Komunitas Arab merupakan salah satu pendatang tertua di Indonesia. Konon mereka masuk ke Indonesia sebelum Belanda, Inggris dan Portugis. Mereka mendiami beberapa tempat di Indonesia. Salah satunya adalah Ampel Suci dan Ampel Masjid di sekitar Masjid Sunan Ampel Surabaya. Bagaimana perkembangannya saat ini?
JUMAT pagi pukul 08.00 wib, sepanjang jalan menuju Masjid dan Makam Sunan Ampel mulai ramai. Beberapa pedagang keturunan Arab yang menempati toko di kanan-kiri jalan sibuk menawarkan barang dagangannya kepada para calon pembeli. Ada tasbih, sarung, songkok, mukena, aksesoris dan lainnya. Sementara pedagang lain, seperti keturunan Jawa dan Madura juga tak kalah semangat menawarkan barang dagangannya seperti kurma, kue, minyak wangi hingga nasi. Sementara para pengunjung yang datang secara berkelompok atau sendiri-sendiri, ada yang tertarik lalu berhenti sejenak, tawar-menawar harga dan membelinya. Tapi tak sedikit dari mereka yang langsung masuk ke Masjid dan terus melangkah ke arah barat menuju makam Sunan Ampel, berziarah.
Meski di sekitar Masjid Ampel ada pedagang Jawa dan Madura, tapi mayoritas adalah keturunan Arab. Mereka terpusat di dua tempat, yaitu Ampel Masjid dan Ampel Suci. Rata-rata para pedagang keturunan Arab di dua tempat ini memiliki toko. Sementara para pedagang Jawa dan Madura hanya bisa berjualan di pinggir jalan dan di sela-sela toko milik para pedagang keturunan Arab.
Umumnya, para pedagang keturunan Arab itu berasal dari Hadramaut, daerah di Yaman Selatan, sebagai pedagang sekaligus menyebarkan Islam. Di Surabaya mereka mendiami wilayah padat di Kota Bawah, kawasan yang dibatasi Kalimas (sebelah barat), Sungai Pegirian (timur), Kembang Jepun (selatan), dan selat Madura (utara).
Ada beberapa pendapat yang mengatakan kapan mereka datang. Ada yang menyebut sejak abad ke 10 M atau sebelumnya. Ada yang memperkirakan abad ke 12 M sebelum berdirinya kerajaan Majapahit. Tapi gelombang besar imigran Arab diperkirakan datang ke negeri ini setelah abad ke 17 M. Mereka tinggal di kantong-kantong pemukiman kota-kota pantai Jawa seperti Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Gresik, Surabaya, Bangil dan sebagainya. Di antara mereka juga tinggal di kota pedalaman seperti Solo dan Yogyakarta. Sebagian kecil dari mereka bahkan ada yang tinggal di Maluku Utara, seperti Ternate, Tidore, dan juga di NTT dan Timor (dulu Timor-Tomur). Rata-rata mereka datang tanpa istri, kemudian kawin dengan warga setempat dan beranak-pinak.
Di Surabaya, jumlah penduduk keturunan Arab diperkirakan mencapai ratusan ribu orang. Umumnya mereka adalah pedagang dan sebagian kecil ulama. Tapi setelah tahun 1960-an, profesi mereka mulai beraneka ragam. Ada yang menjadi guru, dosen, pengacara, wartawan, pekerja sosial, bekerja di pabrik atau perusahaan asing dan sebagainya.
***
AKTIVITAS perdagangan yang digeluti keturunan Arab di sekitar Masjid Sunan Ampel, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh ketokohan Sunan Ampel. Ini seperti yang dikatakan Musthafa Jamal, salah satu pedagang keturunan Arab. “Sebab utama kami mendirikan toko karena banyaknya peziarah di sini. Alhamdulillah mereka senang berbelanja di sini untuk oleh-oleh bagi keluarganya di rumah,” katanya.
Musthafa Jamal adalah lelaki keturunan Arab yang lahir dan besar di kawasan Ampel. Kakek buyutnya berasal dari Hadramaut, Yaman. Tiba di Indonesia, kakek buyutnya menikah dengan orang Mataram. Lalu memilih kawasan Ampel sebagai tempat tinggal. Saat ini ia melanjutkan usaha dagang keluarganya dengan membuka toko di daerah Ampel Suci yang terletak di sebelah selatan Masjid Ampel.
Menyadari makin meningkatnya rezeki yang ia peroleh, Musthafa mensyukurinya dengan selalu memakmurkan Masjid Ampel. Sementara sebagai ungkapan terima kasih kepada Sunan Ampel yang secara tidak langsung mendatangkan para pengunjung dan pembeli, seminggu sekali Musthafa berziarah ke makam Sunan Ampel. “Masjid Ampel ini merupakan kebanggaan. Karena masjid ini bersejarah dan Sunan Ampel sendiri termasuk Walisongo, bahkan yang tertua dari para sunan. Sehingga di samping bersyukur kepada Allah, kita juga berterima kasih kepada Sunan Ampel. Karena dengan adanya makam Sunan Ampel, banyak orang datang ke sini sehingga ratusan pedagang bisa memperoleh keuntungan,” kata pria yang juga menjadi pendidik di majlis ta’lim di rumahnya.
Meski mengaku selalu istiqomah berziarah ke makam Sunan Ampel, tapi Musthafa tidak mengatakan bahwa apa yang ia lakukan juga selalu dilakukan oleh keturunan Arab lainnya. Bahkan tak sedikit dari keturunan arab yang tidak pergi ke Masjid Ampel dan berziarah ke makam Sunan Ampel. Menurut Musthafa, itu karena adanya pemahaman yang berbeda. Di antara mereka ada yang bermadzhab seperti di Saudi Arabia, di mana sangat anti terhadap ziarah bahkan menganggapnya syirik. Sehingga di antara mereka enggan untuk shalat di Masjid Ampel karena di depannya terdapat makam. “Menghadapi mereka tidak perlu dibalas dengan benci. Bila saling menyalahkan itu tidak akan ada selesainya. Percuma. Itu sudah dari dulu. Selama mereka tidak mengganggu kita, itu tidak masalah. Lana a’maluna wa lakum a’malukum (bagi kita amal perbuatan kita, dan bagimu amal perbuatanmu),” lanjutnya.
***
SEMENTARA itu, di tempat terpisah, Ustadz Muhammad Azmi, ketua ta’mir masjid Ampel ketika ditanya tentang ziarah, mengatakan kepada SC bahwa ziarah merupakan ibadah seperti membaca al Qur’an, tahlil dan kalimat toyibah yang dilakukan secara khusyu dan khudhu. “Ziarah kubur itu dianjurkan dalam agama Islam, sebab di dalamnya terkandung manfaat yang sangat besar. Baik bagi orang yang telah meninggal dunia berupa hadiah pahala bacaan Al-Qur’an, atau pun bagi orang yang berziarah itu sendiri, yakni mengingatkan manusia akan kematian yang pasti akan menjemputnya,” katanya.
“Tapi saat ini,” lanjut Azmi “ada pencampuran nilai dengan pelabelan Wisata Religi pada makam Sunan Ampel. Padahal makna wisata itu lebih pada senang-senang. Ini kan bertolak belakang dengan ziarah,” sesalnya.
Fenomena label wisata pada makam Sunan Ampel sudah berlangsung sekira 3 tahun yang lalu. Ini bisa dijumpai dari gapura sebelum masuk ke kawasan Ampel. Pada papan gapura tersebut bertulisakan “Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel”.
Rasa sesal yang dikeluhkan Azmi tersebut memang bukan tanpa asalan. Saat ini, banyak sekali para pengunjung yang tidak semuanya bertujuan berziarah ke makam Sunan Ampel. “Dulu ketika saya masih berjualan tahu di sekitar sini, orang yang mau ziarah itu tampak khusyu dan sopan. Klunuk-klunuk (berjalan pelan-pelan) langsung ke makam. Tapi saat ini, terutama setelah adanya kebijakan tentang wisata religi, yah... banyak yang hanya lihat-lihat dan atau cari jodoh,” kata Khoirul Anam, pedagang dari suku Jawa.
Meski mengeluhkan akan merosotnya fenomena nilai spiritual tersebut, Anam, lelaki yang biasa menggunakan kaca mata hitam ini tidak mengelak ketika ditanya manfaat dari kebijakan tersebut. “Memang harus saya akui kebijakan itu mendatangkan banyak pengunjung. Tentu ini menambah keuntungan,” katanya sambil tersenyum malu-malu.
Sementara Azmi, ketika ditanya sikapnya tentang kebijakan tersebut, ia berharap pemerintah bisa menempakan tenaga ahli yang bisa mengarahkan para pengunjung yang datang ke makam Sunan Ampel. “Saya agak kurang bisa meneriman bila orang yang datang ke Ampel itu untuk wisata. Karena dia tidak menghormati Sunan Ampel sebagai tokoh, ulama dan wali. Tapi bila pemerintah ada maksud dakwah di dalam program wisata religi, hendaknya pemerintah harus menempatkan tenaga ahli yang bisa mengarahkan para pengunjung ke makam-makam wali,” lanjut pria yang enggan dipotret ini.
***
KUMANDANG adzan terdengar dari Masjid Ampel, menunjukkan waktu Shalat Jum’at akan segera dilaksanakan. Musthafa, Anam dan para pedagang lelaki lainnya mulai meninggalkan toko, menuju ke sumur yang terletak di pinggir masjid. Mengambil wudhu, berdo’a dan melangkah ke dalam masjid, beriktikaf. Sementara toko-toko mereka dijaga oleh istri atau pembantu wanita.
Ruangan Masjid Ampel sangat luas dan tinggi. Beberapa tiang bercat coklat yang di sekelilingnya terdapat kaligrafi al Qur’an, berdiri kokoh menyangga atap masjid. Sementara beberapa pintu jendela dibiarkan terbuka lebar-lebar. Sehingga angin begitu leluasa berhembus ke dalam. Menerpa wajah para jamaah yang khudu’ mendengarkan kohtbah khotib siang itu.
Di dalam masjid yang didirikan pada tahun 1421 ini terdapat beberapa benda bersejarah. Salah satunya adalah Mihrab yang biasa digunakan Sunan Ampel berkhotbah. Mihrab ini terbuat dari kayu jati tebal dan bercat kuning keemasan. Meski sudah berumur ratusan tahun, tapi mihrab yang di bagian atasnya terdapat lambang kerajaan majapahit ini masih kokoh.
Sementara di bagian luar masjid terdapat beberapa makam yang biasa dikunjungi para peziarah. Di antaranya adalah makam Sunan Ampel dan Mbah Bolong yang terletak di sebelah barat masjid, serta makam Mbah Sholeh yang terletak di sebelah timur masjid.
Selang setengah jam, terdengar suara iqomah. Para jama’ah berdiri, merapatkan shaf, bersiap melaksanakan takbiratul ikhram. “Allahu akbar...” terdengar suara Imam diikuti para jamaah. Shalat Jum’at berlangsung dengan khusyu dan khudhu...*
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No IV
2 komentar:
saya butuh dana untuk pencalegan. Apa ada yang bisa bantu.
blog saya : http://contrengaja.blogspot.com/
Posting Komentar