Minggu, 11 November 2007

MENYULAM SEJARAH PANCASILA YANG TERKOYAK

Enam puluh satu tahun Indonesia Merdeka, enam puluh satu tahun pula Pancasila dipercaya sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tapi pada umur setengah abad lebih itu, Pancasila ternyata tidak sepi dari polemik dan pengkaburan nilai-nilai luhurnya.

PADA masa kejayaan Kerajaan Majapahit di abad XIV, banyak ditemukan pujangga-pujangga hebat. Mereka banyak menciptakan karya sastra yang berisikan tentang kebesaran Kerajaan Majapahit dan nilai-nilai luhur bangsanya. Di antaranya adalah Mpu Prapanca dan Mpu Tantular.
Mpu Prapanca merupakan Darmadyaksa Kasogatan (Pemimpin Agama Budha). Salah satu kakawitannya (kitab) yang terkenal adalah Negara Kartagama yang ditulis dalam Bahasa Jawa Kuna (Kawi). Kitab ini banyak menceritakan kebesaran Kerajaan Majapahit.
Sementara Mpu Tantular, pengarang kitab Ki Arjunawijaya dan Sutasoma ini lebih banyak bercerita tentang tingginya rasa toleransi antara umat Hindu Siwa dan umat Budha yang hidup berdampingan di bawah bendera Majapahit. Ini tergambar dalam Kitab Sutasoma pupuh 139 bait 5, yaitu: "Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa (Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda) // Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen (Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?) // Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal (Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal) // Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran)".
Mpu Tantular menulis Kitab Sutasoma ini selama 7 tahun. Ia terinspirasi dari keberhasilan Senopati Gajah Mada dalam menyatukan nusantara pada abad pertengahan. Atas persatuan ini, Majapahit kemudian terkenal sebagai nasionale staat (negara-bangsa) yang memiliki pola organisasi rapi seperti Imperium Romawi, dan merupakan negara maritim terbesar di dunia pada zamannya.
Bertolak dari karya emas Mpu Tantular itu, para pendiri Bangsa Indonesia (founding father) lalu merumuskan semboyan Bangsa Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu). Lebih jauh, ini juga dijadikan pijakan bagi para founding father untuk merumuskan dasar-dasar NKRI. Ini seperti tergambar dalam isi Pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia—BPUPKI), bahwa Bangsa Indonesia hendak mendirikan sebuah negara "semua untuk semua", bukan untuk satu orang atau satu golongan.
Lebih jauh, subtansi nilai-nilai luhur Bangsa Majapahit di atas, bersama azas modernisme (demokrasi, sosialisme) turut serta menjadi inspirator terhadap kelahiran Pancasila.
***
SEKIRA akhir Mei 1945, terjadi diskusi panjang—dari jam 7 malam sampai 4 pagi—di rumah Muhammad Yamin, antara Soekarno dan M. Yamin (nasionalis) dengan pemimpin muslim, yaitu KH. Wahid Hasyim, KH. Mansyur dan KH. Kahar Muzakkir, sebelum merumuskan dasar-dasar berdirinya NKRI. Ini seperti ditulis Andree Feillard dalam bukunya NU vis-a-vis Negara. Ceritanya sebagai berikut:
"Dulu orang Jawa punya kebiasaan pergi ke pinggir sungai, di pohon besar untuk semedi. Di antara mereka juga ke langgar dan atau masjid untuk meminta pertolongan sama Tuhan, baik keselamatan, rezeki dan lainya," kata Yamin.
"Nah, itu namanya mencari Tuhan. Bagaimana jika Bangsa Indonesia adalah Bangsa Ketuhanan?" usul Soekarno.
"Setuju!" jawab anggota diskusi.
"Lalu apa selanjutnya?"
"Bangsa Indonesia, jika ada tamu dikasih minuman, jika waktu makan diajak makan. Pokoknya toleransinya luar biasa. Selain itu, solidaritas sosialnya juga cukup tinggi. Ini diatur dalam hukum Islam, yakni dalam zakat kepada fakir miskin. Jadi Bangsa Indonesia berperikemanusiaan, suka tolong menolong antar sesama," jawab Kiai Wahid Hasyim, putra Pendiri Organisasi Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy'ari.
"Tapi itu harus adil. Biar pun anaknya sendiri, tapi jika salah... ya salah, yang benar ya benar. Ini Islam," lanjutnya.
Pada akhir diskusi, kaum muslim menyepakati lima pokok, merujuk pada Rukun Islam yang lima, untuk menjadi dasar berdirinya NKRI dan kemudian dikembangkan.
Sementara Soekarno dalam pidato pertamanya tentang Pancasila, menawarkan hasil diskusi di atas dengan urutan sebagai berikut: pertama, Kebangsaan Indonesia; kedua, Internationalisme atau Perikemanusiaan; ketiga, Mufakat atau Demokrasi; keempat, Kesejahteraan Sosial; dan kelima, Ketuhanan, sebagai lima dasar berdirinya NKRI.
Tawaran itu kemudian disusun kembali oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sehingga menjadi: pertama, Ketuhanan Yang Mahas Esa; kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; ketiga, Persatuan Indonesia; keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebjaksanaan dan Permusyawaratan Perwakilan; dan kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Menurut Dr. Frans Magnis Suseno SJ, Direktur Pasca Sarjana pada Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Pancasila merupakan integrasi pemikaran para founding father's yang diambilkan dari nilai-nilai luhur nenek moyang Bangsa Indonesia dan nilai-nilai modern. "Para founding father sangat ingin mempersatukan modernitas dan budaya khas Indonesia. Pertama, ini tampak dari kesadaran mereka terhadap ideologi modernitas. Kita ingat karangan Soekarno, Islamisme-Nasionalisme-Marxisme, sebagai sumber ideal perjuangan kemerdekaan. Sementara Bung Hatta menulis buku soal Filsafat Yunani yang hingga kini masih bagus. Jadi mereka itu sangat up to date mengenai modernitas. Lalu mereka memutuskan bahwa negara Indonesia harus negara yang modern, sebuah republik. Tidak monarkhi. Kedua, meski modern, Indonesia terbuka terhadap luar negeri. Tapi kita tidak lantas latah, kepribadian Indonesia harus tetap dipertahankan. Sehingga Indonesia tidak tertutup seperti Kamboja di bawah Khmer Merah," ceritanya pada ALFIKR di STF Driyarkara, Jakarta.
***
MESKI telah dirumuskan oleh PPKI, ternyata Pancasila masih menyisakan ketidakpuasan bagi sebagian kalangan dari Bangsa Indonesia. Pro-kontra mewarnai Pancasila antara golongan nasionalis dan Islam. Salah satu perdebatan yang mengemuka adalah perlu-tidaknya pemberlakuan syari'at Islam diatur dalam Pancasila dan atau Pembukaan UUD 1945. Tapi tawaran itu ditolak. Ini seperti isi pidato Soekarno tentang Pancasila.
Tapi kelompok Islam terus memperjuangkan aturan pemberlakuan syariat Islam. Sehingga, pada tanggal 22 Juni 1945, Piagam Jakarta lahir. Salah satu keputusannya, menerima Pancasila sebagai dasar negara dengan syarat menempatkan "tujuh kata" dalam sila pertama, yaitu, "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Piagam ini diteken oleh Panitia Sembilan, termasuk Mr. AA. Maramis, tokoh Kristen.
Tapi pada tanggal 18 Agustus 1945, tujuh kata itu dicoret dari pembukaan UUD 1945. Selanjutnya, pada Bulan Nopember 1956, kelompok Islam tertentu kembali memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam Sidang Konstituante di Bandung. Tapi pada tanggal 22 April 1959, usulan ini ditolak Presiden Soekarno dengan menganjurkan untuk kembali pada UUD 1945. Meski demikian, pada tanggal 26 Mei 1959, fraksi-fraksi Islam kembali mengusulkan agar Piagam Jakarta dimasukkan dalam Mukaddimah UUD. Tapi lagi-lagi, keinginan ini kandas melalui Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.
Setelah Dekrit Presiden yang menandai era Demokrasi Terpimpin itu, isu penerapan aturan syariat Islam tenggelam selama 41 tahun. Isu ini kembali mencuat pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)—tepatnya menjelang Sidang Tahunan Agustus 2000—melalui usulan amandemen UUD 1945 dan revitalisasi Piagam Jakarta.
SEMENTARA itu, perdebatan soal kurangnya penjiwaaan Pancasila juga terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin. Ini terjadi setelah eksperimen demokrasi parlemen kisruh dan Presiden Soekarno membubarkannya melalui Dekrit Presiden. Meski demikian, langkah pembubaran parlemen dan pengumpulan kekuasaan dalam hanya dirinya ini, didukung oleh massa rakyat yang kian tak sabar oleh "cekcok para politisi".
Merespon fenomena dekrit 5 Juli di atas, Muhammad Hatta (founding father sekaligus mantan Wakil Presiden RI) pernah mengingatkan bahwa fenomena itu akan membahayakan posisi Soekarno sebagai Presiden RI. "Sistem yang mengandalkan kekuasaan pada orang per orang, tak ubahnya seperti rumah kertas yang cepat rontok, tak lebih lama dari umur sang diktator sendiri," kata negarawan sekaligus penulis buku Alam Pemikiran Yunani ini.
Ramalan Bung Hatta di atas akhirnya benar. Demokrasi terpimpin tak lama umurnya. Pada tahun 1966, Soekarno runtuh. Adapun Soekarno sendiri kemudian insyaf, bahwa kekuasaan presiden ada batasnya. Ini seperti pesannya yang tercatat rapi dalam secarik kertas dan disampaikan kepada putri sulungnya, Megawati Soekarno Putri, sebelum wafat, pagi hari 21 Juni 1970. "Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun, ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan YME," tulis Sang Proklamator.
***
SETELAH rezim Demokrasi Terpimpim Soekarno runtuh, Bung Hatta pernah berpesan, jika bangsa ini bersedia belajar terhadap kegagalan, demokrasi yang "tertidur" akan bangun kembali. "Suatu barang yang bernilai seperti demokrasi, baru dihargai bila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita ingin belajar dari kesalahannya, dan berpegang kembali pada ideologi negara dengan jiwa yang murni, Insya-Allah, demokrasi yang tertidur sementara akan bangun kembali," tulis Hatta dalam risalah tipis Demokrasi Kita.
Tapi sayang, nasehat politisi santun itu tidak diindahkan oleh rezim Orde Baru. Karena penjiwaan terhadap nilai-nilai Pancasila ternyata makin menurun bahkan terdistorsi. "Saat itu, Pancasila disakralkan dan dijadikan instrumen politik untuk menjaga kelestarian status quo rezim Soeharto. Padahal, langkah ini jelas jauh dari semangat pemimpin bangsa di masa pergerakan kemerdekaan," kata Dr. Gumilar Rusliwa Somantri, mantan Panitia Pengembangan dan Penelitian FISIP UI, Jakarta, ketika diwawancarai salah satu harian terkemuka di Jakarta.
Senada dengan Gumilar, Franz Magnis Suseno, mengatakan bahwa Demokrasi Pancasila Soeharto juga telah menghegemoni comman sense rakyat dengan mendistorsi Pancasila melalui peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober. "Sebetulnya, yang terjadi pada tanggal 1 Oktober tidak ada kaitannya dengan Pancasila. Itu sudah keliru. Pancasila adalah rumusan Bangsa Indonesia yang tidak memiliki kesaktian pada dirinya sendiri."
Meski demikian, seperti ditulis Akhmad Zaini Abar dalam bukunya Kisah Pers Indonesia (1966-1974) bahwa, di awal berdirinya, rezim Orde Baru memang seolah-olah memberikan iklim berbangsa dan bernegara dengan begitu demokratis. Tapi ternyata, itu dilakukan hanya untuk konsolidasi kekuatan semata. Karena pasca Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), rezim ini menjadi begitu tertutup dan represif. Sebanyak 12 suratkabar, baik harian dan mingguan terkemuka saat itu dibreidel, di antaranya adalah Pedoman dan Indonesia Raya. Sikap represif ini juga berlanjut pada Juni 1994, dengan membreidel tiga mingguan, yaitu TEMPO, DeTik dan Editor.
Lebih jauh, selama 30 tahun lebih, Soeharto telah memberangus kedaulatan rakyat dengan dominannya eksekutif di atas legislatif dan yudikatif. Sehingga, rezim ini hanya mewariskan KKN di segala lini dan tingkatan dalam birokrasi Indonesia.
***
BAGAIMANA dengan reformasi? Meski saat ini era keterbukaan telah tercanang sejak peristiwa berdarah Mei 1998, tapi masih banyak fenomena yang mengindikasikan lemahnya penjiwaan nilai-nilai yang terkandung dalam lima azas NKRI ini. Di antaranya adalah terancamnya nilai pluralisme dengan konflik antar agama seperti di Poso Sulawesi Tengah, obsesi membuat peraturan daerah (Perda) tentang pemberlakuan ajaran agama tertentu, terorisme; terancamnya humanisme dengan kasus trafficking, buruh, kehadiran Perpres No. 36/2005 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum; terancamnya nasionalisme dengan gerakan separatisme seperti Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, UU Pemerintahan Aceh, praktik jual-beli pulau; terancamnya demokrasi dengan oligarki partai, efek dari Otonomi Daerah, fenomena ‘hukum rimba’ Pilkada, mentalitas buruk para politisi; terancamnya ekonomi kerakyatan dengan kebijakan ekonomi pro globalisasi, kehadiran RUU Rahasia Negara, maraknya KKN, makin senjangnya jarak antara si miskin dan si kaya, dan lain-lain.
Bertolak dari hal di atas, demi menjaga integritas bangsa dan lebih-lebih memperjuangkan nilai-nilai Pancasila—agar bangsa ini tidak lagi mengulang kegagalan masa lalu dan bisa menatap masa depan dengan lebih cerah, ada sebagian kalangan yang menawarkan restorasi. Artinya, Pancasila perlu dipugar kembali agar niali-nilai luhurnya bisa dipahami dan dijiwai oleh segenap bangsa Indonesia. Tapi demikian, tak sedikit yang menganggap restorasi itu tidak perlu, tapi cukup dengan terus memperjuangkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.

Adib Minanurrachim, Yatimul Ainun dan Taufiq Hasan
Dimuat di ALFIKR No 14 Th XIV Desember 2006 Februari 2007

Tidak ada komentar: