Kamis, 14 Februari 2008
RAGAM SPIRITUAL, RAGAM KETENANGAN
Seiring kecenderungan masyarakat terhadap spiritualisme, beragam pelatihan spiritual ditawarkan. Mulai ESQ, Quantum Ikhlas hingga Shalat Khusyu. Ada beragam ketenangan dilahirkan.
ABAD 21, oleh sebagian pemikir diidentifikasi sebagai abad spiritualisme. Hal ini tidaklah berlebihan jika melihat maraknya kecenderungan masyarakat pada aspek spiritualitas pada dasawarsa terakhir ini. Kehidupan modern yang bercorak diterministik-materialistik, positivistik-empirik, sering dikritik oleh kaum posmodernis sebagai akar konflik. Namun solusi memuaskan ternyata belum dapat mereka ajukan. Solusi-solusi yang ditawarkan sering dinilai tanpa arah, bahkan mengarah pada solipsisme. Dari keadaan yang penuh kegamangan dan kekeringan jiwa inilah spiritualisme menjadi solusi-alternatif.
Dalam kondisi tersebut munculah tokoh seperti Danah Zohar dan Ian Marshall. Mereka berusaha memperbaiki peradaban secara mendasar dengan menggantikan paradigma Newtonian yang atomisitik dengan paradigma holistik relasional kuantum. Pasangan suami istri ini menjelaskan konsep inteligensi pada aspek-aspek kejiwaan yang pada waktu-waktu sebelumnya dianggap irasional, dengan menggulirkan konsep inteligensi spiritual sebagai bentuk inteligensi tertinggi yang memadukan inteligensi intelektual dan inteligensi emosional.
Dalam sebuah wawancara, Danah Zohar mengatakan bahwa kegagalan manusia modern dalam menjalin hubungan suami istri dan kekeringan makna hidup menjadikan mereka kembali pada spiritualisme. “Kesejahteraan tidak hanya berarti berapa banyak uang Anda di bank, tapi juga apakah Anda bahagia? Seberapa kuat dan sehat hubungan kekeluargaan Anda? Karena 50 persen perkawinan di Barat berakhir dengan perceraian. Mereka mengucapkan janji perkawinan, hidup dalam suka dan duka hingga maut memisahkannya, tapi dua tahun kemudian mereka bercerai. Ini masalah krisis spiritual.”
Gambaran Danah Zohar tersebut juga dialami oleh masyarakat di kota-kota besar di Indonesia. Kehidupan matrealistik yang mulanya dianggap sebagai tujuan utama ternyata tak menjamin kehidupan manusia menjadi tambah bahagia. Science yang diagungkan sebagai pencerahan, ternyata tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti; mengapa kita dilahirkan? untuk apa kita lahir di dunia? Dan berujung pada pertanyaan soal kematian.
Keadaan cemas tersebut, pada akhirnya juga melahirkan training-training spiritual seperti ESQ (Ary Ginanjar Agustian), Quantum Ikhlas (Erbe Sentanu) dan Shalat Khusyu (Abu Sangkan). Ketiga-tiganya dianggap sebagai jawaban terhadap krisis spiritual manusia modern, meski di dalamnya terdapat berbagai perbedaan, salah satunya metodologi spiritualisme dan tingkat ketenangan yang diperoleh.
Metode Pelatihan
SEPERTI tertulis dalam web site ESQ (www.esqway165.com), pelatihan yang bervisi menjadikan Leadership Center kelas dunia yang terkemuka dan independen ini mencoba menuntun peserta untuk membangkitkan 7 nilai dasar, yaitu jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerjasama, adil, dan peduli. ESQ memandu seseorang dalam membangun prinsip hidup dan karakter berdasarkan ESQ Way165. Angka 165 merupakan simbol dari 1 Hati pada Yang Maha Pencipta, 6 Prinsip Moral, dan 5 Langkah sukses.
Sebagai materi pelatihan, peserta juga dikenalkan tentang kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan misteri God Spot (Titik Tuhan). Sementara metodologi pelatihan ESQ dibuat sedemikian rupa sehingga peserta akan merasa seperti menikmati sebuah pertunjukkan yang penuh makna. Selain itu, peserta juga akan diajak terlibat beberapa aktifitas dalam training seperti permainan, simulasi, serta saling berbagi pengalaman di antara peserta. Materi training disampaikan secara multimedia yang menggabungkan antara animasi, klip film, efek suara, dan musik. Ditampilkan dengan medium beberapa layar besar hingga 4 x 6 m dengan tata suara sekitar 10.000 watt. Training dilaksanakan di berbagai tempat terpilih dengan standar tertentu untuk memastikan bahwa training dapat berlangsung nyaman dan menyenangkan bagi peserta.
Kurang lebih sama dengan ESQ, Quantum Ikhlas yang digagas Erbe sentanu juga memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan seperti neuroscience, neurotechnology, microelectronics dan sound healing technology, beriringan dengan tuntunan bijak agama serta falsafah kehidupan yang sejak dulu hidup di tengah masyarakat.
Dalam bukunya, Quantum Ikhlas (Tekhnologi Aktivasi Kekuatan Hati), Nunu—panggilan Erbe Sentanu—mengatakan bahwa dengan menggunakan teknologi DigitalPrayer, manusia dapat mudah mencapai gelombang otak yang tepat bagi setiap kegiatan yang ingin ditingkatkan kualitasnya, seperti belajar cepat, meditasi, relaksasi, mengubah kebiasaan, meningkatkan intuisi sampai awet muda.
Dengan penemuan gelombang otak alpa yang bisa dicapai dengan teknologi, pelatihan ini menganjurkan penggunaan CD yang berisi musik dan suara yang sudah diinsersi dengan gelombang tertentu yang otomatis bisa menurunkan gelombang otak pendengarnya dari kondisi Beta ke kondisi Alpa. Melalui latihan yang intensif, kata Nunu, secara otomatis kondisi fisik otak menjadi terlatih sehingga akses zona iklhas bisa menjadi lebih mudah dan otomatis.
Berbeda dengan dua pelatihan di atas yang lebih tergantung pada peralatan tekhnologi dan tata ruang pelatihan, Sholat Khusyu—sesuai dengan namanya—lebih mengedepankan shilatun dan shalat sebagai media untuk mencapai spiritualisme. Shilatun adlah relaksasi yang bisa dilakukan di berbagai tempat, baik dalam ruang tertutup maupun terbuka. Sementara shalat yang oleh ustadz Abu Sangkan disebut meditasi tertinggi dalam Islam, dijelaskan bisa mengurangi kecemasan dalam kehidupan manusia, dengan lima alasan: pertama, merupakan doa atau meditasi yang teratur, minimal lima kali sehari. Kedua, relaksasi melalui gerakan-gerakan shalat. Ketiga, hetero atau auto sugesti dalam bacaan shalat. Keempat, group therapy dalam shalat jama’ah, atau bahkan dalam shalat sendirian pun minimal terdapat aku dan Allah. Dan kelima, hydro therapy dalam mandi junub atau wudhu sebelum shalat.
Ketiga pelatihan di atas—dengan metodologinya masing-masing—diyakini mampu menurunkan gelombang otak dari beta ke alpa, dan bisa membuat manusia merasakan ketenangan jiwa. Namun demikian, yang perlu dilihat adalah; sejauh mana ketenangan dan kebahagiaan yang dicapai? Samakah antara ketenangan dan kebahagiaan yang diperoleh dari satu pelatihan dengan pelatihan lainnya?
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Vol VI
Rabu, 13 Februari 2008
“SUFI ITU INKLUSIF”
AGUS MUSTOFA lahir di Malang, 16 Agustus 1963. Putra Syech Djapri Karim, guru tarekat yang sekaligus mantan Dewan Pembina Partai Penganut Tarekat Indonesia pada masa Bung Karno ini, dikenal sebagai penulis produktif buku serial diskusi tasawuf modern. Di antara buku-bukunya adalah, Pusaran Energi Ka’bah, Ternyata Akhirat Tidak Kekal, Untuk Apa Berpuasa, Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh, Bersatu dengan Allah dan masih banyak lagi. Kegemaran terhadap tasawuf, selain dipengaruhi sosok ayahandanya juga karena pergaulannya dengan beberapa intelektual Islam modern seperti Prof Ahmad Baiquni dan Ir Sahirul Alim M Sc, semasa kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Januari lalu, kepada penulis yang sedang menyelesaikan buku berjudul Bersyahadah Dalam Rahim ini, saya mewawancarainya seputar fenomena spiritualisme yang makin digandrungi masyarakat modern saat ini. Berikut petikannya:
Seiring meningkatnya popularitas spiritualisme, ada fenomena tentang seorang spiritualis tapi tidak religius. Bagaimana pendapat anda?
Pertama, spiritual itu tergantung bagaimana kita melihat. Sama dengan agama dan Tuhan, tergantung siapa yang melihat. Bisa jadi antara saya dan anda berbeda. Begitu pula dengan spiritual: kata yang sama, tapi setiap orang bisa mendefinisikannya secara berbeda-beda. Tapi inti spiritual adalah sebuah upaya untuk masuk ke dalam jiwa kita. Sebagai manusia, dalam diri kita terdiri dua hal, fisikal juga spiritual.
Tiap agama punya spiritualism, bahkan orang-orang dinamisme dan animisme juga punya. Tapi dalam Islam saya kira berbeda dan menunjukkan kualitas tertentu yang jauh dari yang lainnya. Jadi sekedar definisi secara umum, yang monggo saja.
Kedua, kita sebagai seorang muslim memiliki begitu banya kaidah-kadaih untuk membangunkan spiritual kita. Tapi kunci utamnya adalah menghilangkan ego kita sebagai manusia dan kemudian memunculkan sifat-sifat ketuhanan dalam pikiran, hati dan keseluruhan hidup kita, mengarah pada tauhid. Ini merupakan tingkat spiritualitas yang sangat tinggi.
Dalam Islam, seluruh ajaran Rasulullah merupakan proses spiritualitas kita, tak kecuali rukun Islam. Dan syahadah merupakan pintu masuk spiritualitas seorang muslim.
Saat seseorang sudah mengorientasikan hidupnya dan kepentingannya hanya kepada Allah (laa ilaha illa Allah), sesungguhnya dia sudah mematok sebuah spiritualitas yang tertinggi di seluruh alam semesta ini, dan mengakui Muhammad sebagai pembawa ajaran spiritualitas tersebut.
Jadi, kalau kita kupas spiritualias Islam itu sangat luas dan dalam. Buktinya sejak berada di dalam rahim, kita ini sudah bersyahadah. Kata Allah dalam surah al A’raf ayat 172, ketika Allah mengeluarkan anak-anak Adam dari tulang sulbinya (masih berbentuk ovum dan sperma), lalu dipertemukan di dalam rahim, jiwa itu sudah terbentuk dan kemudian bersyahadah. Saat itu Allah bertanya, alastu birobbikum? (bukankah aku ini Tuhanmu?), mereka menjwab, bala syahidna (ya kami bersaksi bahwa Engkau Tuhanku). Dari sini, bisa diambil kesimpulan bahwa secara fitrah, manusia itu sudah mengarah kepada spiritualitas. Kemudian saat dilahirkan di dunia, dia (jiwa) diminta bersyahadah lagi secara syariah (teori), dan selanjutnya syahadah itu didefinisikan, dipelajari, difahami dan dilaksanakan.
Laa ilaha illa Allah itu bukan hanya teori, tapi juga harus diamalkan, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Bagiamana dia makan pagi ingat Allah, bekerja ingat Allah dan seterusnya. Bila ini bisa dilakukan, maka syahadah manusia akan mencapai tahap bahagia bersyahadah dalam seluruh amal perbuatannya, karya-karyanya. Kalau diteruskan lagi, maka akan sampai pada puncaknya, yaitu berserah diri. Kesaksian yang sesungguhnya.
Dari sini, ternyata seluruh ibadah yang dibawa Rosulullah, baik dzikir, sholat dan seterusnya, merupakan proses spiritualisme yang akan membawa seorang muslim menuju puncak spiritualitas Islam.
Dalam mencari kebahagian, begitu ragam jalannya. Ada orang yang tak beragama, bahkan atheis, mengaku bisa mencapai kebahagiaan. Ada pula yang melalui training- training instan, dan ada juga yang melalui pendakian yang panjang dan konsisten. Nah adakah titik pembeda pengalaman spiritual di antara mereka?
Tiap orang memang bisa mengalami proses-proses spiritual, termasuk orang yang mengaku tidak beragama semisal melalui semedi dan meditasi. Mereka bisa mengalami relaksasi. Tapi ada perbedaan yang sangat mendasar pada tingkatannya. Antara ketenangan satu dengan ketenangan lainnya bisa berbeda. Begitu juga dengan kebahagiaan satu dengan kebahagiaan lainnya. Ini semua tergantung pada siapa kita menggantungkan proses ketenangan dan kebahagiaan tersebut. Anda diam-diam begini sambil mendengarkan musik klasik, atau musik yang tenang dan tentram, anda bisa dibawa menuju gelombang otak alfa yang bisa memunculkan relaksasi. Atau anda ikut pengobatan relaksasi dengan aromaterapi, anda juga akan mengalami ketenangan. Karena itu, hal semacam ini bisa juga disebut dengan spiritualism.
Tapi kalau kita bandingkan, antara menggantungkan proses spiritualism itu kepada benda dengan kepada Dzat yang tak berhingga (Allah), maka tingkat ketenangan, ketentraman dan kebahagiaannya akan sangat berbeda.
Tingkat tersebut bisa dipahami dari gambaran surga yang bertingkat-tingkat. Ini menunjukkan bahwa ada fase-fase atau kualitas-kualitas, di mana di antara manusia memiliki kualitas spiritual yang berbeda-beda. Jangankan antara muslim dengan non muslim, antar sesama muslim sendiri ada kualitas yang berbeda-beda. Bahkan definisi tentang Tuhan antara saya dan anda bisa berbeda, tergantung sejauh mana kenalnya kita dengan Allah. Dalam Al Qur’an disebutkan mereka belum mengagungkan Allah dengan semestinya. Mereka belum kenal Allah dengan sesungguhnya. Jadi pendekatan kepada Allah untuk meningkatkan kualitas jiwa kita, itu perjalanan yang tak berhingga.
Nah di sini, monggo saja setiap orang meningkatkan kualitas dirinya masing-masing. Tapi pendekatan apa yang dilakukannya? Bila hanya sesuatu yang sederhana, ya sampai di situ saja. Coba bandingkan secara fair seperti yang diajarkan dalam Islam, yang memiliki beberapa pendekatan, yaitu syari’at, tarikat, hakikat dan makrifat, yang kualitasnya berbeda-beda.
Bagaimana bisa melakukan pendekatan spiritual yang tak berhingga tersebut?
Secara utuh, saya melihat bahwa orang itu akan mengalami kualitas jiwa yang tak berhingga apabila dia berusaha meniadakan dirinya, yang dalam syahadah, sejak awal sudah diajarkan laa ilaha illa Allah. Ini sesungguhnya makna yang sangat luar biasa, tergantung siapa yang membahas dan mendalaminya. Semua Nabi dan Rasul, misinya adalah menegakkan kalimat tauhid. Tapi demikian, laa ilaha illa Allah antara tiap muslim bisa berbeda kualitasnya. Tergantung sejauh mana peniadaan diri (ego) kita di hadapan Allah dan membesarkanNya dalam skala tak berhingga. Itulah yang akan memunculkan kualitas yang berbeda.
Jadi titik pembeda antara pelbagai macam spiritualitas yang ada saat ini adalah, sejauh mana meniadakan diri di hadapan Allah tersebut. Nah saat kita bisa meniadakan diri kita di hadapan Allah, mendadak kita bisa merasa bersatu di dalam kebesaran Dzat Allah tersebut. Ini yang saya jelaskan dalam buku saya, Bersatu dengan Allah. Di situlah tempat kebahagiaan yang luar biasa dan tidak berhingga serta tak bisa digambarkan dalam kata-kata lagi, yang dalam Al Qur’an dikatakan bahwa orang yang dekat dengan Allah itu tidak punya rasa takut, khawatir dan tidak gelisah, kecuali tentram. Tapi ingat, tentram antara satu orang dengan lainnya bisa berbeda.
Tingkatan manusia dalam Al Qur’an itu ada tiga; Iman, Taqwa dan Islam. Ya ayuha alladzina amanuu ittaqullaha haqqo tugotih wala tamutunna illa wa antum muslimuun. (Wahai orang yang beriman, taqwalah dengan sekuat-kuatnya dan sebenar-benarnya dan jangan mati kecuali dalam keadaan berserah diri). Di sini gambaran kualitasnya terlihat. Iman itu sebatas gambaran pemahaman keilmuan sampai yakin. Disuruh naik lagi dengan taqwa dengan usaha yang sungguh-sungguh. Itu tidak gampang. Ada proses panjang untuk meluruskan seluruh ibadah yang kita jalankan. Nah bila ini bisa dilalui, buahnya adalah berserah diri kepada Allah. Dan berserah diri ini ada contohnya, yaitu Nabi Ibrahim saat disuruh mengorbankan putranya yang begitu dicintainya. Ini merupakan contoh tertinggi.
Ukuran seorang spiritualis itu digambarkan Al Qur’an, yakni puncak misi seorang muslim adalah rahmatan lil ‘alamiin. Itu tanda-tanda yang bisa diamati. Makanya seorang Muhammad diutus untuk rahmatan lil ‘alamiin (wamaa arsalna muhammad illa lilrahmatan ‘alamiin). Seorang muslim harus bermanfaat seluas-luasnya bagi siapa saja, tidak terbatas pada muslim, mukmin dan muttaqiin saja. Tapi seluruh umat manusia dan sekalian alam. Jadi ukurannya di sini.
Tapi ada juga kan yang mencintai Tuhan tapi enggan hidup sosial, alias nyepi saja. Ini bagaimana?
Wah itu eksklusif, itu tidak benar. Kata Allah, ke mana pun kamu menghadap, kamu berhadapan dengan Allah. Walillahi al masyriqu wal maghrib. Kita melihat matahari terbit, kita berhadapan dengan Allah. Kita melihat pohon, semut, binatang, air dan semuanya kita melihat Allah. Nah bila sudah demikian, maka mencintai Allah itu tidak eksklusif, tapi malah inklusif. Karena kita melihat kehadiran Allah itu di seluruh benda, peristiwa dan semuanya. Jadi salah besar bila ada yang mengatakan bahwa menyatu dengan Allah, itu menjadi eksklusif! Uzlah atau mengasingkan diri, seakan akan hidup ini hanya dirinya dengan Allah, itu tidak benar. Karena misi manusia diciptakan adalah untuk menjadi rahmatan lil ‘alamiin. Justru dengan memberikan rahmat kepada alam, kita sedang berproses menjadikan sifat-sifat kita seperti Allah yang tidak pilih kasih dan mencintai semua makhluk.*
Adib Minanurrachim
“DANAH ZOHAR TELAH MENDUNIAKAN KEKELIRUANNYA”
JALALUDDIN RAKHMAT, lahir di Bandung, 29 Agustus 1949. Kang Jalal—begitu panggilan populernya—dikenal sebagai salah satu tokoh cendikiawan dan mubaligh Islam terkemuka di Indonesia, bersama Gus Dur (KH Abdurahman Wahid) dan almarhum Cak Nur (Prof.Dr. Nurcholis Madjid).
Dari sekian panjang pergulatannya dalam pemikiran Islam, Kang Jalal pernah menyimpulkan bahwa fiqih hanyalah pendapat para ulama dengan merujuk pada sumber yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Ia tidak setuju bila klaim kafir dialamatkan pada orang yang berbeda pendapat tentang tafsir Al-Qur’an dan Sunnah. “Bila menentang Al-Qur’an dan Sunnah, itu baru kafir,” katanya.
Karena silang-pendapat fiqh itu pula, Kang Jalal memfikirkan solusi alternatif yang bisa mempersatukan umat Islam, dan pilihannya jatuh pada akhlak. Menurutnya, dalam akhlak, semua orang—apa pun mazhabnya—bisa saling sepakat. Pemikiran ini ia tuangkan dalam buku, Dahulukan Akhlak di Atas Fikih (2002).
Sebagai cendikiawan muslim, Kang Jalal juga bergulat dengan tasawuf. Ketertarikannya pada dunia sufi ini bermula saat bersama-sama Haidar Bagir dan Endang Saefuddin Anshory diundang pada sebuah konferensi di Kolombia pada 1984. Dari konferensi itu ia bertemu dengan ulama-ulama asal Iran yang memiliki pemahaman mendalam tentang tasawuf, dan ia merasa kagum pada mereka.
Pasca kepulangan dari konferensi tersebut, Kang Jalal tenggelam dalam dunia tasawuf dan melahirkan beberapa karya seperti Reformasi Sufistik (1998), Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik (1999) dan Tafsir Sufi Al-Fâtihah (1999). Selain tasawuf, Kang Jalal juga menulis buku-buku Psikologi, seperti Psikologi Komunikasi (1985) dan Psikologi Agama (2003).
Berangkat dari kemampuan Kang Jalal yang multi disiplin ilmu tersebut, keempat wartawan SC Adib Minanurrachim, Kholis Bakrie, Billyantoro, Azty Arlina dan satu fotografer, Heru Haryono, mewawancarainya seputar perkembangan antara science dan spiritualisme. Berikut petikannya:
Fenomena fusi antara spiritualitas dengan science seperti yang dilakukan Danah Zohar, penemuan God Spot dan Fisika Quantum, apakah itu merupakan fenomena baru dari perjalanan spiritualisme di barat?
Di barat, spiritualitas muncul karena kekecewaan mereka terhadap science yang didasarkan pada logika dan empirisisme. Manusia melihat dunia ini absurd. Untuk apa seluruh kehidupan ini bila diakhiri dengan kematian? Segala usaha manusia sia-sia. Kata Soren Keirkegaard, ada semacam kecemasan yang luar biasa bagi manusia modern saat mereka memikirkan akhir kehidupan. Ia menyebutnya kegelisahan yang tak difahami.
Pertanyaan itulah yang membawa orang-orang ke spiritualisme. Mereka merasa rasio yang menjadi dasar sceince ternyata buntu dan tidak bisa memberikan jawaban, selain mereka juga kecewa terhadap science yang matrealistis.
Mengenai God Spot itu sama kontroversinya dengan G Spot (titit birahi) yang cuma mitos, karena hingga saat ini tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.
Sekarang ini ada penelitian neurologis tentang pengalaman-pengalaman keruhanian. Ada yang mengalami keruhanian, misalnya melalui brain imaging, pemasangan semacam saluran-saluran di sekitar kepala untuk melihat gelombang-gelombang otak. Bila orang mengalami pengalaman ruhaniah, ada bagian otak yang katanya berkaitan dengan perasaan, letaknya di sekitar hipocampus (pusat memori harian). Menurut neurolog, di bagian hipocampus itu ada satu tempat yang disebut lobus temporal, berfungsi mengatur kesadaran waktu dalam kehidupan kita. Bila mendadak kesadaran waktu hilang atau tenggelam dalam satu situasi, maka keadaan orang tersebut flow. Nah kata orang, itu yang diseput God Spot, titik yang menyambungkan manusia dengan Tuhan.
Pendapat lain mengatakan, God Spot itu sebenarnya bukan persambungan kita dengan Tuhan, tapi seperti mata lahir ini. Hanya saja, God Spot tidak bisa membuktikan adanya Tuhan, kecuali hanya alat yang bisa merasakan kehadiran Tuhan.
Tapi persoalannya, para ahli neurolog juga menemukan bahwa keadaan blink (‘berkedip’) itu juga dialami orang sakit jiwa. Para penderita skizofrenia dan paranoida juga mengalami rangsangan di tempat yang sama. Dengan kata lain, orang saleh sebetulnya juga mengalami pengalaman neurologis yang sama dengan orang sakit jiwa atau orang gila. Nah, apakah hal itu kita sebut sebagai God Spot (titik Tuhan) atau Mad Spot (titik gila)? Hehehe...
Dalam pengantar anda di buku Danah Zohar, anda memberikan catatan bahwa Danah Zohar masih terjebak psikologisme. Maksudnya bagaimana?
Danah Zohar itu bukan psikolog, bukan pula neurolog. Dia keliru—kekeliruan yang menjadikannya populer dan sekaligus membumikannya—dengan menyebut kecerdasan spiritual sebagai SQ (spiritual quotient). Karena huruf Q itu kan quotient yang berarti hasil bagi. Huruf Q, dalam matematika merupakan hasil pembagian dari X dibagi Y (X:Y=Q). Ini cocok bila diterapkan pada IQ (Intelligence Quotient). Karena teori ini membagi usia mental dengan usia kronologis. Misalkan ada anak yang usia kronologisnya 5 tahun, tapi kecerdasan mentalnya sudah seperti anak berusia 10 tahun. Maka teorinya adalah 10:5x100= 200. Jadi IQ anak itu adalah 200.
Di kalangan Psikolog tidak ada SQ, yang mungkin ada adalah kecerdasan spiritual atau Spiritual Intelligence (SI). SI ini pernah diusulkan kepada Howard Garner yang berpendapat bahwa manusia setidaknya memiliki delapan kecerdasan yang ada tempatnya di dalam otak. Misalkan kecerdasan kinestetik yang berkaitan dengan cerebellum (otak kecil sebelah belakang yang mengusai koordinasi otot-otot). Tapi kata Garner, di mana letak kecerdasan spiritual? Tidak ada.
Mengenai pandangan Danah Zohar tentang berspiritual tanpa beragama, sebetulnya malah ada yang lebih ekstrim, yakni berspiritual tanpa ada kepercayaan terhadap Tuhan. Agama Budha itu sangat spiritual, tapi mereka tidak percaya sama Tuhan. Alasannya, Tuhan itu tidak bisa digambarkan dan didefinisikan. Seorang antropolog pernah menanyakan teologi mereka. Tapi jawab mereka, our dance is our theology (tarian kami adalah teologi kami). Karena mereka tidak membicarakan Tuhan, mereka hanya membicarakan bagaimana meghilangkan derita dalam kehidupan.
Fenomena itu juga tergambar dalam dunia modern saat ini. Tak sedikit orang berkata, saya seorang spiritual tapi bukan seorang religius. Dalam hal ini, saya kira benar. Sementara yang tidak benar itu adalah ketika SQ itu beredar di Indonesia dan menjadi semacam training-training. Sebenarnya mereka itu bingung membedakan antara mana yang disebut emotional intelligence dan spiritual intelligence? Lalu mengambil jalan pintas dengan menggabungnya dan bernama ESQ, tanpa ada batasan-batasan yang jelas.
Secara ilmiah ESQ itu adalah something you are not able to check and to account (sesuatu di mana anda tidak bisa memeriksa dan melaporkan). Jadi tidak bisa dijelaskan melalui topangan-topangan ilmiah yang bersifat empiris dan logis.
Lebih jauh, apa sih ukuran ESQ? Tangisan? Kalau sudah menangis, maka kita sudah mendapat ridho Allah? Siapa saja yang tidak menangis, maka hatinya sudah membatu dan tidak mendapat petunjuk. Begitukah?
Jadi menurut saya, ESQ itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan emosional, spiritual dan intelegensi. ESQ itu hanya mengulang kesalahan seperti zaman romawi, yaitu Th Holy Roman Empire (kerajaan romawi yang suci), yang merupakan kerajaan Paus. Padahal sebenarnya, itu bukan kerajaan, bukan romawi dan sama sekali tidak suci.
Tapi di antara alumninya banyak yang mengalami perubahan kepribadian menjadi baik?
Kalau mereka menjadi baik itu hanya dongeng saja. Apa sih ukuran kebaikan itu? Ia rajin sholat, hanya itukah? Coba gunakan ukuran lainnya; kenapa sifatnya makin ekstrim terhadap tetangga atau teman sekerjanya? Mengapa ia menganggap orang yang tidak pernah ikut ESQ adalah orang yang belum dapat hidayah? Mengapa pula ia menganggap dirinya sebagai yang paling sholeh?
Motif kegilaan masyarakat kota terhadap ESQ karena apa?
Mungkin karena pemasarannya yang sangat bagus. Ada teknik marketing yang menurut saya sangat bagus. Semua teknik yang dipakai multylevel marketting itu juga dipakai dalam ESQ, dan setiap alumninya bisa menjadi marketter sekaligus. Selain itu, memang ada kecenderungan umum, bahwa orang-orang Indonesia ini suka hal-hal yang instan.
Bagaimana dengan tariqoh-tariqoh yang di antara jalan menuju Allah itu melalui puasa dan lainnya. Apakah ini yang dimaksud dengan spiritual dalam Islam?
Iya. Tapi dalam Islam, perjalanan menuju Tuhan itu perjalanan yang panjang dan sama sekali tidak instan. Dulu saya mendirikan pusat kajian tasawuf dan pernah masuk di beberapa tarekat, tapi akhirnya keluar dengan kekecewaan. Karena saya tidak menemukan pengalaman ruhani yang benar-benar tulus. Sulit membedakan pengalaman batin antara orang gila dengan orang sholeh. Sense keduanya itu sama.
Apakah termasuk dzikir akbar?
Dzikir Akbar itu bisa memberikan pengalaman ruhani karena orang yang bergerak dengan gerakan yang sama, bersuara dengan suara yang sama, dan bahkan kadang-kadang pakaiannya juga sama. Dalam situasi seperti itu anda dalam keadaan suggestable, sangat mudah dipengaruhi. Kemudian pembicaranya berbicara dengan menyentuh emosi, kalau perlu juga berakting menangis. Nah, apakah itu pengalaman spiritual? Menurut saya tidak.
Lalu perjalanan menuju Allah itu seperti apa?
Perjalanan menuju Allah itu transformasi personal dari satu tahap ke tahap yang lebih spiritual. Transformasi ini merupakan perubahan menyeluruh dari seluruh kepribadian kita. Ada seorang sufi modern memberi contoh, bila kita ingin menghilangkan sakit kepala, kita bisa beli obat di apotik, analgesik atau bodrek. Tapi dengan obat, sebenarnya kita hanya menghilangkan sementara rasa sakitnya. Penyakitnya masih tetap. Karena itu bila ingin sembuh, sebenarnya kita juga harus makan teratur dan mengikuti 3 J: jenis makanannya apa, jumlahnya berapa dan jadwalnya teratur-tidak? Artinya, kita juga harus merubah cara hidup kita. Tak cukup membeli obat di apotik saja.
Nah, The Road to Allah adalah upaya untuk tranformasi tersebut. Kita harus merubah cara hidup kita, bukan hanya mengobatinya dengan dzikir. Bila hanya dzikir tanpa melakukan perubahan kepribadian yang buruk, ya sama saja.
Dalam Islam, The Road to Allah itu tasawuf. Tapi persoalannya, orang awam pun pada ngomong tasawuf. Sama dengan spiritual. Selain itu, banyak orang yang terlalu gampang puas. Mengklain dirinya sebagai sufi bila sudah mengambil rujukan kepada kitab Ahmad bin Atha’illah As-Sakandary, yaitu al Hikam, atau bila sudah mulai membahas Kitab Al Ghozali, Ihya ‘Ulumuddin.
Jadi menurut saya, ukuran orang yang menapak jalan menuju Allah itu lebih pada transformasi spiritual, perubahan tingkah laku. Dan ukuran yang lebih utama adalah apakah dia makin penyayang terhadap sesamanya, lebih toleran terhadap orang-orang yang berbeda denganya, dan lebih berkeinginan memberikan kontribusi berharga terhadap kesejahteraan orang lain?*
Dimuat di SC Vol VI
“PENGALAMAN SPIRITUAL TIDAK INHEREN DI OTAK”
Dr H Taufik Pasiak, M Pdi, M Kes lahir di Manado, 29 Januari 1970. Staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Samratulangi, Manado ini, sudah lama menggeluti pelbagai persoalan yang berhubungan dengan otak manusia. “Saya sudah berkali-kali membelah otak manusia,” katanya saat berkunjung di kantor redaksi SC beberapa waktu lalu. Sekarang, alumni Universitas Gadjah Mada, Fakultas Kedokteran, Jurusan Spesialis Neuroanatomi ini, sedang melakukan penelitian tentang hubungan otak dengan pengalaman spiritual manusia, untuk tugas disertasinya. Berbetulan sama dengan tema disertasi yang ia angkat, saya mewawancarainya seputar misteri Gos Spot dan hubungan otak dengan pengalaman spiritual. Berikut petikannya:
Apa hubungan spiritualisme dengan otak?
Pengalaman spiritual merupakan salah satu kajian di bidang ilmu otak yang cukup menarik. Di bandingkan dengan dulu, saat ini memang memuncak. Kasus seperti Lia Aminuddin dan Ahmad Mushoddeq, itu merupakan kasus-kasus yang membuat ahli mulai memasuki wilayah ini. Mereka mencari tahu, apakah spiritualitas itu berdiri sendiri ataukah ada kaitannya dengan otak manusia?
Ada tiga teori yang berkembang dalam dunia kedokteran terutama yang mendalami hubungan otak dengan spiritualisme, khususnya soal kehadiran Tuhan. Teori pertama adalah God Modul atau God Spot, yang sering salah dipakai oleh orang yang tidak mengerti. Di Indonesia ini banyak sekali kesalahan memakai istilah God Spot, seolah-olah Tuhan itu merupakan sesuatu yang berupa bercak atau modul dalam otak manusia. Teori ini yang mengenalkan adalah Prof V.S. Ramachandran, Direktur Center for Brain and Cognition di Universitas California. Ramachandran berpendapat bahwa pada bagian otak yang namanya lobus temporal itu ada bagian yang kalau dipicu, manusia akan ada pada pengalaman spiritual. Tapi yang dia maksud tidak sesederhana yang dibayangkan oleh orang-orang yang tidak mengerti tentang ini. Seolah-olah God Spot adalah segala-galanya bagi sebuah spiritualitas.
Teori kedua, teori circuit. Artinya kehadiran Tuhan itu bukan sebuah modul tapi sirkuit, beberapa komponen yang saling berhubungan. Jadi dalam otak kita, menurut beberpa ahli ada sirkuit yang kalau dipicu salah satu komponen maka manusia memiliki pengalaman spiritual.
Dan ketiga, yang menurut saya paling tepat, yaitu teori katalisator atau enzim. Enzim itu fungsinya adalah mengkatali sebuah perubahan kimia dalam tubuh. Jadi misalnya dalam otak itu ada sirkuit spiritual yang spesifik untuk hal-hal yang membaur dengan spiritualitas. Ini terletak di bagian depan yang kita sebut dengan area asosiasi orientasi, dan area asosiasi atensi yang terletak di otak belakang. Ini adalah komponen otak yang berperan ketika seseorang itu merasa memiliki pengalaman spiritual. Tapi pengalaman spiritual itu tidak inheren di otak, harus dipicu dari luar, yang dalam istilah para sufi itu kehadiran Tuhan.
Jadi perasaan spiritualitas itu datang kepada otak manusia dan bergabung dengan sirkuit spiritual, yang kemudian melahirkan pengalaman spiritual. Jadi spiritualitas bukan sesuatu yang berada dalam diri manusia. Manusia hanya menyediakan semacam antena atau katalisator yang memandu informasi dari luar.
Sementara itu, pengalaman spiritual itu ada empat termin. Ibarat orang berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain, maka dia harus melewati keempat terminal yang keempat-keempatnya merupakan pengalaman spiritual, dilihat dari kaca mata bagian otak yang terlibat.
Pertama perasaan estetik. Ini terjadi bila anda melihat sebuah bunga yang indah, anda melihat alam semesta yang hebat, Ibu yang melahirkan dan seterusnya, anda akan mengalami perasaan estetis. Itu pengalaman mistis. Anda dan atau semua orang pernah mengalaminya.
Kedua namanya cinta, ketika ia merasa terlibat pada sebuah tindakan. Misalkan ketika ia melihat air mengalir, ia merasa seolah-olah merupakan bagian dari air itu.
Ketiga namanya takjub, rasa kagum di luar batas ketika seseorang mengamati sesuatu. Jadi melebihi pengalaman estetik yang pertama dan kedua.
Dan keempat adalah penyatuan atau univikasi, yang dalam istilah hindu disebut nirwana, Kristen union mistika dan Islam menyebutnya fana.
Bisa dijelaskan tentang univikasi?
Misalkan al Hallaj memverbalkan pengalaman spiritualnya dengan istilah Ana Al Haq, saat itu fungsi sistim limbik dan batang otak atau area asosiasi orientasi yang terletak di bagian belakang otak yang berfungsi membentuk imaginasi tentang diri pada level 3 dimensi, itu hilang digantikan oleh sistem talamokortikal yang sangat giat sekali aktivitasnya. Akibat hilangnya fungsi area asosiasi orientasi, maka diri seseorang itu tidak bisa dipersepsi. Seseorang itu merasa menyatu dengan alam semesta, dia merasa menyatu dengan lingkungan sekitar. Dia tidak lagi melihat dirinya sendiri di mana. Ini pengalaman unifikasi yang dalam kajian neuroscience terjadi saat otak belakang, terutama area asosiasi visual yang befungsi menyusun struktur tubuh manusia dalam posisi 3 dimensi itu hilang. Ini posisi tertinggi yang dialami seseorang yang saat itu merasa menjadi bagian dari alam semesta. Nah dari pengalaman tersebut, acapkali kita salah faham, kita menganggap al Hallaj itu mengaku sebagai Tuhan. Padahal tidak.
Nah pada pengalaman estetik sebaliknya, yang aktif saat itu justru visual, yakni area asosiasi orientasi yang terletak di otak belakang. Jadi kesadaran sebagai manusia masih ada. Tapi pada unifikasi, keasadaran sebagai manusia yang sadar itu hilang. Dengan kata lain kesadarannya berubah menjadi menyatu dengan alam semesta.
Ini tentang pengalaman spiritual, makanya bila anda perhatikan pelatihan-pelatihan yang banyak dilakukan saat ini, termasuk pengalaman yang dialami Lia Aminuddin, itu pengalaman spiritual pada level satu atau paling tinggi pada level cinta. Mereka belum sampai pada level penyatuan atau unifikasi. Jadi pengalaman yang dialami Lia Aminuddin itu pengalaman biasa yang kita semua bisa alami.
Dari pengalaman spiritual di atas, yang terpenting itu adalah, apakah pengalaman spiritual itu semata-mata hanya pengalaman spiritual saja ataukah pengalaman spiritual itu mampu membawa perubahan pada seseorang? Kalau pengalaman spritual itu benar-benar pengalaman spiritual yang sebenarnya, maka orang itu pasti akan berubah menjadi baik. Tentu saja ada ukuran tertentu untuk menilainya.
Ada yang mengatakan, pengalaman ‘spiritual’ antara orang gila dengan orang saleh itu sama. Bisa dijelaskan?
Pertama, kalau orang gila (skizofrenia), itu pengalaman tanpa sadar. Tidak ada yang memicu. Sementara pengalaman spiritual itu dipicu oleh stimulus dari luar. Kedua, pada orang gila itu memang kelainan. Sementara pengalaman orang soleh itu tidak. Ketiga, pengalaman mistik ini biasanya terjadi hanya sekali, dan tidak bisa berlangsung lama. Paling hanya berlangsung 2-3 menit saja atau paling lama 30 menit. Ini seperti hasil riset yang pernah dilakukan terhadap Pendeta Zen di Jepang. Sementara orang gila itu bisa sepanjang waktu.
Konon, berkat God Spot, pengalaman spiritual itu bisa dialami semua orang meski pun ia atheis?
Pengalaman spiritual dalam otak itu bukan spot atau nokhtah. Spot itu titik saja. Pengalaman spiritual itu sirkuit, yaitu ada beberapa titik yang saling berhubungan. Itu pemahaman keliru orang yang tidak paham. Jadi God Spot yang ditemukan oleh Prof V.S. Ramachandran yang dipopulerkan oleh media massa itu tidak seperti yang dia maksud. Karena Ramachandran itu menunjuk pada daerah otak yang disebut lobus temporal, tapi ternyata pengalaman spiritual itu tidak hanya titik yang bernama lobus temporal, dia terlibat dalam sebuah sirkuit. Bila titik, ibarat telphon itu hanya satu, dan anda tidak bisa berkomunikasi. Sementara sirkuit, ibaratnya anda melibatkan telephon anda pada orang lain, dan anda bisa berkomunikasi. Sementara God Spot itu hanya menunjuk satu titik saja. Jadi teori God Spot itu tidak kuat. Itu menjadi kuat hanya pada pelatihan-pelatihan yang tidak mengerti tentang apa itu God Spot!
Jadi sirkuit spiritual dalam otak, itu tidak akan bisa berfungsi bila tidak ada stimulus dari luar. Apa itu stimulus spiritual? Bisa macam-macam. Pertama, ada semacam obat-obatan kimia di mana bila anda menghirupnya, maka sirkuit spiritual anda akan aktif dan anda punya pengalaman spiritual. Kedua, bila anda menderita epilepsi, dan sirkuit spiritual itu teraktivasi, anda juga bisa mempunyai pengalaman ‘spiritual’. Ketiga, bila ada stimulasi listrik ke sirkuit spiritual anda (seperti yang dilakukan oleh Dr Persinger, red), maka anda juga akan merasakan pengalaman spiritual. Keempat, pengalaman spiritual yang datang dari luar, diberi oleh Tuhan, yang kemudian masuk ke dalam sirkuit spiritual anda, sehingga menghasilkan pengalaman spiritual. Jadi sirkuit spiritual atau katalisator itu bisa dipicu dengan berbagai macam hal. Indikator orang yang mengalami pengalaman spiritual yang tepat itu adalah, setelah mengalaminya maka akan ada perubahan menjadi lebih baik. Ini indikator penting.
Kalau pengalaman spiritual yang diperoleh secara instan dengan pendakian panjang, adakah perbedaan antara mereka?
Yang dialami oleh orang-orang yang mengikuti pelatihan-pelatihan itu memang benar sirkuit spiritual, tapi itu instan. Karena untuk mengakifkan sirkuit spiritual di otak itu tidak hanya dengan menonton, mendengar atau lainnya. Ada ritual-ritual tertentu, yang kemudian sirkuit ini bisa teraktivasi secara konstan. Nah untuk melihat perbedaan, apakah ini pengalaman spiritual yang dipicu oleh spiritual instan atau tidak, itu bisa kita lihat dari perilaku mereka dalam ranah sosial.
Ada penelitian di Jepang yang membedakan antara Pendeta Zen yang sedang bermeditasi dengan penderita skizofrenia. Ini ilmiah. Mereka menemukan data bahwa pengalaman mistik yang dialami Pendeta Zen itu menujukkan pengalaman spiritual yang dialaminya bisa hilang dan bisa datang lagi. Sementara pengalaman mistik yang dialami oleh penderita skizofrenia itu terus berlangsung tanpa ada fase berhenti. Itu tanda pertama. Artinya, seorang mistikus atau sufi, itu menyadari bahwa dia mengalami pengalaman spiritual. Berbeda dengan penderita skizofrenia yang tidak sadar dengan apa yang dialaminya.
Kedua, bila seorang sufi mengalami pengalaman spiritual maka ia akan kembali kepada masyarakat dan melakukan pencerahan. Ini yang ditampilkan oleh Rosulullah setelah Isra’ Mi’raj. Coba anda bayangkan, kalau dipikir-pikir secara logis, Nabi Muhammad sudah ada di Surga, ngapain balik di dunia? Jadi bagi orang yang memiliki pengalaman spiritual yang unik ini, ia harus kembali kepada masyarakat dan memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Nah kepada teman-teman yang bergiat dalam dunia pelatihan tersebut, saya memberikan apresiasi yang sangat dalam kepada mereka, artinya sebagai usaha yang patut dihargai. Tapi sekali lagi, spiritualitas yang dilahirkan itu instan sekali. Spiritual yang bobotnya lebih rendah apabila dibandingkan dengan spiritualitas yang ditumbuhkan secara baik dari diri sendiri.
Orang yang mengikuti spiritualitas instan itu merasa beriman ketika ada induksi dari luar. Jadi bila anda ada dalam sebuah ruangan dan anda diinduksi dengan film, cerita dan lainnya, anda akan menjadi sangat beriman. Tapi ketika anda pulang ke rumah, maka keimanan anda tertinggal di ruangan tadi. Jadi efeknya sejenak saja. Tapi bila melalui pendakian yang sangat dalam, maka efeknya akan sangat panjang.
Nah selama ini yang kita lihat, pelatihan yang melibatkan banyak orang, para peserta itu memang menangis dan merasa dekat dengan Tuhan. Tapi setelah pulang, mereka kemudian menjadi biasa. Itu kan sama saja dengan dzikir massal yang sejak zaman dulu sudah ada.
Jadi para peserta pelatihan instan itu terkondisikan sedemikian rupa, tapi setelah kondisi itu hilang, maka hlang pulalah pengalaman itu. Bahkan menurut saya yang dialami bukan pengalaman spiritual, tapi seolah-olah pengalaman spiritual.*
Adib Minanurrachim
Senin, 11 Februari 2008
PEMBERSIHAN DIRI
Syarat pertama menyelami makrifat adalah niat membersihkan diri dari segala hal yang negatif. Pembersihan diri atau tazkiyah an nafs ini bisa diawali dengan mandi besar.
“SILAHKAN bersihkan pikiran anda dengan keinginan kuat. Biarlah otak anda merespon bahwa Anda ingin bersih. Niatkan dzikir kepada Allah. Rasakan sampai terasa dingin mengalir.”
Kata-kata ustadz Abu Sangkan terasa menjalari keheningan. Merasuk kesadaran tiap orang yang hadir pada Malam Jum’at, 27 Desember 2007, di gedung Sekretariat Shalat Center.
“Duduklah dengan sempurna agar tubuh Anda bisa merespon dengan sempurna,” lanjut ustadz Abu Sangkan. “Ketika hati Anda tunduk berdzikir, biarkan otak Anda terlibat sampai menggetarkan seluruh syaraf-syaraf Anda. Sampai ke ujung-ujung kaki dan tangan Anda. Otaklah yang akan menghantarkan pesan ke seluruh bagian tubuh Anda. Lalu tanamkan keinginan kuat: Ya Allah bersihkanlah hati, pikiran dan tubuhku. Ya Allah tuntunlah aku. Allah.”
Seluruh jama'ah mengikuti instruksi ustadz Abu Sangkan. Beberapa orang bersedekap erat, memeluk tubuhnya. Matanya mengatup, mengheningkan pikir. Menyelami lautan spiritual. Bersedia menerima energi ilahiyyah.
“Jangan ragu, biarlah daya ilahi menjalar ke seluruh syaraf dalam tubuh anda. Jangan sampai ada pikiran negatif. Tanamkan pikiran positif dan ucapkan kalimah Allah-Allah. Otak kita akan merespon ketika tubuh kita menerima energi ilahiyyah. Allahu Akbar, ya Rahman ya Rahim. Terus tanamkan hal positif ini. Allahu Akbar. Lalu 'ikatlah' hingga Anda menjadi baik. Menjadi sayang, menjadi santun. Akhlaknya seperti akhlak Allah... sampai otak belakang Anda menyimpannya.”
Mandi Junub
RELAKSASI di atas merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pengajian Malam Juma’atan yang diselenggarakan di Sholat Center, Jatibening, Bekasi, sekaligus sebagai syukuran kepulangan ustadz Abu Sangkan yang baru datang dari Tanah Suci, Makkah.
Pada malam Jum'at itu, ustadz Abu Sangkan mengupas materi tentang pentingnya niat mandi besar atau mandi junub. Menurutnya, mandi besar itu tidak sekedar mengalirkan air ke seluruh sela-sela tubuh. Tapi juga harus diiringi dengan niat kuat untuk membersihkan jiwa dan raga. “Mandi junub itu tak sekedar membersihkan kotoran dengan air. Tapi harus diniati, dikarepi.”
Mendengar uraian tersebut, mulanya wajah beberapa jama'ah menunjukkan keheranan. “Kok ini yang saya lihat. Aneh ya, kayak nggak ada hubungannya,” kata ustadz Abu Sangkan. “Padahal tidak ada yang zina kan?”.
Tapi begitulah bahasan halaqah Malam Jum’atan. Materinya mengalir begitu saja, sesuai dengan tuntunan ilahi yang diterima.
Sebelum jama'ah lebih kebingungan, ustadz Abu Sangkan menjelaskan bahwa selain merupakan syarat syahnya sholat, mandi besar juga diperuntukkan membersihkan jiwa. Ia membedakan mandi besar secara fiqhiyyah (teori) dan hakikat (falsafi).
”Pernahkah mandi junub dipelajari dengan benar, seperti saat kita sholat? Artinya selama ini kita asal mandi kan? Ini seolah sepele, tapi ini syarat sahnya sholat. Mandi besar itu membersihkan setiap bagian tubuh, semuanya. Semua harus dilakukan dengan niat atau karep yang kuat hingga otak merespon,” jelasnya.
Saat mandi besar dianjurkan untuk melakukan usapan pada seluruh sela-sela tubuh. “Kenapa Rasulullah menyarankan untuk mengelus tiap bagian tubuh yang dialiri air? Ini membangunkan dan mengajak seluruh bagian tubuh kita untuk merasakan apa yang jiwa kita rasakan. Jika Anda mandi dan berdoa, 'Ya Allah bersihkan saya', pasti ada bagian tubuh lainnya yang tidak ikut. Tapi bila kita berdoa sambil mengusapkan tangan mulai dari ujung rambut lalu turun ke muka dan terus ke bawah dengan penuh penghayatan, saat itu sel-sel tubuh kita akan bergetar, itulah respon otak. Seluruh neuron-neuron syaraf akan bergetar dan mengiyakan. Jadi seluruh tubuh harus diniati, dibersihkan sambil diusap, bahkan sampai kemaluan, pantat, sela kaki dan seterusnya,” lanjutnya.
Setelah memberikan penjelasan, lalu ustadz Abu Sangkan mengajak seluruh jama’ah untuk melakukan relaksasi. Seiring semilir angin malam yang terasa menembus tulang, semua hadirin mengikuti instruksi ustadz Abu Sangkan. Gerakan-gerakannya perlahan dan penuh penghayatan.
Selang setengah jam, relaksasi selesai. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 pagi. Sebelum membubarkan acara yang rutin dilaksanakan setiap Malam Jum’at ini, ustadz Abu Sangkan bertanya kepada seluruh jama'ah, “Adakah korelasinya belajar ketuhanan dengan masalah junub ini?” Sejenak para hadirin terdiam. Selanjutnya tersenyum penuh arti.
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Vol VI
JEJAK PITUNG DI MARUNDA
Sebagai Robin Hood Betawi, Pitung jarang menetap. Ia sering berpindah tempat, menghindar dari kejaran Belanda, sambil terus merampas harta tuan tanah dan melindungi nasib rakyat kecil dari penindasan. Di antara jejaknya terdapat di Masjid Al Alam dan Rumah Joglo di Marunda Pulo.
BAGI masyarakat Betawi, Pitung adalah pahlawan. Ia hidup di abad 19, warga Rawabelong, dengan ayahnya, Piun, asal Cirebon dan ibunya, Pinah, dari Betawi.
Si Pitung menjadi terkenal bukan hanya karena keberaniannya melawan Belanda, tapi juga kepeduliannya terhadap nasib rakyat yang tertindas oleh kekuasaan Belanda dan tuan tanah.
“Saat itu, kehidupan sosial masyarakat sangat tidak manusiawi. Para tuan tanah tak segan-segan meminta pajak yang tinggi kepada para petani. Bila para petani tidak bisa segera membayar pajak sesuai dengan jatuhnya tempo, maka para begundal tuan tanah itu akan memaksa para petani tersebut dengan cara-cara kasar. Nah dalam situasi seperti itu, munculah Si Pitung,” kata Alwi Shahab, penulis novel Pitung, Robin Hood Betawi.
Dalam perjalanannya, Si Pitung tidak hanya melindungi rakyat dari para begundal (pendekar bayaran) para tuan tanah, tapi juga merampok harta kekayaan mereka, kemudian membagikannya kepada rakyat kecil. Terhadap sepak terjang Si Pitung ini, tidak hanya tuan tanah yang tidak tenang, tapi juga Belanda. “Jakarta tidak aman. Akhirnya Belanda menurunkan Schout van Hinne, kepala kepolisian untuk menangkap Si Pitung,” lanjutnya.
SEBAGAI seorang buron, Pitung tidak memiliki tempat menetap yang pasti. Konon, ia pernah tinggal di Kota Depok, tepatnya di salah satu gedung milik bangsawan asal Belanda, Cornelis Chastelein. Warga Depok lebih sering menyebut gedung tersebut sebagai rumah tua Pondok Cina, karena letaknya yang berada di Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji.
Sayangnya, bangunan tua yang berada di Jalan Margonda Raya tersebut sudah tidak ada. Gedung yang menjadi saksi sejarah Kota Depok tersebut sudah terkepung oleh sebuah mal supermegah bernama Margonda City. Memang, projek pembangunan Margonda City tidak sampai menggusur gedung tersebut. Meski begitu, fungsi bangunan sudah berubah menjadi sebuah kafe.
Cerita lainnya, Pitung juga pernah tinggal di Kampung Marunda, baik di Masjid Al Alam atau di rumah joglo kampung Marundo Pulo.
Banyak versi tentang hubungan Pitung dengan masjid Al Alam. Ada yang mengatakan bahwa Masjid Al Alam merupakan tempat bermain Pitung, belajar agama, belajar pukulan sampai sembunyi dari opas dan kompeni. Tapi ada juga yang mengatakan bila Pitung hanya singgah sebentar di Masjid Al Alam untuk mendirikan sholat. Dua pendapat ini menjadi tidak kuat karena tidak ada bukti fisik yang bisa menjelaskan keberadaan Pitung di Masjid tersebut, kecuali pemahaman masyarakat sekitar bahwa Pitung pernah berada di Masjid itu.
Selain Masjid Al Alam, pitung juga pernah menjejakkan kakinya di kampung Marunda Pulo, tepatnya di rumah berbentuk joglo yang terletak sekira 250 m di sebelah selatan masjid Al Alam. Seperti halnya dengan Masjid Al Alam, beragam pendapat menjelaskan hubungan Pitung dengan rumah joglo ini. Ada yang mengatakan bahwa rumah itu milik Pitung, tapi juga ada pendapat yang menjelaskan bahwa rumah itu milik orang kaya yang pernah disatroni Pitung dan para pengikutnya. “Pihak museum mengklaim itu milik si Pitung. Padahal sesungguhnya itu milik orang kaya Marunda dan pernah digarong sama Pitung,” kata M Sambo bin Ishak, wakil ketua Pengurus Masjid Al Alam.
Bukan asli
RUMAH panggung itu awalnya dibangun tiga kamar, tetapi kemudian dua di antaranya dibongkar sehingga tinggal satu kamar, tanpa perabot. Panjangnya 15 meter dan lebar lima meter. Di bagian tengahnya ada tambahan sayap di kiri-kanan, masing-masing 1,5 meter. Semuanya terbuat dari papan kayu jati, dan beberapa bagian ada besi, seperti jeruji jendela dan penyangga atap.
Tiang penopang bangunan ada 40 buah, tingginya dua meter, tinggi bangunan juga dua meter. Karena bentuknya seperti itu, ruangannya pun tampak pendek, apalagi kalau melewati pintu, pengunjung harus merunduk.
Lantai dari papan kayu jati, sebgaian masih baru. Ada sepuluh jendela yang berdaun pintu dan berjeruji, sedang dua lainnya tanpa jeruji dan daun. Siang hari jendela itu selalu dibuka. Di rumah itulah si jawara Betawi tinggal selama beberapa tahun setelah dikejar-kejar Belanda hingga akhirnya ditangkap, mati dan konon dikuburkan di Pejagalan.
Kalau air laut pasang, pekarangan dan bagian kolong rumah tergenang air laut hingga 50 cm. Cat bangunan rumah yang merah darah sudah memudar.
H Atit Fauzi, tokoh Marunda Pulo, pernah mengatakan bahwa rumah Pitung itu bukan bangunan aslinya, kecuali lokasi tempat rumah itu dibangun. Rumah aslinya dahulu milik juragan nelayan sero, yakni Haji Syafiuddin.
Sementara mengenai perubahan nama pemilik rumah tersebut, bermula dari usaha Pemprov DKI Jakarta untuk mengabadikan nama Pitung, dan selanjutnya ditetapkan sebagai cagar budaya pada tahun 1992.
“Meski dicap sebagai penjahat oleh tuan tanah dan kompeni, ia disanjung oleh rakyat jelata karena sifatnya suka menolong. Sebagai jawara silat, ia menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, rendah hati, berbudi pekerti baik dan peka terhadap penderitaan orang lain. Ia tidak menggunakan ilmu kesaktian dan bela dirinya demi kesempurnaan diri dan kepuasan materi, kecuali demi kesempurnaan spiritual dan kebahagiaan manusia di sekitarnya," kata Alwi Shahab.*
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Vol VI
MASJID AL ALAM MARUNDA: SEMALAM DIBANGUN, MANFAAT BERATUS TAHUN
Konon Masjid Al Alam (Al Auliya) Marunda, dibangun hanya dalam tempo semalam. Banyak kisah heroik muncul dari masjid ini, di antaraya Si Pitung.
“MENCARI barokah,” begitulah kata Mulyonorahim, salah satu peziarah saat ditanya tujuannya datang ke Masjid Al Alam Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Lelaki asal Kota Pasuruan Jawa Timur itu sudah dua bulan menetap di Masjid Al Alam. Saat ditemui, ia sedang menata ubin lantai di sebelah kanan Masjid. “Saya berniat lillahi ta’ala membantu,” jawabnya.
Senada dengan Mulyono, beberapa peziarah lainnya seperti Fathoni, Madjid dan Ramli juga berniat mencari barokah dengan banyak melakukan ritual ibadah di Masjid Al Alam.
Kedatangan para peziarah yang berasal dari berbagai daerah itu, tidak lepas dari keistimewaan sejarah Masjid Al Alam yang konon dibangun oleh Walisongo. “Masjid ini dibangun Walisongo dengan tempo semalam, saat menempuh perjalanan dari Banten ke Jawa,” kata M. Sambo bin Ishak, wakil ketua Masjid Al Alam. “Karena itu, nama asli masjid ini Al Auliya, masjid yang dibangun para wali Allah,” lanjutnya.
Sementara di tempat terpisah, tokoh Betawi, Alwi Shahab, mengatakan bahwa pendiri masjid Al Alam adalah Fatahilah dan pasukannya pada tahun 1527 M, setelah mengalahkan Portugis di Sunda Kelapa. “Ada keyakinan di masyarakat Marunda, bahwa Fatahillah membangun Masjid Al-Alam hanya dalam sehari,” katanya di Kantor Harian Republika.
Meski berbeda pendapat, baik Sambo dan Alwi Shahab mengatakan hal yang sama bahwa Masjid Al Alam dibangun hanya dalam tempo semalam, meski pijakan alasan keduanya berbeda.
Berangkat dari tempo pembangunan itu, tidak mengherankan bila masjid yang ukurannya mirip musala itu menjadi istimewa bagi masyarakat Marunda khusunya, dan umat Islam umumnya. Terlebih bila mengingat bahwa Masjid Al Alam juga sarat nilai sejarah perlawanan terhadap penjajah.
Seratus tahun kemudian (1628-1629), lanjut Alwi Shahab, ketika ribuan prajurit Mataram pimpinan Bahurekso menyerang markas VOC (kini gedung museum sejarah Jakarta) para prajurit Islam ini lebih dulu singgah di Marunda untuk mengatur siasat perjuangan.
Penuturan Alwi Shahab tersebut, senada dengan penjelasan Sambo tentang lubang kecil berbentuk setengah oval yang terdapat di bagian kiri masjid Al Alam. Menurutnya, lubang tersebut digunakan sebagai pengintaian terhadap bala tentara musuh. “Tidak hanya tentara Demak, tapi juga Si Pitung, Si Ronda, Si Jampang, Si Mirah dan lainnya pernah bersembunyi di sini dari kejaran Belanda. Mereka bisa selamat karena menurut cerita, bila bersembunyi di Masjid ini mereka tidak akan kelihatan.”
Sementara itu, melihat arsitektur Masjid Al Alam akan mengingatkan pada model Masjid Demak, namun berskala lebih mini—ukurannya 10×10 m2. Atapnya yang berbentuk joglo ditopang oleh 4 pilar bulat “kuntet,” seperti kaki bidak catur. Mihrab yang pas dengan ukuran badan menjorok ke dalam tembok, berada di sebelah kiri mimbar. Uniknya masjid ini berplafon setinggi 2 meter dari lantai dalam.
Kemudian, di bagian kiri Masjid, dulunya merupakan kolam yang digunakan untuk mencuci kaki sebelum masuk masjid. Ini mengingatkan pada arsitektur Masjid Agung Banten Lama. Bedanya, kolam di Masjid Agung Banten Lama terletak di bagian depan halaman masjid. “Dulunya di sini memang kolam. Buktinya ada sumur di samping masjid,” kata Sambo sambil menunjuk letak kolam yang saat ini sudah tertutup ubin berwarna merah dan sebuah sumur yang sudah ditutup.
Beberapa bagian masjid lainnya masih asli. Di antaranya adalah tembok di ruang utama masjid yang memiliki ketebalan sekira 27 cm dan hiasan jendela yang terdapat di ruang pengimaman. “Itu juga asli, dalamnya terbuat dari batu giok,” lanjutnya.
Selain itu, Sambo juga menunjukkan sebuah tongkat yang terukir melingkar seperti ular. Menurutnya, tongkat tersebut cukup istimewa dan hanya dikeluarkan setiap hari Jum’at untuk khutbah. “Tongkat ini datangnya misterius. Tiba-tiba datang ke sini lewat air,” katanya.
Saat ini, masjid yang terletak di tepi pantai itu tidak pernah sepi. Selalu diziarahi, terutama setiap malam Jumat Kliwon dengan kegiatan rutin berupa istighosah.
Dengan keistimewaan Masjid Al Alam, baik nilai-nilai sejarah perlawanan yang heroik dan karomah para pendirinya, dalam perkembangannya juga membawa manfaat bagi masyarakat sekitar Marunda, baik yang berhubungan dengan nilai-nilai islami maupun rizki. Dengan ramainya para peziarah, masyarakat bisa mengambil keuntungan dengan menjual makanan di sekitar Masjid Al Alam.
Demikianlah keistimewaan masjid Al Alam atau Al Auliyah Marunda. Meski dibangun hanya dalam tempo semalam, tapi manfaatnya terasa beratus tahun.*
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Vol VI
Langganan:
Postingan (Atom)