Kamis, 27 Desember 2007

“PERLU PRIBUMISASI HIKMAH AL TASYRI”

Bagaimana pandangan anda tentang persoalan ekonomi dewasa ini?
Saat ini masyarakat kita tengah menghadapi masalah-masalah ekonomi. Ini terbukti dari makin meningkatnya jumlah orang miskin. Tahun 2005 jumlah orang miskin adalah 35, 2%. Sementara pada tahun 2006 meningkat menjadi 39,4%. Sementara jumlah pengangguran adalah 11 % dari angkatan kerja. Saya kira hal ini menunjukkan bahwa betapa beratnya masalah-masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat kita.
Beberapa waktu yang lalu harga minyak tanah kan naik. Sementara baru-baru ini adalah minyak goreng. Ini berpengaruh pada daya beli masyarakat yang semakin rendah. Jangankan yang tidak punya penghasilan, yang punya penghasilan saja mengalami kesulitan. Ini hanya sedikit contoh betapa masalah ekonomi merupakan persoalan yang sangat berat.
Lebih jauh, kondisi mikro ekonomi kita hampir tidak jalan. Meski dari sudut makro ekonomi kita membaik. Tapi membaiknya sudut makro ini bukan karena membaiknya ekonomi dalam negeri, tapi karena banyaknya uang yang mengalir ke Indonesia. Sekarang ini ada sekitar 500 trilyun uang luar negeri yang mengalir ke dalam negeri. Tapi uang tersebut hanya disimpan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk diambil bunganya. Tidak diberikan kepada sektoril. Akibatnya, meski uang banyak tapi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tambah tidak baik. Malah sebaliknya. Sementara upaya-upaya yang dilakukan, tampaknya belum bisa merubah keadaan. Karena itu, menurut saya pemerintah harus serius betul memperhatikan masalah ekonomi ini. Jika tidak, akan memburuk. Salah satu yang krusial adalah perubahan sistem ekonomi. Kita harus berganti kiblat. Bukan lagi kapitalis, tapi syariah. Jika syariah, penekanannya bukan pada bunga tapi pada sistem bagi hasil. Saya kira ini akan membawa perubahan yang lebih baik.
Tampaknya masalah ekonomi ini akibat dari kapitalisme global. Bagaimana bila ditinjau dari sisi struktural dan kultural?
Benar. Masalah ekonomi ini juga terkait dengan dua hal, kultural dan struktural. Kultural itu dicirikan dari etos kerja yang semakin melemah. Ini memang kita rasakan. Orang lebih banyak mengandalkan pada belas kasihan orang lain. Seperti masih banyaknya pengemis-pengemis yang sehat seperti anak-anak muda di jalanan. Ini sama dengan kondisi negara yang juga mengemis kepada negara-negara maju. Menurut saya ini adalah sikap yang sangat-sangat tidak arif. Sementara secara struktural, kebijakan-kebijakan pemerintah masih belum berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Misalkan pemerintah masih menetapkan kebijakan pada impor beras yang nota bene merugikan sektor ekonomi mikro. Seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih berani. Sudahlah soal beras biar kita penuhi sesuai dengan kekuatan kita sendiri. Bahkan bila perlu kita berpuasa. Jadi harus ada larangan tentang impor. Kembali pada tahun sebelum 66. Ini tidak apa-apa. Tapi ironisnya saat ini kita serba mengimpor. Mulai dari sagu, gula, terigu dan lainnya. Ini tidak baik. Sangat membahayakan. Kita akan menjadi bangsa yang dependen. Tidak independen!
Bagaimana peran Bulog selama ini?
Sejauh ini Bulog belum banyak berperan. Misalkan sebelum petani panen harga bawang adalah Rp 20.000,00. Tapi begitu panen mendadak harga bawang menjadi rendah, hanya Rp 10.000.00. Nah ini kan sangat melemahkan semangat petani untuk meningkatkan hasil panen. Seharusnya yang Rp 20.000,00 ditetapkan. Sementara sisa barangnya dibeli Bulog. Jadi rakyat itu menjualnya ke Bulog. Lalu Bulog menyimpannya untuk dijual ke masyarakat. Tapi saat ini yang terjadi kan malah sebaliknya, bagaimana uang Bulog itu dikorup sedasyat-dasyatnya.
Apakah ini bukti menurunya kesalehan sosial?
Mungkin di satu sisi benar. Tanggung jawab sosial dari masyarakat kita semakin berkurang. Artinya orang-orang yang mendapatkan amanah dan kedudukan itu hampir tidak ada kesalehan sosialnya. Dari para pejabat itu kan kita berharap bahwa jabatan itu sebagai amanah untuk dipertanggungjawabkan. Saya pernah menulis dalam sebuah surat kabar tentang dua pilar kepemimpinan untuk membangun masyarakat kita agar lebih baik. Pertama, sebagai ulil amri. Orang yang mendapatkan amanah untuk mengurus masalah ummah. Jadi jabatan itu bukan dijadikan peluang untuk memeperkaya diri. Tapi seharusnya dijadikan kesempatan yang terbaik untukdiberikan kepada masyarakat. Yang kedua adalah Khadimul Ummah, pelayan ummat. Jadi seharusnya menjadpi pemimpin itu harus melayani umat. Tapi sekarang kan yang terjadi dilayani, rakyat yan dikuras. Uang rakyat dibawa ke pusat dan dari pusat dibagi-bagikan. Jadi ini sesuatu yang tidak benar.
Bila melihat status bangsa Indonesia, tampaknya ada yang ironis. Kita terkenal sebagai bangsa religisu tapi KKN jalan terus. Ini bagaimana?
Pertama, apa pun realitasnya, patut kita syukuri. Masyarakat kita muslim. Penganut muslim yang baik. Tetapi barangkali saat ini pemahaman tentang keislaman kurang konprehensif. Islam hanya dipandang hanya dalam sudut pandang vertikal. Jadi yang terpenting adalah bagaimana kita membangun kesalehan secara individu, dengan Allah SWT. Nah, padahal bila kita melihat dari berbagai macam ayat dan hadist yang individual itu harus tercermin dari kesalehan sosial. Shalat yang baik itu bukan hanya ditentukan dari praktik shalat yang baik. Tapi juga ditentukan bagaiamana setelah shalat itu dia semakin sayang sama masyarakat, bertanggung jawab, selalu merasa bahwa Allah selalu mengawasi kita, melarang kita untuk KKN. Jadi tidak dipisahkan. Sehingga menurut saya, yang perlu diluruskan adalah pemahaman masyarakat. Ada semacam sekularisme dalam islam. Yaitu ada pemisahan antara urusan akhirat dan dunia. Bahwa masjid itu tidak terkait dengan pasar. Di Majid kita tidak boleh berdusta sementara di pasar kita tidak boleh. Nah, saat ini ada gejkala seperti itu. Seharusnya kan tidak boleh terpisah anatara masjid dan kampus, masjid dngan pasar, denganbirokrasi dan seterusnya.
Kedua adalah sistemnya yang belum jalan. Jadi norma-norma agama itu belum terefleksikan dalam sistem. Seharusnya kan sudah menjadi sistem. Bukan sekedar norma-norma saja. Jujur hal itu harus dijadikan sebagai sistem. Kemudian juga msialnay hal-hal yang lainnya.
Adakah fenomena bahwa ibadah hanya dijadikan sebagai rutinitas menjalankan kewajiban saja?
Ya saya sering mengatakan yang terjkadi sekarang adalah sekedar pemenuhan kewajiban. Bukan sebagai kebutuhan. Kan lain ini. Misalkan bila saya menganggap shalat sebagai kebutuhan maka bila saya tidak mengerjakannya maka ada sesuatu yang hilang. Tapi bila shalat hanya dianggap sebagai kewajiaban, maka saya hanya sekedar menjalankannya. Dan kalau saya tidak melaksanakannya saya takut. Ya ini tidak salah. Ini seharusnya dijadikan dasar. Jangan dijadikan sebuah pemahaman yang terus menerus. Tapi realitas ini yang harus kita terima.
Bagaimana kiat-kiatnya untuk mencintai ibadah?
Memang perlu ada semacam contoh. Karena masyarakiat kita saat ini memang membutuhkan uswah. Karena itu menurut saya, saat ini bagaimana ditumbuhkan orang tua di rumah dijadikan contoh bagi anak-anaknya. Guru sebagai contoh bagi bagi muridnya dan pejabat sebagai contoh bagi rakyatnya. Karena itu marilah berlomba-loba menjadikan diri kita menjadi figur. Sekecil apa pun ruang lingkup kita, tapi yang namanya uswah itu adalah suatu hal yang penting. Artinya agama itu tidak hanya sekedar pada tahap pengetahuan dan wacana. Tapi hingga pada tahap implementasi. Itu yang pertama.
Yang kedua adalah sosialiasasi tentang ajaran Islam yang menyeluruh. Ini perlu untuk terus dilakukan. Dan juga termasuk ajaran agama islam yang menyangkut berbagai bidang kehidupan. Ini harus dimuncuilkan. Sekarang ini yang ada di majlis-majlis ta’lim yang ada kan hanya bagaimana beribadah yang baik. Tapi belum pada bagaimana berdagang yang baik, bagaiamana berbisnis yang baik, bagaimana bermuamalah yang baik? Itu juga harus kita lakukan. Bagaiamana berpolitik yang baik? Nah ini harus kita lakuikan. Dan politiknya orang muslim harus berbeda dengan cara politiknya orang sekuler. Apalagi dengan yang non muslim. Malah jangan sampai perilaku politis yang muslim lebih jelek daripada politisi non muslim.
Kemudian juga harus ada proses pembiasaan. At-tamrinat. Latihan-latihan. Artinya kita contoh pola yang dicontoihkan oleh rasul. Misalkan mulai kecil aanak-anak itu harus dibiasakan dengan perilaku islami, semisal kejujuran dan tanggung jawab dan lainnya.
Jadi kita harus memposisikan agama tidak hanya sebagai aspek pengetahuan tapi juga pada perilaku. Misalkan bila kita antri untuk beli tiket KA, yang terjadi kan soiapa yang kuat ia dapat. Nah ini perlu kita perbaiki.
Di samping itu juga hal-hal yang bersifat amal jama’i juga harus ditumbuhkan.
Hal di atas apakah juga karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang sisi spiritual ibadah?
Bisa saja.
Lantas bagaimana untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat?
Betul. Saya setuju itu. Jadi sekarang ini kan banyak yang lebih menjelaskan hukum. Fiqh oriented. Jadi kalau ibadah haji itu, yang diberikan hanya sebatas mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Tetapi makna dari ibadah atau hikmahnya... jadi ada hukmu tsayri ada juga hikma tasyri. Jadi sekarang ini yang menonjol adalah hukmu syar’i: ini yang harus dilakukan dan ini yang tidak boleh dilakukan. Tapi hikmahnya belum banyak yang menjelaskan. Misalkan kenapa sih zakat itu diwajibkan? Harusnya diungkap, digali maknanya. Atau kenapa shalat itu diwajibkan? nah maka perlu kita ungkap hikmahnya.
Jadi selama ini belum seimbang. Lantas kenapa tidak seimbang? Karena untuk menjelaskan hikmah juga bukan pekerjaan mudah. Perlu melakukan analisa yang dalam dan tajam. Pwerlu pemikiran yang kritis.
Bila menjelaskan hukum itu kan mudah: misalkan shalat itu wajib. Tapi jika menjelaskan hikmah shalat? Itu kan memerlukan penelaahan yang mendalam dan daya fikir yang mendalam.
Cara menjelaskan hikmah shalat?
Di antara hikmah shalat itu kan kita bisa menumbuhkan persamaan. Orang tidak dipandang dari sudut pandang jabatan dan kekeayaan. Tapi orang itu di hadapan Allah itu sama, kecuali kadar taqwanya. Sehingga hikmah yang bisa digali adalah, ketika kita menjadi orang yang punya jabatan mentereng dan kaya seharusnya kita tidak boleh sombong. Orang yang ruku dan sujud itu kan sama. Ketika imam ruku maka semuanya rukuk.
Kedua adalah shalat juga mengajarkan pada kita untuk disiplin. Disiplin pada aturan dan waktu. Misalkan shalat ashar itu mulai setengah empat hingga setengah enam. Maka jangan kita shalat ashar jam tiga atau setengah tuj, ini tidak boleh. Jadi dalam islam itu diajarkan untuk bagaimana menghargai waktu.
Shalat juga menumbuhkan etos kerja. Coba lihat, shalat itu kan gerakan-gerakan. Nah jika kita ingin memperoleh pertolongan dari Allah, kita harus beribadah. Iyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Na’budu dulu baru nastain. Tidak bisa nasta’in dulu baru na’budu. Nah hikmahnya adalah kita harus bekerja keras terlebih dahulu baru kemudian bisa menikmati hasilnya.
Demikian juga, shalat bisa menghasilkan ketenanganjiwa. Itu jelas sekali. Karena kita dalam shalat itu kan berdialog dengan Allah. Tapi ini ada catatannya, yaitu shalat yang harus dikerjakan dengan tertib. Bacaan-bacaannya harus dibaca dengan pelahan dan penuh penghayatan. Nah bila dilakukan seperti itu, orang itu kan seperti berdialog. Nah... kata-kata warzukli itu terkait antara ketika kita berhadapan dengan Allah dalam shalat dengan ketika kita berada diluar. Redaksi Warzukli itu kan konteksnya ada di luar shalat. Artinya ketika kita ingin mencari rezeki, maka kita tidak boleh keluar dari garis-garis yang telah ditentukan oleh Allah. Sehingga orang yang shalatnya bener itu tidak mungkin KKN. Apabila bila meresapi inna shalati wanusuki wa mahyaya wamamti lillahi robbil alamin. Karena dia merasa direcord/dicatat oleh Allah.
Kemudian juga shalat juga bisa menumbuhkan keberpihakan pada pemimpin yang baik. Shalat itu kan harus tunduk pada imam. Jadi kita harus tunduk pada pemimpin. Bila imam rukuk, maka kita juga rukuk. Tapi jika pemimpin itu salah, maka juga harus kita koreksi. Bila perlu kita ganti. Misalkan salah bacaan dan gerakannya. Tetapi koreksinya dengan cara yang baik. Bukan dengan cara yang vulgar dan tidak sopan. Cukup dengan kata subhanallah. Nah ini hanya sebagian dari hikmah shalat. Seharusnya ini sudah menjadi sistem dalam kehidupan kita.
Kebetulan saya banyak bergelut dalam dunia perzakatan. Saya selalu menguraikan hikmah zakat. Misalkan saya selalu menjelaskan bahwa hikmah dari zakat adalah bisa menumbuhkan etos kerja. Orang yang zakat pasti tidak akan korupsi, bila ia benar-bvenar ikhlas. Karena zakat itu tidak dari tangan yang kotor. Zakat itu bukan pencucian uang. Tapi zakat itu adalah membersihkan harta yang telah kjita dapatkan dari cara-cara yang bersih. Agar jangan sampai ada harta kita yang merupakan hak orang lain.
Zakat juga bisa menumbuhkan etos kerja. Orang yang berzakat pasti bukan orang yang malas bekerja. Orang yang malas tak mungkin bisa berzakat. Jadi gerakan sadar zakat adalah gerakan etos kerja.
Kemudian juga menumbuhkan kasih-sayang kepada sesama, khususnya mereka yitu dhuafa atau mustahiq, nah inilah yang disebut dengan kesalehan sosial. Dalam hadist disebutkan taro mukminin fi tarokhumihim watatufihim kama fi syajarin wahid. (kau lihat orang-orang mukimin dalam kasih sayangnya sperti dalam satu tubuh).
Saya menguraikan zakat itu ada sebelesa, ini pernah saya tulis dalam buku saya (nih spesial untuk adik, deh. hahaha) zakat dalam ekonomi modern. Nah demikian pula hikmah-hikmah yang lain.
Misal dalam contoh zakat itu untuk menumbuhkan harta, bukan untuk mengurtangi hjarta. Nah selama ini kan sebaliknya, orang beranggapan bahwa jika saya berxakat maka harta saya berkurang. Mungkin secara nominal harta itu berkurang ketika itu. Dari sepuluh juta dikurangi dua setengah persen kan duaratus lima puluh ribu. Tapi sesungguhnya dengan berzakat itu harta kita akan terus berlipat ganda. Karena dengan berzakat maka etos kerja kita akan bertambah dan terus bertambah sehingga harta kekayaan kita akan terus meningkat. Sehingga kita punya keinginan untuk terus memberikan yang terbaik bagi masyarakat kita. Dan secara empirik, orang-orang yang ikhlas dalam berzakat akan mengalami hal ini, hartanya tidak akan pernah berkurang. Meski pun dalam menjelaskan hikmah zakat ini—jujur saja—sangat sulit sekali. Ada yang bisa dilakukan dengan kata-kata atau teori-teori ekonomi, tapi ada pula yang hanya bisa dirasakan saja. Makanya saya sering mengatakan, lakukan sebaik-baiknya dengan penuh keikhlasan, nanti anda akan merasakan bahwa zakat adalah sebuah kenikmatan. Lakukan shalat dengan sebaik-baiknya maka anda akan merasakan sebauh kenikmatan. Kita akan merasa butuh dengan shalat dan zakat.
Jadi jangan sampai ketika kita berbuat baik dengan orang lain itu, kita merasa bahwa orang lain yang butuh. Tapi kita yang butuh. Karena zakat itu yang paling banyak menerima manfaat dari zakat itu bukan orang yang kita beri, tapi kita yang memberi. Bukan mustahiq tapi muzakki.
Apakah sesuai dengan kalimat “Memberi itu terangkan hati?”
Benar. Dan itu bisa dirasakan. Kalau saya biasanya menggunakan slogan bila anda ingin mengembangakan usaha anda maka berzakatlah. Anda ingin memperoleh kep[uasan bathin maka shalatlah. Jadi arahnya ke sana.
Tapi untuk menjelaskan hikmah ini sangat tidak mudah. Du\ibutuhkan kedalaman fikiran dan harus banyak bacaan, banyak pengalaman spiritual sehingga agama itu dirasakan dan dihayati.
Terakhir, bila melihat tema-tema yang baru saja menjadi dialog anta kita, bagaiamana pendapat bapak tentang majalah kami yang akan terbit ini?
Oh! Baru terbit ya?
Saya kira ini bagus sekali. Saya memberikan apresiasi pada majalah-majalah seperti ini, yang bergerak dalam bidang spiritual. Tetapi kita dalam “tidak terpisah” dengan aspek-aspek yang lain. Spiritual itu boleh jargonnya. Hikmahnya. Sehingga tidak boleh melepaskan dari hukum syari. Karena kita tidak bisa bicara hikmah saja, lalu mengabvaikan hukum. Begitu pula sebaliknya.
Jadi jika seseorang spiritualitasnya sudah baik, maka bagaimana hal itu tercermin dalam perilakunya yang semakin baik.
Jadi yang saya harapkan adalah, penekanannya pada spiritual yang bisa melahirkan etos kerja. Sehingga dicintai oleh masyarakat dan masyarakat menjadi butuh.

Wawancara dengan Prof. Dr. Didin Hafiduddin
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol I

Tidak ada komentar: