Minggu, 11 November 2007

TANAH, TAK SEKEDAR EMAS PERMATA

Sedumuk batuk, senyari bumi ditohi nganti pati (Persoalan hak atas tanah walau hanya sejengkal, taruhannya adalah jiwa)

PERIBAHASA oang Jawa di atas menunjukkan bahwa tanah merupakan harta yang tiada terkira nilainya. Tanah, lebih berharga dari sekedar emas atau permata sekali pun. Di atas tanah manusia bisa mendirikan tempat tinggal, melestarikan keturunan, menjalin hubungan sosial dan menciptakan nilai-nilai kebudayaan.
Selain itu tanah juga merupakan faktor produksi (ekonomi) yang penting dalam sejarah peradaban manusia. Sejak kehidupan berburu, zaman pertanian hingga era industri tanah memiliki peran vital dalam menunjang kehidupan manusia dan kegiatan produktivitasnya. Sejarah kehidupan manusia menunjukkan pula kepada kita, bahwa kebutuhan terhadap tanah dari waktu ke waktu terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Pada era indutrialisasi, kegiatan ekonomi masyarakat tidak hanya semakin meningkat tapi juga semakin beragam. Kebutuhan-kebutuhan untuk mendirikan pabrik, permukiman, kawasan perkantoran, dan daerah pariwisata, jelas semuanya itu membutuhkan tanah-tanah yang luas. Tapi di sisi lain, kondisi luas tanah adalah tetap dan tidak berkembang. Dus, keadaan itu menimbulkan persaingan hingga perebutan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Acapkali kelompok masyarakat ekonmi lemah (miskin), seperti petani gurem, petani penggarap, penduduk marginal, dan kelompok masyarakat adat di pedalaman dikalahkan dalam persaingan sumberdaya tanah. Kekalahan itu bukan karena mereka tidak memiliki hak yang saha mengakses pada proses pengambilan keputusan berkenaan dengan alokasi penggunaan sumber daya tanah. Tapi karena kepentingan atau suara mereka jarang diperhatikan oleh penguasa.
Memang, dalam mengatasi kebutuhan tanah yang semakin meningkat dan beragam itu, pemerintah Indonesia telah menetapkan undang-undang pertanahan seperti Undang-Undang pokok Agraria (UUPA) No 05 tahun 1960. Lahirnya UUPA itu ditujukan untuk mengalokasikan penggunaan tanah sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3, yaitu untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa hampir di setiap menetapkan kebijakan pertanahan, acapkali pemerintah dipengaruhi oleh kepentingan kelompok industri dan bisnis. Di antara contoh kasus tanah yang menggambarkan biasnya kebijakan negara tersebut adalah kasus tanah Jenggawah di Jember, kasus tanah Enoch di Irian Jaya, Kedungombo, Tanah Suarat Ijo Surabaya, penggusuran tanah Merah di Jakarta dan Penggusuran masyarakat urban di Cengkarenga-Jakarta.
Kenyataan pahit nasib rakyat di atas, tampaknya akan makin bertambah mengingat beberapa kelemahan yang terdapat dalam UUPA itu sendiri. Sebagaimana dituturkan M. Hadi Subhan SHCN—doktor Ilmu Hukum pada Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya—bahwa kendati pun secara eksplisit dinyatakan sistem hukum pertanahan berdasarkan hukum adat, ternyata UUPA berlawanan dalam aplikasinya. Satu misal, sistem hukum pertanahan nasional yang secara implisit menggunakan asas perlekatan (accessie) antara tanah dengan yang ada di atasnya, berarti bahwa semua yang ada di atas tanah, baik itu bangunan, tumbuhan maupun lainnya adalah melekat/kepunyaan siapa yang memiliki hak atas tanah tersebut. Nah, ketentuan ini sangat kontradiktif dengan hukum adat yang mengenal asas pemisahan horisontal. Asas perlekatan itu cukup potensial untuk memicu konflik pertanahan karena tidak tegasnya status kepemilikan antara tanah dengan apa yuang ada di atasnya. Kasus kabel listrik Gresik—permukiman rakyat yang di atasnya dilintasi kabel listrik bertenaga ribuan megawatt—meruapakan akibat ambiguitas dari UUPA mengenai penerapan asas perlekatan tanah ini. Karena itu, barangkali perlu ada perubahan sekaligus penegasan dalam UUPA mengenai pemilihan asa perlekatan.
Berangkat dari realitas di atas, perjuangan-aksi terhadap nasib rakyat/petani terus marak ketika ada momentum yang bisa digunakan ke arah itu. Demonstrasi menjadi pilihan utama untuk mengusik kepedulian pemilik modal dan institusi negara yang berwenang. Tidak hanya itu, perlawanan kaum petani juga bergerak dinamis, memasuki pertarungan wilayah kebijakan publik. Sehingga hampir semua elemen-elemen sosial seperti NGO dan Ormas turut merespon dan mengambil langkah-langkah keberperanan untuk melakukan pendampingan dan pelayanan.
Melihat fenomena tersebut, agama Islam yang diyakini sebagai rahmatan lil alamin diharapkan juga bisa memberikan kontribusi solusi bagi kaum petani, baik dalam tataran wacana maupun aksi. Dan organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah, NU atau akademisi-intelektual pesantren, tampaknya juga perlu memberikan advokasi yang berarti bagi mereka. Lebih-lebih bagi NU yang sebagian besar ummatnya berada di sektor ini.
Lebih jauh, dengan prinsip nilai seperti al’adalah, al-syura, al-tawasuth, al-tasamuh dan al-tawazun, tampaknya tidak ada alasan bagi NU dan akademisi-intelektual pesantren untuk menghindar dari masalah tanah di atas. Lebih-lebih bukankah dalam kitab-kitab klasik terdapat bab ihyaul mawaat yang bisa digunakan untuk merespon persoalan tanah?
Memang jika ihyaul mawaat hanya dilihat secara tekstual, akan ditemukan beberapa kesulitan seperti soal posisi imam dan status tanah yang merdeka terkait persoalan tanah dewasa ini. Tapi jika pola penafsirannya lebih ditekankan pada sisi kontekstualnya, kesulitam-kesulitan itu bisa segara diatasi. Bukankah dalam qowaidul fiqh disebutkan, al-hukmu yaduuru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman? Lebih jauh, dalam tubuh NU-Pesantren, selain terdapat manhaj alfikr berupa qowaidul fiqh juga ada ushul fiqh?

Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 11 Th.XI/Maret-Mei 2005

Tidak ada komentar: