Sabtu, 27 Oktober 2007

IHYAUL MAWAAT TIDAK BERTENTANGAN DENGAN UUD 45

SECARA definitif, ihyaul mawaat adalah menghidupkan atau membudidayakan tanah yang belum pernah digunakan pada masa pemerintahan Islam. hal itu terbatas pada pemerintahan Islam. sementara jika sebelumnya bukan pemerintahan Islam, dan tanah tersebut pernah dimanfaatkan dan ketika beralih ke pemerintahan Islam, tanah tersebut tetap bisa dihidupkan kembali oleh umat Islam.
Konsep ihyaul mawaat yang terdapat di kitab-kitab klasik masih relevan untuk digunakan di Indonesia. Di antara syaratnya tidak bertentangan dengan UUD 1945. seperti status tanah yang merdeka, itu tidak bertentangan dengan pasal 33 ayat 3, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Kalimat “dikuasi oleh negara”, tidak berarti dimiliki, melainkan diatur oleh negara. Jadi dalam persoalan pertanahan, pemerintah berwenang mengaturnya demi kemaslahatan ummat. Sementara untuk ummat tidak dilarang untuk mendapatkan dan membudidayakan tanah.
Kemudian yang dimaksud dengan imam dalam konsep ihyaul mawaat tersebut tak lain adalah Presiden Republik Indonesia. Tapi karena presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dibantu oleh menteri yang memiliki konsentrasi masing-masing, maka presiden tidak harus turun tangan sendiri dalam menangani persoalan pertanahan. Tugas itu cukup diserahkan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sesuai dengan kriteria tanah mawaat yang tersebut dalam definisi ihyaul mawaat di atas, pembukaan tanah terhadap hutan yang masuk dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) oleh sekelomok masyarakat adalah tidak benar dan bukan merupakan praktik ihyaul mawaat. Karena hutan merupakan tanah yang telah dimanfaatkan oleh pemerintah. Pembukaan tanah itu akan benar dan sesuai dengan syar’i bila hutan yang dibuka benar-benar belum pernah dibudidayakan oleh seseorang, kelomok atau pemerintah.
Di Indonesia ini masih banyak tanah-tanah yang belum dimanfaatkan, sehingga berpeluang untuk dikelola. Seperti di daerah Kalimantan dan Sumatera, itu masih banyak. Saat rezim Orde Baru berkuasa, pernah ada peristiwa ihyaul mawaat. Tempatnya di Provinsi Kalimantan pada lahan gambut seluas 1 juta Ha.
Sementara itu, dalam mekanisme ihyaul mawaat, ada perbedaan antara pendapat madzhab Syafi’i dan Hanafi. Jika menurut Syafi’i, seorang muslim yang menghidupkan tanah tak bertuanitu tidak perlu ijin kepada iamam. Sementara hanafi berpendapat sebaliknya, harus ijin kepada imam.
Untuk Indonesia yang merupakan negara hukum dan di dalamnya terdapat UU pertanahan, maka kita selaku ummat Islam tidak boleh ngotot menggunakan pendapat Imam Syafi’i. Selama kebijakan imam atau pemerintah itu membawa maslahah.
UU Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, yang di dalamnya terdapat aturan berupa redistribusi tanah oleh pemerintah itu sesuai dengan konsep fiqh, yaitu iqto. Transmigrasi itu juga sesuai dengan iqto’. Karena akhirnya pemerintah akan memberikan tanah tak bertuan itu untuk diambil hasilnya. Lebih jauh, tanah itu nantinya bisa jadi hak milik pengelola tanah tersebut.

Wawancara dengan Kiai As’ad Turmudzi (Pengurus Syuriah Cabang NU, Jember)
Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 11 Th.XI/Maret-Mei 2005

Tidak ada komentar: