(II)
MENYAMBUT kemerdekaan ini, sudah sepatutnya kita bersyukur kepada Allah SWT. Memang masih banyak persoalan yang perlu segera diselesaikan. Sehingga ada yang mengatakan bahwa secara ideal-subtansial, kita belum merdeka.
Di tengah pelbagai masalah yang menimpa bangsa ini, ada yang memberikan tawaran radikal dengan perubahan bentuk negara. Alasan yang dikemukakan bermacam-macam. Ada yang mengatakan bahwa hingga detik ini Pancasila belum bisa menawarkan perubahan yang signifikan, para pejabatnya bayak yang korup dan keluar dari nilai-nilai Islam begitu pula masyarakatnya, sehingga mereka beranggapan perlu ada penerapan syariah, menjadi negara Islam. Dalam konteks ini, saya tidak bicara salah-benar atau baik-tidak baik. Tapi persoalannya ini bukan masalah dasar negara atau filosofi kebangsaannya. Tapi semata-mata persoalan manusianya yang belum beres.
Khilafah, itu kan sistem politik. Namanya kholifah misalkan, kecuali khulafaurrasyidin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, yang dholim juga tidak kurang-kurang. Misalkan Kholifah Malik Abdul Malik bin Marwan. Selama menjadi kholifah—waktu itu jumlah manusia di dunia barangkali masih berkisar 3, 5 juta—ia telah membunuh rakyat sebanyak 70 ribu. Begitu pula kholifah-kholifah pada masa Dinasti Usmani, juga banyak melakukan kedzoliman. Jadi sistem itu memang harus baik. Tapi jangan hanya simbol. Saat ini persoalannya bukan simbol. Tapi orangnya. Pancasila sudah baik, UUD juga sudah baik. Hanya implementasinya saja yang kurang baik.
Inti kemerdekaan, salah satunya harus punya jati diri yang utuh. Tidak terkontaminasi dan tidak terpengaruh oleh siapa pun. Dulu nenek moyang kita dijajah oleh belanda lebih dari 300 tahun, justru semakin kokoh mempertahankan jati diri bangsa. Tapi sekarang, hanya karena pengaruh globalisasi, internet dan televisi kita menjadi belanda semua, menjadi kebarat-baratan. Sikap gotong-royong dan toleran terkikis menuju individualis, rela berkorban terkikis menjadi pamrih dan seterusnya.
Untuk memajukan menuju bangsa, yang paling mendasar dibutuhkan saat ini adalah pendidikan. Contoh mudahnya adalah Jepang. Setelah Negeri Sakura ini mengalami efek dari bom atom, yang ditanyakan pertama kali oleh Kaisar Jepang adalah jumlah tenaga pendidik. Karena bila masih ada pendidik, masih ada harapan negara itu bisa bangkit kembali. Nah persoalannya saat ini, pendidikan di Indonesia memang sangat merosot. Salah satunya adalah soal anggaran pendidikan. Sehingga perhatian yang kurang ini kurang bisa melahirkan generasi yang mandiri dan berakhlak mulia. Ini bisa dilihat dari perilaku para pejabat yang korup, mereka itu kan sarjana, tapi kenapa masih korup? Nah, berarti ada sesuatu yang hilang dari dunia pendidikan, yaitu moral dan nilai-nilai agama. Selama ini yang ditonjolkan masih sisi materi saja, unsur rohani kurang diberi ruang. Padahal ini penting. Karena bila sebuah generasi memiliki iman yang kokoh, dalam dirinya akan timbul kesadaran penuh bahwa ia adalah manusia yang selalu bersama Tuhan, selalu dimonitor dan dideteksi. Sehingga yang lahir dalam bentuk perilaku adalah semangat untuk berbuat baik.
Dalam bahasa arabnya, pendidikan adalah tarbiah, bukan sekedar ta’lim. Bila ta’lim itu tranfer of knowledge. Sementara tarbiyah itu berasal dari kata ruh. Sehingga ada kesadaran bahwa kita punya ruh, kita punya Tuhan yang selalu bersama kita. Sehingga dalam diri kita akan lahir semangat berbuat baik. Sementara ketika akan berbuat jahat, kita akan berpikir ulang-ulang. Karena Tuhan selalu bersama kita.
Pendidikan itu harus menyeluruh. Karena yang membentuk karakter seseorang itu juga lingkungan. Misalkan saya punya anak empat. Mereka sudah saya didik dengan benar, baik ibadah dan seterusnya. Sementara anak orang lain terserah, saya tidak ikut campur. Nah ini tidak bisa. Karena anak saya yang empat itu kan akan tergabung dengan... misalkan 94 anak-anak lainnya, baik di sekolah atau di lingkungan lainnya. Bayangkan apakah anak saya yang empat itu bisa mewarnai yang 94 anak lainnya? Bukankah malah sebaliknya? Jadi, pendidikan moral ini adalah pendidikan bersama. Tidak bisa secara sendiri-sendiri.
Wawancara dengan Prof Dr KH Said Aqil Syiraj (Ketua PBNU Jakarta)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar