Sabtu, 27 Oktober 2007

PENGUSAHA ENGGAN IKUTI PROSEDUR

TAMPAKNYA bukan hanya Marsinah dan teman-teman buruh sepuluh tahun silam saja yang tertindas oleh kaki-kaki kapitalis. Hingga kini, ternyata masih banyak eksploitasi majikan terhadap buruh. Setidaknya laporan Kompas tanggal 27 Mei 2003 tentang 124 erusahaan di Jember yang tidak membayar upah sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK), meupakan sebagian kecil ulah kapitalis yang berhasil terungkap saat ini.
Bertolak dari realitas tersebut, tidak heran bila kemudian banyak orang yang mempertanyakan komitmen pemerintah terhada nasib buruh. Pertanyaan-pertanyaan kritis seputar isi Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan maupun peran langsung pemerintah dalam persoalan buruh, saat ini cukup gencar disuarakan oleh pelbagai pihak.
Untuk lebih jauh mengetahui nasib perburuhan di Indonesia yang bertalian erat dengan perilaku pengusaha dan peran pemerintah, berikut wawancara ALFIKR dengan Gordon Harahap, Ketua Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi), Jawa Timur.
Sejak kapan UU Perburuhan dirumuskan?
Sebenarnya sejk tahun 1948, itu sudah ada UU yang mengatur tentang perburuhan di Indonesia, seperti UU No 12/1948. dazlam UU itu sudah diatur mengenai batasan waktu kerja bagi tenaga kerja atau buruh, seperti tujuha jam dalam satu hari dan 40 jam dalam satu minggu. dasar itu dibuat oleh sarikat buruh dengan pengusaha. Sejak tahun 1948 itu, di Indnesia sudah bebas mendirikan sarikat buruh.
Selain itu juga ada UU yang mengatur tentang perselisishan, misalnya yang menyangkut kenaikan upah, itu terdapat dalam UU No 22/1957 dan UU No 12/1964, Tentang mogok kerja, peraturannya juga ada. Mogok kerja terjadi apabila belum ada putusan dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setelah sarikat buruh menyampaikan persoalan perselisihannya. Sehingga sarikat buruh tinggal menyerahkan pemberitahuan—bukan permohonan—kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D), berdasarkan UU No 22/1957, bahwa saya akan melakukan mogok kerja. Dan mogok itu pun di dalam persuahaan; ya tidak kerja, ya nunggu-nunggu saja, dan tidak keluar. Kalau sekarang kan tidak, tahu-tahu unjuk rasa dan keluar, atau ribut hingga terjadi Pemutuhsan Hubungan Kerja (PHK).
Jika mogok kerja ada aturannya, mengapa masih banyak yang mengabaikannya?
Pertama, memang ada pengusaha yang belum melaksanakan yang normatif secara keseluruhan (UU). Misalnya belum melaksanakan peraturan mengenai wanita yang menstruasi, hamil atau cuti tahunan. Selain itu kadangkala pengusaha nunggu lemahnya lemahnya, menunggu sosial kontrol. Yah begitulah kadang pengusaha itu.
Kedua, mungkin juga sarikat buruhnya yang cenderung tergesa-gesa. Sehingga ini dianggap sudah parah dan unjuk rasa saja, keluar perusahaan dan melapor ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal sepertyi yang saya katakan tadi, menurut UU No 22/1957, sarikat buruh silahkan berselisih dan berunding.
Jika melihat UU tadi, terkesan masih ada bau Belandanya. Untuk sekarang, adakah perubahan-perubahan signifikan?
Memang UU Perburuhan ini kita pakai sejak masa Belanda hingga sekarang. Dan untuk sekarang, pemerintah mulai berusaha sedikit demi sedikit merubah UU. Selain itu pemerintah juga meratifikasi konvensi International Labour Organization (ILO). Konvensi itu untuk melaksanakan kebebasan bersarikat di Indonesia.
Bagaimana mekanisme penentuan standar Upah Minimum Regional?
Untuk menentukan angka UMR/KHM (Kebutuhan Hidup Minimum), itu ada Surat Keputusan Menteri, yang di antaranya ada 43 item. Ke 43 item itu berisi mulai dari beras, kaos, sepatu, celana, ikan asin, meja, kursi dan seterusnya. Dan Komisi Pengupahan yang terdiri dari tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha dan sarikat kerja, itu nanti ke pasar untuk mencatat harga seluruh daftar kebutuhan buruh yang berjumlah 43 item tersebut.
Sedangkan pasar yang dikunjunginya tidak boleh satu, bisa dua, tiga dan seterusnya. Nanti mereka membuat perbandingan harga-harga barang dari masing-masing pasar. Selanjutnya, harga dari semua barang tadi ditotal dan hasilnya berapa. Nah, ini nantilah yang akan diusung oleh Bupati dan Walikota ke Gubernur untuk dipustuskan menjadi UMR atau KHM pada wilayah setemat. Ini merupakan upaya kita untuk meningkatkan kesejahteraan buruh.
Tapi kenapa hingga saat ini masih banyak yang mengabaikan UMR tersebut?
Itu memang satu problem tersendiri. Sebab perusahaan-perusahaan yang ada dalam tingkat II Kabupaten dan Kota, belum seluruhnya terkjangkau oleh sarikat buruh, itu satu masalah. Sehingga tidak ada sosial kontrol, belum ada yang selalu menegur pengusaha.
Selain itu masih banyak dari para pengusaha yang belum tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Misalnya Apindo Jawa Timur, Apindo Lumajang, Apindo Probolinggo dan seterusnya. Sehingga pembahasan soal KHM atau UMR mengalami hambatan, karena anggota Komisi Penguapahan selain pemerintah dan sarikat kerja adalah Apindo.
Kemudian juga tergantung dari laporan pihak sarikat buruh. Makanya Sarbumusi selalu minta kepada tenga kerja atau Sarbumusi daerah untuk membentuk sarikat kerja, atau bila tak bisa membentuk sarikat kerja, kami selalu menghimbau untuk memberikan informasi tentang nama perusahaan dan jumlah tenaga kerjanya.
Pandangan anda mengenai diskriminasi buruh perempuan dan laki-laki?
Sebagaimana UU Ketenagakerjaan No 12/1948, semua buruh baik laki-laki atau perempuan memiliki hak yang sama, baik soal jam kerja. Dalam UU yang terbaru juga ada (UU Ketenagakerjaan No 13/2003). Di sana dijelaskan bahwa kalau sudah lebih dari 7 jam, maka kelebihan jam ini disebut lembur. Ini juga tidak ada pilih kasih, baik perempuan atau laki-laki. Dan kesetaraan itu juga mengenai gaji.
Dalam UU Ketenagakerjaan, adakah aturan tentang buruh yang mengandalkan jasa pemikiran?
Saya kira yang diatur oleh UU itu hanya pengertian buruh, pekerja atau karyawan yang ada hubungan kerja dengan pengusaha dan menerima upah. Jadi saya kira hal itu belum ada. Jangankan itu, UU yang mengatur tentang Pembantu Rumah Tangga (PRT) saja hingga sekarang masih nggak ada. Tapi sekarang di antara kita sudah mulai panik memikirkannya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa UU Ketenagakerjaan juga berlaku bagi mereka (PRT). Hanya saja, tuannya kan tidak bisa disebut dengan pengusaha.
Ini masih jadi masalah. Padahal PRT itu bertahun-tahun kut majikan dan tidak ada batasan jam kerja. Total 24 jam mereka berkerja. Bahkan ketika sedang nyenyak tidur, kadangkala masih dibangunkan. Meski begitu ada juga yang mengatakan bahwa PRT itu ada hubungan kekeluargaan dengan majikannya. Nah ini lagi, kan repot. Ini masalah kita bersama.
Apakah fiqh pernah menawarkan konsep jasa pemikiran ke dalam UU?
Saya kira itu belum sama sekali. Karena itu kan menyangkut jasa. Selain itu belum ada masalah mengenai jasa pemikiran yang masuk ke Sarbumusi, dan menjadi problem.
Apa yang sudah dilakukan Sarbumusi dalam Advokasi buruh?
Kalau Sarbumusi memiliki tim advokasi, baik di pusat, provinsi hingga kabupaten dan kota. Selain itu juga ada Biro Pembelaan dan Perlindungan. Sehingga segala permasalahan yang telah terjadi selalu kita tangani, sepertyi ini (sambil menunjukkan beberapa berkas yang tengah ditangani beberapa stafnya, red) ini lagi menyelesaikan surat-surat kuasa/surat mandat untuk angket yang akan dilaksanakan dua hari mendatang. Saya kira hal itu sudah menjadi tugas rutin. Jadi Sarbumusi yang dilahirkan oleh NU ini memang ditujukan untuk menyelesaikan masalah-masalah ketenagakerjaan di mana warga NU banyak berada di sektor tersebut.
Adakah advokasi dalam wujud tawaran UU tandingan terhadap UU buatan pemerintah atau pengusaha?
Biasanya itu kita keluarkan bertepatan dengan keluarnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Pada waktu itu, biasanya parlemen mengundang kami. Mereka mengajak kami berdiskusi untuk memberikan pertimbangan. Saran dan segala macam. Jadi saat diberikan RUU tersebut kita juga membuat konsep yang selanjutnya kita berikan atau biacarakan dengan Menteri dan Parlemen.
Apakah UU Ketenagakerjaan No 13/2003 saat ini masih terdapat beberapa hal yang belum menyentuh nasib buruh?
Memang masih banyak masalah-masalah yang belum terangkat dalam UU tersebut. Sehingga lahirlah beberapa unjuk rasa saat penetapannya. Tapi kalau Sarbumusi membaca, apalah ya... saya kira itu harus kita terima terlebih dahulu. Agar masalah yang sebelumnya tidak terkatung-katung. Tapi sambil berjalan kita terus melihat di mana kelemahannya, dan baru kemudian kita berikan pertimbangan-pertimbangan kepada pemerintah.
Salah satu contoh dari kelemahan UU yang baru adalah soal Kontrak Kerja Waktu Tertentu (KKWT). Seperti enam bulan dikontrak, satu tahun dikontrak, sehabis itu dibuang saja tanpa ada pesangon. Nah ini juga masalah.

Wawancara Gordon Harahap, Ketua Sarbumusi Jawa Timur
Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 10 Th X/Agustus-Oktober 2003

Tidak ada komentar: