Kamis, 27 Desember 2007

“KEMERDEKAAN ADALAH TONGGAK INTROSPEKSI”

KOMUNIKASI politik yang terpenting dalam kemerdekaan adalah bagaimana seorang pemimpin seperti presiden atau kepala daerah, selalu mengevaluasi dan memperbaiki janji-janji politik yang mereka lakukan pada masa pemilu. Jadi dari 17 Agustus pertama ke 17 Agustus selanjutnya, adakah sesuatu yang terealisasi dari janji-janjinya?
Memang orang bisa mengukur semenjak pertama kali ia dilantik. Tapi hari kemerdekaan adalah tonggak yang bisa dijadikan ukuran, dan selayaknya pejabat itu mengevaluasi diri, apakah sudah bisa memerdekakan rakyatnya dari jabatan yang ia emban, baik dari janji-janji kampanye atau sebagai pejabat yang memiliki amanah.
Bicara kemerdekaan, maka juga bicara soal bagaimana masyarakat bawah itu bisa berjuang untuk memerdekakan dirinya dari pembodohan dan pemiskinan. Saat ini masih banyak fenomena yang mengindikasikan pembodohan dan pemiskinan. Di antaranya adalah kesenjangan intelektual dan ekonomi di antara bangsa sendiri.
Pemiskinan bisa terjadi karena bangsa ini dijajah oleh neoliberalisme dan atau karena sebagian kelompok dari bangsa ini tanpa sadar memikirkan dirinya sendiri sehingga memiskinkan kelompok lainnya. Sikap individualis ini merupakan salah satu karakter koruptor. Dan parahnya, korupsi sudah menjalar ke mana-mana. Ini luar biasa betul. Hanya orang bodoh yang tidak tahu bahwa dia sedang dikorupsi. Karena itu, ini tugas semua kalangan yang pro terhadap kemerdekaan ideal-subtansial. Ada tugas wartawan, mahasiswa, akademisi dan lainnya untuk membantu proses pemerdekaan ini.
Memang dalam memperjuangkannya, tentu setiap orang harus berusaha sendiri. Artinya secara individual, mereka juga berjuang melawan pembodohan dan pemiskinan. Tapi saya ingin mengatakan bahwa ini adalah tugas bangsa, tugas kita semua untuk melakukan pemerdekaan. Bila bangsa ini bisa merdeka dari dua hal itu, niscaya akan menjadikan bangsa mandiri. Memang ada sebagian orang yang mengatakan bahwa, ada juga dong orang miskin yang bisa berdikari. Tapi ini bukan lingkungan ideal yang dimaksud oleh UUD 1945 yang mencita-citakan pembangunan bangsa Indonesia seutuhnya. Karena pembangunan itu hanya bisa dicapai bila bangsa ini merdeka dari pembodohan dan pemiskinan. Jadi bila dari atas ada pembodohan dan pemiskinan, maka dari bawah harus ada pemerdekaan diri. Nah sekarang bagaimana melawannya. Bila dulu kita melawan penjajah Belanda, kemudian rezim otoriter, nah bila sekarang apa? Sekarang kebebasan sudah ada, tapi bukan berarti perjuangan berhenti, masih ada tugas melawan pembodohan dan pemiskianan, yaitu melalui pendidikan.
Salah satu agenda penting saat ini adalah bagaimana memperjuangkan peningkatan anggaran pendidikan 20%. Selanjutnya bagaimana memantau pelaksanaannya dengan baik dan benar. Karena ketika dana mengucur ke bawah, acapkali ada potongan-potongan yang koruptif.
Sementara itu, dalam rangka pemerdekaan, ada yang menawarkan terbentuknya civil society (CS). Sebenarnya CS itu sudah ada dan berakar dari kebudayaan kita. Banyak orang yang menganggap bahwa CS adalah kaum borjuis yang memulai perjuangan dari kafe-kafe pada zaman kebangkitan di era pencerahan Eropa. Tapi sebenarnya CS adalah sebuah masyarakat yang bisa lepas dan mandiri dari kungkungan pasar dan negara/penguasa. Saat ini tekanan dari penguasa masih ada, paling tidak penguasa yang belum bersungguh-sungguh merealisasikan janji-janjinya pada masa kampanye, dan belum menjadikan kehidupan rakyatnya sejahtera. Sementara disisi lain, tekanan pasar justru luar biasa. Saat ini kami berjuang melawan pembodohan dari pasar, salah satunya adalah melawan sinetron-sinetron yang cukup mempengaruhi dan bahkan menghegemoni pola pikir generasi muda. Itu pembodohan besar bagi bangsa. Nah dalam hal ini sudah ada CS yang melawannya, misalkan gerakan satu hari tidak melihat televisi.
Selanjutnya juga perlu ada perlawanan akibat negatif dari globalisasi. Karena ini bisa melunturkan jati diri bangsa. Ini sudah dapat dipastikan. Kami dari Salemba School menemukan indikasi bahwa ada kelompok tertetu yang ingin melunturkan jati diri bangsa, baik dengan menjadikan diri kita tergantung terhadap tekhnologinya dan atau super culture yang mereka anggap baik. Jadi mereka sangat senang sekali bila kita demikian cepat mengambil American Idol dan program-program lainnya, supaya kita terus-menerus mengikuti trend mereka. Indikatornya adalah capital flow, makro ekonomi dan lain-lain. Padahal jati diri kita semisal gotong-royong dan senasip sepenanggungan makin menipis. Coba dilihat berapa dana yang ada di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) saat ini dan tidak bergerak untuk sektor riil? Inilah bukti bahwa kita belum merdeka dan belum bebas dari upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak tertentu yang bertujuan memiskinkan bangsa sendiri.
Jadi sebenarnya, andai tidak dimiskin-miskinkan betul, kita ini adalah bangsa besar dan bisa maju. Tapi karena persoalannya tidak demikian, maka langkah terbaik saat ini adalah bagaimana kita bersama-sama mengajak—dari lingkungan kita yang terkecil—kita perbaiki sendiri. Andai ada hutan yang rusak, mari kita coba perbaiki sendiri. Bila ada sekolah yang rusak, mari kita perbaiki sendiri. Jangan terlalu tergantung terhadap pemerintah. Tapi demikian, pada saat yang sama kita tekan pemerintah untuk mematuhi janji-janjinya dan bisa mematuhi amanahnya serta tanggung jawabnya.

Wawancara dengan Effendi Gazali, Ph.D., MPS ID (Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol II

Tidak ada komentar: