Rabu, 13 Februari 2008

“DANAH ZOHAR TELAH MENDUNIAKAN KEKELIRUANNYA”


JALALUDDIN RAKHMAT, lahir di Bandung, 29 Agustus 1949. Kang Jalal—begitu panggilan populernya—dikenal sebagai salah satu tokoh cendikiawan dan mubaligh Islam terkemuka di Indonesia, bersama Gus Dur (KH Abdurahman Wahid) dan almarhum Cak Nur (Prof.Dr. Nurcholis Madjid).
Dari sekian panjang pergulatannya dalam pemikiran Islam, Kang Jalal pernah menyimpulkan bahwa fiqih hanyalah pendapat para ulama dengan merujuk pada sumber yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Ia tidak setuju bila klaim kafir dialamatkan pada orang yang berbeda pendapat tentang tafsir Al-Qur’an dan Sunnah. “Bila menentang Al-Qur’an dan Sunnah, itu baru kafir,” katanya.
Karena silang-pendapat fiqh itu pula, Kang Jalal memfikirkan solusi alternatif yang bisa mempersatukan umat Islam, dan pilihannya jatuh pada akhlak. Menurutnya, dalam akhlak, semua orang—apa pun mazhabnya—bisa saling sepakat. Pemikiran ini ia tuangkan dalam buku, Dahulukan Akhlak di Atas Fikih (2002).
Sebagai cendikiawan muslim, Kang Jalal juga bergulat dengan tasawuf. Ketertarikannya pada dunia sufi ini bermula saat bersama-sama Haidar Bagir dan Endang Saefuddin Anshory diundang pada sebuah konferensi di Kolombia pada 1984. Dari konferensi itu ia bertemu dengan ulama-ulama asal Iran yang memiliki pemahaman mendalam tentang tasawuf, dan ia merasa kagum pada mereka.
Pasca kepulangan dari konferensi tersebut, Kang Jalal tenggelam dalam dunia tasawuf dan melahirkan beberapa karya seperti Reformasi Sufistik (1998), Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik (1999) dan Tafsir Sufi Al-Fâtihah (1999). Selain tasawuf, Kang Jalal juga menulis buku-buku Psikologi, seperti Psikologi Komunikasi (1985) dan Psikologi Agama (2003).
Berangkat dari kemampuan Kang Jalal yang multi disiplin ilmu tersebut, keempat wartawan SC Adib Minanurrachim, Kholis Bakrie, Billyantoro, Azty Arlina dan satu fotografer, Heru Haryono, mewawancarainya seputar perkembangan antara science dan spiritualisme. Berikut petikannya:

Fenomena fusi antara spiritualitas dengan science seperti yang dilakukan Danah Zohar, penemuan God Spot dan Fisika Quantum, apakah itu merupakan fenomena baru dari perjalanan spiritualisme di barat?

Di barat, spiritualitas muncul karena kekecewaan mereka terhadap science yang didasarkan pada logika dan empirisisme. Manusia melihat dunia ini absurd. Untuk apa seluruh kehidupan ini bila diakhiri dengan kematian? Segala usaha manusia sia-sia. Kata Soren Keirkegaard, ada semacam kecemasan yang luar biasa bagi manusia modern saat mereka memikirkan akhir kehidupan. Ia menyebutnya kegelisahan yang tak difahami.
Pertanyaan itulah yang membawa orang-orang ke spiritualisme. Mereka merasa rasio yang menjadi dasar sceince ternyata buntu dan tidak bisa memberikan jawaban, selain mereka juga kecewa terhadap science yang matrealistis.
Mengenai God Spot itu sama kontroversinya dengan G Spot (titit birahi) yang cuma mitos, karena hingga saat ini tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.
Sekarang ini ada penelitian neurologis tentang pengalaman-pengalaman keruhanian. Ada yang mengalami keruhanian, misalnya melalui brain imaging, pemasangan semacam saluran-saluran di sekitar kepala untuk melihat gelombang-gelombang otak. Bila orang mengalami pengalaman ruhaniah, ada bagian otak yang katanya berkaitan dengan perasaan, letaknya di sekitar hipocampus (pusat memori harian). Menurut neurolog, di bagian hipocampus itu ada satu tempat yang disebut lobus temporal, berfungsi mengatur kesadaran waktu dalam kehidupan kita. Bila mendadak kesadaran waktu hilang atau tenggelam dalam satu situasi, maka keadaan orang tersebut flow. Nah kata orang, itu yang diseput God Spot, titik yang menyambungkan manusia dengan Tuhan.
Pendapat lain mengatakan, God Spot itu sebenarnya bukan persambungan kita dengan Tuhan, tapi seperti mata lahir ini. Hanya saja, God Spot tidak bisa membuktikan adanya Tuhan, kecuali hanya alat yang bisa merasakan kehadiran Tuhan.
Tapi persoalannya, para ahli neurolog juga menemukan bahwa keadaan blink (‘berkedip’) itu juga dialami orang sakit jiwa. Para penderita skizofrenia dan paranoida juga mengalami rangsangan di tempat yang sama. Dengan kata lain, orang saleh sebetulnya juga mengalami pengalaman neurologis yang sama dengan orang sakit jiwa atau orang gila. Nah, apakah hal itu kita sebut sebagai God Spot (titik Tuhan) atau Mad Spot (titik gila)? Hehehe...

Dalam pengantar anda di buku Danah Zohar, anda memberikan catatan bahwa Danah Zohar masih terjebak psikologisme. Maksudnya bagaimana?

Danah Zohar itu bukan psikolog, bukan pula neurolog. Dia keliru—kekeliruan yang menjadikannya populer dan sekaligus membumikannya—dengan menyebut kecerdasan spiritual sebagai SQ (spiritual quotient). Karena huruf Q itu kan quotient yang berarti hasil bagi. Huruf Q, dalam matematika merupakan hasil pembagian dari X dibagi Y (X:Y=Q). Ini cocok bila diterapkan pada IQ (Intelligence Quotient). Karena teori ini membagi usia mental dengan usia kronologis. Misalkan ada anak yang usia kronologisnya 5 tahun, tapi kecerdasan mentalnya sudah seperti anak berusia 10 tahun. Maka teorinya adalah 10:5x100= 200. Jadi IQ anak itu adalah 200.
Di kalangan Psikolog tidak ada SQ, yang mungkin ada adalah kecerdasan spiritual atau Spiritual Intelligence (SI). SI ini pernah diusulkan kepada Howard Garner yang berpendapat bahwa manusia setidaknya memiliki delapan kecerdasan yang ada tempatnya di dalam otak. Misalkan kecerdasan kinestetik yang berkaitan dengan cerebellum (otak kecil sebelah belakang yang mengusai koordinasi otot-otot). Tapi kata Garner, di mana letak kecerdasan spiritual? Tidak ada.
Mengenai pandangan Danah Zohar tentang berspiritual tanpa beragama, sebetulnya malah ada yang lebih ekstrim, yakni berspiritual tanpa ada kepercayaan terhadap Tuhan. Agama Budha itu sangat spiritual, tapi mereka tidak percaya sama Tuhan. Alasannya, Tuhan itu tidak bisa digambarkan dan didefinisikan. Seorang antropolog pernah menanyakan teologi mereka. Tapi jawab mereka, our dance is our theology (tarian kami adalah teologi kami). Karena mereka tidak membicarakan Tuhan, mereka hanya membicarakan bagaimana meghilangkan derita dalam kehidupan.
Fenomena itu juga tergambar dalam dunia modern saat ini. Tak sedikit orang berkata, saya seorang spiritual tapi bukan seorang religius. Dalam hal ini, saya kira benar. Sementara yang tidak benar itu adalah ketika SQ itu beredar di Indonesia dan menjadi semacam training-training. Sebenarnya mereka itu bingung membedakan antara mana yang disebut emotional intelligence dan spiritual intelligence? Lalu mengambil jalan pintas dengan menggabungnya dan bernama ESQ, tanpa ada batasan-batasan yang jelas.
Secara ilmiah ESQ itu adalah something you are not able to check and to account (sesuatu di mana anda tidak bisa memeriksa dan melaporkan). Jadi tidak bisa dijelaskan melalui topangan-topangan ilmiah yang bersifat empiris dan logis.
Lebih jauh, apa sih ukuran ESQ? Tangisan? Kalau sudah menangis, maka kita sudah mendapat ridho Allah? Siapa saja yang tidak menangis, maka hatinya sudah membatu dan tidak mendapat petunjuk. Begitukah?
Jadi menurut saya, ESQ itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan emosional, spiritual dan intelegensi. ESQ itu hanya mengulang kesalahan seperti zaman romawi, yaitu Th Holy Roman Empire (kerajaan romawi yang suci), yang merupakan kerajaan Paus. Padahal sebenarnya, itu bukan kerajaan, bukan romawi dan sama sekali tidak suci.

Tapi di antara alumninya banyak yang mengalami perubahan kepribadian menjadi baik?

Kalau mereka menjadi baik itu hanya dongeng saja. Apa sih ukuran kebaikan itu? Ia rajin sholat, hanya itukah? Coba gunakan ukuran lainnya; kenapa sifatnya makin ekstrim terhadap tetangga atau teman sekerjanya? Mengapa ia menganggap orang yang tidak pernah ikut ESQ adalah orang yang belum dapat hidayah? Mengapa pula ia menganggap dirinya sebagai yang paling sholeh?

Motif kegilaan masyarakat kota terhadap ESQ karena apa?

Mungkin karena pemasarannya yang sangat bagus. Ada teknik marketing yang menurut saya sangat bagus. Semua teknik yang dipakai multylevel marketting itu juga dipakai dalam ESQ, dan setiap alumninya bisa menjadi marketter sekaligus. Selain itu, memang ada kecenderungan umum, bahwa orang-orang Indonesia ini suka hal-hal yang instan.

Bagaimana dengan tariqoh-tariqoh yang di antara jalan menuju Allah itu melalui puasa dan lainnya. Apakah ini yang dimaksud dengan spiritual dalam Islam?

Iya. Tapi dalam Islam, perjalanan menuju Tuhan itu perjalanan yang panjang dan sama sekali tidak instan. Dulu saya mendirikan pusat kajian tasawuf dan pernah masuk di beberapa tarekat, tapi akhirnya keluar dengan kekecewaan. Karena saya tidak menemukan pengalaman ruhani yang benar-benar tulus. Sulit membedakan pengalaman batin antara orang gila dengan orang sholeh. Sense keduanya itu sama.

Apakah termasuk dzikir akbar?

Dzikir Akbar itu bisa memberikan pengalaman ruhani karena orang yang bergerak dengan gerakan yang sama, bersuara dengan suara yang sama, dan bahkan kadang-kadang pakaiannya juga sama. Dalam situasi seperti itu anda dalam keadaan suggestable, sangat mudah dipengaruhi. Kemudian pembicaranya berbicara dengan menyentuh emosi, kalau perlu juga berakting menangis. Nah, apakah itu pengalaman spiritual? Menurut saya tidak.

Lalu perjalanan menuju Allah itu seperti apa?

Perjalanan menuju Allah itu transformasi personal dari satu tahap ke tahap yang lebih spiritual. Transformasi ini merupakan perubahan menyeluruh dari seluruh kepribadian kita. Ada seorang sufi modern memberi contoh, bila kita ingin menghilangkan sakit kepala, kita bisa beli obat di apotik, analgesik atau bodrek. Tapi dengan obat, sebenarnya kita hanya menghilangkan sementara rasa sakitnya. Penyakitnya masih tetap. Karena itu bila ingin sembuh, sebenarnya kita juga harus makan teratur dan mengikuti 3 J: jenis makanannya apa, jumlahnya berapa dan jadwalnya teratur-tidak? Artinya, kita juga harus merubah cara hidup kita. Tak cukup membeli obat di apotik saja.
Nah, The Road to Allah adalah upaya untuk tranformasi tersebut. Kita harus merubah cara hidup kita, bukan hanya mengobatinya dengan dzikir. Bila hanya dzikir tanpa melakukan perubahan kepribadian yang buruk, ya sama saja.
Dalam Islam, The Road to Allah itu tasawuf. Tapi persoalannya, orang awam pun pada ngomong tasawuf. Sama dengan spiritual. Selain itu, banyak orang yang terlalu gampang puas. Mengklain dirinya sebagai sufi bila sudah mengambil rujukan kepada kitab Ahmad bin Atha’illah As-Sakandary, yaitu al Hikam, atau bila sudah mulai membahas Kitab Al Ghozali, Ihya ‘Ulumuddin.
Jadi menurut saya, ukuran orang yang menapak jalan menuju Allah itu lebih pada transformasi spiritual, perubahan tingkah laku. Dan ukuran yang lebih utama adalah apakah dia makin penyayang terhadap sesamanya, lebih toleran terhadap orang-orang yang berbeda denganya, dan lebih berkeinginan memberikan kontribusi berharga terhadap kesejahteraan orang lain?*

Dimuat di SC Vol VI

Tidak ada komentar: