Rabu, 13 Februari 2008

“SUFI ITU INKLUSIF”


AGUS MUSTOFA lahir di Malang, 16 Agustus 1963. Putra Syech Djapri Karim, guru tarekat yang sekaligus mantan Dewan Pembina Partai Penganut Tarekat Indonesia pada masa Bung Karno ini, dikenal sebagai penulis produktif buku serial diskusi tasawuf modern. Di antara buku-bukunya adalah, Pusaran Energi Ka’bah, Ternyata Akhirat Tidak Kekal, Untuk Apa Berpuasa, Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh, Bersatu dengan Allah dan masih banyak lagi. Kegemaran terhadap tasawuf, selain dipengaruhi sosok ayahandanya juga karena pergaulannya dengan beberapa intelektual Islam modern seperti Prof Ahmad Baiquni dan Ir Sahirul Alim M Sc, semasa kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Januari lalu, kepada penulis yang sedang menyelesaikan buku berjudul Bersyahadah Dalam Rahim ini, saya mewawancarainya seputar fenomena spiritualisme yang makin digandrungi masyarakat modern saat ini. Berikut petikannya:


Seiring meningkatnya popularitas spiritualisme, ada fenomena tentang seorang spiritualis tapi tidak religius. Bagaimana pendapat anda?

Pertama, spiritual itu tergantung bagaimana kita melihat. Sama dengan agama dan Tuhan, tergantung siapa yang melihat. Bisa jadi antara saya dan anda berbeda. Begitu pula dengan spiritual: kata yang sama, tapi setiap orang bisa mendefinisikannya secara berbeda-beda. Tapi inti spiritual adalah sebuah upaya untuk masuk ke dalam jiwa kita. Sebagai manusia, dalam diri kita terdiri dua hal, fisikal juga spiritual.
Tiap agama punya spiritualism, bahkan orang-orang dinamisme dan animisme juga punya. Tapi dalam Islam saya kira berbeda dan menunjukkan kualitas tertentu yang jauh dari yang lainnya. Jadi sekedar definisi secara umum, yang monggo saja.
Kedua, kita sebagai seorang muslim memiliki begitu banya kaidah-kadaih untuk membangunkan spiritual kita. Tapi kunci utamnya adalah menghilangkan ego kita sebagai manusia dan kemudian memunculkan sifat-sifat ketuhanan dalam pikiran, hati dan keseluruhan hidup kita, mengarah pada tauhid. Ini merupakan tingkat spiritualitas yang sangat tinggi.
Dalam Islam, seluruh ajaran Rasulullah merupakan proses spiritualitas kita, tak kecuali rukun Islam. Dan syahadah merupakan pintu masuk spiritualitas seorang muslim.
Saat seseorang sudah mengorientasikan hidupnya dan kepentingannya hanya kepada Allah (laa ilaha illa Allah), sesungguhnya dia sudah mematok sebuah spiritualitas yang tertinggi di seluruh alam semesta ini, dan mengakui Muhammad sebagai pembawa ajaran spiritualitas tersebut.
Jadi, kalau kita kupas spiritualias Islam itu sangat luas dan dalam. Buktinya sejak berada di dalam rahim, kita ini sudah bersyahadah. Kata Allah dalam surah al A’raf ayat 172, ketika Allah mengeluarkan anak-anak Adam dari tulang sulbinya (masih berbentuk ovum dan sperma), lalu dipertemukan di dalam rahim, jiwa itu sudah terbentuk dan kemudian bersyahadah. Saat itu Allah bertanya, alastu birobbikum? (bukankah aku ini Tuhanmu?), mereka menjwab, bala syahidna (ya kami bersaksi bahwa Engkau Tuhanku). Dari sini, bisa diambil kesimpulan bahwa secara fitrah, manusia itu sudah mengarah kepada spiritualitas. Kemudian saat dilahirkan di dunia, dia (jiwa) diminta bersyahadah lagi secara syariah (teori), dan selanjutnya syahadah itu didefinisikan, dipelajari, difahami dan dilaksanakan.
Laa ilaha illa Allah itu bukan hanya teori, tapi juga harus diamalkan, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Bagiamana dia makan pagi ingat Allah, bekerja ingat Allah dan seterusnya. Bila ini bisa dilakukan, maka syahadah manusia akan mencapai tahap bahagia bersyahadah dalam seluruh amal perbuatannya, karya-karyanya. Kalau diteruskan lagi, maka akan sampai pada puncaknya, yaitu berserah diri. Kesaksian yang sesungguhnya.
Dari sini, ternyata seluruh ibadah yang dibawa Rosulullah, baik dzikir, sholat dan seterusnya, merupakan proses spiritualisme yang akan membawa seorang muslim menuju puncak spiritualitas Islam.

Dalam mencari kebahagian, begitu ragam jalannya. Ada orang yang tak beragama, bahkan atheis, mengaku bisa mencapai kebahagiaan. Ada pula yang melalui training- training instan, dan ada juga yang melalui pendakian yang panjang dan konsisten. Nah adakah titik pembeda pengalaman spiritual di antara mereka?

Tiap orang memang bisa mengalami proses-proses spiritual, termasuk orang yang mengaku tidak beragama semisal melalui semedi dan meditasi. Mereka bisa mengalami relaksasi. Tapi ada perbedaan yang sangat mendasar pada tingkatannya. Antara ketenangan satu dengan ketenangan lainnya bisa berbeda. Begitu juga dengan kebahagiaan satu dengan kebahagiaan lainnya. Ini semua tergantung pada siapa kita menggantungkan proses ketenangan dan kebahagiaan tersebut. Anda diam-diam begini sambil mendengarkan musik klasik, atau musik yang tenang dan tentram, anda bisa dibawa menuju gelombang otak alfa yang bisa memunculkan relaksasi. Atau anda ikut pengobatan relaksasi dengan aromaterapi, anda juga akan mengalami ketenangan. Karena itu, hal semacam ini bisa juga disebut dengan spiritualism.
Tapi kalau kita bandingkan, antara menggantungkan proses spiritualism itu kepada benda dengan kepada Dzat yang tak berhingga (Allah), maka tingkat ketenangan, ketentraman dan kebahagiaannya akan sangat berbeda.
Tingkat tersebut bisa dipahami dari gambaran surga yang bertingkat-tingkat. Ini menunjukkan bahwa ada fase-fase atau kualitas-kualitas, di mana di antara manusia memiliki kualitas spiritual yang berbeda-beda. Jangankan antara muslim dengan non muslim, antar sesama muslim sendiri ada kualitas yang berbeda-beda. Bahkan definisi tentang Tuhan antara saya dan anda bisa berbeda, tergantung sejauh mana kenalnya kita dengan Allah. Dalam Al Qur’an disebutkan mereka belum mengagungkan Allah dengan semestinya. Mereka belum kenal Allah dengan sesungguhnya. Jadi pendekatan kepada Allah untuk meningkatkan kualitas jiwa kita, itu perjalanan yang tak berhingga.
Nah di sini, monggo saja setiap orang meningkatkan kualitas dirinya masing-masing. Tapi pendekatan apa yang dilakukannya? Bila hanya sesuatu yang sederhana, ya sampai di situ saja. Coba bandingkan secara fair seperti yang diajarkan dalam Islam, yang memiliki beberapa pendekatan, yaitu syari’at, tarikat, hakikat dan makrifat, yang kualitasnya berbeda-beda.

Bagaimana bisa melakukan pendekatan spiritual yang tak berhingga tersebut?

Secara utuh, saya melihat bahwa orang itu akan mengalami kualitas jiwa yang tak berhingga apabila dia berusaha meniadakan dirinya, yang dalam syahadah, sejak awal sudah diajarkan laa ilaha illa Allah. Ini sesungguhnya makna yang sangat luar biasa, tergantung siapa yang membahas dan mendalaminya. Semua Nabi dan Rasul, misinya adalah menegakkan kalimat tauhid. Tapi demikian, laa ilaha illa Allah antara tiap muslim bisa berbeda kualitasnya. Tergantung sejauh mana peniadaan diri (ego) kita di hadapan Allah dan membesarkanNya dalam skala tak berhingga. Itulah yang akan memunculkan kualitas yang berbeda.
Jadi titik pembeda antara pelbagai macam spiritualitas yang ada saat ini adalah, sejauh mana meniadakan diri di hadapan Allah tersebut. Nah saat kita bisa meniadakan diri kita di hadapan Allah, mendadak kita bisa merasa bersatu di dalam kebesaran Dzat Allah tersebut. Ini yang saya jelaskan dalam buku saya, Bersatu dengan Allah. Di situlah tempat kebahagiaan yang luar biasa dan tidak berhingga serta tak bisa digambarkan dalam kata-kata lagi, yang dalam Al Qur’an dikatakan bahwa orang yang dekat dengan Allah itu tidak punya rasa takut, khawatir dan tidak gelisah, kecuali tentram. Tapi ingat, tentram antara satu orang dengan lainnya bisa berbeda.
Tingkatan manusia dalam Al Qur’an itu ada tiga; Iman, Taqwa dan Islam. Ya ayuha alladzina amanuu ittaqullaha haqqo tugotih wala tamutunna illa wa antum muslimuun. (Wahai orang yang beriman, taqwalah dengan sekuat-kuatnya dan sebenar-benarnya dan jangan mati kecuali dalam keadaan berserah diri). Di sini gambaran kualitasnya terlihat. Iman itu sebatas gambaran pemahaman keilmuan sampai yakin. Disuruh naik lagi dengan taqwa dengan usaha yang sungguh-sungguh. Itu tidak gampang. Ada proses panjang untuk meluruskan seluruh ibadah yang kita jalankan. Nah bila ini bisa dilalui, buahnya adalah berserah diri kepada Allah. Dan berserah diri ini ada contohnya, yaitu Nabi Ibrahim saat disuruh mengorbankan putranya yang begitu dicintainya. Ini merupakan contoh tertinggi.
Ukuran seorang spiritualis itu digambarkan Al Qur’an, yakni puncak misi seorang muslim adalah rahmatan lil ‘alamiin. Itu tanda-tanda yang bisa diamati. Makanya seorang Muhammad diutus untuk rahmatan lil ‘alamiin (wamaa arsalna muhammad illa lilrahmatan ‘alamiin). Seorang muslim harus bermanfaat seluas-luasnya bagi siapa saja, tidak terbatas pada muslim, mukmin dan muttaqiin saja. Tapi seluruh umat manusia dan sekalian alam. Jadi ukurannya di sini.

Tapi ada juga kan yang mencintai Tuhan tapi enggan hidup sosial, alias nyepi saja. Ini bagaimana?

Wah itu eksklusif, itu tidak benar. Kata Allah, ke mana pun kamu menghadap, kamu berhadapan dengan Allah. Walillahi al masyriqu wal maghrib. Kita melihat matahari terbit, kita berhadapan dengan Allah. Kita melihat pohon, semut, binatang, air dan semuanya kita melihat Allah. Nah bila sudah demikian, maka mencintai Allah itu tidak eksklusif, tapi malah inklusif. Karena kita melihat kehadiran Allah itu di seluruh benda, peristiwa dan semuanya. Jadi salah besar bila ada yang mengatakan bahwa menyatu dengan Allah, itu menjadi eksklusif! Uzlah atau mengasingkan diri, seakan akan hidup ini hanya dirinya dengan Allah, itu tidak benar. Karena misi manusia diciptakan adalah untuk menjadi rahmatan lil ‘alamiin. Justru dengan memberikan rahmat kepada alam, kita sedang berproses menjadikan sifat-sifat kita seperti Allah yang tidak pilih kasih dan mencintai semua makhluk.*

Adib Minanurrachim

Tidak ada komentar: