Kamis, 27 Desember 2007

DEBU: BERDZIKIR LEWAT MUSIK DAN SYAIR

Komunitas sufi sekaligus grup musik religius asal New Mexico, Amerika Serikat, mengajak berdzikir lewat musik dan syair.

SABTU pagi, salah satu rumah di perumahan Cinere Jakarta, tampak ramai. Beberapa lelaki dan perempuan kebangsaan asing sibuk dengan alat musik masing-masing. Ada yang memegang alat musik asal Turki semisal Kanoon dan Saz (Baglama), ada juga yang memegang Santur (alat musik dari Iran) dan beberapa alat musik lainnya dari berbagai belahan dunia, tak kecuali Gendok-gendok dari Sulawesi Selatan.
"Wa'alaikum salam. Wah, kami sedang latihan, mas. Wawancaranya nanti saja ya. Silahkan masuk," sambut ramah Musthafa, salah satu personil Debu kepada SC. Magazine.
Setelah seluruh personil Debu siap, Musthafa memberi aba-aba. Suara merdu Musthafa pun mengalun seiring melodi dari masing-masing alat musik. SC. Magazine yang duduk di pojok ruangan terkesima mendengar perpaduan bunyi berbagai alat musik dengan suara jernih Musthafa. Terlebih ketika memperhatikan syair-syair buah karya Syekh Fattaah, ulama sufi pemimpin komunitas Debu, yang terasa begitu sejuk karena sarat pujian pada Sang Pencipta.
***
SYEKH Fattaah adalah ulama sufi yang lahir di Portland Maine, Amerika Serikat 5 Oktober 1943, dan besar di Los Angles. Sejak 1981 Syekh Fattaah sudah menjalankan kehidupan Sufi. Pada 1982 dia mendapat ijazah Tarekat Syadziliyyah dari Syekh Fadhlallah dari Iraq. Sejak memperoleh ijazah dari ulama sufi berkebangsan Inggris tersebut, dia mulai menulis syairnya dalam bahasa Inggris sebanyak 130 syair.
Pada tahun 1983 dia menempuh perjalanan spiritualnya ke Pakistan dan memperoleh ijazah Tarekat Chisytiyah dari Syekh Ikram, dan selanjutnya pada 1989 dia memperoleh ijazah Tarekat Rufa'iyah dari Syekh Jamali di Kosovo.
Setelah memperoleh ijazah dari kedua ulama sufi tersebut, selain terus menuangkan rasa cintanya kepada Allah SWT dalam bentuk syair, Syekh Fattaah juga membentuk kelompok musik bernama Dust On The Road pada tahun 1990, di New Mexico.
Syekh Fattaah tergolong ulama yang memiliki jiwa seni yang tinggi. Ini bisa dilihat dari buah karyanya dalam bentuk syair tasawuf yang berjumlah ratusan. Di antara syair-syairnya, acapkali ia ciptakan saat menempuh perjalanan spiritual ke beberapa daerah. Misalkan ketika berada di Taos, New Mexico, dia menulis syair sebanyak 40 buah dalam bahasa Inggris dan Spanyol. Selanjutnya pada 1992, saat pindah ke Questa, New Mexico, dia menulis sekira 30 syair. Dan pada 1996, saat pindah ke Republik Dominika, dia menulis 40 syair dalam bahasa Spanyol.
Pada 1999, setelah mendapat ilham, Syekh Fattaah bersama murid-muridnya yang merupakan keluarga besarnya hijrah ke Indonesia. Di sini dia terus meningkatkan produktifitasnya dalam menulis syair tasawuf, baik dalam bahasa Indonesia, Arab, Turki, Mandarin, Italia, Farsi hingga Hindia. Di antara syairnya ada yang berpola pantun.
Dari beberapa syair buah karya Syekh Fattaah, banyak orang-orang dari berbagai negara yang mengaguminya. Seorang artis Italia berkebangsaan Swedia, Hayam Nur As Sufi, mengatakan bahwa cara penyampaian Syekh Fattaah dalam syair berbahasa Italia lebih indah dari orang Italia sendiri. Demikian pula penyanyi Italia bernama Mario Chauro, sangat mengagumi gubahan syair-syairnya. Bahkan seorang penganut Zoroaster di Iran bernama Farhad, karena sangat takjub dengan syair-syair Syekh Fattaah ia kemudian memeluk Agama Islam.
Pada tahun 2001, Syekh Fattaah memperoleh Ijazah Tarekat Qadiriyah dari Syekh Rais, Maluku.
***
DUA jam berlalu. Latihan rutin setiap hari Sabtu pun usai. Musthafa, lelaki berkulit putih dengan rambut pirang dikuncir di belakang, perlahan bangkit dan melangkah ke salah satu meja di mana SC. Magazine menunggunya. Dengan keringat yang masih menetes di dahi, lelaki kebangsaan Amerika ini memulai cerita tentang komunitas sufinya.
"Allah memang Maha Tahu. Dialah yang punya kehendak dan rencana. Suatu malam, Syekh Fattaah mendapat ilham. Di antara sadar dan tidak, beliau mendengar hatif (bisikan halus) yang menyebutkan nama 'Indonesia'. Beliau tersentak dan segera mengutarakan pada istrinya bahwa komunitas ini harus pergi ke Indonesia untuk bisa hidup sesuai impian," cerita putra kandung Syekh Fattaah ini.
Seperti yang tertulis dalam web site Debu, www.musikdebu.com, kegelisahan komunitas ini berangkat dari kota kecil di daerah New Mexico—sebuah propinsi yang terletak antara Texas dan Arizona, Amerika Serikat—yang kehidupannya sangat liberal dan sekuler. Merasa kurang tentram, pada 1997, sebagian dari mereka pindah ke negara Republik Dominika. Tapi ternyata kehidupan masyarakatnya tak jauh beda dengan Amerika. "Sungguh, bukan lingkungan yang ramah bagi kami yang sangat rindu suasana Islami. Tapi sekarang alhamdulillah, di sini kami menemukan ketenangan," kata Musthafa.
Perjalanan komunitas ini menuju Indonesia tergolong unik. Waktu itu mereka sama sekali tidak mengenal Indonesia. Kemudian mereka mencari informasi tentang Indonesia melalui internet dan berhasil berkenalan dengan salah satu warga Indonesia, Ust Farid Uqbah. "Kami ke Indonesia 3 Minggu setelah Syekh Fattaah memperoleh Ilham. Bahasa Indonesia yang kami ketahui kala itu hanya satu kata, yaitu saya. Hahaha... tapi alhamdulillah, kenalan kami, Ust Farid Uqbah, seorang dosen di LIPIA Jakarta, sangat membantu kami untuk mengenal lebih dalam Indonesia," lanjutnya.
Maret 1999, ketika situasi sosial-politik di Indonesia kurang kondusif, komunitas sufi ini tiba di Jakarta. Setelah bertemu dengan Ust Farid Uqbah, mereka dikenalkan dengan Dr. M. Tamimi, seorang arsitek tinggal di Jakarta. Dari kenalan baru ini, mereka memperoleh tempat tinggal di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan dan menetap selama 3 bulan.
Di tempat baru itu, di bawah bimbingan Syekh Fattaah, mereka terus mempelajari tasawuf. Mengehembuskan dzikir dalam bentuk syair dan nyanyian. "Menyanyi adalah semata-mata dzikir dan ibadah. Saat itu Debu belum lahir. Kami bernyanyi sebatas kenikmatan untuk komunitas sendiri sekaligus menjadi bagian dari perkembangan spiritual," cerita lelaki yang telah dikaruniai tiga putera ini.
***
KELAHIRAN DEBU
INISIATIF membentuk grup musik yang bernafaskan tasawuf, baru lahir setelah komunitas ini menetap selama 3,5 tahun di Ujung Pandang, Makassar. Mereka datang ke sana karena undangan dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Ujung Pandang untuk mengajar mahasiswa baru tentang agama Islam.
Tiba di Ujung Pandang mereka ditempatkan di Bukit Barugah. Tak lama kemudian, mereka dipindahkan lagi ke Desa Padang Lampe, di mana berdiri sebuah Pesantren milik UMI, Darul Mukhlisin. Di sini mereka mulai mengabdikan diri dengan mengajar ajaran Islam kepada para mahasiswa baru. Mulai Al-Qur'an, Al-Hadist hingga Bahasa Inggris. Sementara Syekh Fattaah, setiap habis menunaikan shalat lima waktu, memimpin dan membimbing anggota komunitasnya berzikir bersama para mahasiswa. Agar lebih menarik minat para mahasiswa, Syekh Fattaah berinisiatif mengenalkan keindahan Islam melalui syair dan nyanyian yang sarat pelajaran akhlak dan adab. Pelan namun pasti, para mahasiswa mulai menyenangi ajaran Syekh Fattaah. "Dari situ kami memperoleh inspirasi bahwa salah satu dakwah yang bisa menarik hati masyarakat—khususnya kaum muda—adalah melalui musik," tutur Musthafa.
Setelah melihat respon positif dari para mahasiswa di Ujung Pandang, komunitas ini kemudian membentuk grup musik Debu, sebuah nama yang diambil dari Dust On The Road, kelompok musik yang didirikan Syekh Fattaah pada tahun 1990, di New Mexico. Di antara personil Debu saat ini adalah Maryam, Husniah, Fadilah, Syakurah, Naimah, Najib, Hasinah, Susaan, Najmah, Laila, Zakariyah, Mujahid, Saleem, Daood, Lukman, Naseem, dan Mustafa.
Meski sebagian besar dari anggota komunitas ini adalah keluarga besar Syekh Fattaah, tapi mereka tidak eksklusif. Karena selain di antara mereka ada etnis berkulit hitam, juga terdapat dua orang warga negara Indonesia, yaitu Wahab dan Arif.
Sebagai komunitas sufi, Debu menganggap musik dan nyanyian hanyalah media untuk dakwah dan syiar ilmu-ilmu Islam. "Syekh Fattaah selalu menekankan pada kami, bahwa bermusik dan bernyanyi bukanlah tujuan. Jika suatu saat aktivitas ini membuat kami berpaling dari kecintaan terhadap Allah SWT, beliau akan menghentikan aktivitas ini dan membubarkannya," kata Musthafa.
Demikianlah perjalanan komunitas Debu di Indonesia. Melalui syair-syair buah karya Syekh Fattaah, Debu terus-menerus menyampaikan pesan cinta kepada umat manusia agar tidak berpaling dari Sang Pencipta. "Kami tidak ingin terjebak dalam perpecahan. Kami selalu menyampaikan perdamaian dengan satu kalimat laa ilaha illa Allah," kata Musthafa sambil menyanyikan sebait lagu berjudul HU, Dendang Sufi: Datanglah, hai sufi, marilah pulang//Kesempatan inilah sangat jarang//Marilah kita bergandengan tangan//Dan berjalan bersama atas jalan...

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol II

1 komentar:

faisol mengatakan...

terima kasih sharing info/ilmunya...
selamat Berpuasa... semoga segala ibadah kita diterima oleh Allah SWT, amin...

saya membuat tulisan tentang "Berdzikir Membuat Hati Tetram, Benarkah?"
silakan berkunjung ke:

http://achmadfaisol.blogspot.com/2008/08/berdzikir-membuat-hati-tentram-benarkah.html

(link di atas adalah tulisan ke-1 dr 5 buah link berdzikir membuat hati tentram)

semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...

salam,
achmad faisol
http://achmadfaisol.blogspot.com/