Sabtu, 27 Oktober 2007

PERLU TERUS PEMBAHARUAN FIQH

SELAMA ini perburuhan tidak mendapatkan perhatian ulama-ulama klasik dalam kitab fiqh karena dulu itu budak—sekarang disebut buruh—belum menjadi satu kekuatan yang bisa mempengaruhi kebijakan publik. Tapi untuk ulama yang sekarang atau paling tidak yang ualama yang muncul pada akhir abad ke-19, semestinya sudah mengkaji lebih jauh soal perburuhan. Karena disamping buruh sudah menjadi kekuatan, di sisi lain buruh merupakan kelas sosial terendah dlam strata masyarakat. Lebih jauh berdasarkan deklarasi PBB perbudakan sudah tidak ada, manusia di dunia merdeka semua.
Karena itu, sesuai kaidah taghoyyuru al-ahkam lil taghoyyiri al-‘illah atau al hukmu yaduuru ma’a ‘illatihi, penafsiran roqobah (budak0 dalam Al Qur’an harus ditafsiri secara subtantif, begitu juga budak dalam Hadist dan kitab-kitab klasik. Jadi budak itu adalah buruh dan harus ada upaya untuk membebaskan buruh.
Hal itu hanya bisa dicapai dengan terobosan. Artinya fiqh itu harus ada dekonstruksi dan rekonstruksi. Selama ini belum banyak ulama-ulama kita yang melakukan itu, kecuali hanya repitisi atau naqlu al-aqwal (mengutip pendapat) tanpa disertai dengan latar belakang; kenapa pendapat itu muncul, kapan kitab itu ditulis, saat pemerintahan siapa, dan kondisi Islam saat itu bagaimana? Sehingga tidak salah bila orang berkata bawha kita ini hanya melakukan al-muhafadzah ‘ala qodimi al-sholih saja, tanpa al-akhdzu bi al-jadidi al-aslah. Ironisnya ini kita diamkan sejak zaman KH. Hasyim Asy’ari hingga hari ini.
Memang sebelumnya sudah ada bebrapa tulisan yang mencoba membahas soal perburuhan di Indonesia, tepatnya menjelang Muktamar NU di Lirboyo. Tetapi hanya sebagian kecil, cuma percikan-percikan kecil dan itu belum menjadi acuan materi fiqh yang diajarkan di sekolah-sekolah atau pesantren. Dan jika kita lihat fiqh-fiqh klasik yang dikaji di banyak pesantren, hampir tidak ada fiqh yang khusu mengkaji persoalan buruh ini, kecuali hanya masuk ke bab aajir. Misalkan mengutip Hadist, bayarlah pekerja itu sebelum keringatnya kering. Masih sangat normatif sekali, dan bukan padapembahasan yang lebih jauh.
Kurangnya perhatian ulama terhadap persoalan perburuhan ini, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari faktor ideologis-psikologis. Karena yang memunculkan ide kaum proletar atau buruh ini adalah kaum Marxis. Dan kaum Marxis itu belum apa-apa, sudah dicap anti agama (atheis). Sehingga ulama itu enggan.
Kendati demikian, ada ulama yang mengambil manfaat dari munculnya ideologi tersebut, misalkan Dr. Musthofa As-Syifa’i, seorang mursyid ‘aam Ikhwan al Muslimin di Syiria. Saat itu beliau mempelopori apa yang disebut land reform di Syiria.
Soal fiqh perburuhan yang bertolak dari jasa pemikiran, saya kira ulama belum sampai ke arah itu. Sebab dalam bahasa arab hanya disebut aajir, musta’jir atau aamil. Dalam pemikiran UU Ketenagakerjaan mungkin bisa memasukkan pegawai yang berorientasi pada jasa pemikiran. Tapi buruh itu lebih banyak yang pada sektor fisik atau pekerjaan-pekerjaan berat, bukan pada ruang pemikiran.
Alasan lain adalah tingkat kesejahteraan. Dlam ilmu sosial, pekerja yang berangkat dari jasa pemikiran itu masuk dalam kelas menengah. Sedangkan buruh itu berada di kelas bawah. Jadi tidak signifikan bila memasukkan kelas menengah ke dalam kelas buruh. Kaum menengah tidak perlu dibela, justru sebaliknya, mereka harus membela.
Jadi definisi buruh adalah pekerja yang berada disektor jasa tenaga, terbatas pada kelas bawah dan berad di basis paling rendah.
Lebih jauh, buruh itu tidak hanya di pabrik, tapi di seluruh sektor yang menggunakan fisik seperti Pembantu Rumah Tangga (PRT). Jadi sudah semestinya mereka didefinisikan dlam UU Ketenagakerjaan, juga mendapat UMR. Karena bila melihat kerja PRT yang serabutan dan jumlahnya banyak di daerah perkotaan, maka mereka harus dilindungi oleh pemerintah.
UU Ketenagakerjaan yang ada selama ini, baik menyangkut UMR, jam kerja dan seterusnya, pada umumnya masih membela kelas menengah. Sebab kelas menengah itu yang banyak mempengaruhi publik dan jatuh-bangunnya rezim. Sedangkan buruh, hingga saat ini hampir di semua negara memang sangat kecil yang diuntungkan. Hanya di Australia ada kebijakan yang disebut proteksi terhadap buruh internal atau buruh lokal. Kebijakan tersebut untuk meminimalisir masuknya jumlah buruh dari luar, sehingga gaji buruh lokal tetap tinggi.
Keadaan buruh makin terbelakang bila melihat perlakuan pengusaha yang diskriminatif kepada buruh perempuan, misalnya soal gaji. Ini tidak bisa dilepaskan dari konstruk pemikiran pengusaha terhadap buruh yang masih patriarkis. Karena pengusaha itu masih memprioritaskan kerja fisik, sehingga secara otomatis laki-laki lebih memperoleh tempat. Selain itu cuti perempuan karena haid, hamil dan melahirkan, dijadikan alasan dalam pembedaan jumlah upah. Ini menurut mereka sudah adil. Sementara fiqh yang ada selama ini, terutama kitab-kitab klasik yang ad di pesantren, masih berkonstruk partriakis, karena konteksnya diambil pada zaman dulu.

Wawancara Imam Ghazali Said, M. Ag
(Staf Pengajar Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya)
Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 10 Th X/Agustus-Oktober 2003

Tidak ada komentar: