Kamis, 27 Desember 2007

BEREKSPRESI LEWAT PUISI

Sastra pesantren kini memiliki tempat tersendiri di tengah-tengah aneka ragam genre sastra di tanah air. Cakupan temanya luas, tak melulu bicara pesantren.

D. ZAWAWI IMRON dilahirkan di Sumenep, Madura, tahun 1946. Perkenalannya dengan dunia sastra dimulai sejak ia masih berumur belasan tahun. “Saya kenal sastra itu sejak kecil, karena di Madura dulu itu kan terkenal sastra lisan. Kemudian ketemu syair-syair agama dalam bahasa Indonesia, di sebuah pesantren di Gapura sebelah timur Sumenep Madura,” katanya.
Sebagai orang yang menggemari sastra, mulanya Pak D tidak mempunyai bayangan bahwa ia akan menjadi seorang penyair. Ia menulis puisi, selain karena pengaruh budaya Madura yang terkenal dengan sastra lisannya, juga karena baginya menulis puisi adalah semata-mata media berekspresi. “Menulis puisi itu kenikmatan sendiri sebagai media ekspresi. Kala itu saya tidak pernah bercita-cita menjadi penyair. Sama sekali tidak pernah. Tapi saya terus menulis. Barulah kemudian pada tahun 1960-an, ada seorang teman yang mengetikkan puisi saya dan dikirimkan ke Minggu Birawa yang redakturnya adalah Pak Sungkan Hadi Oetomo, ternyata dimuat,” katanya tersenyum.
Setelah mengetahui buah karyanya memperoleh respon positif, semangat Pak D makin menggeloara terhadap sastra. “Sesudah itu, menulislah terus. Pada tahun 1977, terbit buku puisi saya, Semerbak Mayang. Kemudian terbit buku Madura, Akulah Darahmu. Tahun 1982 saya mewakili Jawa Timur mengikuti forum PKR 10 kota di Jakarta. Waktu itu antara lain saya membawa puisi berjudul Bulan Tertusuk Ilalang yang akhirnya terbit dan kemudian oleh Garin Nugraha difilmkan. Setelah itu, ya kegiatan bersyair saya semakin bergairah di samping pada pertengahan tahun 80-an memberikan motivasi kepada anak-anak Pesantren al Amin Prenduan Sumenep,” lanjutnya.
Selain dikenal sebagai sastrawan yang kental akan budaya Madura, Pak D juga dikenal sebagai sastrawan pesantren. Ini terlihat dari pusi Muahmmad Rosulullah di awal tulisan ini atau beberapa karya lainnya.
***
BERBICARA sastra pesantren, sastrawan Ahmad Tohari pernah menawarkan batasan. Menurut penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ini, sastra pesantren merupakan karya sastra yang hidup dan diciptakan oleh kalangan pesantren, atau karya sastra yang bermuatan misi dakwah. Tentu saja, kalimat “karya sastra yang bermuatan misi dakwah” dalam batasan ini, sangat longgar. Sebab, banyak sastrawan kini yang menghasilkan karya sastra bermuatan misi dakwah, tapi mereka tidak berasal dari kalangan pesantren. Bahkan, banyak karya sastra tentang kehidupan pesantren lengkap dengan segala tata nilai masyarakatnya, namun tidak dihasilkan oleh sastrawan yang punya hubungan erat dengan pesantren.
Karya-karya sastra yang dihasilkan aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) di seluruh Indonesia, sebagian bukan produk pesantren, tapi sangat kental memuat misi dakwah agama Islam. Dalam novel-novel Gola Gong misalnya, terutama yang diterbitkan Mizan, misi dakwah itu menjadi ruh yang menghidupi karya tersebut. Begitu juga dengan cerpen-cerpen bahkan komik, semua unsur yang membentuk karya-karya itu hanya sebagai pelengkap dari misi dakwah agama Islam tersebut.
Artinya, batasan “bermuatan misi agama” itu hanya memberi pengertian umum dan bukan ciri khas. Dalam kesusastraan kita kini, ada banyak sastrawan yang merupakan produk pesantren, yang mempunyai kontribusi besar dalam khasanah kesastraan Indonesia mutakhir, seperti KH Mustofa Bisri, Emha Ainun Nadjib, Ahmad Tohari, Fudoli Zaini, Acep Zamzam Nur, Ahmad Syubbanuddin Alwi, Jamal D Rahman, Mathori A Elwa, Nasruddin Anshory dan lainnya. Tapi para sastrawan produk pesantren itu tidak hanya menulis kehidupan di sekitar pesantren, melainkan juga menulis tentang banyak hal sebagaimana sastrawan lain yang bukan produk pondok pesantren. Sebut saja Ahmad Tohari, yang lebih menekuni kehidupan pedesaan dengan segala macam variasinya, baik dalam bentuk cerpen maupun novel. Acep Zamzam Noor lebih banyak dipengaruhi globalisasi peradaban, dan membentuknya sebagai penyair yang santri. Sementara D Zawawi Imron memilih menulis puisi yang kental akan tradisi budaya Madura.
Sekalipun mereka dan D Zawawi Imran tidak melulu bicara kehidupan pesantren, namun kekhasan seorang santri tetap ditemukan dalam karya-karya mereka. Kekhasan ini berkaitan dengan nilai-nilai agama Islam yang mereka anut, yang begitu kental di dalam diri mereka sehingga menghasilkan karya-karya sastra yang kuat akan spiritualitas.

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No IV

Tidak ada komentar: