Sabtu, 27 Oktober 2007

IHYAUL MAWAAT TIDAK BERTENTANGAN DENGAN UUD 45

SECARA definitif, ihyaul mawaat adalah menghidupkan atau membudidayakan tanah yang belum pernah digunakan pada masa pemerintahan Islam. hal itu terbatas pada pemerintahan Islam. sementara jika sebelumnya bukan pemerintahan Islam, dan tanah tersebut pernah dimanfaatkan dan ketika beralih ke pemerintahan Islam, tanah tersebut tetap bisa dihidupkan kembali oleh umat Islam.
Konsep ihyaul mawaat yang terdapat di kitab-kitab klasik masih relevan untuk digunakan di Indonesia. Di antara syaratnya tidak bertentangan dengan UUD 1945. seperti status tanah yang merdeka, itu tidak bertentangan dengan pasal 33 ayat 3, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Kalimat “dikuasi oleh negara”, tidak berarti dimiliki, melainkan diatur oleh negara. Jadi dalam persoalan pertanahan, pemerintah berwenang mengaturnya demi kemaslahatan ummat. Sementara untuk ummat tidak dilarang untuk mendapatkan dan membudidayakan tanah.
Kemudian yang dimaksud dengan imam dalam konsep ihyaul mawaat tersebut tak lain adalah Presiden Republik Indonesia. Tapi karena presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dibantu oleh menteri yang memiliki konsentrasi masing-masing, maka presiden tidak harus turun tangan sendiri dalam menangani persoalan pertanahan. Tugas itu cukup diserahkan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sesuai dengan kriteria tanah mawaat yang tersebut dalam definisi ihyaul mawaat di atas, pembukaan tanah terhadap hutan yang masuk dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) oleh sekelomok masyarakat adalah tidak benar dan bukan merupakan praktik ihyaul mawaat. Karena hutan merupakan tanah yang telah dimanfaatkan oleh pemerintah. Pembukaan tanah itu akan benar dan sesuai dengan syar’i bila hutan yang dibuka benar-benar belum pernah dibudidayakan oleh seseorang, kelomok atau pemerintah.
Di Indonesia ini masih banyak tanah-tanah yang belum dimanfaatkan, sehingga berpeluang untuk dikelola. Seperti di daerah Kalimantan dan Sumatera, itu masih banyak. Saat rezim Orde Baru berkuasa, pernah ada peristiwa ihyaul mawaat. Tempatnya di Provinsi Kalimantan pada lahan gambut seluas 1 juta Ha.
Sementara itu, dalam mekanisme ihyaul mawaat, ada perbedaan antara pendapat madzhab Syafi’i dan Hanafi. Jika menurut Syafi’i, seorang muslim yang menghidupkan tanah tak bertuanitu tidak perlu ijin kepada iamam. Sementara hanafi berpendapat sebaliknya, harus ijin kepada imam.
Untuk Indonesia yang merupakan negara hukum dan di dalamnya terdapat UU pertanahan, maka kita selaku ummat Islam tidak boleh ngotot menggunakan pendapat Imam Syafi’i. Selama kebijakan imam atau pemerintah itu membawa maslahah.
UU Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, yang di dalamnya terdapat aturan berupa redistribusi tanah oleh pemerintah itu sesuai dengan konsep fiqh, yaitu iqto. Transmigrasi itu juga sesuai dengan iqto’. Karena akhirnya pemerintah akan memberikan tanah tak bertuan itu untuk diambil hasilnya. Lebih jauh, tanah itu nantinya bisa jadi hak milik pengelola tanah tersebut.

Wawancara dengan Kiai As’ad Turmudzi (Pengurus Syuriah Cabang NU, Jember)
Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 11 Th.XI/Maret-Mei 2005

GERAKAN TANAM HUTAN BERSAMA MASYARAKAT

(II)

PEMULIHAN kondisi hutan seperti semula adalah harapan semua pihak. Jika hal ini diabaikan, bencana longsor, banjir dan kekeringan akan segera melanda kota Kendangkempul ini. Merespon persoalan ini, Kepala Bappedalda banyuwangi, Ir. Abdul Wahid mengingatkan, “dengan penebangan daerah hutan yang memiliki kemiringan tinggi, maka akar-akar pohonnya akan mati. Sehingga tidak ada lagi kekuatan yang mampu mencengkeram dan mempertahankan butir-butir air. Bila hujan datang, kecepatan air akan lebih tinggi dan menggerus butiran-butiran tanah lalu hancur. Selanjutnya mengalir ke sungai, dan ketika hujan deras sunagi kan pasang. Jika ditambah dengan air yang datang dari atas (hutan), akibatnya tidak dapat dibayangkan.”
Tugas berat yang dipikul perhutani ini secapatnya hrus dilakukan. Tapi terasa mimpi bila sekali kerja bisa mengembalikan kondisi hutan seperti semula. Sebab pertumbuhan pohon jati, mahoni dan lainnya tidak seperti tanaman semusim, palawija. Butuh waktu panjang untuk mengembalikan kondisi hutan seperti semula. Pelibatan masyarakat dalam penanaman hutan kembali, merupakan satu agenda reboisasi yang tidak boleh ditinggalkan Perhutani. Sistem ini diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat pinggir hutan dan dapat mengeliminir penebangan ilegal. Lalu secara langsung atau tidak, masyarakat pinggir hutan akan turut serta memelihara kelestarian hutan.
“Melihat permasalahan yang kompleks, Perhutani selaku pemelihara hutan memang sudah secepatnya bertindak. Karena bila ini diabaikan maka bukan hanya hutan produksi saja yang habis, hutan lindung dan hutan konservasi bisa juga dijarah musnah,” tegas Suwandi berapi-api.
Masih menurut pemuda asal kota Muncar ini, perlu ada perubahan paradigma pemeliharaan hutan. “Sudah saatnya ada perubahan paradigma dengan sistem yang lebih bisa diterima oleh masyarakat, seperti PHBM (Penanaman Hutan Bersama Masyarakat). Selain itu harus ada pembinaan terhadap petani hutan agar mereka percaya bahwa hutan selain membawa kebaikan terhadap umat manusia umumnya, juga akan membawa keuntungan bagi mereka.”
Menyaksikan hutan produksi yang telah terjarah sekira 11.000 Ha, dan banyak yang menjadi tanah kosong, Ayyib Darmansyah mengatakan sekira 9000 Ha dari hutan yang dijarah sudah ditanam kembali.
“Dalam rangka PHBM, Perhutani sudah sharing, saling berbagi gagasan, waktu dan kesempatan. Contohnya seperti yang telah kami lakukan dengan penanaman jeruk di daerah Buluagung. Di sana dipetak 14 buah dan ditanami jeruk sekitar 49,6 Ha. Pohon jeruk itu merupakan permohonan dari masyarakat. Untuk daerah Blambangan, itu menggunakan pola jarak 12x1 dan yang berada di tengah-tengahnya itu diberi tanaman jeruk,” jelasnya.
Berangkat dari komitmen masing-masing stake holder di atas, menyiratkan bahwa pengetahuan, moral dan tanggungjawab cukup menentukan suatu tindakan yang dipilih seseorang dan masyarakat. Karena itu pendidikan sadar lingkungan, atau bina cinta alam supaya segera dilakukan oleh pihak perhutani bekerjasama dengan elemen-elemen sosial dan masyarakat pinggir hutan. Selanjutnya yang tak kalah penting adalah kejujuran dan kedisiplinan par penjaga hutan harus lebih ditingkatkan. Karena perilaku para penjaga hutan adalah contoh bagi masyaakat pinggir hutan.

Adib Minanurrachim dan Hendra Wahyudi
Dimuat di ALFIKR No 10 Th X/Agustus-Oktober 2003

SISA PENEBANGAN HUTAN ILEGAL

(I)

Awal tahun 2000 hingga April 2003, adalah momentum yang mengingatkan kita pada terkuaknya kasus penebangan hutan ilegal terbesar di Indonesia.

BUKAN rahasia bila kasus penebangan hutan sangat merugikan negara. Bukan rahasia pula kasus yang melibatkan oknum Perhutani, aparat, pengusaha dan masyarakat pinggir hutan ini juga menimbulkan berbagai macam musibah seperti kekeringan, banjir, longsor dan lainnya. Harian Kompas tanggal 9 Februari 2003, menulis bahwa kasus ini menjadi salah satu penyebab dari timbulnya bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi sebanyak 72 kali. Bencana itu terjadi selama Januari 2002 sampai Februari 2003, dan meliputi Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, NTT, NTB, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah.
Kabupaten Banyuwangi adalah salah satu daerah yang hutannya tidak luput dari kasus penebangan ilegal. Saat ini sekitar 11.000 Ha tanaman hutan produksinya telah habis dijarah oleh sebagian besar masyarakat pinggir hutan. Penebangan ilegal itu terjadi di wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) selatan Banyuwangi yang memiiki luas 4221.649 Ha.
Hutan Banyuwangi yang secara keseluruhan memiiki luas 1.179.711,3 Ha, secara administratif dibagi menjadi tiga KPH, yakni KPH Selatan, KPH Utara dan KPH Barat. Untuk KPH Selatan yang mengelilingi 8 kecamatan, yaitu kecamatan pesanggaran, Bangorejo, Glenmore, Kalibaru, Muncar, Tegaldlimo, Purwoharjo dan Gambiran, saat ini kondisinya dalam keadaan yang gersang dan panas.
Sejak awal tahun 2003, kasus penebangan ilegal itu sudah mereda. Sebab selain pohon jati, mahoni dan pohon berharga lainnya sudah banyak yang dijarah, pemerintah juga mulai garang dalam penertiban. Sehingga tak banyak lagi ditemukan segerombolan orang berkapak dan bergergaji berlari-lari kecil di pahi buta menuju hutan.
Awal-mula terjadinya penebangan ilegal di KPH selatan ini, tidak bisa dilepaskan dari munculnya krisis ekonomi pada tahun 1997, yang mengakibatkan kebutuhan perut rakyat kecil melilit karena pekerjaan sulit. Praktis hal itu menjadi pemicu rakyat untuk mengambil ‘harta’ yang sebelumnya memang tidak pernah mereka jamah. Alasan ini seperti dikatakan Bapak Nur, salah satu warga pinggir hutan, “yang pertama karena krisis ekonomi yang membuat harga sembako menjadi mahal.”
Meski demikian, penebangan ilegal adalah pekerjaan terlarang. Karena pekerjaan itu merusak kekayaan negara yang nantinya juga untuk kesejahteraan rakyat. Lebih jauh, menurut UU No 41/1999 pasal 66 ayat 1 tentang penyelenggaraan kehutanan, pemerintah pusat telah menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah. Ini bertujuan untuk meningkatkan efektifitas kepengurusan hutan dan penghasilan daerah dalam rangka otonomi daerah.
Berangkat dari UU tersebut dan menimbang UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, hutan Banyuwangi dengan luas keseluruhan sekitar 1.179.711,3 Ha adalah satu kekayaan tersendiri yang dapat menjadi aset terbaik bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemkab Banyuwangi. Sehingga aset tersebut bisa membantu harapan semua pihak untuk mewujudkan kemajuan pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Ini tidak mustahil apabila Pemkab Banyuwangi beserta instansi terkait seperti Perhutani, berani memberikan perhatian besar terhadap hutan baik sistem pengolahannya maupun perlindungannya.
Tapi susahnya, bila penjaga hutan tidak setia menjaga hutan aset alam yang bernilai milyaran rupiah ini. Sehingga warga pinggir hutan menjadi iri, lalu ikut-iktan memperebutkan aset tersebut. “Kalau dulu warga sini takut menebang pohon hutan karena aparatnya jujur dan tegas,” ujar nur di kediamannya, Bangorejo.
Kasus penebangan hutan ilegal yang berakibat pada gundulnya hamparan hutan di wilayah KPH Selatan itu ditengarai juga dilakukan oleh oknum aparat yang bekerja sama dengan pengusaha kayu. “Saya ini pernah melihat truk-truk dengan beberapa polisi itu beok di sebelah barat sungai. Bahkan ada yang belok ke sini pada waktu malam-malam dan saya marahi. Tapi mereka malah enak-enakan dan membelokkan truknya di halaman Pondok Pesantren,” cerita KH Mudhoffar Sulton, tokoh masyarakat Desa Blokagung.
Keberadaan pengusaha dalam kasus penebangan ilegal ibarat pembeli yang ngebet terhadap barang dagangan, karena selain barangnya murah dan berkualitas, juga ditambah dengan proses pembelian yang tidak rumit, penjaga hutan bisa saja disuap.
Godaan suap itu juga pernah dialami oleh Kiai Mudhoffar, meski akhirnya ia tolak. “Saya pernah didatangi seseorang yang mengaku bekerja di koperasi departemen luar negeri. Dia itu masuk ke sini dan pesan kayu jati. Dia ngomong bahwa soal pengakutannya adalah urusannya sendiri. Saya disuruh menyediakan beberapa kontainer setiap minggunya. Dia ke sini sampai tiga kali. Tapi saya tetap tidak mau. Itu sudah 2-3 tahun yang lalu. Ini buktinya nota harga penjualannya,” kata pengasuh PP Darussalam Banyuwangi ini.
Hal yang sama juga ditegaskan Suwandi, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Akar Pala Banyuwangi. Pagi itu di tempat kosnya, aktivis alam yang masih mahasiswa UNTAG Banyuwangi ini mengatakan, “kerusakan hutan di Banyuwangi khususnya, dan Indonesia umumnya, memang tidak bisa dilepaskan dari oknum pengusaha dan aparat. Jika ada penebangan ilegal maka ada pembeli. Jelasnya ada barang ada pasar. Jika kita melihat daerah selatan, khsusnya Tegaldlimo dan Sembulungan, di sana itu banyak terdapat senso untuk membuat papan dalam ukuran-ukuran tertentu. Ini membuktikan bahwa yang melakukan penebangan bukan masyarakat murni. Jika masyarakat, mereka hanya untuk mengejar dapur mengepul. Lebih jauh, keikutan masyarakat itu kan karena mereka tidak pernah merasakan manfaat dari keberadaan hutan,” kata Suwandi serius.
Sementara itu, Ketua DPC PKB Banyuwangi, Ir Wahyudi mengatakan bahwa oknum Perhutani terlibat. “Pihak Perhutani tidak disiplin. Siapa menjamin mereka tidak terlibat? Jika memang ada yang menjamin kita igin bertemu, bagaimana dia punya argumentasi seperti itu?” tegasnya.
Melihat permasalahan yang cukup tali-temali, pihak Perhutani selaku penanggung jawab terhadap kelestarian hutan, memang harus berupaya sedini mungkin mengantisipasinya. Tapi saat ALFIKR bermaksud menanyakan langkah-langkah antisipatif kepada pihak Perhutani Kecamatan Pesanggaran, ternyata mereka menolak dan tidak siap untuk diwawancarai dengan alasan mengikuti prosedur. Padahal mereka adalah petugas yang lebih mengetahui kasus penebangan ilegal tersebut.
Meski demikian, petugas KPH selatan, Ayyib Darmansyah, bersedia memberikan keterangan seputar penebangan ilegal tersebut. “Memang benar bila penebangan hutan ini dipengaruhi leh pemilik modal. Namun gimana ya... jika kita menuduh terlibat, kita belum bisa membuktikan. Tapi kenyataan di lapangan membuktikannya,” katanya lesu.
Kelalaian bertugas, memang sering mengakibatkan sesuatu yang tidak diharapkan. Penebangan hutan ilegal di KPH selatan adalah salah satu contohnya. Kasus ini selain mengakibatkan cuaca makin panas dan kepunahan hewan-hewan seperti kijang, harimau, babi dan banteng, juga mengakibatkan perubahan perilaku sosial masyarakat setempat. “Dengan iming-iming uang yang cukup besar dari para penadah kayu, ini mengakibatkan perilaku orang-orang tepi Sungai Kalibaru menjadi rusak moralnya. Berbeda dengan dulu di mana istri saya sering mengadakan pengajian, tahlilan dan yaasinan. Tapi sekarang kegiatan itu mulai berkurang. Malah saat ini berganti dengan maraknya minum-minuman keras. Mereka hanya bisa menikmati tanpa bisa mensyukurinya,” sesal Kiai Mudhaffar.

Adib Minanurrachim dan Hendra Wahyudi
Dimuat di ALFIKR No 10 Th X/Agustus-Oktober 2003

FIQH PERBURUHAN: TANTANGAN BELUM TERSELESAIKAN

SEKILAS sejarah tentang peniadaan perbudakan, bisa kita lihat sejak Deklarasi Kaico yang ditelurkan oleh organisasi Konferensi Islam (OKI). Deklarasi ini berisikan tentang pengakuan hak-hak asasi manusia dalam Islam. Peniadaan ini tidak lepas sejarah peradaban manusia (sosial-budaya) yang mulai menyadari arti penting soal kesetaraan dan keberagamaan sebagai isu yang terus bergulir di tengah-tengah mereka. Bahkan sampai sekarang pun, isu ini menempati tempat yang strategis dan cenderung dominan.
Selain deklarasi Kairo, kita juga bisa menemukannya dalam The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi HAM) yang diresmikan pada tahun 1948. Bahkan jauh sebelum deklarasi HAM ditandatangani, Rasulullah SAW telah mendeklarasikan al-musawah baina annaas. Ini bisa kita jumpai dalam ajaran-ajaran Nabi Muhammad yang tentang kesetaraan manusia di hadapan Tuhan, tanpa ada diskriminasi antara bangsa Arab dan non Arab, kecuali kadar imannya. Dari sini kita bisa menyadari bahwa agama islam sejak kelahirannya sudah melarang terjadinya praktik perbudakan.
Titik tolak sejarah tersebut, dapat dijadikan ukuran untuk melihat kenyataan sosial-budaya yang dinamikanya tengah berlangsung sekarang. Terutama terhadap terjadinya berbagai kesenjangan sosial dan masalah-masalah diskriminasi dalam perburuhan.
Banyak pengamat mengatakan bahwa kenyataan praktik diskriminasi ini diakibatkan oleh sistem sosial-ekonomi yang kapitalistik. Posisi buruh sekarang, tidak jauh berbeda dengan budak pada masa feodal yang amat tergantung pada konglomerasi pemilik modal.
Keadaan buruh ini semakin dperparah dengan UU Ketenagakerjaan yang cenderung berpihak pada pemilik modal. Akibatnya buruh seringkali tidak bisa mendapatkan hak-haknya, misalkan pembayaran upah di bawah standar minimum regional (UMR), tidak mendapatkan jaminan sosial dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di luar waktunya.
Adapun beberapa contoh kasus tentang persoalan buruh ini, dapat dilihat dari kasus tewasnya Marsinah, buruh wanita PT Catur Putra Porong, Sidoarjo sepuluh tahun silam ketika ia memimpin rekan-rekan buruh untuk menuntut kenaikan upah, atau kasus 124 perusahaan di Jember yang tidak membayar upah sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK), (Kompas, 27/5/2003)
Dari sini perjuangan aksi terhadap nasib kaum buruh terus marak ketika ada momentum yang bisa di gunakan ke arah itu. Demonstrasi menjadi pilihan utama untuk mengusik kepedulian pemilik modal dan institusi negara yang berwenang. Tidak hanya itu, perlawanan buruh bergerak dinamis memasuki pertarungan wilayah kebijakan publik, wilayah yang selama ini tak terjamah. Sehingga hampir semua elemen-elemen sosial seperti non government organization (NGO) turut merespon dan mengambil langkah-langkah keberperanan untuk melakukan pendampingan dan pelayanan.
Melihat fenomena buruh tersebut, agama yang selama ini menjadi pegangan hidup, seharusnya sudah memiliki langkah-langkah signifikan untuk membela kaum buruh. Tak kecuali Islam. Karena selain sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamain, Islam juga selalu mengedepankan nilai-nilai al musawah dan al ‘adalah bagi setiap umatnya. Sehingga ia diharapkan bisa menjawab tantangan mengenai persoalan perburuhan ini.
Tapi sayang, hingga saat ini fiqh selaku hukum syari’ah-amaliyah dan mengatur tata cara hidup umat Islam dalam kehidupan praktis, ternyata belum ada yang khusus mengupas fiqh buruh, kecuali sedikit individu dan /ulama yang bergerak melalui wacana, belum pada tataran praktis apalagi konsep yang mengatur soal strategi dan mekanisme yang bisa dijadikan rujukan legal drafting.
Konsep al ijarah memang kerap menjadi rujukan para ulama kita manakala dihadapkan dengan persoalan perburuhan. Tapi bila konsep ini diterapkan pada konteks buruh saat ini, al ijarah terasa sempit untuk menengahi ersoalan buruh yang kian hari kian kompleks. Karena di dalam al ijarah sendiri, teksnya memang belum terlalu jauh dan rinci menjelaskan aturan-aturan mengenai jaminan sosial, jaminan hari tua dan lainnya yang berhubungan dengan buruh.
Keterbasan ini tetap menjadi masalah klasik, seperti adanya polemik bagi peremuan yang berperan di sektor punlik. Kenyataan yang terjadi, kaum buruh tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki, bahkan jumlah buruh perempuan melebihi laki-laki.
Tampaknya hal itu terjadi karena konstruksi sosial yang terus digugat oleh para aktivis gender. Karena budaya patriarkhi ini dianggap tidak memberikan solusi yang memadai di tengah multi-krisis yang terus berkepanjangan. Sehingga perempuan dituntut untuk ikut berpartisipasi dalam dunia kerja guna menambah kesejahteraan.
Selain itu memang ada bias pemahaman tentang istilah proletar/buruh (marxis), yang juga sering dijadikan alasan untuk tidak merumuskan fiqh perburuhan. Padahal jika melihat kaidah jalbul al masolih muqoddamun ‘alaa dar’i al mafaasid (mendahulukan mengambil yang maslahah dan menolak yang mafsadah), ajaran marxis itu bisa diambil sisi maslahahnya.
Melihat kendala ideologis-psikologis dan beberapa kendala lainnya, seperti belum adanya konsentrasi untuk mengkaji soal sektor perburuhan, seharusnya dijadikan tantangan tersendiri bagi kalangan akademisi dan intelektual pesantren untuk terus melakukan dialog soal isu perburuhan ini. Karena jika tidak ada respon positif dari kalangan ulama maupun intelektual NU-Pesantren, maka hanya akan menuai persoalan baru pada sektor tersebut.

Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 10 Th X/Agustus-Oktober 2003

PENGUSAHA ENGGAN IKUTI PROSEDUR

TAMPAKNYA bukan hanya Marsinah dan teman-teman buruh sepuluh tahun silam saja yang tertindas oleh kaki-kaki kapitalis. Hingga kini, ternyata masih banyak eksploitasi majikan terhadap buruh. Setidaknya laporan Kompas tanggal 27 Mei 2003 tentang 124 erusahaan di Jember yang tidak membayar upah sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK), meupakan sebagian kecil ulah kapitalis yang berhasil terungkap saat ini.
Bertolak dari realitas tersebut, tidak heran bila kemudian banyak orang yang mempertanyakan komitmen pemerintah terhada nasib buruh. Pertanyaan-pertanyaan kritis seputar isi Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan maupun peran langsung pemerintah dalam persoalan buruh, saat ini cukup gencar disuarakan oleh pelbagai pihak.
Untuk lebih jauh mengetahui nasib perburuhan di Indonesia yang bertalian erat dengan perilaku pengusaha dan peran pemerintah, berikut wawancara ALFIKR dengan Gordon Harahap, Ketua Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi), Jawa Timur.
Sejak kapan UU Perburuhan dirumuskan?
Sebenarnya sejk tahun 1948, itu sudah ada UU yang mengatur tentang perburuhan di Indonesia, seperti UU No 12/1948. dazlam UU itu sudah diatur mengenai batasan waktu kerja bagi tenaga kerja atau buruh, seperti tujuha jam dalam satu hari dan 40 jam dalam satu minggu. dasar itu dibuat oleh sarikat buruh dengan pengusaha. Sejak tahun 1948 itu, di Indnesia sudah bebas mendirikan sarikat buruh.
Selain itu juga ada UU yang mengatur tentang perselisishan, misalnya yang menyangkut kenaikan upah, itu terdapat dalam UU No 22/1957 dan UU No 12/1964, Tentang mogok kerja, peraturannya juga ada. Mogok kerja terjadi apabila belum ada putusan dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setelah sarikat buruh menyampaikan persoalan perselisihannya. Sehingga sarikat buruh tinggal menyerahkan pemberitahuan—bukan permohonan—kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D), berdasarkan UU No 22/1957, bahwa saya akan melakukan mogok kerja. Dan mogok itu pun di dalam persuahaan; ya tidak kerja, ya nunggu-nunggu saja, dan tidak keluar. Kalau sekarang kan tidak, tahu-tahu unjuk rasa dan keluar, atau ribut hingga terjadi Pemutuhsan Hubungan Kerja (PHK).
Jika mogok kerja ada aturannya, mengapa masih banyak yang mengabaikannya?
Pertama, memang ada pengusaha yang belum melaksanakan yang normatif secara keseluruhan (UU). Misalnya belum melaksanakan peraturan mengenai wanita yang menstruasi, hamil atau cuti tahunan. Selain itu kadangkala pengusaha nunggu lemahnya lemahnya, menunggu sosial kontrol. Yah begitulah kadang pengusaha itu.
Kedua, mungkin juga sarikat buruhnya yang cenderung tergesa-gesa. Sehingga ini dianggap sudah parah dan unjuk rasa saja, keluar perusahaan dan melapor ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal sepertyi yang saya katakan tadi, menurut UU No 22/1957, sarikat buruh silahkan berselisih dan berunding.
Jika melihat UU tadi, terkesan masih ada bau Belandanya. Untuk sekarang, adakah perubahan-perubahan signifikan?
Memang UU Perburuhan ini kita pakai sejak masa Belanda hingga sekarang. Dan untuk sekarang, pemerintah mulai berusaha sedikit demi sedikit merubah UU. Selain itu pemerintah juga meratifikasi konvensi International Labour Organization (ILO). Konvensi itu untuk melaksanakan kebebasan bersarikat di Indonesia.
Bagaimana mekanisme penentuan standar Upah Minimum Regional?
Untuk menentukan angka UMR/KHM (Kebutuhan Hidup Minimum), itu ada Surat Keputusan Menteri, yang di antaranya ada 43 item. Ke 43 item itu berisi mulai dari beras, kaos, sepatu, celana, ikan asin, meja, kursi dan seterusnya. Dan Komisi Pengupahan yang terdiri dari tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha dan sarikat kerja, itu nanti ke pasar untuk mencatat harga seluruh daftar kebutuhan buruh yang berjumlah 43 item tersebut.
Sedangkan pasar yang dikunjunginya tidak boleh satu, bisa dua, tiga dan seterusnya. Nanti mereka membuat perbandingan harga-harga barang dari masing-masing pasar. Selanjutnya, harga dari semua barang tadi ditotal dan hasilnya berapa. Nah, ini nantilah yang akan diusung oleh Bupati dan Walikota ke Gubernur untuk dipustuskan menjadi UMR atau KHM pada wilayah setemat. Ini merupakan upaya kita untuk meningkatkan kesejahteraan buruh.
Tapi kenapa hingga saat ini masih banyak yang mengabaikan UMR tersebut?
Itu memang satu problem tersendiri. Sebab perusahaan-perusahaan yang ada dalam tingkat II Kabupaten dan Kota, belum seluruhnya terkjangkau oleh sarikat buruh, itu satu masalah. Sehingga tidak ada sosial kontrol, belum ada yang selalu menegur pengusaha.
Selain itu masih banyak dari para pengusaha yang belum tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Misalnya Apindo Jawa Timur, Apindo Lumajang, Apindo Probolinggo dan seterusnya. Sehingga pembahasan soal KHM atau UMR mengalami hambatan, karena anggota Komisi Penguapahan selain pemerintah dan sarikat kerja adalah Apindo.
Kemudian juga tergantung dari laporan pihak sarikat buruh. Makanya Sarbumusi selalu minta kepada tenga kerja atau Sarbumusi daerah untuk membentuk sarikat kerja, atau bila tak bisa membentuk sarikat kerja, kami selalu menghimbau untuk memberikan informasi tentang nama perusahaan dan jumlah tenaga kerjanya.
Pandangan anda mengenai diskriminasi buruh perempuan dan laki-laki?
Sebagaimana UU Ketenagakerjaan No 12/1948, semua buruh baik laki-laki atau perempuan memiliki hak yang sama, baik soal jam kerja. Dalam UU yang terbaru juga ada (UU Ketenagakerjaan No 13/2003). Di sana dijelaskan bahwa kalau sudah lebih dari 7 jam, maka kelebihan jam ini disebut lembur. Ini juga tidak ada pilih kasih, baik perempuan atau laki-laki. Dan kesetaraan itu juga mengenai gaji.
Dalam UU Ketenagakerjaan, adakah aturan tentang buruh yang mengandalkan jasa pemikiran?
Saya kira yang diatur oleh UU itu hanya pengertian buruh, pekerja atau karyawan yang ada hubungan kerja dengan pengusaha dan menerima upah. Jadi saya kira hal itu belum ada. Jangankan itu, UU yang mengatur tentang Pembantu Rumah Tangga (PRT) saja hingga sekarang masih nggak ada. Tapi sekarang di antara kita sudah mulai panik memikirkannya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa UU Ketenagakerjaan juga berlaku bagi mereka (PRT). Hanya saja, tuannya kan tidak bisa disebut dengan pengusaha.
Ini masih jadi masalah. Padahal PRT itu bertahun-tahun kut majikan dan tidak ada batasan jam kerja. Total 24 jam mereka berkerja. Bahkan ketika sedang nyenyak tidur, kadangkala masih dibangunkan. Meski begitu ada juga yang mengatakan bahwa PRT itu ada hubungan kekeluargaan dengan majikannya. Nah ini lagi, kan repot. Ini masalah kita bersama.
Apakah fiqh pernah menawarkan konsep jasa pemikiran ke dalam UU?
Saya kira itu belum sama sekali. Karena itu kan menyangkut jasa. Selain itu belum ada masalah mengenai jasa pemikiran yang masuk ke Sarbumusi, dan menjadi problem.
Apa yang sudah dilakukan Sarbumusi dalam Advokasi buruh?
Kalau Sarbumusi memiliki tim advokasi, baik di pusat, provinsi hingga kabupaten dan kota. Selain itu juga ada Biro Pembelaan dan Perlindungan. Sehingga segala permasalahan yang telah terjadi selalu kita tangani, sepertyi ini (sambil menunjukkan beberapa berkas yang tengah ditangani beberapa stafnya, red) ini lagi menyelesaikan surat-surat kuasa/surat mandat untuk angket yang akan dilaksanakan dua hari mendatang. Saya kira hal itu sudah menjadi tugas rutin. Jadi Sarbumusi yang dilahirkan oleh NU ini memang ditujukan untuk menyelesaikan masalah-masalah ketenagakerjaan di mana warga NU banyak berada di sektor tersebut.
Adakah advokasi dalam wujud tawaran UU tandingan terhadap UU buatan pemerintah atau pengusaha?
Biasanya itu kita keluarkan bertepatan dengan keluarnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Pada waktu itu, biasanya parlemen mengundang kami. Mereka mengajak kami berdiskusi untuk memberikan pertimbangan. Saran dan segala macam. Jadi saat diberikan RUU tersebut kita juga membuat konsep yang selanjutnya kita berikan atau biacarakan dengan Menteri dan Parlemen.
Apakah UU Ketenagakerjaan No 13/2003 saat ini masih terdapat beberapa hal yang belum menyentuh nasib buruh?
Memang masih banyak masalah-masalah yang belum terangkat dalam UU tersebut. Sehingga lahirlah beberapa unjuk rasa saat penetapannya. Tapi kalau Sarbumusi membaca, apalah ya... saya kira itu harus kita terima terlebih dahulu. Agar masalah yang sebelumnya tidak terkatung-katung. Tapi sambil berjalan kita terus melihat di mana kelemahannya, dan baru kemudian kita berikan pertimbangan-pertimbangan kepada pemerintah.
Salah satu contoh dari kelemahan UU yang baru adalah soal Kontrak Kerja Waktu Tertentu (KKWT). Seperti enam bulan dikontrak, satu tahun dikontrak, sehabis itu dibuang saja tanpa ada pesangon. Nah ini juga masalah.

Wawancara Gordon Harahap, Ketua Sarbumusi Jawa Timur
Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 10 Th X/Agustus-Oktober 2003

PERLU TERUS PEMBAHARUAN FIQH

SELAMA ini perburuhan tidak mendapatkan perhatian ulama-ulama klasik dalam kitab fiqh karena dulu itu budak—sekarang disebut buruh—belum menjadi satu kekuatan yang bisa mempengaruhi kebijakan publik. Tapi untuk ulama yang sekarang atau paling tidak yang ualama yang muncul pada akhir abad ke-19, semestinya sudah mengkaji lebih jauh soal perburuhan. Karena disamping buruh sudah menjadi kekuatan, di sisi lain buruh merupakan kelas sosial terendah dlam strata masyarakat. Lebih jauh berdasarkan deklarasi PBB perbudakan sudah tidak ada, manusia di dunia merdeka semua.
Karena itu, sesuai kaidah taghoyyuru al-ahkam lil taghoyyiri al-‘illah atau al hukmu yaduuru ma’a ‘illatihi, penafsiran roqobah (budak0 dalam Al Qur’an harus ditafsiri secara subtantif, begitu juga budak dalam Hadist dan kitab-kitab klasik. Jadi budak itu adalah buruh dan harus ada upaya untuk membebaskan buruh.
Hal itu hanya bisa dicapai dengan terobosan. Artinya fiqh itu harus ada dekonstruksi dan rekonstruksi. Selama ini belum banyak ulama-ulama kita yang melakukan itu, kecuali hanya repitisi atau naqlu al-aqwal (mengutip pendapat) tanpa disertai dengan latar belakang; kenapa pendapat itu muncul, kapan kitab itu ditulis, saat pemerintahan siapa, dan kondisi Islam saat itu bagaimana? Sehingga tidak salah bila orang berkata bawha kita ini hanya melakukan al-muhafadzah ‘ala qodimi al-sholih saja, tanpa al-akhdzu bi al-jadidi al-aslah. Ironisnya ini kita diamkan sejak zaman KH. Hasyim Asy’ari hingga hari ini.
Memang sebelumnya sudah ada bebrapa tulisan yang mencoba membahas soal perburuhan di Indonesia, tepatnya menjelang Muktamar NU di Lirboyo. Tetapi hanya sebagian kecil, cuma percikan-percikan kecil dan itu belum menjadi acuan materi fiqh yang diajarkan di sekolah-sekolah atau pesantren. Dan jika kita lihat fiqh-fiqh klasik yang dikaji di banyak pesantren, hampir tidak ada fiqh yang khusu mengkaji persoalan buruh ini, kecuali hanya masuk ke bab aajir. Misalkan mengutip Hadist, bayarlah pekerja itu sebelum keringatnya kering. Masih sangat normatif sekali, dan bukan padapembahasan yang lebih jauh.
Kurangnya perhatian ulama terhadap persoalan perburuhan ini, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari faktor ideologis-psikologis. Karena yang memunculkan ide kaum proletar atau buruh ini adalah kaum Marxis. Dan kaum Marxis itu belum apa-apa, sudah dicap anti agama (atheis). Sehingga ulama itu enggan.
Kendati demikian, ada ulama yang mengambil manfaat dari munculnya ideologi tersebut, misalkan Dr. Musthofa As-Syifa’i, seorang mursyid ‘aam Ikhwan al Muslimin di Syiria. Saat itu beliau mempelopori apa yang disebut land reform di Syiria.
Soal fiqh perburuhan yang bertolak dari jasa pemikiran, saya kira ulama belum sampai ke arah itu. Sebab dalam bahasa arab hanya disebut aajir, musta’jir atau aamil. Dalam pemikiran UU Ketenagakerjaan mungkin bisa memasukkan pegawai yang berorientasi pada jasa pemikiran. Tapi buruh itu lebih banyak yang pada sektor fisik atau pekerjaan-pekerjaan berat, bukan pada ruang pemikiran.
Alasan lain adalah tingkat kesejahteraan. Dlam ilmu sosial, pekerja yang berangkat dari jasa pemikiran itu masuk dalam kelas menengah. Sedangkan buruh itu berada di kelas bawah. Jadi tidak signifikan bila memasukkan kelas menengah ke dalam kelas buruh. Kaum menengah tidak perlu dibela, justru sebaliknya, mereka harus membela.
Jadi definisi buruh adalah pekerja yang berada disektor jasa tenaga, terbatas pada kelas bawah dan berad di basis paling rendah.
Lebih jauh, buruh itu tidak hanya di pabrik, tapi di seluruh sektor yang menggunakan fisik seperti Pembantu Rumah Tangga (PRT). Jadi sudah semestinya mereka didefinisikan dlam UU Ketenagakerjaan, juga mendapat UMR. Karena bila melihat kerja PRT yang serabutan dan jumlahnya banyak di daerah perkotaan, maka mereka harus dilindungi oleh pemerintah.
UU Ketenagakerjaan yang ada selama ini, baik menyangkut UMR, jam kerja dan seterusnya, pada umumnya masih membela kelas menengah. Sebab kelas menengah itu yang banyak mempengaruhi publik dan jatuh-bangunnya rezim. Sedangkan buruh, hingga saat ini hampir di semua negara memang sangat kecil yang diuntungkan. Hanya di Australia ada kebijakan yang disebut proteksi terhadap buruh internal atau buruh lokal. Kebijakan tersebut untuk meminimalisir masuknya jumlah buruh dari luar, sehingga gaji buruh lokal tetap tinggi.
Keadaan buruh makin terbelakang bila melihat perlakuan pengusaha yang diskriminatif kepada buruh perempuan, misalnya soal gaji. Ini tidak bisa dilepaskan dari konstruk pemikiran pengusaha terhadap buruh yang masih patriarkis. Karena pengusaha itu masih memprioritaskan kerja fisik, sehingga secara otomatis laki-laki lebih memperoleh tempat. Selain itu cuti perempuan karena haid, hamil dan melahirkan, dijadikan alasan dalam pembedaan jumlah upah. Ini menurut mereka sudah adil. Sementara fiqh yang ada selama ini, terutama kitab-kitab klasik yang ad di pesantren, masih berkonstruk partriakis, karena konteksnya diambil pada zaman dulu.

Wawancara Imam Ghazali Said, M. Ag
(Staf Pengajar Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya)
Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 10 Th X/Agustus-Oktober 2003

BERGULAT DI TENGAH POLEMIK DAN KERASNYA KONFLIK

PERSOALAN buruh sangat penting untuk diperhatikan, karena masih banyak ketidakadilan yang menimpa sekian banyak buruh, terutama pada buruh anak dan perempuan. Maka harus ada upaya untuk membela mereka terutama bagi umat Islam yang memang banyak mencari nafkah di sektor ini.
Ketidakadilan itu bisa dilihat dari penderitaan para Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia, baik itu berupa perlakuan kasar majikan, sistem penggajian dan seterusnya. Seperti di Arab Saudi, di sana masih banyak orang yang bukan Arab dianggap sebagai jariyah, meski pun Raja Faishal sudah melarang tradisi ini. Karena instruksi ini belum bisa menyentuh sebagian masyarakat Saudi, sehingga para pemudanya mempunyai anggapan seperti kakek-kakeknya dahulu, pendatang dianggap jariyah. Nah, ulama di Indonesia harus tahu tradisi Saudi tersebut, dan Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) atau tokoh NU harus dapatmenjelaskan ke Saudi, bahwa hal demikian sudah selesai dan harus ditiadakan.
Sayang, fiqh masih menetapkan bahwa perempuan dilarang bekerja, karena persoalan mahrom. Apabila fiqh tetap saja begini, maka akan memberatkan perempuan. Pandangan ini tidak lepas dari pendapat ulama yang memandang perempuan dari sisi negatifnya saja, bukan sebaliknya. Padahal sekarang ini dunianya darurat dan memberikan ruang gerak kepada perempuan berbuat seperti laki-laki yang positif dalam mencari pekerjaan. persoalan nanti di perjalanan mereka terkena musibah, itu sama juga dengan lelaki yang tidak lepas dari musibah.
Karena itu, para ulama jangan terfokus pada persoalan mahrom saja. Seharusnya mulai saat ini ulama mencari fiqh yang membolehkan perempuan bekerja tanpa mahrom. Kalau masih dikaitkan mahrom, bapak saja susah mencarikan istrinya, apalagi makan untuk anak-anaknya. Makanya saat ini bagaimana kita menafsiri kembali ayat-ayat yang mempersempit ruang gerak perempuanitu. Karena perempuan—seiring berkembangnya pendidikan—lebih mudah mencari nafkah ketimbang laki-laki. Misalkan recruitmen karyawan bank, swalayan dan lainnya, pemilik modal lebih condong dan menerima perempuan daripada laki-laki.
Sesungguhnya dasar hukum yang membolehkan perempuan bekerja itu ada, yaitu man ‘amila ‘amalan shoolihan min dzakarin wa unsa. Ini jelas, selagi perempuan itu bekerja dalam pekerjaan yang baik itu tidak dilarang. Nah, apakah ini kemudian tidak dijadikan dasar hukum? Rasulullah saja tidak hanya memikirkan ibadah, tapi juga memikirkan masalah ekonomi seperti ketika melihat kabilah-kabilah dagang yang datang dari Syam ke Makkah, beliau berfikir bagaimana meningkatkan perekonomian masyarakat Makkah.
Sekarang ini masalah perburuhan cukup mendesak. Saya sedih melihat organisasi kita yang tidak bergerak, Sarbumusi. Kemarin ketika Gus Dur jadi Presiden, semuanya bergerak. Tapi ketika Gus Dur tidak lagi jadi presiden, satu persatu melemah. Karena itu ide-ide untuk mengangkat persoalan perburuhan di kalangan kita khususnya, seperti yang diangkat majalah ALFIKR ini, sangat kami sambut dan justru akan menghidupkan yang mati. Sejak zaman Belanda, ulama tidak mengurus buruh. Padahal kalau dilihat dari sisi devisa, masya Allah buruh itu sangat berjasa.
Dalam perspektif islam, buruh itu mengatur hak aamil (buruh), raddu al amal (imbalan kerja) dan hak daulah (negara), semua kita lihat. Misalnya dalam kasus mogok, mogok mana yang dibenarkan islam; apakah mogok model sosialis atau kapitalis.? Sosialis itu sampai menganggap perusahaan adalah hak dan bahkan milik buruh. Dalam pandangan buruh itu tidak dibenarkan. Karena Islam tidak hanya mengatur hak aamil, tapi juga hak raddu amal dan hak daulah. Bila itu terlaksana maka akan terjadi namanya ta’awun ‘ala birri wa taqwa (saling tolong-menolong untuk kebaikan dan peningkatan taqwa). Jadi pola hubungan antara buruh dan majikan seperti keluarga. Artinya satu kesatuan, sehingga majikan akan sedih bila melihat buruh yang tidak makan. Begitu pula sebaliknya, buruh akan sedih bila melihat majikannya bangkrut.
Pandangan Islam di atas sesuai dengan aa yang diajarkan Rosulullah. Karena Rosulullah memusuhi siapa saja yang sudah memperkerjakan seseorang, tapi belum dibayar. Begitu pun sebaliknya, kalau buruh yang melanggar kewajiban, ia juga akan kena sanksi. Karena barang siaa yang tidak memegang amanah, ia akan dihisab dengan keras.
UU Ketenagakerjaan yang ada selama ini masih banyak kepincangan-kepincagannya yang harus kita tanyakan; pihak mana merugikan pihak lain, atau buruh merugikan majikan dan sebaliknya. Dari situlah kita bisa memahami adanya ketimpangan-ketimpangan menurut Islam. Dan nanti kita rumuskan sebagaimana dalam pandangan islam dalam UU Ketenagakerjaan. Maka dari itu, di sinilah kewajiban partai-partai Islam atau partai-partai yang pengikutnya mayoritas Islam. Mereka dituntut agar tidak hanya berbicara hukum positif, tapi juga hukum Islam.
Lebih jauh, UU Ketenagakerjaan yang dibuat pemerintah itu hanya mengatur buruh yang bekerja di pabrik-pabrik. Sedangkan buruh itu luas, seperti orang-orang yang bekerja di pasar-pasar. Dan tentu saja mereka banyak mendapatkan ketidakadilan. Maka saya berharap Sarbumusi dapat memberikan perhatian yang cukup bagi mereka.
Selain itu harus ada dorongan dari ormas seperti NU dan Muhammadiyah dan oragan Islam lainnya. Cuma persoalannya sekarang, mereka enggan bersatu dalam memberantas ketidakadilan dan kemungkaran. Salah satu sebabnya adalah masih suburnya anggaan salah bahwa kelompok saya adalah yang paling benar. Dan demi keadilan, anggapan salah tersebut seharusnya mulai dihilangkan. Mari kita galang persatuan dan kesatuan dalam menghadapi perjuangan berat ini. Dengan bersatu kita telah berhasil membuat UU zakat. Kemudian, kenapa UU perburuhan kita tidak bisa?

Wawancara KH Irfan Zidni, Ketua Syuriah PBNU
Mahrus Syamweil, Abdul Aziz Anwar dan Badrus Sholeh
Dimuat di ALFIKR No 10 Th X/Agustus-Oktober 2003