Kamis, 27 Desember 2007

JEJAK PENDIDIK DAN DA’I INTELEKTUAL

Ia bertekad mengabdikan diri kepada pendidikan dan dakwah demi meningkatkan kualitas sumber daya bangsa Indonesia yang bertauhid kuat dan memiliki intelektual tinggi.

MENTARI mulai merapat ke ufuk barat. Semburat jingga terpancar di sela-sela pepohonan yang tumbuh rindang di bagian kiri kediaman Dr. Ir. Muhammad ‘Imaduddin Abdulrahim, MSc. Kediaman tokoh Muhammadiyah yang akrab dipanggil Bang Imad itu terletak di Jl Bulak Raya No 33 Klender Jakarta Timur. Sesaat setelah teruluk salam, seorang wanita paruh baya keluar dari rumah menyambut kedatangan SC, lalu mempersilahkan masuk ke ruang tamu.
Seperti umumnya rumah cendikiawan muslim, tata ruang tamu rumah Bang Imad tersesaki dengan buku-buku ilmiah dan agama. Sebagian besar buah karyanya tentang tauhid. Sementara di bagian dinding terdapat beberapa foto Bang Imad dan keluarga, serta foto-foto saat menghadiri beberapa pertemuan, baik dengan pejabat negara atau tokoh masyarakat.
Tak lama kemudian datang seorang ibu yang memperkenalkan dirinya sebagai istri Bang Imad bernama Lailatul Qudsiyah. Sambil tersenyum ia menyambut ramah. Namun setelah mengetahui maksud kedatangan SC, raut mukanya berubah. “Maaf, bapak tak mungkin diwawancarai karena sedang kena stroke,” jawabnya pelan. “Tapi bila saudara-saudara hendak memotret, itu tak masalah,” lanjutnya.
Pukul 16.30, dengan dipapah istri dan putranya, Bang Imad datang menghampiri SC. Setelah duduk dan mengatur posisinya, Bang Imad menebar senyum dengan agak susah. Sore itu ia mengenakan pakaian gamis berwarna coklat susu. Keadaan cendikiawan muslim yang terkenal konsisten memperjuangkan tauhid ini cukup memprihatinkan. Kedua kaki dan tangannya sudah tak leluasa digerakkan. Mulutnya pun tak bisa difungsikan dengan baik. Ia lebih banyak mendengar dan menjawab dengan isyarat yang kemudian diterjemahkan oleh istri dan putranya. Meski tubuhnya tak sehat karena stroke yang ia derita sejak beberapa bulan lalu, tapi sorot mata Bang Imad masih memancarkan semangat hidup yang luar biasa. Guratan-guratan di wajahnya yang menua masih menyisakan ketegasan.
***
BANG Imad lahir di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Timur 21 April 1931. Sejak kecil ia hidup di lingkungan santri. Ayahnya, Tuan Syeikh Abdulrahim adalah Direktur Madrasah Tsanawiyah-Aliyah Al Masrullah dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA), serta Ketua Masyumi Langkat. Sebagai satu-satunya anak laki-laki, Bang Imad begitu disayang. Ia harapan keluarga agar kelak bisa mewarisi darah keulamaan ayahnya. Karena itu, sejak kecil ia memperoleh pendidikan yang keras penuh disiplin.
Pola pendidikan yang ia peroleh dari ayahnya, seperti tafsir Al Qur’an, berbentuk diskusi. Beberapa ayat Al Qur’an terpilih dibacakan dan dijelaskan asbab al-nuzul, lalu disampaikan tafsirannya. Sementara Bang Imad diberi keleluasaan untuk bertanya. Selain menggeluti pendidikan agama, ia juga sekolah di Hollands Inlandsce School (HIS). Di sini ia tidak sampai tamat karena pada Maret 1942 tentara Jepang menduduki seluruh wilayah Sumatera Timur. Selanjutnya di SMP Afdeling dan SMA Negeri Jalan Seram di Medan.
Sejak usia remaja, Bang Imad sudah akrab dengan kegiatan organisasi dan perjuangan. Saat berada di bangku SMA ia mendirikan organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) wilayah Sumatera Utara dan pernah menjadi anggota Hizbullah (organ pemuda Masyumi).
Ketika berada di PII, ia mengagumi pemikiran perintis kemerdekaan, Sjahrir, yang peduli terhadap generasi bangsa dan mengundangnya berpidato di sekolahannya. Sementara saat kuliah di Institut Tekhnlogi Bandung (ITB) dan menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ia pernah bertemu Bung Hatta di Bandung. Kala itu ia beserta kawan-kawan HMI mengkritik Bung Hatta yang membiarkan Soekarno berjalan ke arah kediktatoran dengan meninggalkan kursi Wapres. Mendengarnya, sambil tersenyum Bung Hatta menjelaskan bahwa bangsa Indonesia saat itu belum bisa diajak berdemokrasi, karena rakyatnya belum mampu membedakan antara hak dan kewajiban. Sehingga politik kurang tepat untuk dibicarakan. Yang lebih dibutuhkan bangsa saat itu adalah pendidikan. Bung Hatta lalu menganjurkan agar Bang Imad dan kawan-kawanya tidak langsung terjun ke politik, tapi harus belajar menjadi ahli tekhnologi atau ilmu pengetahuan lainnya terlebih dahulu, agar kualitas umat Islam bisa terangkat naik.
Pertemuan dengan Bung Hatta di Ujung Berung Bandung tersebut, ternyata membekas di hati Bang Imad. Anjuran Bung Hatta agar terlebih dahulu melakukan pendidikan terhadap bangsa Indonesia, akhirnya melahirkan tekad di hatinya untuk mengabdikan diri terhadap dunia pendidikan dan dakwah. Terlebih setelah menyadari kaum intelektual Islam sangat sedikit jumlahnya, padahal merupakan mayoritas.
Dus, setelah diangkat menjadi Wakil Ketua Yayasan Pembina Masjid Salman Institut Tekhnologi Bandung (ITB), fokus pikiran Bang Imad adalah melakukan kaderisasi bagi masyarakat agar lahir generasi yang jujur, amanah dan takwa kepada Allah. Keseriusannya dalam pendidikan dan dakwah tidak hanya dilakukan di lingkungan Masjid Salman, tapi juga di HMI dan kampus-kampus di luar ITB serta masyarakat umum. Untuk efektifitas tugasnya, ia mendirikan dan sekaligus menjadi Ketua Korp Mubalig HMI Cabang Bandung. Lembaga ini selanjutnya menjadi Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (PP LDMI) setelah Kongres HMI di Solo.
Metodologi penyampaian yang biasa digunakan Bang Imad adalah diskusi dan kajian intensif. Sementara inti dakwahnya adalah tauhid, yang menurutnya bisa menciptakan tatanan masyarakat yang takut kepada Allah dan menghindarkan masyarakat dari perbuatan merugikan. Materi tauhid ini kemudian terkenal dengan sebutan tauhid uluhiyyah.
Inspirasi tauhid sebagai inti dakwah diperoleh Bang Imad dari surah Ali Imron ayat 190, “sesungguhya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.”
Ayat yang menggambarkan fenomena alam tersebut, pernah ditangiskan Rosulullah SAW. Ceritanya, di suatu subuh, para sahabat sedang menunggu Rosulullah untuk sholat berjamaah. Tapi Rosulullah tak jua datang. Akhirnya Bilal datang menjenguknya. Setalah masuk ke kamar, seketika Bilal tercengang. Ia melihat Rosulullah berbaring di atas pembaringan dengan berlinang air mata. Lalu Bilal memberanikan diri mendekat dan bertanya sebab peristiwa yang dialami Rosulullah.
“Celakalah, hai Bilal, orang yang membaca Al Qur’an surah Ali Imron ayat 190 itu, tapi tidak memfikirkan bagaimana makusdnya,” sabda Rosulullah.
Kekhawatiran yang sempat menunda sholat subuh Rosulullah itulah yang menimbulkan inspirasi perjuangan Bang Imad. Ia bertekad menyampaikan pesan tauhid yang merupakan sumpah setia manusia kepada Allah sejak diciptakan pertama kali (ruh). Tauhid adalah nilai dasar kehidupan yang akan menuntun manusia dan berkembang di dunia, serta mengantarnya pulang kembali ke pangkuan Ilahi.
Konsep tauhid itu lalu dikembangkan Bang Imad berdasarkan Al Qur’an dan Hadist, dan menyebarkannya melalui ceramah dan seminar untuk mendapatkan kritik dari umat agar konsepnya mencapai kematangan. Dari ceramah-ceramah dan kritikan itu, ia kumpulkan menjadi buku dengan judul Kuliah Tauhid.
Selain itu, dengan dilhami buku Mujahid Dakwah karya KH Isa Anshari (ayah Endang Syaifuddin Anshari, salah satu penyusun Nilai Dasar Perjuangan HMI selain Bang Imad, Nurcholish Madjid dan Sakib Mahmud), ia mengembangkan konsep tauhid ke dalam paket-paket pelatihan yang bertujuan melatih dan kaderisasi, khususnya para mahasiswa agar senantiasa menghidupkan ruh tauhid. Pelatihan ini terkenal dengan nama Latihan Mujahid Dakwah (LMD), dan telah ia lakukan di beberapa benua baik Asia, Amerika, Eropa dan Australia.
***
MENJADI seorang da’i yang teguh dan konsisten menyuarakan kebenaran tauhid bukan tanpa halangan. Selama perjalanan berdakwah, acapkali Bang Imad memperoleh halangan dan bahkan pernah dijebloskan ke penjara Nirbaya Jakarta Timur tanpa pengadilan, dengan tuduhan sebagai dalang dari gerakan mahasiswa ITB menjelang Sidang Umum MPR 1978. Tuduhan ini lantaran ia merupakan tokoh (dosen) di lingkungan kampus ITB dan sekaligus pendiri Masjid Salman, tempat berkumpulnya para aktivis islam.
Penahanan Bang Imad akhirnya berakhir pada Bulan Juli 1979. Namun ia dilarang memberikan ceramah kepada mahasiswa. Seluruh kegiatan diawasi dengan ketat oleh intel. Tapi setelah beberapa bulan berada di bawah pengawasan intel, akhirnya Bang Imad memperoleh kabar baik. Melalui Muhammad Natsir, pendiri Masyumi, ia memperoleh beasiswa dari Kerajaan Arab Saudi untuk meneruskan jenjang pendidikannya ke Iowa University, Amerika Serikat. Di negerei Paman Sam ini ia memilih jurusan Management of Human Resources, sebuah jurusan yang ia pilih untuk menjawab anjuran Bung Hatta dan keprihatinan beberapa tokoh Islam terhadap kualitas sumber daya umat Islam Indonesia.
Setelah memperoleh gelar S3 pada 1985, Bang Imad pulang ke tanah air. Beberapa bulan di Indonesia, bersama dengan almuni Masjid Salman ITB, seperti Ir. Hatta Rajasa, Ir Bambang Sukarsono dan Ir Alimin Abdullah, ia mendirikan Yayayasan Pembina Sari Insani (Yaasin). Selain itu, bersama Aswab Mahasin (pemred majalah Prisma) dan beberapa cendikiawan muslim liannya, ia menjadi pencetus berdirinya Ikatakan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).
***
MENGINJAK usia senja, tingkat kesibukan Bang Imad bukannya mereda, tapi malah meningkat. “Abang memang kurang memperhatikan kondisi fisik bila sudah bersentuhan dengan dakwah,” ujar Lia, panggilan Ibu Lailatul Qudsiyah.
Kelalaian terhadap kondisi fisik ini, akhirnya melahirkan beberapa penyakit. Di antaranya ia pernah mengalami ganguan jantung, iritasi ginjal dan pembuluh darah dalam otaknya dipenuhi oleh gelembung-gelembung yang menghambat penyaluran darah dari jantung ke otak. Dalam perjalanan usia dan seiring meningkatnya intensitas pekerjaannya, penyakit terakhir ini makin parah dan mengakibatkan Bang Imad terkena stroke.
Demikianlah kisah salah satu pendidik dan da’i Indonesia. Meski saat ini penyakit stroke masih ia derita, tapi sorot mata dan pancaran wajahnya masih menyisakan semangat untuk segera sembuh dan kembali berjuang menyerukan tauhid kepada segenap umat Islam...*

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No V

Tidak ada komentar: