalam komplek Komando Daerah Militer (Kodam) III Siliwangi, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat. Berada dalam kawasan militer, saya menduga Khotib Jum’ah akan berkhutbah seputar cinta tanah air. Namun dugaan saya kurang tepat. Saat itu, khotib berkhutbah tentang toleransi antarmadzhab fiqh.

Ada beberapa dasar yang digunakan Khotib saat menggambarkan toleransi antarmadzhab fiqh. Pertama, adalah sikap Imam Syafi’i soal qunut. Jamak diketahui, bahwa Imam Hanafi dan Imam Hambali tegas mengatakan qunut tak sunah pada salat subuh, kecuali pada salat witir. Karena menurut mereka, dalam salat subuh, Nabi Muhammad melaksanakan qunut hanya selama satu bulan. Setelah itu tidak. Imam Syafi’i menolak pendapat ini. Dengan dalil yang tak kalah kuat, ia meyakini qunut subuh juga berstatus sunah. Sebagai ulama yang konsekuen, Imam Syafi’i tak putus membaca qunut subuh sepanjang hidupnya, kecuali pada suatu hari yang aneh. Ya, saat itu Imam Syafi’i meninggalkan qunut subuh. Perilaku ganjil yang sepintas tampak mengkhianati buah pikirannya sendiri ini terjadi di Baghdad, Iraq. Persisnya, di dekat sebuah makam. Mengapa? Ternyata Imam Syafi’i sedang menaruh hormat kepada ilmu dan jerih payah pemikiran ulama lain, kendatipun berseberangan dengan pahamnya. Karena di tanah makam di sekitar tempat ia salat itu telah bersemayam jasad mujtahid agung, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit alias Imam Hanafi.

Yang kedua adalah cerita tentang Ketua PBNU KH Idham Cholid dan Buya HAMKA yang merupakan Tokoh Muhammadiyah. Kedua tokoh organisasi besar Islam Indonesia ini, saling menghargai perbedaan dalam ibadah doa qunut.

Dari dua peristiwa di atas, khotib menekankan bahwa Islam akan menjadi agama rahmatan lil ‘aalamiin apabila setiap muslim di muka bumi ini mengedepankan akhlak/perilaku yang mulia. Tentang hal ini, Khotib Jum’ah mengutip hadis Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan bahwa sesungguhnya Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak.

Selepas sholat jumat, kawan-kawan saya yang berbeda aliran fiqh dengan saya, menghampiri saya dan berkata bahwa isi khutbah jum’ah yang disampaikan terasa damai dan menyejukkan.

Cerita di atas, merupakan contoh tentang sikap toleran tentang perbedaan kecil. Merawat perbedaan kecil ini, tentu merupakan langkah penting menuju sikap toleran terhadap perbedaan-perbedaan besar. Tentu saja, bila sikap toleran ini terus-menerus dirawat, kita bisa turut membantu mewujudkan cita-cita para founding fathers tentang negara bangsa Indonesia yang rukun, damai, dan sejahtera. Semoga.

Pernah dimuat di Majalah ALFIKR tahun 2013

* Penulis adalah alumni PP Nurul Jadid, dan sempat aktif di LPM. ALFIKR periode 2001 s.d 2007. Sekarang tinggal di pinggiran Jakarta.

Rabu, 16 Januari 2013

Petuah KH. Zaini Mun’im

Orang yang hidup di Indonesia kemudian tidak melakukan perjuangan, dia telah berbuat maksiat. Orang yang hanya memikirkan masalah ekonominya saja dan pendidikannya sendiri, maka orang itu telah berbuat maksiat. Kita semua harus memikirkan perjuangan rakyat banyak.

Rabu, 29 Agustus 2012

Kopi, Duta Pariwisata Indonesia


JAKARTA, KOMPAS.com - Kopi sangat erat kaitannya dengan pariwisata Indonesia. Sebab, kopi Indonesia merupakan salah satu kopi terbaik di dunia. "Salah satu dari industri kreatif yang tengah kita kembangkan, salah satu sektor terbesar yang harus kita jual adalah culinary. Dari culinary ini bisa makanan dan minuman. Pariwisata tanpa makanan dan minuman itu tidak mungkin. Kopi menjadi bagian penting dari industri kreatif," ungkap Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sapta Nirwandar di Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Selasa (28/8/2012).

Sapta mengungkapkan potensi kopi di Indonesia sangat beragam mulai dari Aceh, Sidikalang di Sumatera Utara, Lampung, Jawa, Bali, Flores, Toraja, sampai Wamena. Menurut Director Indonesian Coffee Festival 2012, Ellyanthi Tambunan, ada 14 provinsi penghasil kopi kualitas ekspor di Indonesia. Ia menuturkan kopi-kopi dari 14 provinsi di Indonesia tersebut memiliki 14 cita rasa yang berbeda-beda.

"Karakter dan rasanya berbeda. Sangat unik dan kita tak bisa temukan di belahan bumi mana pun. Karena itu, kami ingin adanya awareness (kesadaran) ini, supaya masyarakat Indonesia bisa bangga dengan produk-produk lokal," tutur Ellyanthi.

Hal senada juga diungkapkan oleh Tuti Mochtar dari Indonesian Coffee Festival 2012 yang juga seorang ahli kopi. Ia mengungkapkan Indonesia merupakan produsen kopi terbesar ketiga di dunia.

"Pariwisata tidak bisa dipisahkan dengan minuman. Indonesia mempunyai kopi beragam dengan kualitas yang baik. Kita punya cara membuat kopi yang unik, seperti dengan kaos kaki, tubruk," ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa kopi juga sudah menjadi bagian dari gaya hidup dengan dibukanya kedai-kedai kopi. Para barista Indonesia yaitu peracik kopi yang bekerja dengan mesin espresso pun diharapkan memiliki keahlian lebih mengenai kopi Indonesia dan mengeluarkan cita rasa kopi Indonesia dengan mesin espresso.

Untuk semakin mengangkat kopi Indonesia, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pun berencana mengadakan Festival Kopi Indonesia pertama yang diberi tajuk Indonesian Coffee Festival 2012 di Ubud, Bali, pada 15-16 September 2012.

Festival ini merupakan hasil kerja sama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Pemkab Gianyar, Kerajaan Ubud, Asosiasii Kopi Spesial Indonesia, Komunitas Kopi, dan Blogger Kopi. Nantinya, selain menampilkan kopi-kopi dari berbagai daerah di Indonesia, dalam festival juga cara mengolah dan menyajikan kopi khas Indonesia.

Misalnya penyajian Kopi Tubruk dan Kopi Aceh yang menggunakan kaus. Keunikan dalam penyajian kopi menjadi daya tarik wisata kuliner sebagai bagian dari wisata minat khusus.

repro: http://travel.kompas.com/read/2012/08/29/13240934/Kopi.Duta.Pariwisata.Indonesia#

Kamis, 23 Agustus 2012

Sepotong Senja untuk Pacarku

ALINA TERCINTA,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja—dengan angin, debur ombak, matahari terbenam dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap? Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu per satu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni dan bias cahaya yang cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina. Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagipula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain. Mereka berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.

Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam di balik cakrawala.

ALINA YANG MANIS, ALINA YANG SENDU.
Akan kuceritakan bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.

Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kususupkan kakiku ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu. “Barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena aku tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandangi langit berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.

Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

ALINA SAYANG,
Semua ini telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”

Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.

“Catat nomernya! Catat nomernya!”

Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata senja itu memang menembus segenap celah dalam mobilku, sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko, dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan. “Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota. Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.

Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.

“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A harap berhenti. Ini polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada peraturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kulibas dia sampai terpental-pental keluar pagar di tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru. Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bermain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.

Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar. Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tidak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendarnya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak mengempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini akan kuserahkan Alina.

Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kota mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu ke setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.

Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gedung, rumah tua, tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke sebuah tempat yang tak pernah kulupakan dalam hidupku.

“Masuklah,” katanya tenang, “Di situ kamu aman.”

Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Baunya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu. Namun, deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.

“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”

Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kuraba senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibakkan kelelewar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tak memancarkan kebahagiaan. Aku berjalan terus melangkahi mereka dan mencoba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada aku harus menyerahkan senja Alina.

Di ujung gorong-gorong, di tempat cahaya putih itu ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat yang persis sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus: ombak, angin, dan kepak burung – tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama, tapi pasti bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasar lautan yang bening dengan lidah ombak yang mendesis-desis. Tak ada cottage, tak ada barbeque, tak ada marina – semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?

Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang berkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya berkepak dan berkepak terus di sana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untuk apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja…

Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empas sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang tekasih.

Sampai di atas, setelah melewati kelelawar bergantungan, anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi berhelikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniupkan saksofon.

Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil menguyah pizza segera kukebut mobilku menuju ke pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari, laut, pantai dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya ilahi. Sepanjang jalan-layang, sepanjang jalan tol kutabcap gas dengan kekuatan penuh…

ALINA KEKASIHKU, PACARKU, WANITAKU,
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasangkan senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang “asli” ini untukmu, lewat pos. Aku ingin kamu mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti sebenarnya—bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.

Kini gorong-gorong ini betul-betul gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap. Mereka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tiada lagi karena seseorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.

ALINA YANG MANIS, PALING MANIS, DAN AKAN SELALU MANIS,
Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas, hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuat tempat yang paling sunyi di dunia.

Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Karangbolong-Jakarta, 1991
Kompas, 9-2-1992

Jumat, 10 Agustus 2012

Pelajaran Mengarang


PELAJARAN mengarang sudah dimulai.

“Kalian punya waktu 60 menit,” ujar Ibu Guru Tati, anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama Keluarga Kami yang Berbahagia. Judul kedua Liburan ke Rumah Nenek. Judul ketiga Ibu.

Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pena pada kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kacamatanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.

SEPULUH MENIT segera berlalu. Tapi Sandra, 10 tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang ke luar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin yang kencang. Ingin rasanya ia lari ke luar kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati mnyuruhnya berpikir tentang Keluarga Kami yang Berbahagia, Liburan ke Rumah Nenek dan Ibu. Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.

Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan yang besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apa pun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.

Ketika berpikir tentang Keluarga Kami yang Berbahagia, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran di atas kasur yang sepreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus-menerus mendengkur bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.

“Lewat belakang anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.

LIMA BELAS MENIT telah berlalu. Sandra tak mengeri apa yang harus dibayangkannya tentang sebuah keuarga yang bahagia.

“Mama, apakah Sandra punya Papa?”

“Tentu saja punya anak setan! Tapi tidak jelas siapa! Dan kalau pun jelas siapa, belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah hidup tanpa seorang Papa! Taik kucing dengan Papa!”

Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tidak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas di tulisnya.

DUA PULUH MENIT telah berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan Liburan ke Rumah Nenek dan yang masuk dalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan di muka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.

“Jangan rewel anak setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”

Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau ke luar kota berhari-hari entah ke mana.

Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.

“Anak siapa itu?”
“Marti.”
“Bapaknya?”
“Mana aku tahu!”

Sandra sampai sekarang tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk di ruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menunjuk-menunjuk mereka.

“Anak kecil kok di bawa kesini sih?”
“Ini titipan si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”

Sandra masih memandang ke luar jendela. Ada langit yang biru di luar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.

TIGA PULUH MENIT lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang Ibu. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik ke atas kursi.

Apakah wanita itu ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.

“Mama, Mama, kenapa menangis Mama?”

Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih teringat kejadian itu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan, “Diam anak setan!” atau “Bukan urusanmu anak jadah!” atau “Sudah untung kamu kukasih makan dan kusekolahkan baik-baik, jangan cerewet kamu anak sialan!”

Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergeletak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.

“Mama kerja apa sih?”

Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam suatu bahasa, yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.

Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini dan plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapatkan boneka, baju, es krim, kentang goreng dan ayam goreng. Dan setiap kali Sandra makan wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seperti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepoan dengan es krim sambil berbisik, “Sandra, Sandra…”

Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita, dari sebuah buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita, wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.

“Berjanjilah pada Mama kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra.”
“Seperti Mama?”
“Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama.”

Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tidak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluarkan asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat dan pager…

Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri di muka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.

DITUNGGU DI MANDARIN, KAMAR 505, PKL 20.00.

Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomor kamar dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu Sandra akan sangat merindukan wanita itu, tapi, begitulah, ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkannya.

EMPAT PULUH MENIT lewat sudah.

“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan,” kata Ibu Guru Tati.

Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang terlalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Beberapa di antaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari ke luar kelas.

“Kertasmu masih kosong Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.

Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi begitu Ibu Guru Tati pergi, ia melamun lagi. “Mama, Mama,” bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.

Ia juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira ia masih tidur. Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhannya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbagun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika di kolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan, “Mama, Mama,” Pipinya basah oleh airmata.

“Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.

Semua anak berdiri dan menumpuk karangannya di meja guru. Sandra menyelipkan kertasnya di tengah.

DI RUMAHNYA, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separuh dari tumpukan karangan itu, Ibu Guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.

Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong: Ibuku seorang pelacur…

Palmerah, 30 November 1991
Kompas, 5-1-1992

Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Ilustrasi dari: http://ekakurniawan.posterous.com/tiga-lukisan-mei-2008

Jumat, 08 Juli 2011

Esok Mentari Masih Terbit


"KRHOGH…Krhoggh… Krhogggh," terdengar keras dengkuran di pojok kamarku. Tak biasanya Dullah, sobat karibku, mendengkur sekeras malam ini. Dengan tubuh meringkuk memeluk bantal, begitu tentram tidurnya. "Mungkin ia tengah mimpi bersandingkan putri di atas kursi mewah yang beralaskan rupiah," pikirku geli melihat tidurnya yang pulas tiada terkira.

Udara malam ini begitu panas. Sudah 7 bulan lebih musim hujan berlalu, air sungai di belakang kamar kosku menyusut. Entah kenapa hingga bulan Ramadhan tiba, hujan seolah-olah ikut berpuasa. Nyanyian kodok yang biasanya terdengar riang gembira, kini berganti dengan kesedihan yang terbungkus dalam kebisuan. Hanya nyamuk, satu-satunya hewan yang tetap bersemangat berkeliaran dan mendengung-dengungkan nyanyian dari kedua sayap kecilnya di sekitar telingaku. Tak terasa lima ekor telah bergelayutan di beberapa bagian tubuhku. Berkali-kali mereka menyuntik kulit tubuhku, rakus dan haus darah. Plok! timpukku pada salah satu nyamuk. Tapi sial, meleset. “Uh! dasar nyamuk kota, rakus!” keluhku pada mereka yang gesit menghindari serangan lemah tanganku.

Kusulut satu dari tiga batang rokok 76 hasil ngutang di warung mbok Ijah. “Wuss,” kusemburkan asap penuh racun nikotin itu di sekeliling tubuhku. Lumayan, meski tak seperti baygon, sebagian nyamuk ngacir.

Perlahan kulirik jam dinding yang tampak cengar-cengir menatap kebuntuan fikiranku. Jam satu pagi. “Huh… aku harus coba menulis sekali lagi,” desahku pelan. Lemah aku beranjak dari tumpukan buku dan beberapa lembar koran harian menuju sebuah meja. “Tinggal seminggu lagi, aku harus dapat uang,” batinku sambil duduk menghadap mesin ketik tuaku. Sementara bayangan Supri, Jalal, Bagio, Safitri datang silih berganti menagih hutang.

Akhir-akhir ini akal dan hatiku memang cukup goyah. Pelbagai usaha telah kutempuh, mulai dari ngelamar pekerjaan hingga mencoba menulis di media nasional. Tapi hasilnya kosong. Entah, apakah Tuhan tengah menguji mentalku atau memang nasibku tertulis sial. Jujur saja hal ini berpengaruh pada kondisi jiwa dan kesehatan badanku yang berubah menjadi kurus dan ringkih. “Duh! Gusti Allah, Engkau adalah Dzat Maha Pemurah, semoga Engkau beri kemudahan hambaMu ini dalam mengais rizki,” ratapku dalam do’a.

Asap rokok mengepul pelan nan lebat dari ujung bibir hitamku, menambah suramnya lampu lima watt yang hampir jatuh di atas mesin ketik rentaku. “Tak…tak…tak…” bunyi jeruji-jeruji huruf dari mesin ketik tuaku pada sebuah kertas putih ukuran kwarto. Jari-jemariku bergerak-gerak lincah, menulis huruf demi huruf, merangkai kata-kata, dan membasutnya dengan indahnya sastra hasil belajar empat tahun di Perguruan Tinggi Swasta kala itu. “Yah…demi sebuah bangunan artikel ringan. Semoga usaha yang kesekian kali ini tak sia-sia lagi,” harap kalbuku.

-oOo-

“KRINGGGG…..” jerit jam beker yang tergeletak di samping telinga Dullah. Sejenak ia menggeliat, menghentikan mimpi indahnya. Kemudian bangkit dan terduduk lesu.

“Ndro! kamu nggak sahur?” tegur Dullah sambil menggosok kedua kelopak matanya yang ramai dengan kotoran mimpi panjangnya.

“Emangnya udah pukul berapa Dull?”

“Lho, hampir imsak Ndro. Nih lihat jam bekerku kalau nggak percaya!” katanya sambil bangkit duduk berkemul sarung.

“Wah, tak terasa hampir setengah empat. Ah… andai saja waktu bisa berhenti sejenak, menanti rampungnya tulisan ini,” desahku kesal.

Sebentar kuhisap dalam-dalam putung rokokku yang hampir habis, kemudian beranjak keluar ke arah pintu seraya berkata kepada Dullah, “kamu basuh muka kotormu dulu Dull, kita sama-sama ke warung Mbok Ijah.” Tanpa menjawab, ia bangkit berdiri dari duduknya, ngeloyor ke jeding.

Di warurng mbok ijah, aku hanya minum tiga gelas air putih, dua buah jajan kering dan tak lupa satu batang rokok Djarum 76 kesukaanku.

“Kamu enggak makan Ndro,” tegur Dullah lembut.

“Enggak.”

“Kenapa? Kamu bokek? aku ada uang,” kejarnya.

“Nggak usah Dull! trims, ini aja udah cukup. Bagiku bulan Romadhon kali ini harus dibiasakan ngirit, banyak nahan nafsu biar barokah,” kilahku. Padahal kantongku lagi kempas-kempis.

-oOo-

TEPAT pukul setengah sepuluh pagi, aku telah rampungkan tulisanku. Sejenak aku terdiam dalam editing. Setelah kuyakin tiada hal lagi yang penting, baru kemudian aku beranjak ke jeding. Sengaja aku hanya membasuh mukaku dengan sedikit air. Aku tak mandi sebab air cukup sedikit. Maklum, air di kota seperti Surabaya ini tak gratis lagi. Beberapa lembar rupiah harus melayang dari kantong bila ingin puas mandi. Tapi kesegaran mandi itu pun terasa percuma, karena sengatan-sengatan panasnya kota cepat merubahnya dengan peluh-peluh keringat.

Memang benar-benar kelewat. Saat ini bukan hanya BBM yang naik, air pun ikut-ikutan iri hati dan meloncat bertengger bersama BBM. “Hualah, emboh wiss!” umpatku dalam hati memikirkankan keberadaan negeri tercinta ini.

Tepat setengah sebelas, aku berangkat ke kantor pos di pusat kota. Dengan bekal sepuluh ribu rupiah, aku kirimkan lima buah tulisan yang kurampungkan selama lima minggu di lima media negeri ini. “Yah mudah-mudahan ada yang dilirik,” harapku di tengah terik matahari kota Surabaya.

Seusai kukirimkan lima tulisan itu, bersama panas—sahabat alamku—aku berjalan pulang ke kosku yang berjarak sekira 3 Km dari kantor Pos. Diiringi tetes-tetes peluh yang mengelilingi dahi dan sebagaian tubuh kurusku, lamat-lamat alam bawah sadarku berdiri menggantikan keteguhan alam nyata. Cukup jelas tergambar keluh-kesah Emakku waktu aku pulang kampung.

“Ndro… kapan kamu dapat kerja? Emak udah nggak mampu lagi nyari uang. Coba kamu usaha dikit-dikit, sudah sarjana kok masih nganggur! Apa nggak malu dengan gelarmu?!” tegur Emmakku sewot menyaksikan anak sulungnya yang nasibnya masih menggelantung.

“Sabar dikit kenapa sih Mak, saya kan lagi usaha nulis. Entar kalo jebol di media dan terkenal, nggak bakalan nyusahin Emak lagi,” jawabku yakin di tengah kelesuan jiwa.

“Jebal-jebol…udah berapa kali kamu janji, tapi nyatanya masih aja nganggur!” ketus Emakku. Sepi, tiada kata keluar dari bibir hitamku. Aku hanya bisa tersenyum kecut dengan kepala menunduk. Memang, aku sadar bahwa aku selalu gagal. Tiga tahun selepas dari PTS, tak satu pun dari tulisanku yang berkenan di hati media-media cetak di negeri ini.

Ngelamar pekerjaan? Waduh! nggak usah dibahas. Sudah sepuluh kali lebih aku meminang, tapi sepuluh kali lebih tolakan pula jawabanya. Entah, apakah memang karena indeks prestasiku (IP) yang kurang memuaskan? Atau bekerja itu harus lebih dulu nyiapin segepok uang untuk nyogok? Weleh! kalau yang terakhir ini, jelas aku nggak sudi. Bukan karena nggak mampu. Aku bisa kumpulkan segepok rupiah yang pernah disyaratkan beberapa instansi pemerintah dan swasta padaku. Tapi apalah arti semua itu? Bukankah itu nabrak hati nuraniku dan mencampakkan imanku? Tidak! Aku tak akan melakukan hal itu dan tidak akan pernah.

Bagiku, mendapat pekerjaan itu tak harus dengan segala cara. Ada prosedurnya sendiri dan harus dengan jiwa yang jantan. Lebih-lebih, aku tak akan merasa percuma belajar empat tahun di PTS jika aku mendapatkan pekerjaan tanpa melalui suap, melainkan dengan melihat kualitas ilmu dan kompetensiku dalam bidang pekerjaan tertentu. Meski IP-ku tak memuaskan bukan berarti aku lebih bodoh dari mahasiswa yang meraih cum laude. Sebab IP hanyalah formalitas. Bukan subtansi. Lagi pula, bukankah IP itu bisa dikompromikan?

“Duk!”

“Auww!” jeritku terkejut.

Tak kusadari dahiku telah membentur tiang listrik yang berdiri congkak di tengah trotoar.

“Jangkrik! Tiang jelek pembawa sial,” umpatku kesakitan sambil mengelus-elus dahiku yang memar akibat benturan.

“Duhh… kasihan. Melamun ya mas?” tegur seorang gadis yang kebetulan berada di belakangku.

“Ah! E…e..enggak. Hanya karena batu sialan saja aku tersandung,” kilahku.

Gadis itu hanya tersenyum sambil berlalu. Sementara aku tertegun. Seolah tak percaya melihat wajahnya, senyum manisnya dan resam tubuhnya. Kenapa ia sedemikian manis dan sedemikian persis dengan mendiang kekasihku, Yuanita Sastrawati?

Sedetik tergerak hatiku untuk memanggilnya, mengejarnya. Tapi, augh! Dahiku terasa sakit dan sedikit pening. Akhirnya dengan amat berat aku tepiskan niat tersebut. Lagi pula tak mungkin Yuanita hidup kembali. Ia sudah tiada. Mustahil ia kembali ke alam nyata.

Akhirnya, berat aku langkahkan kakiku membelok ke kiri, bergegas pulang ke rumah bu Cokro, ibu kosku.

-oOo-

PUKUL tiga sore, aku telah sampai di rumah bu Cokro, pemilik rumah kos. Seusai terucap salam dari mulutku dan dijawab si Upik, anak bu Cokro, aku langsung ngeloyor ke kamarku. Dullah tak terlihat batang hidungnya. Padahal siang begini ia biasa duduk-duduk di teras sambil menggoda si Upik. Tapi aku tak risaukannya siang itu. Selain dirundung rasa lelah dan sakit di dahiku, mataku terasa berat sekali. Aku belum tidur sejak tadi malam hingga siang ini.

Tak kuasa menahan cuaca yang panas, segera kulepas baju berlengan panjang yang menempel di tubuhku dan mengambil handuk kecil di almari dan kemudian menuangkan sisa air hangat dari tremos sisa tadi malam di atasnya. Sejenak hatiku lega merasakan hangatnya handuk yang aku letakkan di atas dahiku. Kemudian, bersama kondisi perut yang kempis karena berpuasa dan ditambah rasa lelah yang tiada tara, perlahan kurebahkan tubuhku di atas kasur yang terhampar di lantai kamar. Oh…begitu leganya hatiku dapat berbaring siang ini, melepas lelah dan mengikuti tuntutan mataku yang sayu menahan kantuk. Diiringi hembusan angin yang meniup pelan dari baling-baling kipas kecil yang ada di samping tubuhku, rasa lelah dan penat tubuhku berangusur-angsur hilang. Tapi ketika seluruh panca inderaku hampir sepakat untuk istirahat, sayup-sayup kudengar lagu Iwan Fals dari kamar sebelah,… Engkau sarjana muda, resah tak dapat kerja, tak berguna ijazahmu // Empat tahun lamanya bergelut dengan buku, sia-sia semuanya // Setengah putus asa, dia berucap, “ma’af Ibu…”

Aku hanya tersenyum. Biarlah Iwan bernyanyi demikian. Tapi jelas batinku berkata yakin, bahwa akan ada perubahan; entah esok, lusa, bulan depan, tahun depan atau bahkan menjelang kematiaanku. Perjuangan dan usahaku untuk memperbaiki keadaan musti berlanjut, kendati harus berpeluh dan berdarah-darah. “Huaahhh….letih benar jiwa dan raga ini. Bismillah, izinkan hambaMu istirahat,” do’aku menjelang tidur.*



Adib Minnanurrachim
Nurul Jadid, 03/07/2001

Sabtu, 02 Juli 2011

LAGU SATU [ H. I. D. U. P. ]


Oleh; Iwan Fals

Jalani hidup
Tenang tenang tenanglah seperti karang
Sebab persoalan bagai gelombang
Tenanglang tenang tenanglah sayang

Tek pernah malas
Persoalan yang datang hantam kita
Dan kita tak mungkin untuk menghindar
Semuanya sudah suratan

Oh matahari
Masih setia
Menyinari rumah kita

Tak kan berhenti
Tak kan berhenti
Menghangati hati kita

Sampai tanah ini inginkan kita kembali
Sampai kejenuhan mampu merobek robek hati ini

Sebentar saja
Aku pergi meninggalkan
Membelah langit punguti bintang
Untuk kita jadikan hiasan

Tenang tenang tenanglah sayang
Semuanya sudah suratan
Tenang tenang seperti karang
Bintang bintang jadikan hiasan

Berlomba kita dengan sang waktu
Jenuhkah kita jawab sang waktu
Bangkitlah kita tunggu sang waktu
Tenanglah kita menjawab waktu

Seperti karang
Tenanglah
Seperti karang
Tenanglah


[ Lagu yang bercerita tentang bagaimana menjalani hidup, dan menghadapi kehidupan. ]