Minggu, 11 November 2007

AMBIGUITAS KEBIJAKAN PENDIDIKAN

“Bolehkah kami bertanya, apakah artinya bertugas mulia ketika kami hanya terpinggirkan tanpa ditanya, tanpa disapa? // Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam? // Kapan pengetahuan kami bukan ilmu kadaluwarsa? // Mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk? //Kenapa ketika orang kekenyangan, kami harus kelaparan? // Bolehkah kami bermimpi didengar ketika kami berbicara? // Dihargai layaknya manusia?” (Prof Dr Winarno Surachmad)

SESUAI dengan pembukaan UUD 1945, tujuan mendirikan negara adalah, pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keempat, ikut serta menjamin perdamaian dunia yang adil dan berperadaban.
Pembukaan UUD 1945 yang mencerminkan tujuan eksistensi negara tidak bicara target atau utopia, melainkan tentang nilai-nilai ideal yang diperjuangkan sebagai tujuan mendirikan sebuah negara merdeka-berdaulat.
Secara praksis, pada dasarnya republik ini adalah negara untuk rakyat. Negara harus melindungi segenap lapisan masyarakat. Kekuasaan negara harus benar-benar di tangan rakyat melalui lembaga perwakilan yang berorientasi untuk rakyat dan melindungi rakyat. Sehingga negara memiliki visi lebih demokratis, lebih digantungkan pada supremasi hukum dan penghargaan HAM.
Tapi sial, sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 hingga sekarang, cita–cita ideal di atas belum banyak terealisasi. Sebagian besar lapisan masyarakat masih kurang merasakan kebijakan negara yang benar-benar bijak. Diantaranya adalah soal UU Guru dan Dosen yang telah disahkan pada tanggal 6 Desember lalu. Peningkatan kesejahteraan yang dijanjikan negara terhadap para guru dan dosen ternyata masih buram. Penghapusan Pasal 14 ayat 2, ketika berupa rancangan, yang menyatakan gaji guru dan dosen minimal 2 kali gaji PNS non-guru dan tunjangan profesi keguruan 50% dari gaji pokok, ternyata harus dihapus karena bertentangan dengan Pasal 5 UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam UU No. 10/2004 itu dikatakan bahwa tiap produk UU harus memenuhi asas dapat dilaksanakan, sementara keuangan negara (APBN) cukup terbatas.
Tuntutan kenaikan gaji guru, sebenarnya adalah masalah klasik dunia pendidikan Indonesia yang hingga kini belum terselesaikan. Tuntutan ini, menurut Darmaningtyas, anggota dewan penasehat CBE Jakarta dalam tulisannya Kesejahteraan Guru, Masalah Klasik Pendidikan Kita, karena gaji guru Indonesia memang rendah. Ukurannya adalah, pertama, bila dibandingkan dengan kesejahteraan guru di negara-negara lain, termasuk tetangga Malaysia. Kedua, bila dibandingkan dengan alokasi waktu yang dicurahkan oleh guru dan beban tanggung jawab yang mereka pikul. Ketiga, bila dibandingkan dengan nilai tukar uang atas kebutuhan hidup sehari-hari seorang guru.
Kenyataan pahit di atas, tampak akan terus bertambah. Karena janji kesejahteraan akan terealisir (meski masih buram) jika para guru telah memiliki sertifikasi profesi mengajar. Sementara sertifikasi bisa didapatkan bila para guru telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan lulus dalam uji kompetensi. Bertolak dari rumitnya memperoleh kesejahteraan ini, wajar jika ada yang menyebut sebagai UU sertifikasi guru.
Memang, tahapan sertifikasi itu merupakan wujud perhatian pemerintah untuk menjadikan guru dan dosen profesional, agar bisa lebih meningkatkan mutu pendidikan yang selama ini banyak dikeluhkan. Hal ini seperti harapan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla (Wapres MJK) ketika menghadiri peringatan Hari Guru Nasional sekaligus ulang tahun PGRI dan Hari Aksara Internasional di Solo, Jawa Tengah, Nopember lalu. Dalam sambutannya, Wapres berharap, bahwa kualitas guru harus baik. Karena guru merupakan pembentuk jiwa sekaligus motivator semangat bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Tapi persoalannya, jika dalam proses pelaksanaan sertifikasi profesi tidak transparan dan akuntabel, maka praktik percaloan yang selama ini akrab di Indonesia tidak mustahil akan terjadi.
Selain itu, perlu ada standar khusus yang benar-benar bisa mengukur kemampuan riil seorang guru, agar tidak sekedar formalisasi belaka. Misalkan, pertama, seorang guru harus terampil berkomunikasi, mampu menterjemaahkan teori-teori yang sulit dicerna menjadi lugas dan mudah dipahami. Kedua, jujur dalam menyelenggarakan ujian dan pemberian nilai. Ketiga, menjadi motivator bagi siswa untuk menjadi kritis, dan lainnya.
Lebih jauh, peningkatan mutu pendidikan melalui tuntutan profesionalitas guru tampak akan timpang bila tidak diirigi dengan elemen-elemen pendidikan lainnya, seperti kurikulum yang jelas (tidak bongkar-pasang); sarana penunjang berupa perpustakaan yang lengkap dengan buku, majalah dan referensi lain; serta sarana penunjang lainnya.
Tapi ironisnya, beberapa elemen yang turut menunjang peningkatan mutu pendidikan ini terganjal dengan tidak terealisasinya amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) yang menegaskan bahwa, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Sejauh ini, realisasi dana pendidikan masih berkisar 7% dari total anggaran APBN dan APBD (Penjelasan Pasal 49 (1) UU Sisdiknas). Padahal angka 7% menurut praktisi pendidikan tidak banyak menjawab kebutuhan dunia pendidikan.
Bertolak dari hal di atas, tampak demokrasi dalam dunia pendidikan masih belum sepenuhnya terealisasi. Guru yang nota bene merupakan bagian dari bangsa Indonesia, suaranya masih didengar setengah hati. Jika demikian, mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk?

Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 13 Th XIV April-Juni 2006

Tidak ada komentar: