Mendidik santri dengan uswah, usbah dan dakwah
MINGGU sore (05/08), cuaca cerah merias wajah Pondok Pesantren al Amin Prenduan Sumenep Jawa Timur. Di bawah langit biru yang mulai tergores semburat jingga mentari, pohon-pohon kelapa dan palem berjejer rapi di sepanjang jalan menuju lokasi pesantren. Sementara wajah-wajah ramah para santri menyambut kedatangan dua wartawan SC yang masuk menuju pesantren. Sampai di pintu gerbang, seorang santri menyambut dan mengantar ke ruang tamu di kantor pesantren.
Sepanjang jalan menuju kantor pesantren, tampak beberapa santri menikmati aktivitas mereka masing-masing. Ada yang asyik ngobrol dengan bahasa arab atau inggris di bawah pepohonan kelapa di samping masjid, membaca koran yang tersedia di majalah dinding dekat asrama santri, ada pula yang bercanda sambil berkejar-kejaran.
Adzan shalat ashar berkumandang. Para santri bergegas masuk kamar. Berganti pakaian, mengenakan sarung dan kopiah, mengambil wudhu, lalu melangkah menuju ke masjid yang megah di tengah pesantren, menunaikan shalat ashar berjamaah.
Sementara seorang ustadz yang mengetahui kedatangan SC menyambut ramah dan mempersilahkan beristirahat di dalam kantor pesantren. “Wa’alaikum salam. Silahkan tunggu sebentar. Kiai Idris masih menjadi imam di masjid,” sambut ustadz Jakfar, pengurus bagian humas Pesantren al Amin. “Ya akhi, khudzi al qohwah lidhoif (ya saudaraku, ambilkan kopi untuk tamu),” pintanya kepada salah satu santri.
Selang 30 menit, KH Muhammad Idris Jauhari, wakil direktur Pesantren al Amin, datang dan mempersilahkan SC untuk masuk ke ruang pandapa di samping kediamannya. Kepada SC, Kiai yang berpenampilan sederhana ini bercerita tentang Pesantren al Amin dan pola pendidikan yang diselenggarakannya.
“Sasaran utama pendidikan itu adalah hati. Karena itu kita lebih mementingkan pendidikan spiritual,” kata Kiai Idris. Menurutnya, pendidikan yang ditujukan pada hati akan membentuk akhlak yang mulia. Ini sesuai dengan hadist Nabi, bila hati seseorang itu baik, maka baik pula pikiran dan tingkah lakunya. Sementara bila hatinya buruk, maka buruk pula pikiran dan tingkah lakunya.
Mengingat sasaran utama pendidikan adalah hati, Kiai Idris mengatakan, syarat utama yang harus diterapkan adalah memberikan keyakinan pada calon santri. “Jadi santri yang ke sini harus yakin, bahwa pilihannya benar dan diridhoi Allah. Ini dilakukan melalui talkin. Setelah itu, baru kita bisa menggarap unsur-unsur spiritualnya,” lanjutnya.
Untuk memperkokoh sisi spiritual para santrinya, Kiai Idris menerapkan tiga nilai dasar yang sudah menjadi nafas sehari-hari pesantren al Amin, yaitu uswah, usbah dan dakwah. “Pertama, jangan beri contoh jelek. Bila kiainya bohong dan seterusnya, ini awal kehancuran proses pendidikan. Kedua, pernahkah anda mendengar istilah murid Nabi? Yang ada hanyalah sahabat. Proses pendidikan yang benar, hubungan antara pendidik dan yang dididik adalah sahabat. Bukan top down. Ana waahidun minhum (aku satu kelompok dengan mereka), kata Sayyidina Ali ra. Ketiga, di mana pun anda berada maka lakukanlah dakwah. Bila ada anak yang nakal, tegurlah. Waltakum mingkum ummatun yadu’uuna ilal khoiri (hendaklah sebagian dari kalian menjadi ummat yang mengajak pada kebaikan). Bila ketiga nilai ini dilakukan dengan baik dan istiqomah, nilai-nilai spiritual akan berlangsung secara otomatis,” jelasnya.
Meski Pesantren al Amin memiliki pondasi spiritual yang kokoh, Kiai yang terkenal low profile ini tidak ingin jumawa. “Soal hasil, itu tergantung Allah. Karena tak sedikit anak yang mulanya dididik dengan baik, ternyata pada usia dewasa menjadi jelek. Tapi demikian, usaha untuk menjadikan anak menjadi baik itu tidak boleh berhenti. Karena Allah Maha Pemurah dan Maha Pemberi Rahmat,” kata Kiai Idris sambil tersenyum.
***
ADZAN Maghrib berkumandang. Kiai Idris mengajak SC untuk berjamaah di masjid bersama para santri. Setelah shalat, para santri mengaji dengan membentuk kelompok di sekitar halaman masjid. Selang 45 menit, para santri membubarkan diri dan bersiap menunaikan ibadah sholat Isya berjamaah.
Seusai sholat Isya, para santri berhamburan menuju koperasi makan di dalam pesantren. Suasana riuh terdengar dalam koperasi. Ada canda dan tawa. Mereka makan bersama-sama. Ada yang duduk di meja makan dalam koperasi. Ada yang memilih duduk di sebuah gardu yang terletak di samping koperasi. Ada pula yang jongkok berkelompok di luar koperasi. Nuansa persahabatan terasa kental di antara mereka.
Sementara ustadz Jakfar yang menemani SC di ruang tamu pesantren, bercerita tentang keribadian Kiai Idris yang konsisten memberikan uswah kepada santri-santrinya. “Seringkali Kiai Idris menegur kami melalui uswah. Misalkan saat melihat halaman masjid kotor, sementara para santri asyik bercanda, maka Kiai Idris seringkali langsung membersihkannya sendirian,” cerita Jakfar.
Lebih jauh, Jakfar juga bercerita bahwa Kiai Idris terkenal sebagai konseptor dan penulis di lingkungan Pesantren al Amin. Beberapa buah karyanya antara lain buku Hakikat Pesantren, Mencetak Muslim Multi Terampil, Pembudayaan Hidup yang Islami, Anak Muda Menjadi Sufi, dan lainnya. “Dari uswah dan karyanya tersebut, alhamdulillah para santri bisa lebih sadar akan kewajiban-kewajibannya sebagai santri yang selain harus tekun belajar juga harus menjaga akhlak,” jelas bapak tiga putera ini.
Salah satu buku Kiai Idris yang menarik adalah Anak Muda Menjadi Sufi. Dalam buku tipis tersebut, Kiai Idris menjelaskan tentang langkah-langkah menjadi seorang mutasowwif (orang yang berjalan di jalan tasawuf). Menurutnya, langkah-langkah yang perlu diperhatikan untuk menjadi mutasowwif adalah, Iyqon an-Nafs (meyakinkan diri), Taqwim an-Niyyah (meluruskan niat), at-Tafakkur wa at-Tadabbur (berpikir dan merenung), at-Takhollli wa at-Tahalli (membersihkan dan menghias diri) dan at-Tajalli (menampak).
Menurut penjelasannya, yang dimaksud dengan Iyqon an-Nafs adalah iman. Dalam konteks tasawuf, iman harus dimulai dari upaya meyakinkan diri sendiri bahwa ia bisa menjadi mutasowwif. Kedua, menurut beberapa ulama sufi, niat selalu mencakup awal dan akhir dari suatu perbuatan. Meliputi latar belakang, motivasi dan tujuan. Setiap melakukan pekerjaannya, seorang sufi selalu berniat, minimal untuk tiga tujuan utama, niat semata-mata untuk beribadah kepada Allah (mu’amalah ma’a Allah), niat memantapkan diri sebagai kholifah Allah dengan cara mengkaji apa pun yang ditemuinya (mu’amalah ma’a an-nafs), dan niat bersilaturrahim dengan siapa pun dan apa pun, baik langsung maupun tak langsung (mu’amalah ma’a annas wa al-biah).
Ketiga, seorang sufi selalu berupaya untuk memahami dan mendalami subtansi dari apa pun yang dia lihat, dengar, rasakan atau pun yang dia lakukan. Dia tidak akan puas dengan hal-hal yang bersifat lahiriyah, seremonial dan formal. Sehingga tidak mudah tertipu dengan kulit luar. Keempat, dalam melaksanakan proses meyakinkan diri, meluruskan niat, melakukan istithla, tafakkur dan tadabbur, seorang sufi selalu berusaha untuk membebasakan dirinya dari penyakit hati macam takabbur, ‘ujub, riya’, hasud, tama’, malas, ghibah, buhtan, fitnah dan sifat-sifat lain yang bisa merongrong dan membatalkan amal ibadahnya. Dan pada saat yang sama, dia selalu berusaha untuk menghiasi dirinya dengan peningkatan amal-amal sholeh dan akhlak mulia. Kelima, bila keempat proses sebelumnya bisa dilaksanakan dengan istiqomah, seorang sufi akan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya dan sekitarnya, kapan saja, di mana saja dan dalam situasi bagaimana pun. Setiap yang dia lihat, dengar, rasakan dan lakukan, suka dan duka, karunia dan musibah, kalah dan menang, dia selalu merasakan adanya kebesaran, keagungan dan keadilan Allah swt. Bila demikian, jiwanya telah mencapai posisi muthmainnah, yang ridho terhadap segala sesuatu yang ditaqdirkan Allah kepadanya, sehingga dia diridhoi Allah. Itulah puncak dari kehidupan seorang muslim yang sufi. Proses tajalli inilah yang dalam tasawuf dikenal dengan nama makrifah.
***
PUKUL 21.00 wib, terdengar suara bel petanda usainya kegiatan. Para santri bergegas kembali menuju ke kamar mereka masing-masing. Sementara suara Kiai Idris terdengar bijak dari speaker-speaker yang terdapat di masing-masing kamar para santri. Memberikan tausyiah dan do’a kepada para santri-santrinya serta mengingatkan mereka untuk senatiasa bangun malam untuk mendirikan shalat tahajud...*
Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol V
Tidak ada komentar:
Posting Komentar