Apa makna shilaturahim dalam Islam?
Dalam Islam, shilaturahim itu bukan basa-basi, tapi bagian penting dari kehidupan beragama. Karena Rosulullah pernah ditanya, Islam bagaimana yang paling baik? Ketika itu Nabi baru datang di Madinah, beliau menjawab, yang utama dalam Islam adalah liinul kalam (tutur kata yang lembut), wa ifsyaul kalam (menyebar kedamaian), shillatul arham (membina dan mengembangkan hubungan kekeluargaan), dan ith’amu tho’am (memberi makan orang-orang yang lapar). Jadi rukun Islam yang lima yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji ditambah empat lagi yang disebutkan tadi, itulah gambaran Islam yang lebih sempurna.
Keempat jawaban Nabi itu menyangkut kepedulian kita pada masyarakat, tak kecuali yang namanya shillatul arham atau shilaturahim. Ini sangat penting diterapkan dalam kehidupan masyarakat, baik di tingkat yang paling kecil bernama keluarga hingga masyarakat yang lebih besar di luar keluarga semisal bangsa dan bahkan antar bangsa.
Jadi begitu gambarannya. Sehingga dengan adanya shilaturahim, ukhuwah Islamiyah, wathoniyah dan basyariyah akan mudah terbentuk.
Dalam bulan Ramadhan, ada pentunjuk-petunjuk untuk meningkatkan shilaturrahim. Jadi tidak terbatas pada puasa, tarawih, tadarus al Qur’an dan lainnya yang biasa disebut dengan paket Ramadhan. Tapi juga termasuk di dalam Ramadhan adalah pengembangan shillaturahim. Allah sendiri memberikan satu arahan pada beberapa ayat yang membicarakan puasa dan segala rangkaiannya dalam surat al Baqarah ayat 183-189. Di situ diselipkan satu ayat mengenai betapa pentingnya menjalin keakraban. Keakraban pertama adalah keakraban dengan Allah, yakni wa idza saalaka ‘ibadzi ‘anni, fainni qoriib (kalau kamu—Muhammad dan para orang beriman—bertanya tentang Allah, katakan bahwa Allah itu akrab). Allah itu akrab/dekat dan selalu siap menerima permohonan orang-orang yang memohon. Itu salah satu rangkaian dalam ajaran Islam yang berbicara mengenai puasa. Jadi saat orang Islam menunaikan ibadah puasa, patut kita gugah kesadaran berakrab-akaraban, baik kepada Allah maupun pada sesama. Adapun yang sesama itu namanya shilaturrahim.
Tapi saat ini, bagi bangsa Indonesia, shilaturrahim kita belum optimal pelaksanaannya. Karena yang terjadi masih antar orang perorang. Seharusnya ada kesungguhan mengembangkan shilaturahim, baik golongan, kelompok, ormas atau partai di Indonesia. Karena di negeri tercinta ini masih banyak kekalutan dalam kehidupan bermasyarakat yang terjadi karena adanya komunikasi yang tidak sambung. Bukan sekedar antarindividu tapi juga terjadi antargolongan, etnis, agama dan partai. Sehingga kehidupan bermasyarakat tidak bisa dinikmati dengan baik. Keakraban, kerukunan dan kedamaian terasa mahal.
Berangkat dari penjelasan anda, bisakah shilaturrahim itu diklasifikasikan menjadi beberapa macam, seperti shilatul fikri, shilatul rizki hingga shilatul ruh?
Ya, benar. Ungkapan saudara itu memang tercangkum di dalamnya. Karena misalkan anda mengatakan ada shilatul fikri atau shilatul afkar, artinya ada keterbukaan menerima pemikiran orang lain dan begitu pula sebaliknya. Ini merupakan bagian penting dalam kehidupan bersama, karena bisa meminimalisir terjadinya konflik.
Dalam Islam, perbedaan pendapat itu biasa dinamakan ikhtilaf ar ro’yi. Kata ikhtilaf sendiri banyak disebut dalam Al Qur’an. Dalam kitab suci itu, perbedaan lebih banyak diletakan pada segi positifnya. Sementara manusia banyak mempersepsikan perbedaan sebagai sesuatu yang negatif.
Dalam Al Qur’an, misalkan ada ungkapan ikhtifalul laili wa nahar (perbedaan malam dan siang). Ini fenomena alam di mana manusia terlibat di dalamnya, hidup di antara siang dan malam. Selain itu ada juga ungkapan, ikhtilaful alsinatikum wa alwanikum (perbedaan bahasa dan warna kulit kalian). Ini juga bagian dari kehidupan alamiah. Dan kita harus mampu menjadikannya sebagai pelajaran, bahwa kita harus mampu hidup di alam perbedaan-perbedaan itu agar kita bisa lebih menikmati kehidupan ini.
Beberapa kategori shilah yang anda katakan tadi, menurut saya merupakan satu rangkaian kesatuan, bukan bediri sendiri. Soal rizki seperti kaya-miskin, atau sosial seperti profesi itu kan satu paket kehidupan. Jadi semua itu harus diletakkan pada posisi ikhtilaf yang positif. Nah hal ini sesuai dengan jawaban Nabi di atas, yaitu ith’amu tho’am, liinul kalam dan ifsyaul salam. Jadi harus simultan. Itu semua satu paket shilaturrahim.
Apakah bisa dikatakan bahwa persolan sosial itu terjadi selain karena kurangnya shilaturahim dalam arti subtantif, juga karena rendahnya tingkat spiritual bangsa?
Dalam islam, bicara tentang rendah tingginya tingkat spiritual, itu mengacu pada iman. Sementara indikator spiritualas yang sehat dan baik, adalah berfungsinya iman pada diri seseorang. Ada salah satu petunjuk yang jelas dari Rosulullah ketika ditanya tentang mukmin, yaitu almukminu man aminahu annas ‘ala dimaa’ihim wa amwalihim (orang yang mukmin adalah mereka yang oleh masyarakat mendapat kepercayaan bahwa mereka tidak mengganggu kemanan dirinya dan harta bendanya). Jadi salah satu indikator iman itu adalah menjadi kepercayaan orang lain. Orang lain tidak terganggu dari segala sikapnya, termasuk pembicaraannya. Atau dengan kata lain, seorang yang beriman harus mampu menciptakan lingkungan kehidupan yang aman. Nah itu salah satu indikator keimanan. Itulah spiritual menurut pandangan Islam.
Artinya shilaturrahim bisa meningkatkan spiritual seseorang?
Benar sekali. Karena itu saya katakan bahwa shilaturrahim itu bukan basa-basi dan semboyan politik. Tapi satu bagian penting dari ajaran Islam.
Adakah perbedaan shilaturrahim dalam idul fitri dan di luar idul fitri?
Saya kira shilaturrahim di mana-mana itu satu. Cuma idul fitri itu dijadikan momentum di mana shilaturrahim ditonjolkan sedemikian rupa sehingga menjadi acara utama. Seperti misalnya kalau kita di Indonesia ada acara formal bernama halal bil halal, itu merupakan lembaga shilaturrahim.
Jadi maknanya tetap sama. Jadi meski di luar Idul fitri, shilaturrahim harus tetap terbina terus.
Bisakah kemudian dikatakan bahwa shilaturrahim merupakan media untuk mensupport peradaban Islam?
Oh ya tentu. Shilaturrahim itu merupakan bagian penting dari peradaban Islam. Tapi yang disesalkan, sejauh ini shilaturrahim tidak terbina secara optimal. Ini merupakan salah satu kesalahan. Padahal pada waktu Rasulullah dan para sahabat itu, shilaturrahim sangat terjaga. Sementara orang-orang non muslim juga merasa aman di tengah-tengah masyarakat muslim, mulai zaman Rasulullah hingga zaman kekhalifahan.*
Wawancara dengan Prof KH Ali Yafie (Mantan Rektor IIQ Jakarta)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No IV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar