Minggu, 11 November 2007

JANGAN SKRIPTUALIS, TAPI KONTEKSTUALIS

PERUMUSAN Ihyaul Mawaat terjadi saat keadaan tanah masih banyak yang kosong dan tidak dimanfaatkan. Hukum Islam itu dasarnya adalah maslahah, baik kepada manusia atau pun lingkungan sebagai ekosistem.
Kondisi sosial-politik saat ihyaul mawaat dirumuskan itu berbeda dengan sekarang. Dulu tanah kosong peninggalan masa jahiliyyah masihbanyak. Sementara saat ini tentu saja sudah terbatas. Namun peluang ihyaul mawaat masih ada.
Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, ihyaul mawaat sudah dilakukan. Apalagi saat ini banyak tanah-tanah kosong akibat penggundulan hutan. Saya pernah diundang Institut Tekhnologi Surabaya (ITS) mengenai penanganan hutan gundul. Menurut mereka hutan gundul di Indonesia sudah mencapai 600.000 Ha. Nah ini bila tidak segera diihyakan atau dilestarikan kembali, akibatnya akan buruk dan berbahaya.
Mekanisme ihyaul mawaat tentu saja harus berkoordinasi dengan pemerintah (BPN). Penekanan koordinasi ini berangkat dari pengertian mu’amalah yang merupakan sifat mu’amalah. Asal kata mu’amalah adalah ta’amul yang berarti proses koordinasi dan komunikasi. Dari sini kita bisa mengambil benang merahnya, bahwa dalam membicarakan ihyaul mawaat tidak bisa sendiri-sendiri, tapi harus ada koordinasi dengan pihak-pihak seperti pemerintah, LSM, Pesantren dan lainnya.
Salah satu kerjasama contoh dari kerjasama antara pemerintah dengan Pesantren adalah yang terjadi di Pesantren Lir Boyo, Kediri. Di sana pemerintah memberikan kesempatan kepada Pesantren dan masyarakat sekitarnya untuk bercocok tanam pada tanah yang nota bene milik pemerintah.
Sementara itu mengenai hak ‘menguasai’ oleh negara yang tertuang dalam pasal 33 itu tidak menghalangi ihyaul mawaat. Karena negara sendiri memiliki kewajiban dalam melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.
Selanjutnya mengenai teks ‘tanah tidak bertuan’ yang terdapat dalam syarat ihyaul mawaat itu tidak perlu dirubah. Karena teks tersebut bisa kita kontekstualisasikan pada tataran praktis. Misalkan kita menemukan tanah kosong, maka kita tinggal mengkoordinasikannya dengan pemerintah setempat, apakah ada pemiliknya? Jika tidak, kita bisa mengolahnya. Mengubah tanah tak produktif menjadi produktif, itulah Islam. Soal UU, itu dibuat memang untuk kesejahteraan rakyat.
Jadi yang ada dalam kitab kuning itu bisa difahami secara kontekstualis. Jangan skriptualis. Sebuah hukum memang ada yang mashodir, tapi di sisi lain hukum itu bisa dilihat dari sisi manfaatnya. Kita sesuaikan saja dengan kaidah fiqh, jalbu al mashoolih wa dar’ul al mafaasid (mengambil manfaat dan membuang mafsadah)
Kontekstualisasi tersebut perlu ditekankan, karena bila hanya cenderung pada teks, maka akan terjerumus pada kebekuan-kebekuan. Bukankah saat menafsirkan Al Qur’an dan Al Hadist kita juga perlu melihat asbab al nuzul-nya? Nah ini juga berlaku pada kitab kuning. Orang-orang pesantren tentu saja sudah faham akan hal ini. Mereka tidak mungkin terjebak pada teks saja. Karena segala persoalan pasti dilihat dari kacamata ushul fiqh dan qowaidul fiqh. Kedua hal ini merupakan instrumen yang komprehensif untuk menganalisis, memahami dan menilai segala persoalan yang ada. Nah ini dalam NU disebut sebagai manhaj al fikr (paradigma berfikir)
Mengenai UUPA saya tidak tahu persis. Tapi hemat saya, setiap UU dibuat untuk mensejahterakan rakyat. Ini sesuai dengan kaidah fiqh, tasarruful al imam ‘alaa ro’iyyati manuutun bi al maslahah (kebijakan kepala negara terhadap rakyat harus berhubungan dengan kebaikan). Meski demikian, UUPA pasti ada kelemahan dan kekurangannya. Apalagi UUPA merupakan produk lama. Mengenai sengketa tanah di Kecamatan Silo, Jember, antara Perhutani dan sekelompok masyarakat yang membuka tanah di hutan lindung dan kemudian mendirikan perkampungan di sana, harus dikembalikan kepada peraturan yang ada. Karena negara ini adalah nation-state, bukan nation-religion.

Wawancara dengan Drs. KH Ali Maschan Moesa, M. Si (Ketua Tanfidziah Pengurus Wiayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur)
Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 11 Th.XI/Maret-Mei 2005

Tidak ada komentar: