DULUNYA, mulai kecil hingga SMA, barangkali saya tidak beragama. Hingga saya masuk sekolah nasional, saya baru belajar agama katolik. Ketika kuliah saya juga universitas kristen.
Saya masuk Islam pada usia 44 tahun. Saya berasal dari keluarga yang sangat demokratis. Orang tua saya, mungkin kecilnya dulu pernah masuk sekolah Katolik. Tapi kepada anak-anaknya tidak pernah menekankan/mendidik untuk mengikutinya. Sejak kecil saya sudah sangat akrab dengan keluarga-keluarga haji. Keluarga saya juga dekat.
Saya menjadi muallaf mungkin karena lebih banyak terpengaruh dari pergaulan setelah dewasa di Sidoarjo, Surabaya. Selain itu, saya lebih banyak bergerak dalam organisasi Badan Komunikasi Persatuan dan Kesatuan Bangsa (BKOM PKB) mulai 1971. Dan dulu, saya tidak pernah memandang agama satu lebih baik daripada agama lainya.
Saya pikir, pendidikan agama itu boleh mulai kecil. Tapi pada saat penetapan/pemilihan pada agama apa yang harus saya pilih, maka orang itu harus benar-benar mantap, dewasa. Sehingga pilihannya adalah pilihan yang terbaik.
Kita memang tahu butuh suatu pengenalan terhadap agama. Tapi di mana kita dapat hidayah, kita kan tidak tahu. Mungkin jika anda dikasih dua-atau tiga pilihan agama, barangkali anda juga tidak pilih Islam. Tapi karena sejak kecil sudah tahu atau dipilihkan Islam, maka itulah hidupmu.
Waktu sekolah saya pernah dekat dengan satu-dua gereja. Tapi yang saya rasakan tidak sebegitu mantap dan setenang ketika saya dekat dengan Islam. Dan hidayah itu kan datang tanpa kita sadari, mendadak dan kita mencintai. Saya merasakan datangnya hidayah itu sebagai ketenangan jiwa. Karena setelah masuk Islam, saya lebih tenang, lebih sabar, menerima apa adanya dan ada perubahan perilku. Dulu saya mungkin orang yang keras dan tidak sabaran. Tapi sekarang insyaallah menjadi lebih sabar.
Proses masuk Islam itu tidak tiba-tiba. Tapi mulanya memang saya tidak sengaja. Ceritanya, sepuluh tahun sebelum saya masuk Islam. Anak saya yang ketika itu masih bayi sekira berumur 2-3 bulan, sakit keras. Sudah berobat dengan segala cara tapi tidak sembuh. Suatu ketika saya bermimpi bertemu dengan seorang berjubah putih. Ia berkata kepada saya, “kenapa tidak kamu adzani?” Saya langsung bangun dari tidur. Terkejut. Tapi akhirnya saya tidak menghiraukannya. “Ah, hanya bunga tidur,” pikir saya.
Hingga suatu ketika saya bertemu dengan teman dekat dari Ambon, Maluku. Saya bercerita kepadanya. Dan ia menekankan agar saya segera melaksanakan anjuran orang berjubah putih dalam mimpi saya. Setelah itu, kami segera berangkat ke Rumah Sakit dan teman saya tersebut melaksanakan adzan di dekat anak saya. Alhamdulillah anak saya kemudian berangsur-angsur baik. Tapi saya tidak langsung masuk Islam, meski tiga tahun di setiap ramadhan saya sudah ikut puasa. Hingga kemudian, setelah saya merasakan kedekatan yang sangat dekat, saya putuskan untuk melakukan ikrar.
Ketika saya masuk Islam tidak ada halangan satu pun. Karena keluarga saya sangat demokratis. Untuk keluarga saya sekarang, saya juga didik anak-anak saya sebagaimana orang tua saya mendidik saya. Demokratis. Saya tidak pernah menekankan pada mereka ini dan itu. Terserah mereka mau mengimani agama apa. Istri saya nasrani mulai kecil.
Jadi, saya lebih setuju bahwa masa untuk memilih sebuah pilihan yang tidak berubah selamanya adalah pada usia 40-an
Wawancara dengan Willy Pangestu (Sekjen PITI)
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar