(I)
DALAM Islam, kita harus memaknai kemerdekaan sebagaimana Al-Qur’an mengatakan kuntum khoiro ummatin ukhrijat linnas ta’muruna bil makruf wa tanhauna anil mungkar wa tu’minuna billah.
Salah satu nilai kemerdekaan adalah kebebasan. Tapi ini juga ada batasannya. Karena kebebasan yang tanpa batas itu akan mengganggu orang lain. Namanya Interaksi sosial, saling menyempurnakan itu pasti ada batasnya. Begitu juga dalam beragama. Kita bebas beragama, tapi jangan mematikan agama lain.
Dalam Islam itu yang baku dan tidak boleh diotak-atik itu hanya 5 %, seperti rukun Iman dan Islam. Ada lagi 13 item yang tidak boleh dimakan, seperti bangkai, babi dan lainnya. Ada pula beberapa perempuan yang tidak boleh dikawin, adik kandung, ibu kandung dan lainnya. Selain itu adalah wilayah kita berkreasi, wilayah kita untuk ijtihad, memahami nilai-nilai Islam untuk dikembangkan. Makanya Islam itu tidak sekedar menawarkan aqidah dan syari’ah, tapi Islam juga menawarkan tsaqofah (ilmu pengetahuan), muhadloroh (budaya) dan tamddun (sistem). Misalkan ketika Rosulullah membangun madinah, beliau membangun masyarakat yang memiliki UU agar sadar akan hak dan kewajiban, sehingga disebut mutamaddin atau masyarakat madani. Kotanya yang mulanya bernama Yatsrib diganti Madinah. Sementara sistemnya namanya tamaddun.
Jadi kemunculan madzhab itu sama sekali tidak mengganggu dan mengurangi solidaritas umat Islam. Karena kita satu Tuhan, satu Al-Qur’an dan satu Qiblat. Madzhab itu pemahaman masing-masing individu sesuai dengan imamnya.
Soal fanatisme, itu memang ada di mana-mana. Tidak hanya di Islam, tapi juga ada di Katolik, Hindu dan seterusnya. Yang menjadi persoalan hanya bila fanatisme itu melahirkan kekerasan, itu sudah tidak benar. Membuktikan bahwa kadar intelektualitasnya sangat rendah. Karena tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan.
Sementara untuk mempersatukan umat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia umumnya, marilah kita tonjolkan Islam yang rahmatan lil alamin. Karena Islam itu agama yang humanis, bukan hanya aqidah dan syariah. Jadi... ibadah shalat, zakat, puasa dan seterusnya yang berhak menilai atau memberi pahala itu Allah. Kita tidak usah masuk di situ. Karena bila kita masuk di situ, kita nanti akan menjadi Tuhan. Kita ini wilayahnya adalah budaya, peradaban dan ilmu pengetahuan. Komunikasi dan interaksi dan bagaimana kita mengajak orang, melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Seperti yang dilakukan oleh Wali Songo.
Jadi marilah kita laksanakan Islam dengan ramah. Selain shalat, zakat dan seterusnya kita juga berakhlakul karimah. Salah satu contoh yang menarik adalah bank syari’ah, yang kabarnya para nasabahnya juga banyak yang non muslim. Di sana ada kejujuran dan keterbukaan. Nah dakwah seperti inilah yang bagus.
Wawancara dengan Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, MA (Ketua PBNU Jakarta)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar