Kamis, 27 Desember 2007

MENUJU BANGSA PEMERDEKAAN

Sudah 62 tahun Indonsia merdeka. Sudah 62 tahun pula bangsa ini berjuang berdarah-darah membangun nation-state. Bagaimana hasil pembangunannya?

BULAN Agustus adalah bulan kemerdekaan. Waktu bersejarah di mana negara ini lahir setelah Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), 17 Agustus 62 tahun lalu.
Menanggapi hari kelahiran negara Indonesia, Effendi Gazali, Ph.D., MPS ID, Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI, mengatakan bahwa hari kemerdekaan adalah tonggak terpenting untuk melakukan evaluasi terhadap perjalanan bangsa Indonesia. “Komunikasi politik terpenting dalam kemerdekaan adalah bagaimana seorang pemimpin seperti presiden atau kepala daerah, selalu mengevaluasi dan memperbaiki janji-janji politik yang mereka lakukan pada masa pemilu; apakah sudah bisa memerdekakan rakyatnya dari jabatan yang ia emban, baik dari janji-janji kampanye atau sebagai pejabat yang memiliki amanah,” katanya kepada SC. Magazine setelah meneyelesaikan shooting Republik Mimpi di Metro TV.
Pernyataan penggagas parodi politik Republik Mimpi itu tampaknya berangkat dari kondisi bangsa Indonesia. Meski perbaikan-perbaikan terus dilakukan baik dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, hukum dan politik, tapi kondisi bangsa Indonesia masih belum bisa dikatakan sejahtera sebagaimana cita-cita para founding father yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Misalkan dalam bidang ekonomi. Naiknya harga beras, minyak goreng dan susu merupakan fakta yang memposisikan rakyat kecil makin terjepit.
Krisis barang kebutuhan pokok tersebut, diyakini beberapa pengamat sebenarnya bisa dihindari jika program departemen seperti revitalisasi pertanian berjalan dan segala distorsi yang terjadi di setiap kegiatan produksi, pengadaan dan distribusi bahan pokok tersebut berjalan.
Kekhawatiran tentang terjadinya distorsi itu, sebenarnya sudah diatasi dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 115/-MPP/Kep/2/1998, 27 Februari 1998, yang mengatur mengenai penyediaan barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, kedelai, jagung, gula dan minyak goreng. Tapi herannya, bangsa ini tidak pernah lepas dari masalah-masalah sembako yang pasokannya sering menghilang, kalau tidak, harganya melonjak. Kondisi ini akhirnya memposisikan kondisi rakyat kecil makin terjepit. Lebih jauh, kondisi ini juga melemahkan semangat para petani yang acapkali merugi karena hasil panen tak sesuai dengan modal tanam.
“Sejauh ini Bulog belum banyak berperan. Misalkan sebelum petani panen harga bawang adalah Rp 20.000,00. Tapi begitu panen mendadak harga bawang menjadi rendah, hanya Rp 10.000.00. Ini sangat melemahkan semangat petani untuk meningkatkan hasil panen. Seharusnya yang Rp 20.000,00 ditetapkan. Sementara sisa barangnya dibeli Bulog. Jadi rakyat itu menjualnya ke Bulog. Lalu Bulog menyimpannya untuk dijual ke masyarakat. Tapi saat ini yang terjadi kan malah sebaliknya, bagaimana uang Bulog itu dikorup sedasyat-dasyatnya,” kata Prof. Dr KH. Didin Hafiduddin, Ketua Dewan Syari’ah Bank Syari’ah Bukopin kepada SC. Magazine di kediamannya, Bogor.
Fenomena di atas, akhirnya turut mengakibatkan meningkatnya kemiskinan dan pengangguran. “Saat ini masyarakat kita tengah menghadapi masalah-masalah ekonomi. Ini terbukti dari makin meningkatnya jumlah orang miskin. Tahun 2005 jumlah orang miskin adalah 35, 2%. Sementara pada tahun 2006 meningkat menjadi 39,4%. Sementara jumlah pengangguran adalah 11 % dari angkatan kerja. Ini menunjukkan bahwa betapa beratnya masalah-masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat kita,” lanjut pria yang menjadi pengajar di Fakultas Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Meski sembako masih menjadi masalah utama, tapi bukan berarti masalah ekonomi bangsa Indonesia memburuk secara keseluruhan. Secara makro-ekonomi, indikator perekonomian tampak ada kemajuan mengesankan. Ini terlihat dari kinerja rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG). Kurs rupiah sempat berada di bawah Rp 9.000 per dolar AS, sedangkan IHSG bertahan di atas angka 2.000.
Membaiknya indikator finansial tersebut bisa saja dipengaruhi oleh masuknya dana-dana asing berjangka pendek alias hot money. Data terakhir dana asing yang masuk ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar US$ 1,36 miliar, surat utang negara (SUN) US$ 847 juta, dan pasar saham US$ 623 juta.
“Membaiknya sudut makro ini bukan karena membaiknya ekonomi dalam negeri, tapi karena banyaknya uang yang mengalir ke Indonesia. Sekarang ini ada sekira 500 trilyun uang luar negeri yang mengalir ke dalam negeri. Tapi uang itu hanya disimpan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk diambil bunganya. Tidak diberikan kepada sektor riil. Akibatnya, meski uang banyak tapi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tambah tidak baik,” kata pria yang sudah dikaruniai tiga putra ini.
Terpuruknya mikro-ekonomi tersebut, tampaknya makin memburuk setelah pemerintah tidak mencabut kebijakan mengimpor barang kebutuhan pokok. “Dari sisi stuktural, kebijakan-kebijakan pemerintah masih belum berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Misalkan seperti kebijakan impor beras yang justru merugikan sektor ekonomi mikro. Seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih berani. Sudahlah soal beras biar kita penuhi sesuai dengan kekuatan kita sendiri. Bahkan bila perlu kita berpuasa. Ini tidak apa-apa. Tapi ironisnya saat ini kita serba mengimpor. Mulai dari sagu, gula, terigu dan lainnya. Ini tidak baik. Kita akan menjadi bangsa yang tergantung. Tidak merdeka.”
Persoalan ekonomi memang cukup mendasar, karena menyangkut keberlangsungan hidup manusia. Tak sedikit manusia yang menyerah menghadapi himpitan ekonomi, dan terpaksa memilih jalan pintas demi mempertahankan hidupnya dengan mencuri dan merampok.
Merespon masalah tersebut, Kiai Didin menawarkan perubahan sistem perekonomian. “Salah satu yang krusial adalah perubahan sistem ekonomi. Kita harus berganti kiblat. Bukan lagi kapitalis, tapi syariah yang tidak menekankan pada bunga tapi sistem bagi hasil. Saya kira ini akan membawa perubahan yang lebih baik,” kata Kiai Didin.
***
SEMENTARA itu, selain masalah ekonomi, bangsa ini juga dihadapkan dengan masalah kesenjangan intelektual. “Selain kesenjangan ekonomi, kita juga dihadapkan dengan kesenjangan intelektual. Satu sisi kita sudah memiliki intelektual yang kelas internasional, tapi di sisi lain kita juga punya warga negara yang masih buta huruf. Nah yang kayak begini ini dibutuhkan pengorbanan membangun bangsa,” kata Prof. Dr KH. Said Aqil Siraj, ketua PBNU kepada SC. Magazine di kediamannya, Cianjur.
Pendapat tentang kesenjangan intelektual tergambar dari banyaknya anak-anak kecil dan remaja yang terpaksa berkelahi dengan waktu mencari nafkah hidup di hampir setiap kota di Indonesia. Ada yang menjajakan koran, mengamen hingga mengemis. Fakta sosial lainnya adalah keadaan warga negara Indonesia yang berada di daerah-daerah pedalaman yang tidak menemukan lembaga pendidikan, seperti di pedalaman Papua. Fakta sosial ini, menurut Kiai Aqil, selain karena himpitan ekonomi, juga karena faktor mahalnya biaya pendidikan.
Sementara itu, di sisi lain, dunia pendidikan ternyata masih dipenuhi berbagai persoalan, baik mengenai swastanisasi lembaga pendidikan melalui Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan Ujian Nasional (UN) yang konfliktif. Ini seperti yang dikeluhkan Prof. Dr. Winarno Surakhmad, Ketua Forum Profesional Pendidikan Regional dalam tulisannya, Kriminalisasi Pendidikan. “Kriminalisasi pendidikan terjadi jika perumus kebijakan dan pengelola pendidikan menangani amanah dengan sikap salah, seperti tidak peduli falsafah tentang hakikat manusia, realitas kehidupan, dan bagaimana "ilmu sekolah" dapat berdampak positif dalam peradaban manusia. Pandangan yang mendasari perilaku pendidik tak dibenarkan dogmatis atau spekulatif. Bahkan tidak cukup hanya dengan common sense. Indikator keberhasilannya bukan pada target, melainkan pada makna. Peserta didik adalah manusia, bukan angka.”
Keluhan yang ditulis pemerhati pendidikan itu, diamini oleh Drs. Budi Setiawan atau Habudi, Mantan Presiden dalam parodi politik Republik Mimpi yang ditemui SC. Magazine di sela-sela kesibukannya shooting di Metro TV. “Sisdiknas masih berorientasi pada angka. Ini memang mudah mengukurnya. Tapi jika masalah moral dan budi pekerti, ini masih dianggap sesuatu yang imajiner, sulit diukur. Tapi kita harus orientasikan ke sana. Kita harus menghargai kejujuran dan loyalitas yang sekarang ini makin terkikis.”
Kekhawatiran akibat dari sistem pendidikan yang lebih menekankan unsur matematis memang masuk akal. “Bagaimana dengan masalah fundamental dehumanisasi, dekulturisasi, dan deindonesianisasi! Atau, memang tidak penting dibandingkan realisasi BHP yang kontroversial, standardisasi setengah jadi, UN yang kian konfliktif, dan obsesi berkompetisi yang tidak meyakinkan? Lima puluh tahun dari sekarang, saat seluruh bangsa telah lengkap dicerdaskan melalui strategi dan standar UN, apa yang pasti terjadi? Jika konsep yang salah itu diteruskan, tak mustahil jutaan anak bangsa, sepi tetapi pasti, akan terbunuh sebelum mati. Kegairahannya, potensinya, aspirasinya, hak pribadinya, semua akan teratrofi oleh UN. Kalau ini bukan kriminalisasi pendidikan, lalu apa?” tulis Winarno Surachmad.
Sementara itu, merespon persoalan UN yang rencananya akan tetap dijalankan oleh pemerintah, Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan anak mengusulkan agar ke depan UN sekedar menjadi alat ukur untuk memetakan potensi anak-didik. Bukan pintu besi kelulusan. “Kenapa UN tidak sekedar menjadi pemetaan potensi anak didik, sehingga semua berlangsung dengan jujur,” katanya.
Pendapat pria yang akrab disapa Kak Seto tersebut berangkat dari pengamatannya terhadap UN yang acapkali dilakukan dengan kecurangan. “Karena UN menjadi penentu kelulusan, akhirnya ditempuhlah semua cara. Kebocoran, mencontek sampai ada kasus air mata guru di Medan. Bukankah ini justru mendidik anak-anak untuk tidak jujur? Mendidik anak menjadi calon koruptor-koruptor masa depan? Jika seperti ini, apakah bangsa ini bisa dikatakan merdeka?”
Sementara itu, Dr H Ahmad Satori Ismail, Ketua Umum Ikatan Da’i Indonesia menilai bahwa sejauh ini dunia pendidikan Indonesia kurang menghargai pendidikan agama. “Pendidikan agama hanya diberikan sekilas saja. Belum mengarah pada bagaimana bisa terjun ke masyarakat dan memberikan pengorbanan untuk mereka. Karena pendidikan agama tidak dijadikan faktor lulus-tidaknya seseorang. Bagaimana perilakunya di kelas, di rumah dan di lingkungan lain. Padahal akhlak seharusnya dijadikan faktor fital menilai pelajar, mengingat bangsa ini sudah mengalami dekadensi moral dengan fenomena korupsi di segala lini,” katanya prihatin.
***
BERANGKAT dari persoalan ekonomi yang memposisikan bangsa dan negara ini kehilangan kemandirian dan jatuhnya harga diri di hadapan negeri dan bangsa lain, boleh jadi telah membuktikan kalau kita memang belum merdeka. Sementara dari sisi pendidikan yang lebih mengutamakan angka tanpa memperhatikan kualitas akhlak generasi bisa jadi hanya akan melahirkan para calon pemimpin yang pragmatis dan kurang bisa memikirkan rakyatnya.
Berangkat dari hal itu, dan mengingat masih menumpuknya persoalan lainnya yang dihadapi bangsa dan negara ini, Efendi Gazali menawarkan langkah-langkah pemerdekaan bangsa melalui perjuangan dari pemiskinan dan pembodohan.
“Bicara kemerdekaan, maka juga bicara soal bagaimana masyarakat bawah itu bisa berjuang untuk memerdekakan dirinya dari pembodohan dan pemiskinan. Pemiskinan bisa terjadi karena bangsa ini dijajah oleh neoliberalisme dan atau karena sebagian kelompok dari bangsa ini tanpa sadar memikirkan dirinya sendiri sehingga memiskinkan kelompok lainnya. Sikap individualis ini merupakan salah satu karakter koruptor. Ini luar biasa betul. Hanya orang bodoh yang tidak tahu bahwa dia sedang dikorupsi. Karena itu, ini tugas semua kalangan yang pro terhadap kemerdekaan ideal-subtansial. Salah satu agenda penting saat ini adalah bagaimana memperjuangkan peningkatan anggaran pendidikan 20%. Selanjutnya bagaimana memantau pelaksanaannya dengan baik dan benar. Karena ketika dana mengucur ke bawah, acapkali ada potongan-potongan yang koruptif,” kata Gazali kepada SC. Magazine.
Lebih jauh, menurut salah satu peneliti terbaik UI tahun 2003 dalam bidang sosial dan kemanusiaan ini, andai tidak dimiskin-miskinkan, Indonesia adalah bangsa besar dan bisa maju. “Tapi karena tidak demikian, langkah terbaik saat ini adalah bagaimana kita mulai belajar mandiri dari lingkungan kita yang terkecil. Misalkan bila ada hutan yang rusak, mari kita coba perbaiki sendiri. Bila ada sekolah yang rusak, mari kita perbaiki sendiri. Jangan terlalu tergantung terhadap pemerintah. Tapi demikian, pada saat yang sama kita tekan pemerintah untuk mematuhi janji-janjinya dan bisa mematuhi amanahnya serta tanggung jawabnya,” katanya bersemangat.

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol II

Tidak ada komentar: