Secara filosofis, apa makna shalat?
Sebagaimana Nabi Muhammad SAW meninggalkan bumi dan naik ke langit untuk berdialog dengan Yang Maha Kasih, begitu juga dengan orang yang shalat. Nabi pernah bersabda, Solluu Shalatan Muwadi (Shalatlah kamu dengan shalat yang menyatakan selamat tinggal kepada dunia ini). Jadi secara singkat, dalam posisi shalat seorang hamba tidak lagi berada di bumi tapi dia naik ke langit. Dalam istilah spiritual, dia getting connected with the source (bertemu dengan sumber segala sumber). Sementara Jalaluddin ar Rumi berkata, kalian punya sayap tapi kenapa kalian tidak terbang ke langit? Malah terus-menerus merayap di bumi?
Tetapi kehidupan kita sehari-hari menyebabkan kita terpuruk di dunia ini. Pusat perhatian kita dipusatkan kepada kepentingan-kepentingan duniawi. Sehingga kita melumpuhkan diri dalam berhubungan dengan Yang Maha Kuasa.
Jika orang yang menjalankan hakikat shalat dengan benar, maka dia akan mempunyai pandangan ruhaniyah yang tidak materialistis. Tapi jika kita memahami shalat sebagai rutinitas menjenuhkan, misalkan pendekatan yang kita lakukan pada shalat hanyalah pendekatan fiqh, bukan pendekatan spiritual, maka orang itu hanya akan disibukkan dengan bagaimana caranya bisa menggerakkan telunjuk ketika takbiratul ikhram, rukuk, takhiat akhir dan seterusnya. Jika kita hanya memperhatikan tata cara tersebut (tanpa memperhatikan pendekatan spiritual), maka kita tidak akan bisa naik ke langit. Tapi terus merayap di bumi. Sama dengan kecoak. Hehehe...
Apakah yang fiqhiyyah itu mengganggu?
Oh, tidak. Tidak mengganggu. Kita masih tetap menjalankan fiqh. Fiqh masih tetap harus kita pergunakan. Tidak bisa kemudian ada anggapan bahwa fiqh tidak bisa membawa saya kepada Tuhan. Saya pilih meditasi saja. Yang sama maksud tadi perhatian. Tapi perhatian kita tidak pada gerak-gerik fisik seperti yang diajarkan dalam fiqh.
Saya percaya di dunia ini ada yang disebut dengan law attraction, yaitu mencurahkan perhatian pada satu hal. Ketika kita mencurahkan perhatian kita pada satu hal, Tuhan akan membantu kita untuk berkembang pada persoalan tersebut. Sebagai contoh ringan, saya mulai mempelajari hal yang baru, psikiatri, tentang gangguan kejiwaan. Nah ketika saya fokuskan perhatian saya pada hal tersebut dan berdoa pada Tuhan, maka Dia kemudian menggerakkan seluruh alam semesta untuk memenuhi keinginan saya. Artinya, saya kemudian mendapatkan buku-buku tentang psikiatri, psikoterapi. Saya kemudian diundang oleh para psikiater. Saya menghadiri seminar-seminar tentang psikiatri dan seterusnya.
Apa itu shalat khusyuk?
Shalat khusyu itu masalah ruhaniyah. Bukan masalah fisik. Tapi masalah ruh kita. Kita hanya bisa shalat khusyu, bila perhatian kita bukan pada gerakan-gerakan fisik.
Sementara itu, kenapa doa kita tidak khusyu dalam shalat? Karena kita tidak memperhatikan makna doa tersebut. Misalkan ketika Allah Akbar, kita menjalaninya begitu saja. Ketika kita membaca alfatihah dan surat serta doa’doa lainnya, diri kita tidak hadir di dalamnya. Tapi ketika kita pada tahap akhir, kita berdoa dengan doa pribadi. Lalu kita menjadi khusyu. Jadi ada kesadaran di dalamnya, tidak otomatis. Begitu sampai pada yang pribadi, kita ikutsertakan hati kita. Misalkan dalam shalat saya, ada doa-doa pribadi untuk keperluan-keperluan sendiri seperti dalam sujud yang terakhir atau pada qhunut. Jadi, sebagaimana sabda Nabi Muhammad, janganlah mengatakan bahwa shalat kita itu khusyu atau tidak khusyu. Karena kata Nabi, khusyu itu bisa sepertiganya, bisa setengahnya. Khusyu itu masalah down loading atau up loading. Jadi bisa saja sekian persen saja khusyu-nya.
Jadi dalam shalat-shalat kita ada bagian-bagian tertentu khusyu-nya. Seperti ketika kita membaca doa yang sangat khusus atau ketika saat-saat emosionil. Ini bisa mempengaruhi kekhusyukan kita. Bila anda misalkan berada di tengah-tengah kesibukan rapat, lalu anda shalat, bukankah ketika shalat pikiran anda masih tentang rapat? Nah di saat seperti ini, tidak ada kekhusyukan. Tapi bila ada waktu tertentu yang memang dipersiapkan untuk shalat, itu beda perasaannya. Atau ketika kita akan menjalankan shalat sudah dipenuhi dengan keharuan, maka kita akan menjadi lebih khusyu.
Dulu itu ada seorang direktur bank. Suatu ketika ia datang ke Tanjung Priuk. Di situ anak-anak kecil mengaji dan orang-orang miskin berdoa menjelang maghrib. Mesjidnya gelap kecil dan jelek. Menyaksikan hal tersebut, ia terharu. Begitu shalat maghrib, dia terisak-isak. Dia berterima kasih kepada Tuhan karena bisa membantu fakir miskin.
Contoh lainnya, orang bisa menemukan kekhusyukan ketika menjalankan ibadah haji. Ia bisa menangis terisak-isak di depan Ka’bah. Karena untuk haji dia telah meluangkan waktu khusus. Mengeluarkan biaya dan perhatian yang khusus juga. Tapi bila hajinya tidak khusus atau reguler seperti saya yang setiap tahun membimbing haji, bisa jadi akan kehilangan kekhusyukan. Saya mulai kehilangan gereget haji itu. Saya tidak menangis lagi ketika melihat Ka’bah. Karena itu adalah pekerjaan. Jadi yang kita butuhkan dalam kekhusyukan adalah kehadiran kita, our present. Menghadirkan jiwa kita di dalam ibadah.
Saya juga pernah menjalankan shalat khusyu bertolak dari sesuatu yang lucu, setelah menonton film Titanic. Ceritanya, ketika itu saya terlambat shalat ashar, karena menyaksikan film titanic dulu. Film itu kan berakhir ketika kapal tenggelam sementara banyak penumpangnya yang mati terapung-apung dengan diiringi sebuah lagu. Nah ketika mendirikan shalat, saya masih dipenuhi keharuan. Maka di akhir shalat, saya berdoa dengan penuh keharuan: Tuhan anugerahkan keluarga dan keturunan yang menyejukkan hatiku. Saya juga pernah shalat khusyu di dekat jenazah orang tua saya yang akan dishalatkan di masjid. Ketika itu datang waktu shalat. Dan saya shalat dengan khusyu. Bukan karena menshalati mayatnya, tapi bila kita shalat dan di samping kita ada mayat maka kita diingatkan dengan hari kembalinya kita.
Apa yang anda rasakan dalam shalat khusyu?
Dalam shalat khusyu itu saya merasakan ketenangan dan ketentraman jiwa. Merasakan besarnya kasih sayang Tuhan dalam kehidupan kita dan keyakinan bahwa doa-doa kita akan dijawab. Itu hasil maksimal.
Tapi bila ditanya hasil shalat khusyu itu apa? Apakah proyek saya akan berjalan dengan lebih baik? Tampaknya saya tidak punya pengalaman yang seperti itu.
Apakah shalat khusyu berpengaruh pada pola kehidupan seseorang?
Jelas. Saya merasakan ada pengaruh kekhusyukan itu terhadap... paling tidak pandangan kita tentang kehidupan. Kita tidak lagi terikat dengan hal-hal yang material. Yang semula kita mati-matian untuk mengejar karir dan kedudukan, maka hal itu tidak penting lagi. Mungkin kita akan lebih terlibat dalam kegiatan yang mempunyai tujuan-tujuan yang lebih agung.
Ada seorang psikolog, jika tidak salah robert evens. Sebenarnya bukunya ini tentang psikologi agama. Judulnya althebert contion. Buku ini menjelaskan tentang 4 tujuan hidup yang dikejar menusia. 1) Kekayaan dan prestasi. 2) Hubungan cinta dan kasih sayang. 3) Agama dan spiritualitas. 4) Tujuan untuk meninggalkan kenangan indah kalau kita mati. Meninggalkan legalcy, istilah steven cook. Kalau orang hidup untuk tujuan pertama, itu kurang bahagia dibandingkan dengan tujuan ketiga dan terakhir.
Bila orang hidup untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka tujuan-tujuan kebendaan tidak begitu penting. Jadi dia memperoleh kebahagiaan dengan kualitas yang tertingggi. Saya kira itulah yang akan dicapai oleh orang yang shalat khusyu.
Itu seperti do’a Nabi Ibrahim dalam surah as Syuara, yakni kita diajarkan untuk mengatakan bahwa Tuhan berikan padaku kemampuan untuk meninggalkan kenangan indah sepeninggalku (Rabbi Ijalli Lisana Sidqi fil Akhiri). Artinya, hendaknya kita berfikir meninggalkan kenangan indah bagi generasi sepeninggal kita bila kita out dari dunia. Coba, apa yang akan kita tinggalkan bagi generasi mereka nanti? Tujuan ini hanya bisa dicapai setelah orang mencapai tujuan-tujuan spiritualitas seperti merasakan ketenangan batin dan merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-harinya.
Karena itu yang disebut kecerdasan spiritual itu bukanlah nangis-nangis karena menonton video tentang kebesaran Tuhan atau dengan mengingat-ingat dosa. Kecerdasan spiritual itu akan tampak dari sikapnya yang lebih baik kepada sesama manusia dari pada sebelumnya.
Kiat-kiatnya untuk bisa shalat khusyu?
Hadirkan hatimu dalam shalat. Enteng sekali ngomongnya ya? Hahaha.
Lalu bagaimana kita bisa melatih? Menurut saya, tidak bisa latihan-latihannya dengan kursus-kursus. Karena itu perjalanan ruhani kita yang panjang.
Wawancara dengan Prof. Dr. Jalaluddin Rahmat, M. Sc
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar