Jejak-jejak diskriminasi yang menimpa warga Tionghoa tampak masih membekas. Tak hanya masalah pelayanan publik, tapi juga masalah agama. Masih ada anggapan, antara Tionghoa dan Islam adalah ibarat dua hal yang saling bertolak belakang. Padahal Tionghoa bukanlah sebuah agama kecuali etnik.
KEGELISAHAN tentang kuatnya anggapan di atas dirasakan oleh H.S. Willy Pangestu, Sekeretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (DPP PITI). “Kami merasakan masih ada kabut yang menaungi Indonesia bahwa antara Tionghoa dan Islam adalah dua hal yang terpisahkan. Padahal Tionghoa itu bukanlah agama. Tapi suku sebagaimana Jawa, Betawi, Sunda dan lainnya,” kata Willy lemah kepada SC Magazine di kantor PITI yang terletak di Jl Hayam Wuruk Jakarta Barat.
Menurut pria bernama asli Pang Hiok Chen ini, meski saat ini Indonesia sudah memasuki era keterbukaan, tapi fenomena diskriminasi yang dialami oleh etnis Tionghoa masih terjadi. Sementara ketika ditanya sebab-musababnya, menurut pria yang menjadi muallaf di usia 44 tahun tersebut, fenomena diskriminasi terjadi karena kebijakan diskriminatif yang pernah dilakukan pemerintah kolonial Belanda dan diteruskan pemerintah RI. “Belanda sudah menjadikan kita berkelompok-kelompok. Tapi ironisnya RI melanjutkannya,” tambahnya di kantor DPP PITI.
Persoalan diskriminasi terhadap warga Tionghoa memang bukan kabar baru. Seperti yang dilaporkan Wikimedia, diskriminasi itu dimulai sejak zaman Belanda. Pada saat itu, pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan berupa batasan ruang gerak pada warganegara Tionghoa dengan adanya Passenstelsel dan Wijkenstelsel. Sejak kasus Batavia pada tahun 1740, orang Tionghoa tidak dibenarkan bermukim secara bebas. Aturan ini kemudian menubuhkan pecinan, yaitu pemukiman etnik Tionghoa di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Pada masa kemerdekaan, diskriminasi terhadap kelompok etnik Tionghoa terus berlangsung pada zaman Orde Lama dan Orde Baru. Pada era Orde Lama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 tentang larangan bagi warganegara Tionghoa untuk berniaga di kawasan luar ibu kota provinsi dan kabupaten. Sementara pada era Orde Baru, juga terdapat aturan diskrimintif berupa Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Aturan ini hanya diperuntukkan kepada keturunan Tionghoa, tidak untuk warga negara Indonesia lainnya. Sehingga kemunculan SBKRI menimbulkan kesan bahwa Tionghoa adalah warganegara yang status kewarganegaraannya masih dipertanyakan.
Memasuki era reformasi, seluruh aturan yang membatasi ruang gerak etnis Tionghoa akhirnya dihapus dengan lahirnya UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang menjamin persamaan hak dan kewajiban seluruh warganegara Indonesia. Namun demikian, dalam tataran praksis, masih ditemukan fenomena diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa, terutama dalam masalah pelayanan publik semisal paspor, KTP dan atau dalam hubungan sosial masyarakat.
Menanggapi fenomena tersebut, kepada SC Magazine, Prof Dr. Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa hal itu seharusnya tidak terjadi, karena etnis Tionghoa juga turut berjasa dan mewarnai perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, etnis Tionghoa banyak memberikan kontribusi. Tidak hanya keringat tapi juga darah.”
Pendapat pria yang akrab disapa Kang Jalal di atas memang benar. Bila kita tengok sejarah, etnis Tionghoa juga turut berjasa mulai kebangkitan nasionalisme hingga saat ini. Misalkan proses kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda, ternyata tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi dalam komunitas Tionghoa. Pada 17 Maret 1900, di Batavia, organisasi etnis Tionghoa, Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) mendirikan sekolah-sekolah sebanyak 54 buah. Sementara pada rentang tahun antara 1908 hingga 1934, mereka telah mendirikan 450 buah sekolah. Inisiatif ini kemudian diikuti oleh kelompok-kelompok etnik yang lain, seperti kelompok etnik Arab yang mendirikan Djamiatul Khair meniru model THHK. Sementara golongan bangsawan Jawa membentuk Budi Utomo.
Pada tahun 1909, RA Tirtoadisuryo membentuk Sarekat Dagang Islamiyah (SDI) di Buitenzorg (Bogor). Organisasi ini mengikuti model Siang Hwee (dewan perdagangan orang Tionghoa) yang dibentuk pada tahun 1906 di Batavia. Di sisi lain, etnis Tionghoa juga menerbitkan surat kabar berbahasa melayu, Sin Po. Media ini banyak memberikan sumbangan dalam penyebaran maklumat yang bersifat nasionalisme. Misalkan lagu Indonesia Raya yang digubah oleh W.R. Supratman, untuk pertama kalinya diterbitkan oleh surat kabar ini. Pada 1920-an, Sin Po juga memelopori penggunaan bahasa bumiputera Indonesia sebagai pengganti untuk bahasa Belanda inlander bagi semua terbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak media lainnya.
Pada Agustus 1945, tokoh Tionghoa seperti Djiaw Kie Siong memperkenankan rumahnya digunakan untuk mempercepat persiapan kemerdekaan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta. Sementara dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45, terdapat lima orang Tionghoa, yaitu Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw dan Drs. Yap Tjwan Bing.
Selanjutnya pada masa pasca kemerdekaan hingga saat ini, etnis Tionghoa bersama-sama kelompok lainnya telah memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional. Para pengusaha Tionghoa telah mendirikan industri padat karya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja serta membayar pajak yang termasuk terbesar di Indonesia. Beberapa nama lain yang turut memberikan kontribusi bagi NKRI antara lain; Tan Joe Hok dalam olahraga bulutangkis; Teguh Karya, Fifi Young dan Tan Tjeng Bok dalam dunia teater Indonesia; dr. Oen Boen Bing di bidang kedokteran; Martha Tilaar di industri komestik Indonesia; ataupun Johanes Surya yang menjadi arsitek tim Olimpiade Matematika Indonesia merebut medali-medali emas di ajang regional dan Internasional.
Bila melihat peran etnis Tionghoa di atas, diskriminasi yang mereka alami adalah ketidakadailan. Tapi persoalannya, mengapa masih ada angapan bahwa Tionghoa adalah “liyan” atau orang asing?
Menjawab persoalan tersebut, Kang Jalal mengatakan bahwa diskriminasi itu disebabkan oleh banyak faktor. Selain faktor politik dan ekonomi juga karena faktor agama. “Biasanya hubungan keduanya renggang karena kepentingan-kepentingan politik. Di zaman Orde Baru, kita melihat banyak ketegangan antara Tionghoa dengan warga lain di negara ini. Ini disebabkan pertama, ada kecenderungan bahwa hubungan penguasa dengan kelompok pebisnis Tionghoa itu lebih dekat daripada kelompok pebisnis Melayu. Akibatnya, setelah pengusaha Tionghoa menguasai dunia usaha, timbullah kecemburuan sosial. Biasanya ini dibumbui dengan kepentingan-kepentingan politik oleh elit politik tertentu. Sehingga menimbulkan kerusuhan Mei 1998 lalu dan yang menjadi korban adalah kelompok-kelompok Tionghoa yang menurut saya berbisnis dengan jujur, dan bahkan acapkali mendapatkan penindasan dari penguasa, sama dengan pebisnis Melayu lainnya. Mereka juga jadi korban dari pebisnis besar yang tidak terjamah.”
Masih menurut Kang Jalal, kurangnya kesadaran dalam beragama juga menjadi faktor masih adanya sikap diskriminasif tersebut. “Kedua, saya pikir ini juga terjadi karena faktor agama. Karena dengan orang Arab meski secara fisik kita berbeda, mereka berhidung mancung sementara kita pesek, tapi mereka relatif bisa berbaur dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Saya juga melihat bahwa jika Tionghoa beragama Islam mereka juga terintegrasi secara total dengan masyarakat Indonesia. Sampai di kampung-kampung orang Tionghoa yang beragama Islam hampir tidak bisa dibedakan dengan penduduk Melayu.”
Tapi demikian, Kang Jalal menggarisbawahi bahwa sikap diskriminatif ini juga merupakan akibat dari sikap sebagian etnis Tionghoa yang eksklusif. “Sebabnya sekarang berpulang kepada kedua belah pihak. Pertama, jangan kita lupakan bahwa ada sebagian dari Tionghoa yang sangat eksklusif karena kekayaan. Mereka biasa membentuk perumahan dan perhimpunan eksklusif yang tidak memasukkan kelompok Melayu ke dalamnya. Jadi sikap eksklusif seperti ini, apa pun alasannya, tentu saja akan membuat perasaan orang Melayu terasing. Lebih jauh, ada beberapa pebisnis Tionghoa yang menguasai ekonomi dan tak jarang menggunakan cara kekerasan melalui dukungan dari penguasa. Misalnya ada satu pasar tradisonal yang telah berlangsung sekian lama. Lalu orang Tionghoa datang ke oknum aparat Kecamatan dan minta membantunya merubah pasar menjadi super mall. Sehingga pedagang-pedagang kecil yang nota bene mayoritas terdiri dari etnis Melayu tersingkir karena tidak mampu membeli tempat yang baru saja terbangun itu. Ini terjadi di pelbagai tempat di Indonesia. Kedua, dari etnis Melayu juga perlu introspeksi. Terutama kelompok dari bangsa Indonesia yang menganggap Tionghoa sebagai sapi perahan. Mereka dipaksa mengeluarkan uang. Terutama pebisnis Tionghoa yang ada di bawah.”
***
ISLAM SEBAGAI RAMATAN LILALAMIN
MELIHAT persoalan diskriminasi yang hingga detik ini masih belum mereda, barangkali perlu segera dicari solusinya. Adapun agama yang disinyalir menjadi faktor utama dari masih kuatnya sikap diskriminatif, barangkali sebelum menjastifikasinya, dibutuhkan pemikiran yang bijak. Harapannya agar agama tidak menjadi kambing hitam dari jejak-jejak diskriminasi yang masih tampak dalam hubungan sosial-masyarakat antara etnis Tionghoa dengan warganegara Indonesia lainnya.
Ketika ditanya alasan filosofis mengapa agama menjadi faktor utama dari munculnya sikap diskriminatif, Kang Jalal mengatakan, bahwa agama adalah pedoman hidup manusia yang menuntut perhatian yang mendaam. “Agama begitu mendasar. Nilai-nilai yang mendasari agama adalah nilai-nilai yang untuk itu kita mau hidup dan mati. Beda lagi bila kita punya perhatian pada partai politik, ini tidak menuntut seluruh kepribadian kita.”
Bertolak dari pendapat Kang Jalal tersebut, wajar jika kemudian warganegara Indonesia yang nota bene mayoritas beragama Islam mempunyai pandangan lain kepada etnis Tionghoa yang nota bene mayoritas dari mereka beragama non muslim. Tapi demikian, apakah kemudian menjadi wajar jika seorang muslim menganggap etnis Tionghoa sebagai liyan? Bukankah Tionghoa adalah etnis, sama dengan Jawa, Sunda, Betawi, Bugis dan lainnya? Lebih-lebih, bukankah di antara etnis Tionghoa juga ada yang muslim? Bahkan ada organisasi yang manaungi Tionghoa muslim, yaitu PITI.
Menjawab persoalan tersebut, KH. Nuril Huda dari Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama mengatakan bahwa, saat ini yang dibutuhkan adalah pemahaman islam yang kaffah. “Islam itu rahmatan lilalamin. Kasih sayang kepada alam, tidak hanya kepada umat manusia, tapi juga alam. Nah sekarang ini memang banyak kelompok dari umat Islam yang memahami Islam tidak kaffah. Misalkan mereka yang berdakwah melalui cara-cara kekerasan. Sebenarnya itu tidak boleh. Di dunia ini tidak ada kekerasan yang bisa menyelesaikan masalah, terutama untuk perkembangan Islam.”
Sementara Willy Pangestu dari PITI mensinyalir perlu ada perubahan pola komunikasi yang selama ini dilakukan umat Islam kepada warganegara non muslim. “Di sini terlalu menekankan religius seseorang. Ini berbeda dengan pendekatan orang barat, di mana komunikasi dibangun bukan atas dasar keagamaan. Karena persoalan agama adalah masalah pribadi. Karena itu pola pendekatan yang kita lakukan kepada warga Tionghoa non muslim adalah pendekatan budaya. Seharusnya agama itu adalah koridor, agar orang itu ketika melakukan segala aktivitas tidak keluar dari koridor tersebut. Nah PITI saat ini, memulai dakwahnya tidak dari keyakinan. Karena kami sadar bahwa budaya dan karakter orang Tionghoa itu sangat heterogen.”
Sementara itu, dalam rangka menghapus jejak-jejak diskriminasi, Kang Jalal berpendapat agar ada sosialisasi dan pemahaman mendalam tentang pluralisme religius. “Solusinya adalah pluralisme religius. Ini belum begitu populer dikalangan Islam. Bahkan MUI mengharamkannya. Padahal tanpa adanya sikap ini, agak sulit kita menjalin integrasi. Karena mayoritas kelompok Tionghoa tidak beragama Islam. Tanpa sikap pluralisme, agak sulit orang Islam berintegrasi dengan mereka yang non muslim. Mereka akan selalu curiga dengan gerakan Tionghoa, bisa dimunculkan isu kristenisasi. Sehingga dialog akan menjadi sulit dilakukan antara kedua belah kelompok.”
Masih menurut Kang Jalal, pluralisme religius bisa membawa orang kepada pluralisme politik dan pluralisme sosial. “Saya pikir yang paling penting saat ini adalah bagaimana kita mempromosikan dan mendorong pluralisme religius ini. Sehingga orang tidak mengambil jarak dengan orang yang beragama lain. Jika kita pluralis secara religius maka dengan sendirinya kita juga akan pluralis secara sosial dan politis. Saya sekarang misalnya, merasa dekat dengan kelompok-kelompok agama lainnya. Saya sering diundang di Gereja, saya sering dialog dengan tokoh-tokoh agama bahkan saya sering berceramah di hadapan pengikut agama Budha dan tidak ada jarak antara saya dengan mereka.”
Pluralisme religius memang baru di kalangan umat Islam. Bahkan MUI mengharamkannya. Karena menurut MUI menganggap semua agama benar adalah tidak benar. Tapi terlepas dari perdebatan soal haram-tidaknya pluralisme religius, barangkali dalam rangka menghapus jejak-jejak diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa, pribumisasi nilai-nilai islam yang rahmatan lilalamin merupakan jalan tengah yang cukup bijak. Lebih jauh, bukankah pola komunikasi dalam islam selain Ukhuwah Islamiyyah dan Wathoniyyah, ada pula Ukhuwah Basyariyah?
“Jadi, dengan pengakuan sebagai warga negara Indonesia yang tanpa diskriminasi, kita berharap bisa membantu proses kebangsaan kita. Ukhuwah itu menurut saya ada tiga, Islamiyah, Watoniyah dan Basyaraiyah. Tapi jujur saja saya lebih condong ke Basyariyah,” kata Willy sambil tersenyum.*
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol I
2 komentar:
sebetulnya yang lebih diskriminan itu etnis tionghoa apa pribumi?
U/ dik Dewi Kurniawati:
Pertanyaan yang anda lontarkan cukup hitam-putih. Karenanya saya enggan memberi jawaban hitam-putih. Jadi... yang memilki sikap diskriminatif adalah orang yang di hatinya ada aura benci. Bisa Pribumi, pun juga Tionghoa:)
Posting Komentar