Kamis, 27 Desember 2007

MENUJU MAKRIFATULLAH DAN KHOLIFATULLAH

Melalui tawaf dan sa’i, manusia bisa menuju makrifatullah dan memperoleh pelajaran menjadi kholifah di dunia.

SECARA historis, haji dilakukan pertama kali oleh Nabi Ibrahim as dan Ismail. Selanjutnya pada masa Nabi Muhammad SAW, haji diwajibkan kepada seluruh manusia yang mampu. Menurut Prof Dr KH Said Agil Siradj, ketua tanfidziah Nahdlatul Ulama, kemampuan ini melingkupi lahir dan batin. Kemampuan lahir berupa fisik, uang dan waktu. Sementara batin berupa kesiapan mental, kesabaran, ketekunan dan kehati-hatian.
Perintah haji yang termaktub dalam Al Qur’an surah Ali Imron ayat 97 tersebut, merupakan ibadah massal yang menampilkan suasana kolosal yang indah. Saat di Makkah, orang-orang yang berasal dari beragam bangsa bersama-sama berkumpul di Baitil Haram. Melepas pakaian dan menggantinya dengan dua lembar kain putih yang membalut tubuh di Miqot.
Menurut Dr Ali Syari’ati dalam bukunya Makna Haji, pakaian yang dikenakan manusia sehari-hari melambangkan status dan perbedaan. Semua itu menciptakan ‘batas-batas’ palsu yang menyebabkan ‘pemisahan’ di antara manusia. Sebagian besar ‘pemisahan’ melahirkan ‘diskriminasi’ yang menciptakan konsep ‘aku’, bukan ‘kita’. ‘Aku’ digunakan dalam konteks rasku, klanku, nilai-nilaiku, jabatanku, dan bukan ‘aku’ sebagai manusia. Ini memunculkan hubungan tuan-hamba, penindas-tertindas, yang beradab-tidak beradab, barat-timur dan seterusnya. Karena itu, di Miqot para jamaah haji harus menanggalkan segala penutup yang dikenakan sehari-hari dan menggantinya dengan pakaian ihram.
Pakaian ihram tersebut, menurut Aqil, merupakan simbol pelepasan ghorizatul ghotob dan ghorizatul syahwat. “Ghorizatul ghotob terdiri dari dorongan nafsu angkara murka, ambisi dan ingin berkuasa. Sementara ghorizatul syahwat terdiri dari dorongan syahwat yang ingin senang, punya sandang, papan dan wanita. Ini semua harus dilepaskan dan diganti dengan pakaian ihram. Pergantian pakaian ini selaras dengan arti kota Makkah yang berasal dari kata makka-yamukku-makkatan yang berarti meremuk dan menghancurkan. Jadi orang yang masuk ke Makkah harus menghancurkan sikap egois dan hawa nafsunya,” katanya.
Seiring dua lembar kain putih yang membalut tubuh, dan niat melakukan ‘perpindahan’ dari sang diri menuju Allah, para jamaah haji berputar dalam gelombang tawaf. Ka’bah dikelilingi lautan manusia yang sangat bergairah. Ka’bah laksana matahari yang berada di tengah, sementara manusia laksana bintang-gemintang yang berjalan di orbitnya dalam sistem tata surya. Ka’bah melambangkan ketidakberubahan dan keabadian Allah. Sementara lingkaran yang bergerak menunjukkan aktivitas dan transisi yang berkesinambungan dari makhlukNya.
Ali Syari’ati mengatakan tawaf adalah contoh dari sebuah sistem yang berdasarkan pada gagasan tentang monoteisme (tauhid) yang meliputi orientasi sebuah partikel (manusia). Allah adalah pusat eksistensi, fokus dari dunia yang sementara ini. Saat tawaf, dalam kelompok manusia itu tidak ada identifikasi individual yang membedakan antara lelaki dan perempuan atau kulit hitam dan putih. Tawaf merupakan transformasi manusia menjadi totalitas umat. Semua ‘aku’ bersatu menjadi ‘kita’ yang mewujudkan ummat dengan tujuan mendekati Allah.
Dalam tawaf juga terdapat simbol sumpah setia kepada Allah. Ini dilambangkan dengan mencium atau menunjuk Hajar Aswad. Gerakan mencium Hajar Aswad berarti telah memilih untuk bersekutu dengan Allah, dan membebaskan diri dari perjanjian sebelumnya; tak lagi menjadi sekutu dari kaum penguasa, hipokrit, aristokrat, kapitalis dan uang. Sejak itu manusia bebas-merdeka.
***
USAI melaksanakan tawaf, para tamu Allah berangkat menuju ke Mas’a, yakni jalan antara bukit Shafa dan Marwah yang memiliki panjang sekira ¼ mil. Perjalanan yang disebut sa’i ini dilakukan sebanyak tujuh kali.
Secara historis, sa’i adalah napak tilas perjuangan Hajar mencari seteguk air demi putra tercintanya, Ismail. Saat sa’i manusia memerankan Hajar, seorang wanita miskin, hamba sahaya, bangsa Ethiopia yang direndahkan dan pelayan Sarah, tapi sekaligus Ibu dari para rasul Allah.
Ketika Ibrahim diperintahkan Allah untuk meninggalkan Hajar dan Ismail di sebuah lembah yang kering, tanpa air dan rerumputan sedikit pun, Hajar memandang lekat ke wajah Ibrahim sambil berkata, “Wahai Ibrahim suamiku, betulkah engkau akan meninggalkan kami di tempat seperti ini? Tidakkah engkau melihat bahwa ini adalah tempat yang betul-betul asing bagi kami, tanpa air dan tanpa tanaman? Kepada siapakah engkau serahkan nasibku dan anakmu yang masih bayi ini?‌”
Mendengarnya, Ibrahim meneteskan air mata. Sambil memandang kedua orang yang sangat disayangnya itu ia menjawab, “Allah yang telah memerintahkanku untuk meninggalkanmu di sini.” Sejenak Hajar terdiam. Lalu ia berkata, “Kalau demikian, pergilah wahai Ibrahim. Allah yang Maha Pengasih tidak akan mungkin menelantarkan kami sendirian.”
Setelah mendo’akan mereka berdua seperti termaktub dalam Al Qur’an surah Ibrahim ayat 37, Ibrahim pergi meninggalkan Hajar dan Ismail. Sementara Hajar secara total pasrah terhadap kehendak Allah. Tapi ia tidak duduk termangu di samping putranya dan menunggu tangan gaib membawakan buah-buahan dari langit atau mengalirkan sungai untuk memuaskan dahaganya. Tapi ia segera bangkit dan seorang diri berlari dari satu bukit tandus ke bukit tandus lainnya mencari air. Ia memutuskan menggantungkan pada dirinya dengan mencari dan berjuang tanpa henti. Mengembara di gurun pasir yang asing, ia laksana seorang tahanan di kedua bukit tersebut. Seorang diri dan gelisah, namun penuh harapan dan tekad untuk mencari air dari satu tempat ke tempat lainnya.
Akhirnya segala upaya Hajar sia-sia. Ia kembali dengan sangat sedih kepada anaknya. Tapi betapa ia sangat terkejut, sang anak yang ditinggalkannya di bawah payung ‘cinta’ dalam keadaan haus dan gelisah, tengah menggali pasir dengan tumitnya. Dalam keputusasaan yang memuncak dan dari tempat yang tak diduga, tiba-tiba muncullah air zam-zam.
Dari kisah di atas, Ali Syari’ati mengatakan bahwa sa’i adalah kerja fisik, jalan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, perjuangan dan pencarian untuk memenuhi kebutuhan manusia dari jantung alam.
Sementara Prof Dr Ahmad Mubarok, MA mengatakan bahwa orang yang berusaha dan ingin mendapatkan ridho Allah, hatinya harus bersih. “Orang tua itu kan simbol dari sesuatu yang belepotan (kotor), sementara anak adalah simbol kesucian. Sama dengan sapu, bila sapunya belepotan, lantainya tidak kunjung bersih. Sama dengan membasmi korupsi, bila orang-orang KPK-nya belepotan, korupsi tidak akan habis,” katanya saat ditemui di restoran Abu Nawas Salemba Jakarta Pusat.
Berangkat dari makna tawaf dan sa’i di atas, Ali Syari’ati, pemikir yang dua kali pernah dipenjarakan oleh rezim Iran ini mengatakan, haji telah memecahkan berbagai kontradiksi yang telah membingungkan umat manusia sepanjang sejarah: antara idealisme atau matrealisme, asketisisme atau epikureanisme, kehendak Allah atau kehendak manusia. Terhadap dua hal yang kontradiktif tersebut, melalui haji Allah memberikan jawaban, yakni pilihlah dua-duanya.
Dari sini, ritus tawaf dan sa’i adalah dua pengertian yang saling melengkapi. Satu sisi manusia dengan ruhnya menuju makrifatullah, dan di sisi lain manusia dengan hawa nafsu yang telah ditaklukkan oleh ruhnya (nafsu muthmainnah) menjadi kholifah di dunia.*

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol V

Tidak ada komentar: