Sabtu, 27 Oktober 2007

BERGULAT DI TENGAH POLEMIK DAN KERASNYA KONFLIK

PERSOALAN buruh sangat penting untuk diperhatikan, karena masih banyak ketidakadilan yang menimpa sekian banyak buruh, terutama pada buruh anak dan perempuan. Maka harus ada upaya untuk membela mereka terutama bagi umat Islam yang memang banyak mencari nafkah di sektor ini.
Ketidakadilan itu bisa dilihat dari penderitaan para Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia, baik itu berupa perlakuan kasar majikan, sistem penggajian dan seterusnya. Seperti di Arab Saudi, di sana masih banyak orang yang bukan Arab dianggap sebagai jariyah, meski pun Raja Faishal sudah melarang tradisi ini. Karena instruksi ini belum bisa menyentuh sebagian masyarakat Saudi, sehingga para pemudanya mempunyai anggapan seperti kakek-kakeknya dahulu, pendatang dianggap jariyah. Nah, ulama di Indonesia harus tahu tradisi Saudi tersebut, dan Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) atau tokoh NU harus dapatmenjelaskan ke Saudi, bahwa hal demikian sudah selesai dan harus ditiadakan.
Sayang, fiqh masih menetapkan bahwa perempuan dilarang bekerja, karena persoalan mahrom. Apabila fiqh tetap saja begini, maka akan memberatkan perempuan. Pandangan ini tidak lepas dari pendapat ulama yang memandang perempuan dari sisi negatifnya saja, bukan sebaliknya. Padahal sekarang ini dunianya darurat dan memberikan ruang gerak kepada perempuan berbuat seperti laki-laki yang positif dalam mencari pekerjaan. persoalan nanti di perjalanan mereka terkena musibah, itu sama juga dengan lelaki yang tidak lepas dari musibah.
Karena itu, para ulama jangan terfokus pada persoalan mahrom saja. Seharusnya mulai saat ini ulama mencari fiqh yang membolehkan perempuan bekerja tanpa mahrom. Kalau masih dikaitkan mahrom, bapak saja susah mencarikan istrinya, apalagi makan untuk anak-anaknya. Makanya saat ini bagaimana kita menafsiri kembali ayat-ayat yang mempersempit ruang gerak perempuanitu. Karena perempuan—seiring berkembangnya pendidikan—lebih mudah mencari nafkah ketimbang laki-laki. Misalkan recruitmen karyawan bank, swalayan dan lainnya, pemilik modal lebih condong dan menerima perempuan daripada laki-laki.
Sesungguhnya dasar hukum yang membolehkan perempuan bekerja itu ada, yaitu man ‘amila ‘amalan shoolihan min dzakarin wa unsa. Ini jelas, selagi perempuan itu bekerja dalam pekerjaan yang baik itu tidak dilarang. Nah, apakah ini kemudian tidak dijadikan dasar hukum? Rasulullah saja tidak hanya memikirkan ibadah, tapi juga memikirkan masalah ekonomi seperti ketika melihat kabilah-kabilah dagang yang datang dari Syam ke Makkah, beliau berfikir bagaimana meningkatkan perekonomian masyarakat Makkah.
Sekarang ini masalah perburuhan cukup mendesak. Saya sedih melihat organisasi kita yang tidak bergerak, Sarbumusi. Kemarin ketika Gus Dur jadi Presiden, semuanya bergerak. Tapi ketika Gus Dur tidak lagi jadi presiden, satu persatu melemah. Karena itu ide-ide untuk mengangkat persoalan perburuhan di kalangan kita khususnya, seperti yang diangkat majalah ALFIKR ini, sangat kami sambut dan justru akan menghidupkan yang mati. Sejak zaman Belanda, ulama tidak mengurus buruh. Padahal kalau dilihat dari sisi devisa, masya Allah buruh itu sangat berjasa.
Dalam perspektif islam, buruh itu mengatur hak aamil (buruh), raddu al amal (imbalan kerja) dan hak daulah (negara), semua kita lihat. Misalnya dalam kasus mogok, mogok mana yang dibenarkan islam; apakah mogok model sosialis atau kapitalis.? Sosialis itu sampai menganggap perusahaan adalah hak dan bahkan milik buruh. Dalam pandangan buruh itu tidak dibenarkan. Karena Islam tidak hanya mengatur hak aamil, tapi juga hak raddu amal dan hak daulah. Bila itu terlaksana maka akan terjadi namanya ta’awun ‘ala birri wa taqwa (saling tolong-menolong untuk kebaikan dan peningkatan taqwa). Jadi pola hubungan antara buruh dan majikan seperti keluarga. Artinya satu kesatuan, sehingga majikan akan sedih bila melihat buruh yang tidak makan. Begitu pula sebaliknya, buruh akan sedih bila melihat majikannya bangkrut.
Pandangan Islam di atas sesuai dengan aa yang diajarkan Rosulullah. Karena Rosulullah memusuhi siapa saja yang sudah memperkerjakan seseorang, tapi belum dibayar. Begitu pun sebaliknya, kalau buruh yang melanggar kewajiban, ia juga akan kena sanksi. Karena barang siaa yang tidak memegang amanah, ia akan dihisab dengan keras.
UU Ketenagakerjaan yang ada selama ini masih banyak kepincangan-kepincagannya yang harus kita tanyakan; pihak mana merugikan pihak lain, atau buruh merugikan majikan dan sebaliknya. Dari situlah kita bisa memahami adanya ketimpangan-ketimpangan menurut Islam. Dan nanti kita rumuskan sebagaimana dalam pandangan islam dalam UU Ketenagakerjaan. Maka dari itu, di sinilah kewajiban partai-partai Islam atau partai-partai yang pengikutnya mayoritas Islam. Mereka dituntut agar tidak hanya berbicara hukum positif, tapi juga hukum Islam.
Lebih jauh, UU Ketenagakerjaan yang dibuat pemerintah itu hanya mengatur buruh yang bekerja di pabrik-pabrik. Sedangkan buruh itu luas, seperti orang-orang yang bekerja di pasar-pasar. Dan tentu saja mereka banyak mendapatkan ketidakadilan. Maka saya berharap Sarbumusi dapat memberikan perhatian yang cukup bagi mereka.
Selain itu harus ada dorongan dari ormas seperti NU dan Muhammadiyah dan oragan Islam lainnya. Cuma persoalannya sekarang, mereka enggan bersatu dalam memberantas ketidakadilan dan kemungkaran. Salah satu sebabnya adalah masih suburnya anggaan salah bahwa kelompok saya adalah yang paling benar. Dan demi keadilan, anggapan salah tersebut seharusnya mulai dihilangkan. Mari kita galang persatuan dan kesatuan dalam menghadapi perjuangan berat ini. Dengan bersatu kita telah berhasil membuat UU zakat. Kemudian, kenapa UU perburuhan kita tidak bisa?

Wawancara KH Irfan Zidni, Ketua Syuriah PBNU
Mahrus Syamweil, Abdul Aziz Anwar dan Badrus Sholeh
Dimuat di ALFIKR No 10 Th X/Agustus-Oktober 2003

Tidak ada komentar: