Kamis, 27 Desember 2007

SANLAT RAMADHAN JAMA’AH SHALAT KHUSYU: KADERISASI SPIRITUALIS

Nikmat bertemu Tuhan adalah tingkat kebahagiaan tak ternilai. Hanya kesungguhan dan totalitas diri bisa menggapainya. Ustadz Abu Sangkan melatih jama’ah shalat khusyu meraih kebahagiaan itu lewat shalat, sekaligus melakukan kaderisasi demi lahirnya masyarakat spiritualis.

PAGI pukul 05.00 wib, seusai menunaikan ibadah shalat subuh, para jama’ah shalat khusyu duduk dengan khudhu dalam ruangan Aula Srikandi di Bumi Perkemahan dan Ghraha Wisata (Buperta) Cibubur Jakarta Timur. Di hadapan mereka berdiri Ustadz Abu Sangkan. Sambil menebar senyum, ustadz berpenampilan rapi ini membacakan lafadz laa ilaha illa Allah dengan irama lambat, lalu bertanya pada jamaah, “apa yang anda ingat?” Seorang jamaah yang duduk di pojok ruangan menjawab, ia teringat nuansa musala kampung dengan bacaan syahadah yang malas dan rasa kantuk. Kemudian ustadz yang akrab di sapa ABS ini mengganti irama syahadah dengan irama bersemangat, lalu bertanya lagi pada jamaah. Seorang jamaah yang berada di tengah-tengah menjawab bahwa ia turut bersemangat kala mendengar bacaan tersebut. “Nah, inilah letak perbedaannya,” jawab ABS. “Ini merupakan pengaruh irama. Sama ketika kita mendengarkan musik Mozart. Tapi Mozart berbeda dengan Al Qur’an. Bila Mozart hanya melahirkan kecerdasan emosional, sementara Al Qur’an bisa sekaligus memperoleh kecerdasan spiritual. Bila Mozart hanya menyajikan ruang, Al Qur’an sekaligus menyuguhkan makna,” jelasnya.
Tanya jawab di atas adalah salah satu dari rangkaian acara Pesantren Kilat (Sanlat) Ramadhan yang diadakan jama’ah shalat khusyu di Aula Srikandi Buperta Cibubur Jakarta Timur pada 28-29 September lalu. Menurut R. Iman Tauchid, Ketua Yayasan Shalat Khusyu sekaligus ketua panitia, acara tahunan ini terdiri dari para jamaah yang sebelumnya pernah mengikuti pelatihan shalat khusyu dan merupakan perwakilan dari beberapa daerah di seluruh Indonesia. “Pesertanya terbatas, sekira 180 orang. Mereka merupakan perwakilan dari tiap daerah atau ketua-ketua halaqah. Harapannya, sepulang dari acara ini mereka bisa menjadi trainer-trainer handal di daerahnya masing-masing,” katanya.
Pernyataan Iman tentang lahirnya trainer kompeten di tengah-tengah masyarakat, sekilas tak berbanding lurus dengan format acara yang lebih mengarah pada pengajian kilat. Ini tergambar dari spanduk yang terbentang di dalam ruangan acara yang dipenuhi aroma bunga sedap malam. Di situ tertulis Sanlat Ramadhan. Bukan Train of Trainer (TOT). Tapi demikian, Iman mengatakan bahwa materi yang diberikan kepada peserta Sanlat Ramadhan berbeda dengan materi yang diberikan kepada peserta biasa. “Materi yang diberikan lebih bersifat pendalaman. Karena di antara mereka adalah ketua halaqoh atau SC daerah. Misalkan ada H Taba Iskandar dari SC Batam, Pak Usman dari Samarinda, Pak Fahri dari Jember, H. Muh Imran Yusuf dari Makassar dan lainnya,” lanjut suami dari Ny Nunung Nuryanti ini.
Pendalaman materi yang dimaksud Iman tergambar dari materi awal yang disampaikan ABS di awal acara yang dimulai pukul 19.00 wib. Di dalam ruangan berukuran sekira 15 m x 10 m tersebut, ABS membedah esensi puasa. “Puasa merupakan ibadah yang tak ada bacaannya. Puasa itu bukan terawaih, tadarus dan lainnya. Puasa adalah mempertahankan kecenderungan nafsu terhadap segala sesuatu yang dilahirkan dari tanah, melalui kesadaran bahwa kita sebenarnya berasal dari tanah. Proses mempertahankan diri ini akan menjadikan jasmani kita lemah. Tapi setelah 3-4 hari kita akan mengalami kebugaran. Nah itulah penemuan ruh. Karena puasa merupakan meditasi untuk kembali menjadi fitrah, kembali pada esensi ruh yang suci dan tak terbatas oleh ruang dan waktu,” kata ustadz berpenampilan low profile ini.
Lebih jauh, Iman mengatakan bahwa ABS juga memberikan materi seputar psikologi massa. “Diberikan juga materi soal bagaimana menghadapi massa melalui sharing pengalaman. Saya sendiri, dulu pernah memberikan solusi. Misalkan saya menyuruh seseorang untuk membeli bakso dan teh manis di sebuah toko pizza. Melakukan tugas ini, orang pasti berdebar-debar karena barangnya kan tidak ada. Dia pasti menduga-duga reaksi dari waiternya, marah atau bagaimanalah. Jadi ini terkait dengan niat. Nah dalam hal ini, Ustadz Abu tadi juga menyampaikan, bila kita memiliki keyakinan akan kebesaran Allah, kita tidak akan kebingungan soal dana pelatihan shalat khusyu,” tutur pria yang berprofesi sebagai konsultan hukum ini.
Sementara itu, salah satu peserta yang sudah mengenal dan mendalami shalat khusyu bercerita kepada SC, bahwa ia telah merasakan kesegaran ruhani yang sebelumnya dicari sejak usia muda. “Alhamdulillah, ini merupakan pencarian saya tentang tazkiyatun nafs sejak usia 19-20 tahun. Waktu itu saya kan mencari melalui berbagai buku dari ulama-ulama Martapura mengenai makrifatullah di mana saya tidak pernah paham. Tapi saat ini banyak terjawab. Ini lho kita mati, kembali kepada Allah, mati sebelum mati atau dalam istilah Al Qur’an antal maut qoblal maut, matikan dirimu sebelum kamu mati,” kata Mohamad Nasir, peserta dari Mimika Papua.
Dari pengalaman spiritual tersebut, Iman berharap bahwa para peserta Sanlat Ramadhan nantinya bisa menyebarkan ajaran shalat khusyu ke tengah-tengah masyarakat. “Saya benar-benar berharap para peserta bisa mengembangkan ajaran ini. Karena bila masyarakat sudah bisa menikmati shalat dan bisa membuktikan bahwa shalat itu mencegah kemungkaran, bangsa ini bisa bangkit dari keterpurukannya. Habis dengan apa lagi kita berjuang memperbaiki bangsa ini bila tidak melalui shalat? Saya yakin, kita bisa memperbaiki bangsa ini melalui shalat khusyu yang melahirkan akhlakul karimah. Dan itu tidak susah,” kata bapak tiga putra ini.
Mendengar ajakan tersebut, Taba Iskandar, salah satu peserta Sanlat Ramadhan dari Batam menyatakan bahwa setelah ia merasakan kesegaran ruhani dari shalat khusyu, secara pribadi ia tergerak untuk menyebarkan kenikmatan shalat kepada keluarga dan lingkungan di sekitarnya. “Saya punya obsesi—paling tidak—saya bisa mengajak keluarga dan lingkungan terkecil di sekitar saya untuk bersama-sama melaksanakan shalat khusyu. Karena bila masyarakat dan para pejabat itu shalatnya khusyu, saya yakin kita tidak akan mengaami kesulitan untuk membangun bangsa ini. Karena selalu mendapat bimbingan dari Allah,” kata pria yang berprofesi sebagai anggota DPRD Kepulauan Riau ini.*

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine No IV

Tidak ada komentar: