Sabtu, 27 Oktober 2007

FIQH PERBURUHAN: TANTANGAN BELUM TERSELESAIKAN

SEKILAS sejarah tentang peniadaan perbudakan, bisa kita lihat sejak Deklarasi Kaico yang ditelurkan oleh organisasi Konferensi Islam (OKI). Deklarasi ini berisikan tentang pengakuan hak-hak asasi manusia dalam Islam. Peniadaan ini tidak lepas sejarah peradaban manusia (sosial-budaya) yang mulai menyadari arti penting soal kesetaraan dan keberagamaan sebagai isu yang terus bergulir di tengah-tengah mereka. Bahkan sampai sekarang pun, isu ini menempati tempat yang strategis dan cenderung dominan.
Selain deklarasi Kairo, kita juga bisa menemukannya dalam The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi HAM) yang diresmikan pada tahun 1948. Bahkan jauh sebelum deklarasi HAM ditandatangani, Rasulullah SAW telah mendeklarasikan al-musawah baina annaas. Ini bisa kita jumpai dalam ajaran-ajaran Nabi Muhammad yang tentang kesetaraan manusia di hadapan Tuhan, tanpa ada diskriminasi antara bangsa Arab dan non Arab, kecuali kadar imannya. Dari sini kita bisa menyadari bahwa agama islam sejak kelahirannya sudah melarang terjadinya praktik perbudakan.
Titik tolak sejarah tersebut, dapat dijadikan ukuran untuk melihat kenyataan sosial-budaya yang dinamikanya tengah berlangsung sekarang. Terutama terhadap terjadinya berbagai kesenjangan sosial dan masalah-masalah diskriminasi dalam perburuhan.
Banyak pengamat mengatakan bahwa kenyataan praktik diskriminasi ini diakibatkan oleh sistem sosial-ekonomi yang kapitalistik. Posisi buruh sekarang, tidak jauh berbeda dengan budak pada masa feodal yang amat tergantung pada konglomerasi pemilik modal.
Keadaan buruh ini semakin dperparah dengan UU Ketenagakerjaan yang cenderung berpihak pada pemilik modal. Akibatnya buruh seringkali tidak bisa mendapatkan hak-haknya, misalkan pembayaran upah di bawah standar minimum regional (UMR), tidak mendapatkan jaminan sosial dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di luar waktunya.
Adapun beberapa contoh kasus tentang persoalan buruh ini, dapat dilihat dari kasus tewasnya Marsinah, buruh wanita PT Catur Putra Porong, Sidoarjo sepuluh tahun silam ketika ia memimpin rekan-rekan buruh untuk menuntut kenaikan upah, atau kasus 124 perusahaan di Jember yang tidak membayar upah sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK), (Kompas, 27/5/2003)
Dari sini perjuangan aksi terhadap nasib kaum buruh terus marak ketika ada momentum yang bisa di gunakan ke arah itu. Demonstrasi menjadi pilihan utama untuk mengusik kepedulian pemilik modal dan institusi negara yang berwenang. Tidak hanya itu, perlawanan buruh bergerak dinamis memasuki pertarungan wilayah kebijakan publik, wilayah yang selama ini tak terjamah. Sehingga hampir semua elemen-elemen sosial seperti non government organization (NGO) turut merespon dan mengambil langkah-langkah keberperanan untuk melakukan pendampingan dan pelayanan.
Melihat fenomena buruh tersebut, agama yang selama ini menjadi pegangan hidup, seharusnya sudah memiliki langkah-langkah signifikan untuk membela kaum buruh. Tak kecuali Islam. Karena selain sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamain, Islam juga selalu mengedepankan nilai-nilai al musawah dan al ‘adalah bagi setiap umatnya. Sehingga ia diharapkan bisa menjawab tantangan mengenai persoalan perburuhan ini.
Tapi sayang, hingga saat ini fiqh selaku hukum syari’ah-amaliyah dan mengatur tata cara hidup umat Islam dalam kehidupan praktis, ternyata belum ada yang khusus mengupas fiqh buruh, kecuali sedikit individu dan /ulama yang bergerak melalui wacana, belum pada tataran praktis apalagi konsep yang mengatur soal strategi dan mekanisme yang bisa dijadikan rujukan legal drafting.
Konsep al ijarah memang kerap menjadi rujukan para ulama kita manakala dihadapkan dengan persoalan perburuhan. Tapi bila konsep ini diterapkan pada konteks buruh saat ini, al ijarah terasa sempit untuk menengahi ersoalan buruh yang kian hari kian kompleks. Karena di dalam al ijarah sendiri, teksnya memang belum terlalu jauh dan rinci menjelaskan aturan-aturan mengenai jaminan sosial, jaminan hari tua dan lainnya yang berhubungan dengan buruh.
Keterbasan ini tetap menjadi masalah klasik, seperti adanya polemik bagi peremuan yang berperan di sektor punlik. Kenyataan yang terjadi, kaum buruh tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki, bahkan jumlah buruh perempuan melebihi laki-laki.
Tampaknya hal itu terjadi karena konstruksi sosial yang terus digugat oleh para aktivis gender. Karena budaya patriarkhi ini dianggap tidak memberikan solusi yang memadai di tengah multi-krisis yang terus berkepanjangan. Sehingga perempuan dituntut untuk ikut berpartisipasi dalam dunia kerja guna menambah kesejahteraan.
Selain itu memang ada bias pemahaman tentang istilah proletar/buruh (marxis), yang juga sering dijadikan alasan untuk tidak merumuskan fiqh perburuhan. Padahal jika melihat kaidah jalbul al masolih muqoddamun ‘alaa dar’i al mafaasid (mendahulukan mengambil yang maslahah dan menolak yang mafsadah), ajaran marxis itu bisa diambil sisi maslahahnya.
Melihat kendala ideologis-psikologis dan beberapa kendala lainnya, seperti belum adanya konsentrasi untuk mengkaji soal sektor perburuhan, seharusnya dijadikan tantangan tersendiri bagi kalangan akademisi dan intelektual pesantren untuk terus melakukan dialog soal isu perburuhan ini. Karena jika tidak ada respon positif dari kalangan ulama maupun intelektual NU-Pesantren, maka hanya akan menuai persoalan baru pada sektor tersebut.

Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 10 Th X/Agustus-Oktober 2003

Tidak ada komentar: