Kamis, 27 Desember 2007

BERIBADAH DENGAN MOTIVASI CINTA

TIDAK Mudah menemui Dr. Moh Sholeh. Jadwal kegiatan pria kelahiran Kediri 9 Desember 1960 ini sangat padat. Selain sibuk keliling dalam berbagai pelatihan tentang shalat yang mampu menenangkan hati dan menyembuhkan penyakit, ia juga membuka praktik Klinik Terapi Tahajud di Masjid Al-Akbar Surabaya. Tak sedikit wartawan yang kesulitan menemuinya. Tapi alhamdulillah, setelah beberapa kali menghubuginya, SC berhasil mewawancarainya. “Saya sedang melayani pasiens. Interviewnya besok pukul tujuh pagi saja,” kata pria yang menjadi Guru Besar di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya ini.
Pria yang dijuluki profesor tahajud ini menjadi terkenal karena disertasinya tentang shalat tahajud ketika menyelesaikan jenjang pendidikan S 3 di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair Surabaya). Disertasi itu akhirnya menjadi salah satu buku best seller, yaitu Terapi Shalat Tahajud: Menyembuhkan Berbagai Penyakit. “Shalat tahajud bisa membawa ketenangan jiwa. Sementara ketenangan jiwa dapat meningkatkan ketahanan tubuh imunologik, mengurangi risiko terkena penyakit jantung,” katanya optimis.
Terkait dengan keahliannya menganalisis hikmah shalat tahajud dari ilmu kedokteran, kali ini SC mewawancarainya tentang Lailatul qodar. Berikut petikannya dalam bentuk narasi:
***
LAILATUL QODAR merupan sebuah malam yang diistimewakan oleh Allah. Bila malam itu senantiasa dimanfaatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, insya Allah pahalanya seperti yang dijanjikan oleh Al Qur’an, sama dengan seribu bulan. Jadi hendaknya jangan disia-siakan mengingat umur kita amat sangat pendek.
Sejauh ini masih ada cara pandang yang kurang benar tentang lailatul qodar. Karena pengertian satu malam seperti seribu bulan, acapkali dipahami secara politis. Artinya dijadikan aji mumpung untuk bertobat sementara hari-hari sebelumnya tidak dimanfaatkan untuk bertobat. Menurut saya, bila ingin menjadi kekasih Allah, jangan dipisah-pisahkan antara ibadah wajib dan sunnah atau ibadah yang berpahala besar dan kecil. Karena bagi orang yang cinta kepada Allah, tidak diberi pahala pun tidak apa-apa. Sehingga tidak punya pikiran ekonomis.
Sayyidina Ali ra berkata bahwa tingkatan ibadah itu ada tingkatan pedagang dan orang merdeka. Bila ibadah hanya untuk mendapatkan pahala, itu ibadahnya pedagang. Tapi bila beribadah semata-mata karena Allah itu ibadahnya orang yang merdeka.
Sebagai seorang muslim, alhamdulilah, baik di bulan Ramadhan maupun lainnya, insya Allah saya tidak pernah meninggalkan shalat tahajud. Di bulan Ramadhan, saya tidak hanya mengerjakannya pada sepuluh hari terakhir untuk mengintai kedatangan lailatul qodar, tapi mulai tanggal satu Ramadhan hingga satu Syawal saya selalu rutin menjalankan shalat tahajud dan membaca Al-Qur’an.
Dengan shalat tahajud yang istiqomah tersebut, alhamdulillah saya memperoleh rahmat dari Allah berupa kesembuhan dari penyakit yang saya derita, yaitu kanker kulit. Padahal kanker ini sangat sulit disembuhkan. Dulu kulit saya ini seperti membusuk. Saya sudah pergi ke mana-mana dan semua dokter angkat tangan semua. Kemudian saya melaksanakan tahajud setiap malam, alhamdulillah penyakit saya sembuh dan tidak ada bekas sedikit pun.
Beribadah antara niat mengejar pahala dan karena semata-mata cinta kepada Allah itu beda. Karena niat mengejar pahala, itu bisa disesatkan oleh setan karena ada kepentingan-kepentingan. Misalkan kita ingin mimpi bertemu dengan Rasulullah, bisa saja setan berubah wujud dan menjadi sesuatu yang kita kehendaki. Jadi niat yang benar adalah semata-mata karena Allah.
Memang keinginan itu juga perlu. Tapi kita harus sadar bahwa di atas keinginan itu ada ketentuan Allah yang tidak bisa diotak-atik. Bila ini tidak disadari, akan berakibat frustasi. Ini banyak saya temui ketika saya menghadapi para pasien. Misalkan dia ingin memperoleh kesehatan melalui shalat tahajud yang rutin. Tapi setelah shalat tahajud berulang-ulang kali ternyata kondisinya tidak segera sehat. Akhirnya ia frustasi, “ngapain saya shalat tahajud selama ini bila ternyata saya tidak sehat-sehat?” katanya. Nah dari kasus ini, hendaknya kita ambil pelajaran bahwa bila kita tidak cermat maka bisa tersesat.
Menjalankan shalat tahajud, seharusnya diiringi dengan keikhlasan hati. Karena sebagai manusia kita hanya bisa terus-menerus berusaha, sementara yang menentukan adalah Allah. Sehingga apapun yang terjadi itu bukan berarti do’a kita tidak didengar. Karena Allah itu Maha Mendengar dan Maha Pemberi.
Ibadah yang lillahi ta’ala itu menentramkan jiwa. Karena target yang kita tentukan itu kita pasrahkan pada Allah. Ibadah yang lillahi ta’ala akan menimbulkan perubahan pada diri kita, yaitu hormon kortisol tidak terlepas dari tubuh melampaui batas toleransi tubuh. Kortisol adalah sejenis hormon yang dilepas oleh anak ginjal yang hanya akan dilepas oleh tubuh bila kita ada beban. Tapi bila kondisi kita tenang, pasrah, tawakal dan khusnudzon pada Allah, maka kortisol itu tidak akan dilepas melampaui batas toleransi tubuh. Jadi bila orang ingin sehat maka manfaatkanlah momen-momen ibadah seperti lailatul qodar itu untuk menyerahkan diri kepada Allah, insya Allah penyakitnya sembuh.
Lebih jauh, bila ibadah ikhlas, tulus, istiqomah, dipenuhi dengan tawakkal dan cinta kasih kepada Allah, maka ada hormon yang dilepas yaitu oksitosin, sehingga orang itu akan menjadi saleh. Tapi saat ini, mengapa banyak orang sholat, haji dan seterusnya tapi perilakunya jauh dari pesan moral dari shalat dan haji? Karena shalat dan hajinya masih dalam tataran lidah. Tidak sampai relung hati yang paling dalam. Hati itu kan dibagi menjadi empat, yaitu sodr (paling pinggir) yang berkaitan dengan metabolisme tubuh, hormon dan jantung. Bila seseorang berdzikir sampai pada batas ini (sodr) kemudian dzikirnya menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan harapannya (keuntungan) maka dia akan mengalami kesenangan yang luar biasa. Tapi ketika dia mendapatkan kesusahan maka dia akan frustasi. Jadi senang dan susah masih menyelimuti seseorang yang dzikirnya berada dalam tataran sodr. Dzikir orang yang seperti ini tak ubahnya seperti burung beo saya. Burung beo itu saya drilling dan bisa mengucapkan assalamu’alaikum, astaghfirullah al’adzim, alhamdulillah, dan laa ilaha illallaha. Ini hanya sebatas ucapan dan belum bisa merubah perilakunya. Jadi sholat yang masih dalam tataran sodr itu belum bisa merubah perilakunya.
Agak dalam dikit namanya al-qolb, lalu fuad dan terakhir adalah lub. Maka ada istilah ulul al-bab. Nah, orang yang pada tataran lub ini selalu memaknai segala sesuatu secara positif. Apa pun ujian dari Allah dia akan selalu memaknainya positif. Karena dia yakin pasti ada hikmah. Ini memang langka. Barangkali misalnya seperti bilal ketika dipukuli orang-orang suku Quraish tapi dia tidak merasa sakit karena berdzikir ahad, ahad, ahad. Atau juga yang dialami oleh Sayyidina Ali yang terkena panah dan minta tolong kepada sahabat-sahabatnya untuk mencabut panah ketika ia dalam keadaan shalat. Jadi khusu’nya itu sudah merubah perilaku. Dalam teori kedokteran ada, otak melepaskan seretonin, betaindorfin, melatonin kemudian mengikat glutamat. Glutamat itu nerotransmeter, hormon yang menyebar rasa sakit. Nah kalau kita dalam kondisi cinta kepada Allah sampai pada tingkat lub, rasa sakit itu bisa diikat oleh seretonin, betaindorfin, melatonin. Sehingga tidak menebarkan rasa sakit. Ditusuk jarum pun tidak akan merasakan sakit.
Tapi demikian, ini semua adalah proses. Selain kita terus berusaha, kita juga sadar bahwa Allah itu yang berhak menentukan keputusan. Tapi ini jangan diartikan pasrah tanpa ada dinamika usaha.

Wawancara dengan Dr Muh Sholeh
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol III

Tidak ada komentar: