Sabtu, 22 Desember 2007

“SOLUSINYA PLURALISME RELIGIUS”

Jalaluddin Rakhmat, lahir di Bandung, 29 Agustus 1949. Pria yang akrab dipanggil Kang Jalal ini merupakan salah satu tokoh cendikiawan dan mubaligh Islam terkemuka di Indonesia, bersama Gus Dur (KH Abdurahman Wahid) dan Cak Nur almarhum (Prof.Dr. Nurcholis Madjid). Keaktifannya sebagai intelektual membuahkan puluhan buku dalam berbagai disiplin keilmuan dan tema. Lebih dari 45 buku sudah dia tulis dan diterbitkan oleh beberapa penerbit terkemuka. Kini ia mencoba mengembangkan jangkauan pencerahan pemikiran umat dan dakwahnya melalui dunia cyber, Website The Jalal Center for the Enlightenment (www.jalal-center.com).
Dari pengalaman hidup masa remajanya ketika mengalami pubertas beragama, Kang Jalal akhirnya menemukan bahwa fiqih hanyalah pendapat para ulama dengan merujuk pada sumber yang sama, yaitu Al-Qurán dan Sunnah. “Artinya kalau orang menentang al-Qurán dan Sunnah, jelas ia kafir. Tapi kalau hanya menentang pendapat orang tentang Al-Qurán dan Sunnah, kita tidak boleh menyebutnya kafir. Itu hanya perbedaan tafsiran saja,” jelasnya.
“Karena itulah kemudian saya berfikir bahwa sebenarnya ada hal yang mungkin mempersatukan kita semua, yaitu akhlak. Dalam bidang akhlak, semua orang bisa bersetuju, apapun mazhabnya. Lalu saya punya pendirian: kalau berhadapan dengan perbedaan pada level fiqih saya akan dahulukan akhlak.”
Bertolak dari pemikiran dan sikapnya yang moderat tersebut, SC Magazine mewawancarainya seputar persoalan diskriminatif yang dialami etnis tionghoa. Berikut petikannya:
Apakah saat ini masih ada fenomena diskriminasi yang dialami etnik Tionghoa?
Saat ini relatif lebih baik. Di zaman Orde Baru, kita melihat banyak ketegangan antara Tionghoa dengan warga lain di negara ini. Ini disebabkan karena kebijakan pemerintah. Ada kecenderungan hubungan penguasa dengan kelompok pebisnis Tionghoa itu lebih dekat daripada pebisnis Melayu. Akibatnya, setelah pengusaha Tionghoa menguasai dunia usaha timbullah kecemburuan sosial. Biasanya ini dibumbui dengan kepentingan-kepentingan politik oleh elit politik tertentu. Sehingga menimbulkan kerusuhan pada Mei 1998 lalu, dan yang menjadi korban adalah sebagian kelompok Tionghoa lainnya yang menurut saya berbisnis dengan jujur, dan bahkan acapkali mendapatkan penindasan dari penguasa sama dengan pebisnis Melayu lainnya.
Sebagian mungkin menghubungkan dengan kapitalisme internasional. Jadi ketika neo kapitalisme mengembangkan sayap-sayap bisnisnya ke dunia ketiga, khususnya di Indonesia, mereka bekerja sama dengan kelompok elite yaitu orang-orang Tionghoa.
Saat ini memang masih ada anggapan dari warganegara Indonesia lainnya bahwa Tionghoa adalah orang asing, meski hanya sebagian. Dengan kata lain belum ada integrasi lokal antara Tionghoa dengan ras Melayu. Saya heran, karena ini tidak terjadi dengan kelompok Arab atau lainnya. Padahal secara fisik kita lebih dekat dengan orang Tionghoa daripada Arab.
Saya pikir ini terjadi karena faktor agama. Karena dengan orang Arab meski secara fisik kita berbeda, mereka berhidung mancung sementara kita pesek, tapi mereka relatif bisa berbaur dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Begitu pula dengan Tionghoa muslim, mereka juga terintegrasi secara total dengan masyarakat Indonesia. Sampai di kampung-kampung Tionghoa muslim hampir tidak bisa dibedakan dengan penduduk Melayu.
Nah sekarang, barangkali solusinya berpulang kepada kedua belah pihak. Pertama, jangan kita lupakan, ada sebagian dari Tionghoa yang sangat eksklusif karena kekayaan. Mereka biasa membentuk perumahan dan perhimpunan mewah yang eksklusif, yang tidak memasukkan kelompok Melayu ke dalamnya. Jika kita melihat di tempat-tempat hiburan, tempat orang menghabiskan uang, kita temukan mayoritas orang yang hadir di situ adalah Tionghoa. Jadi sikap eksklusif seperti ini, apa pun alasannya, tentu saja akan membuat perasaan orang Melayu terasing.
Kedua, dari etnis Melayu juga perlu introspeksi. Terutama kelompok dari bangsa Indonesia yang menganggap Tionghoa sebagai sapi perahan. Mereka dipaksa mengeluarkan uang. Terutama pebisnis Tionghoa yang ada di bawah.
Bila diskriminasi kepada Tionghoa muslim?
Tidak. Tapi jika diskriminasi kepada Tionghoa muslim dari Tionghoa non muslim itu ada. Dan saya sering menyaksikan hal-hal itu, atau mereka melapor kepada saya. Itu karena faktor agama.
Solusi terhadap fenomena diskriminasi ini bagaimana?
Pluralisme religius, yaitu satu pandangan yang mengatakan bahwa agama lain memperoleh kesempatan yang sama memperoleh keselamatan di hari akhir. Ada pluralisme politis, yaitu bukan saja kita mengakui kehadiran kelompok-kelompok yang lain tapi kita juga mengakui hak-hak yang sama pada kelompok politik untuk mempengaruhi para pengambil keputusan. Ada juga pluralisme sosial, yaitu pengakuan pada eksistensi kelompok-kelompok sosial mana pun sekaligus menghilangkan tindakan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok mana pun.
Saya hendak memulainya dari pluralisme religius. Ini belum begitu populer di kalangan Islam. Bahkan MUI mengharamkannya. Padahal tanpa adanya sikap pluralisme ini, agak sulit kita menjalin integrasi. Karena mayoritas kelompok Tionghoa tidak beragama Islam. Sehingga dengan sikap anti pluralisme, agak sulit orang Islam berintegrasi dengan mereka yang non muslim. Dengan sikap anti ini, mereka akan selalu curiga dengan gerakan Tionghoa, bisa dimunculkan isu kristenisasi. Dan dialog akan menjadi sulit dilakukan antara kedua belah kelompok.
Pluralisme religius ini bisa membawa orang pada pluralisme politik dan pluralisme sosial. Saya pikir yang paling penting saat ini adalah bagaimana kita mempromosikan dan mendorong pluralisme religius ini. Sehingga orang tidak mengambil jarak dengan orang yang beragama lain. Jika kita pluralis secara religius maka dengan sendirinya kita juga akan pluralis secara sosial dan politis. Saya sekarang misalnya, merasa dekat dengan kelompok-kelompok lainnya. Saya sering diundang di gereja, saya sering dialog dengan tokoh-tokoh agama bahkan saya sering berceramah di hadapan pengikut agama budha dan tidak ada jarak antara saya dengan mereka. Bahkan saat ini saya hampir tidak pernah memperhatikan apakah dia itu Tionghoa atau bukan. Karena dengan sikap plural ini saya memandang manusia mempunyai hak yang sama untuk kembali kepada Tuhan.
Agama begitu mendasar karena menuntut perhatian yang paling mendalam. Nilai-nilai yang didasari oleh agama adalah nilai-nilai yang untuk itu kita mau hidup dan mati. Beda lagi bila kita punya perhatian pada partai politik, ini tidak menuntut seluruh kepribadian kita. Jadi jika sikap beragama sudah pluralis maka itu sudah otomatis yang lainnya akan pluralis. Tapi jika orang pluralis secara politis, bisa jadi dia tidak pluralis secara religius.
Jadi orang yang pluralis secara religius, itu akan mengakui dan menghormati keberadaan orang lain yang beragama non muslim. Dia akan lebih tulus menghormatinya.
Apakah pluralisme ini berarti mengimani agama lain?
Salah satu ciri orang yang tidak pluralis adalah kekhawatirannya bahwa sikap pluralis ini akan menggoyahkan keimanannya. Saya ini bersikap pluralis dan saya tidak pernah merasa keimanan saya goyang.
Saya punya pengajian di Masjid Bandung setiap Minggu. Salah satu jamaah saya yang paling setia adalah seorang Romo. Namanya Romo Tri. Saya juga pernah diundang dalam keuskupannya di Gereja Katolik untuk memberi ceramah. Romo Tri pernah memberikan pernyataan sebagai berikut, “karena saya ini menjadi pengurus untuk seminari, jadi untuk hari Minggu saya tidak mengadakan Misa. Saya gunakan hari Minggu untuk mengaji di Pak Jalal. Makin sering saya mengaji di Pak Jalal, makin kuat keimanan Katolik saya.” Sementara saya mengatakan kepadanya, “makin sering saya berdialog dengan orang Katolik, maka makin kuat keimanan saya.”
Jadi—meski ini keliru, tapi biarlah yang keliru ini diyakini—pluralisme itu mengakui semua agama benar. Jika dia meyakini semua agama benar, dia tidak akan merasa pindah agama. Malah bila dia menganggap hanya satu agama yang benar, besar kemungkinan dia akan pindah agama. Misalkan ada dua orang. Satu Islam dan satu Kristen. Masing-masing meyakini agamanya sebagai yang paling benar, otomatis akan terjadi debat. Salah satunya akan pindah agama bila kalah. Tapi jika orang itu pluralis maka dia tidak akan pindah agama. Toh seluruh agama mempunyai peluang untuk selamat. Saya misalkan tidak pernah terpikir untuk pindah agama setelah saya pluralis. Tapi saya sekarang menghormati sesama umat manusia dengan satu ukuran yaitu penghormatan amal solih, untuk kontribusi kepada umat manusia.
Saat ini kan banyak pandangan seseorang kepada orang lain yang agak merendahkan. Seorang anak kecil datang pada orang tuanya setelah melihat Bunda Teresa menyantuni orang-orang miskin. “Pak, meski dia baik kan tetap masuk neraka, sebab agamanya berbeda?” Nah, anak kecil saja punya pikiran seperti itu, bagaimana bila ia sudah dewasa. Tidak akan ada penghormatan kepada orang yang beragama lain. Mungkin jika orang beragama lain melakukan amal baik, dia tidak akan membantunya.
Pluralisme ini adalah anggapan, dan siapa pun orangnya, apa pun agamanya akan memperoleh keselamatan. Karena orang seperti itu tidak perlu ganti agama. Ada teman saya yang sudah pluralis. Tapi dia kurang full pluralisnya. Dia akan menikah dengan gadis yang beragama lain dan ngomong pada saya, “jangan ajarkan pluralisme religius padanya. Agar dia pindah ke agama saya, Islam.” Jadi jika kita tidak ingin orang Islam pindah agama, ajarkan pada mereka pluralisme.
PITI pernah mengatakan bahwa ooganisasi di luar PITI enggan berdakwah kepada Tionghoa. Kira-kira apa sebabnya?
Mungkin karena lebih banyak kurang tahunya para pendakwah tentang kultur etnik Tionghoa. Misalkan saya sebagai seorang dai yang akan melakukan dakwah kepada mereka, maka setidaknya saya harus mengetahui kultur mereka. Tapi... saya juga tidak tahu. Karena saya bukan pimpinan ormas kecuali independen. Dan tidak ikut ormas mana pun kala itu.
Yang kedua mungkin juga karena undangan dari pihak PITI juga yang jarang. Tapi saya yakin para pendakwah akan sangat senang bila diundang oleh pihak PITI. Malah banyak orang PITI Tionghoa yang malah populer di kalangan Melayu. Misalkan saat ini ada Anton Medan. Terlepas dari latar belakangnya, tapi saat ini saya melihatnya sebagai dai yang mukhlis.*

Wawancara dengan Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M. Sc
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol I

1 komentar:

metamorfosis mengatakan...

salam damai sejahtera.saya sangat kagum dengan sikap bapak.jika semua orang yang menyebut dirinya teisame seperti bapak maka tidak akan ada diskriminasi,pembakaran tempat ibadah,dll. akan tetapi apakah bapak setuju dengan definisi pluralisme bapak? maklum saya orang awam dan berdosa, yang tetap pegang nilai iman saya, yang saya "imani"-lah yang dapat membawa saya ke 'tempat akhir'. bagaimana menurut bapak??