Jumat, 14 Desember 2007

“TIONGHOA JUGA ADA YANG ISLAM”

PADA masa Orde Baru, pemerintah suka memberikan tekanan kepada etnis Tionghoa sehingga organisasi ini tidak menjadi besar. Salah satunya adalah tekanan pada penggunaan istilah Tionghoa. Sehingga organisasi ini sempat mengalami perubahan kepanjangan. Dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia menjadi Pembina Iman Tauhid Indonesia.
Visi-misi PITI adalah untuk menyingkirkan kabut yang menaungi Indonesia selama ini bahwa antara Tionghoa dan Islam seoalah merupakan dua hal yang terpisahkan. Padahal Tionghoa itu bukanlah agama. Tapi suku sebagaimana Jawa, Betawi dan lainnya.
Organisasi ini dibentuk juga untuk mempermudah syiar orang-orang Tionghoa muslim kepada warga Tionghoa yang belum muslim. Ini bertolak dari anjuran pengurus Muhammadiyah agar syiar di kalangan Tionghoa dilakukan oleh orang Tionghoa sendiri. Anjuran ini memang menimbulkan kesan bahwa orang Tionghoa itu tidak mungkin Islam. Imej ini terlalu kuat di masyarakat. Lebih-lebih organisasi besar semisal NU dan Muhammadiyah tidak pernah syiar kepada orang-orang Tionghoa. Tapi kami tidak menutup diri. Kami tetap mengajak kerjasama dengan mereka dalam syiar sehingga perkembangan organisasi ini bisa membaik.
Saat ini PITI sudah memiliki 17 DPW di 17 provinsi. Susunan organisasinya dimulai dari DPP (Jakarta), DPW (Provinsi), DPD (Kabupaten) hingga DPC (kecamatan).
Program-program PITI adalah pengajian di daerah-daerah dan juga pembinaan terutama untuk mereka yang baru masuk Islam. Selain itu, PITI juga wadah bagi warga Tionghoa yang mau mengenal Islam lebih jauh. Kami sangat terbuka, karena bila tertutup mana mungkin mereka mau mencintai Islam? Program lainnya adalah memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang mana yang religi dan mana yang tradisi. Misalkan Imlek yang hingga detik ini banyak dipahami sebagai ajaran agama. Padahal itu bukan agama kecuali tradisi. Imlek itu bila di Jawa sama dengan Sura. Sementara di Islam ada Muharram.
Pola pendekatan yang kita lakukan selama ini adalah pendekatan budaya. Karena kami sadar bahwa budaya dan karakter orang Tionghoa itu sangat heterogen. Misalkan saya ini sudah berbeda dengan orang Tionghoa yang ada di Sumatera. Saya ini sudah tiga generasi di Indonesia. Selain itu juga dengan mengangkat tokoh muslim yang terkenal seperti Laksamana Cheng Hoo. Nah di Surabaya itu kan ada Masjid Muhammad Cheng Hoo yang manfaatnya sangat luar biasa. Kalau dulu sebelum ada masjid, orang Tionghoa Jawa Timur yang menjadi muallaf dalam dua-tiga bulan hanya satu muallaf. Tapi saat ini, hampir setiap jumat ada muallaf.
Ada beberapa masjid di Jakarta yang dibangun oleh Muslim Tionghoa. Tapi seiring kebijakan Orde Baru yang melarang komunitas Tionghoa muslim berkembang, maka identitas mereka hilang. Mereka menjadi pribumi. Sehingga Masjid-masjid tersebut tidak dikenal sebagai masjid yang didirikan oleh Tionghoa muslim. Di antara masjid yang dibangun oleh orang Tionghoa adalah Masjid Kebun Jeruk dan Masjid di Glodok.
Kebijakan Orde Baru tersebut juga berimplikasi pada perpecahan antara Tionghoa. Sehingga Tionghoa Islam menjadi pribumi sementara Tionghoa non Islam seolah menjadi yang lain. Akhirnya hubungan antara keduanya terpisah. Tapi setelah adanya PITI ini, kita mencoba mendekatkan hubungan tersebut.
Ada perbedaan antara misi Tionghoa Muslim lama dengan Tionghoa Muslim baru. Bila Tionghoa Muslim lama hanya mengerti soal agama dan kurang mengerti soal nasionalisme. Tapi PITI yang sekarang ini juga berpikir tentang nasionalisme dan kebangsaan.
PITI sebagai organisasi tidak pernah mengeluarkan fatwa apa pun. Kita selalu menyerahkannya kepada individu masing-masing. Karena PITI selalu menyesuaikan diri dengan ormas-ormas besar. Misalkan jika berada di salah satu tempat yang kebetulan warga Muhammadiyahnya besar, maka PITI juga lebih banyak mengikutinya. Begitu pun jika NU yang kuat. Karena itu saya lebih suka mengatakan bahwa jangan dilihat orang Tionghoa itu sebagai orang lain (liyan). Yang membedakannya hanyalah warna kulit. Bila masih ada pembedaan antara satu dan lainnya maka kita tidak akan bisa bersatu.
Harapan saya terhadap ormas yang masih enggan melakukan syiar di kalangan warga Tionghoa adalah kita harus benar-benar tahu sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia di mana orang-orang Tionghoa juga berperan di dalamnya. Hanya karena politik, hal ini kemudian dihilangkan. Bila hal ini disadari, saya kira tidak ada lagi perbedaan. Termasuk yang ingin kami ungkap saat ini adalah ada beberapa walisongo yang berdarah Tionghoa.
Jadi, dengan pengakuan sebagai warga negara Indonesia yang tanpa diskriminasi, kita berharap bisa membantu proses kebangsaan kita. Ukhuwah itu menurut saya ada tiga, Islamiyah, Watoniyah dan Basyaraiyah. Tapi jujur saja saya lebih condong ke Basyariyah.

Wawancara dengan H.S. Willy Pangestu (Sekjen Persatuan Islam Tionghoa Indonesia)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol I

Tidak ada komentar: