Minggu, 11 November 2007

SERTIFIKASI BISA DIUSAHAKAN ASAL BUAT PERKAMPUNGAN

SECARA prinsip, hutan yang belum menjadi milik negara adalah milik masyarakat. Tapi ketika sudah dikuasai pemerintah, baik masa kolonial maupun republik, posisi hutan ditarik dalam perspektif nasionalisme. Bukan lagi milik perorangan. Namun dalam persektif hukum sosial, membuka hutan tidak bertuan adalah sah selama tidak ada larangan.
Mengenai sengketa tanah di Desa Baban Kecamatan Silo kabupaten Jember, Perhutani dan masyarakat membuka tanah di hutan lindung kemudian mendirikan perkampungan, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: pertama, kapan masyarakat membuka hutan? Bagaimana situasi saat itu, dikuasai oleh siapa? Kedua, kalau terjadi sengketa antara masyarakat dengan pemerintah maka harus menggunakan UU atau peraturan yang berlaku. Ketiga, dari keberadaan lingkungan alam yang berkenaan kelestarian, posisi tanah tidak membahayakan bagi masyarakat yang berdomisli di sekitarnya.
Berdasarkan UU no 51 pasal 60 tentang pelarangan mengesahkan atau mendirikan tanah tanpa izin pemilik tanah, harapan masyarakat Desa Silo untuk mendapatkan sertifikat atas tanah itu bisa dilakukan asal pemerintah memberikan izin dengan melalui tahapan-tahapan, di antaranya mengajukan permohonan dengan alasan/syarat yang ditentukan. Soal syaratnya, seperti termaktub dalam Keputusan Presiden No 79 tahun 1980, yaitu tanah-tanah yang sudah menjadi kampung, terorganisir dan memiliki persyaratan menjadi desa, maka tanah itu bisa diberikan kepada masyarakat.
Sesungguhnya yang penting bukan kepemilikannya, tapi hasil guna bagi masyarakat. Ketika sudah menjadi milik masyarakat, ada kemungkinan dijual dan terjadi sengketa baru. Selain itu tanah milik negara akan menjadi semakin sempit.
Pasal 33 ayat 3 bisa diartikan secara luas. Tapi maksud dari kemakmuran rakyat di sekitar hutan penafsirannya sempit sekali. Sementara tafsir dari menguasai di pasal 33 tidak ada batasan.
Menguasai memang menjadi amanat dari pasal 33 ayat 3. Tapi kekuasaan itu harus ditujukan untuk kemakmuran rakyat, baik yang berada di sekitar hutan atau pun di luarnya. Sebab bila hanya diperuntukkan masyarakat sekitar hutan, dikhawatirkan akan pecah. Jadi produksi hutan Jawa Timur tidak hanya untuk masyarakat Jawa Timur.
Lebih jauh persoalan menguasai tanah oleh negara harus ada sinergis antara masyarakat dengan negara, saling menguntungkan. Penjelasan UUPA tentang masyarakat bisa membuka hutan adalah masyarakat yang diberi izin. Keberadaan hukum itu menjelaskan tentang keberadaan tanah yang masih luas, sementara jumlah penduduk masih sedikit. Tapi pemahaman ini tampaknya kurang relevan bila diterapkan di Pulau Jawa di mana luas hutannya sudah mulai menyempit. Bila dibuka dan dijadikan permukiman, dikhawatirkan dalam waktu yang tidak terlalu lama Pulau Jawa akan menjadi padang pasir. Karena itu kelestarian hutan harus selalu dijaga. Masyarakat tidak boleh egois. Mereka juga harus memperhatikan nasib orang banyak. Jika kandungan mata air habis, yang rugi bukan hanya masyarakat sekitar, tapi seluruh masyarakat di sepanjang pinggir sungai akan menderita.
Sebenarnya UUPA bisa menjadi jaminan demi terciptanya kesejahteraan masyarakat secara maksimal. Karena UUPA merupakan jawaban terhadap kemiskinan sejak zaman kolonialisme. Tapi karena aplikasinya di lapangan kurang maksimal maka kesejahteraan masyarakat hingga saat ini belum banyak terjawab.
Untuk menjawab persoalan pertanahan secara umum, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) pernah mengadakan kerjasama dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Komnas HAM dan LSM lainnya untuk Komite Penyelesaian Konflik Agraria di Jawa Barat. Ini mengingat penyelesaian kasus agraria selama ini kurang memuaskan. Lebih dari 90 persen sengketa yang dilaporkan ke Komnas HAM, mayoritas mengenai sengketa tanah. Kerjasama itu bermaksud memberikan dorongan kepada pemerintah untuk menyelesaikan konflik di tengah-tengah masyarakat, yang bisanya konflik itu muncul karena faktor politik.

Wawancara Prof. Dr. Acmad Sodiki, SH (Guru Besar Hukum Agraria Universitas Brawijaya)
Adib Minanurrachim dan Herjan Mustajab
Dimuat di ALFIKR No 11 Th.XI/Maret-Mei 2005

Tidak ada komentar: