MENJELANG kemerdekaan Indonesia yang ke 62 tahun ini, alhamdulillah, saya melihat bangsa ini masih tegar meski berbagai macam krisis telah menimpa. Hanya saja ada fenomena-fenomena yang mungkin kurang menyamankan. Misalkan masih banyak penyelewengan, perselingkuhan, pelacuran, keamanan sosial yang kurang ideal dan masalah ketetanngan jiwa yang berkurang. Ini dari sisi sosial. Kalau bukan karena kekokohan iman, barangkali kondisinya makin meburuk.
Jadi, secara sosial-ekonomi bangsa Indonesia belum merdeka dalam arti sesungguhnya. Misalkan soal beras kita masih mengimpor, dan baru-baru ini kerepotan masalah susu. Artinya bangsa ini masih belum bisa mandiri. Padahal tanah luas dan kekayaan alam melimpah. Ini memprihatinkan.
Hal itu terjadi, barangkali selain karena kita sendiri boleh jadi tidak serius untuk bisa mandiri, juga karena ada faktor x yang menginginkan bangsa ini agar tidak merdeka seutuhnya.
Dari dalam, coba saja kita lihat fenomena pembalakan hutan secara liar hingga menimbulkan kekeringan dan para petani pun kebingungan. Bukankah ini bukti bahwa kita belum arif terhadap alam dan belum serius untuk mandiri? Lebih jauh, masih banyak orang Indonesia yang mementingkan diri sendiri dan kelompok, kurang memikirkan bangsa dan negaranya.
Sementara dari luar, seakan-akan ada negara asing yang membantu kita. Tapi membantunya bukan untuk menjadikan bangsa ini mandiri, tapi sebaliknya menjadi tergantung kepada mereka. Hal ini, meski sulit dikatakan, tapi faktanya memang terjadi. Bila ada bantuan misalkan gandum, itu bukan bertujuan agar kita bisa menanam sendiri dan mandiri. Tapi sebaliknya, agar kita tergantung. Atau bantuan lainnya seperti dari IMF dan World Bank. Jadi ini semua adalah perangkap ekonomi yang menjadikan kita seakan-akan tidak akan pernah merdeka dalam arti ideal subtansial.
Kemerdekaan bila ditinjau dari Islam, kita merupakan bangsa yang kurang memiliki kekokohan iman. Belajar pun kurang serius dan kurang memiliki tujuan mulia. Misalkan para pelajar saat ini, mereka itu menuntut ilmu untuk memajukan bangsa atau sekedar belajar agar mendapatkan ijazah dan memperoleh pekerjaan? Dua hal ini berbeda. Bila belajar hanya untuk memperoleh kerja, secara tidak langsung pola pikir politik etis yang diterapkan Belanda pada masa lalu terulang kembali. Karena Belanda memberikan kebijakan politik etis, itu hanya supaya kita menjadi pekerja mereka.
Jadi keilmuan yang dalam Islam akan dimintai pertanggungjawaban, itu tidak diteruskan melalui pengabdian kepada nusa dan bangsa. Hanya sedikit dari bangsa ini yang malkukannya. Nah ini dari orang-orang yang akan membina/mengurus bangsa. Bila sudah begini, bagaimana generasi kita selanjutnya?
Sementara dari sisi penguasa, tampak masih didominasi oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Cobalah anda teliti, berapa persen dari seluruh pejabat di Indonesia yang punya ketulusan untuk memajukan bangsa dan negara ini? Jadi nasionalisme yang mereka omongkan ketika masih belum menjadi pejabat adalah nasionalisme semu. Karena mereka lupa setelah mendapatkan jabatan.
Dalam Islam, itu kan disebutkan khoiru annaasi angfauhum linnaas. Nah bila ini ditanamkan, bahwa kita berjuang untuk membahagiakan orang lain, itu kan baik. Tapi sayang ini kurang ditanamkan dalam bangsa ini.
Pola pikir yang individual tersebut, bisa juga dikatakan bahwa ada fenomena ketakmerdekaan spiritual dari bangsa ini. Karena sikap individual adalah salah satu bukti bahwa orang itu terjangkiti kekeringan spiritual. Bila memiliki spiritual yang tinggi, pasti ia akan memikirkan nasib orang lain.
Memang secara materi, manusia itu membutuhkan makan dan segala hal yang terkait kebutuhan jasmani. Tapi bila spiritualitasnya tinggi, yang ingin ia capai adalah kebahagiaan spiritual. Apa bedanya antara kebahagiaan jasmani dan spiritual? Bila jasmanai itu terbatas, sementara spiritual itu tidak terbatas. Misalkan keinginannya adalah kepuasan seksual. Setelah ia memperolehnya,maka ya sudah, selesai. Tapi ada satu kesenangan yang tak terbatas, yakni kesenangan spiritual. Karena hidup bagi spiritualis itu bukan untuk dapat, tapi untuk memberi. Mudahnya bisa diibaratkan dengan orang tua kita. Ketika masih kecil, kita sangat menginginkan sebuah mainan. Kala itu orang tua kita tidak bisa membelikannya karena tidak punya uang. Tapi demikian, orang tua kita tidak berarti tidak berusaha. Mereka berusaha sekeras tenaga mencari reziki dan menabung sedikit demi sedikit agar bisa membeli mainan tersebut. Nah melihat ia berhasil membelikan mainan untuk anaknya, dan anaknya senang dengan mainan itu, hati si orang tua sudah senang. Padahal ia mengeluarkan biaya. Jadi, bila spiritualitas seseorang itu tinggi, maka dia tidak akan menyakiti orang lain. Karena Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang. Sehingga yang keluar dari orang tingkat spiritualitasnya tinggi maka segala ucapan dan tindakannya akan penuh kasih sayang. Nah nilai-nilai seperti ini dan atau pola cinta kasih oraang tua kepada anaknya, seharusnya diterapkan oleh para penguasa pada bangsa dan negara ini. Tapi sayang, ini masih belum ditanamkan kepada generasi bangsa secara total.
Fenomena di atas, barangkali juga kurang maksimalnya pendidikan agama di Indonesia. Karena fenomena yang terjadi, pendidikan agama hanya ditujukan untuk mengisi intelektualitas saja. Belum mengarahkan bagaimana bisa terjun ke masyarakat dan memberikan pengorbanan untuk mereka. Lebih jauh pendidikan agama masih sangat kurang. Karena pendidikan di Indonesia ini sudah sekuler. Sehingga belajar agama itu hanya sekilas. Karena pendidikan agama tidak dijadikan faktor untuk lulus-tidaknya seseorang. Bagaimana perilakunya di kelas, di rumah dan di lingkungan lain tidak tidak menjadi faktor yang signifikan bagi kelulusan seorang pelajar.
Jadi akhlak itu seharusnya dijadikan faktor fital bagi menilai seorang pelajar. Karena akhlak itu adalah buah dari sebuah keyakinan dan ibadah. Kalau aqidah dan ibadahnya benar maka buahnya benar. Lebih jauh Rosulullah bersabda, innamaa bu’istu liutammima makarimal akhlak (saya diutus untuk memperbaiki akhlak).
Jadi, tujuan pendidikan Islam secara umum adalah menciptakan seorang mukmin yang ahli ibadah, soleh, baik dunia dan akhirat.
Tentang hal ini, Yusuf Qordawi mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menciptakan satu generasi muslim, bukan pribadi, tapi generasi yang menyatu dan mampu menjadi perekat ummat. Nah bila ada lembaga pendidikan yang mengajarkan menjadi perekat ummat, ini baik. Misalkan Gontor atau pesantren-pesantren lainnya yang mengajak orang menjadi perekat ummat.
Sebagai da’i saya menginginkan agar bangsa ini menyadari dan kembali pada Allah dan melakukan evaluasi mengapa bangsa ini seakan-akan sulit untuk bisa mengarah ke depan. Ummat Islam dan umat lainnya perlu bersatu dan saling bahu-membahu membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan agar kehidupan bangsa Indonesia bisa membaik.
Wawancara dengan DR H Ahmad Satori Ismail, MA (Ketua Umum Ikatan Da’i Indonesia)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar