Kamis, 27 Desember 2007

TIGA PERJALANAN DAN PENGORBANAN

Arofah, Muzdalifah dan Mina bisa ditafsirkan sebagai Pengetahuan, Kesadaran dan Harapan. Tiga perjalanan ini membawa manusia munuju puncak tauhid melalui simbol kurban.

SEBELUM wuquf di Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah, para jamaah haji memotong rambut sebagai simbol ketundukan diri kepada Allah. “Tahallul merupakan simbol ketundukan kita kepada Allah. Karena rambut adalah lambang kebanggaan dan kehormatan manusia,” kata Prof Dr KH Said Agil Siradj di kediamannya, Jl Sadar Raya No 3A Rt 08/04 Cianjur.
Wuquf di padang Arafah yang dilaksanakan sejak tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijah, secara historis merupakan napak tilas sejarah pertemuan Adam dan Hawa di Jabal Rahmah. Dari pertemuan dan interaksi antara Adam dan Hawa ini, Dr Ali Syari’ati mengatakan bahwa Arofah adalah simbol pengetahuan. Menurutnya, percikan pertama dari cinta yang memancar dalam perjumpaan tersebut, mendorong mereka untuk saling memahami. Inilah isyarat pengetahuan yang pertama. Adam mengetahui bahwa istrinya memiliki jenis kelamin berbeda dan berasal dari sumber serta alam yang sama. Konsekuensinya, dari sudut pandang filosofis, eksistensi manusia sama tuanya dengan eksistensi pengetahuan; dari sudut pandang ilmiah, sejarah manusia dimulai dengan pengetahuan.
Saat malam mulai merayap, para jamaah haji berangkat ke Muzdalifah. Bila Arofah disebut fase pengetahuan, maka Ali Syari’ati menyebut Muzdalifah/Masy’ar sebagai fase kesadaran. Urutan ini, pengetahuan-kesadaran, bertolak belakang dengan pemahaman manusia umum yang memilih fase kesadaran mendahului fase pengetahuan. Tapi Ali Syari’ati menjelaskan bahwa Adam dan Hawa saat bertemu saling berbagi pendapat, mengkomunikasikan pemikiran-pemikirannya dan mencapai saling pengertian. Kehidupan individual mereka diakhiri dengan terbangunnya sebuah keluarga dan terciptanya cinta yang sadar. Persatuan dua manusia itu dimulai dengan pengetahuan, dan selanjutnya melalui evolusi pengetahuan maka semakin besarlah kesadaran manusia.
Di Masy’ar inilah, lanjut Ali Syari’ati, kekuatan pemahaman mudah diperoleh dengan cara lebih berkonsentrasi dalam keheningan malam. Karena itu, pekerjaan utama manusia adalah melakukan perenungan.
Senada dengan Ali Syari’ati, Aqilmengatakan bahwa Muzdalifah adalah waktu untuk berdzikir kepada Allah. “Di Muzdalifah untuk membesarkan Allah. Di Al Qur’an surah Al Baqarah: 198, tidak ada perintah mencari batu untuk melempar setan, tapi Nabi Muhammad saat di Muzdalifah mencari batu sebanyak 7 butir untuk jumratul aqobah pada tanggal 10.”
Perjalanan selanjutnya ke Mina. Sebagaimana arti katanya, harapan, peristiwa Mina menandakan cita-cita, idealisme dan cinta. Setelah menyiapkan batu-batu sebagai alat perang pada tanggal 10, tepat saat sang surya memancarkan semburat fajarnya, setelah sholat subuh, jama’ah haji berangkat ke Mina untuk melakukan pertempuran terhadap tiga berhala. Menurut Ali Syari’ati, ketiga berhala ini bisa dilukiskan sebagai Fir’aun (penindasan), Karun (kapitalisme) dan Balam (kemunafikan). Sementara Said Aqil Syiraj, menggambarkan setan sebagai segala sesuatu yang menjauhkan manusia dari kebenaran (Allah).
Setelah melewati godaan setan, para jamaah haji kemudian menyembelih hewan kurban dengan niat mengorbankan segala hal yang dicintainya demi cinta kepada Allah. Mereka menjadi Ibrahim, yang siap mengurbankan putra yang ia rindukan hampir seabad, dan Ismail yang siap merelakan nyawanya demi kepatuhan dan cinta kepada Allah semata.
Demikianlah haji, ibadah yang bisa menghantarkan manusia menuju makrifatullah dan revolusi lahir-batin. Dengan melepas ghorizatul ghotob dan ghorizatul syahwat, manusia menemukan dirinya sebagai insan atau ruh. Melalui ruh manusia bisa senantiasa merasa dekat dengan Allah. Ini kemudian akan memunculkan perubahan besar-besaran pada diri manusia yang di kehidupan sebelumnya penuh dengan belepotan dosa.
Tapi haji bukanlah akhir perjalanan spiritual manusia. Seperti dikatakan Prof Dr Ahmad Mubarak, MA, haji adalah bentuk sebagaimana shalat, puasa dan zakat. Adapun subtansinya adalah komunikasi dengan Allah di tiap hembusan nafas...*

Adib Minanurrachim

Dimuat di SC Magazine No V

Tidak ada komentar: