Minggu, 11 November 2007

MENGGUGAT KESAKTIAN PANCASILA

Peringatan hari Kesaktian Pancasila telah berlalu. Tapi polemik soal mengapa ada peringatan Kesaktian Pancasila, hingga kini masih berlanjut. Lebih-lebih, benarkah Pancasila sakti, bertuah? Tapi mengapa masih banyak fenomena yang jauh dari nilai-nilai Pancasila? Adakah yang tak tuntas? Perlukah Restorasi Pancasila?

APA filosofi Indonesia merdeka?" tanya Bung Karno dalam pidatonya tentang Pancasila di hadapan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945, di Surabaya.
Menurut Goenawan Muhammad, Redaktur Senior Mingguan TEMPO, subtansi pidato Bung Karno itu membicarakan tentang kemerdekaan dan persatuan. "Tak mengherankan bila pidato hari itu—diucapkan tanpa teks yang dipersiapkan—berulang-ulang bicara tentang dua hal. Yang pertama kemerdekaan. Yang kedua persatuan," tulisnya dalam Catatan Pinggir, Juni lalu.
Kemerdekaan, ibaratnya adalah sebuah jembatan emas yang harus dilalui bangsa Indonesia untuk mandiri dan menyempurnakan masyarakatnya. Sementara untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang plural, menurut Bung Karno, dibutuhkan satu pandangan hidup atau filsafat (Weltanschauung), karena Indonesia hendak mendirikan negara "semua untuk semua", bukan untuk satu orang atau satu golongan.
"Tapi bila yang pertama telah jadi sebuah keputusan, yang kedua masih satu persoalan genting. Bila yang pertama dapat dipersiapkan oleh BPUPKI, maka yang kedua masih harus diteguhkan. Itulah sebabnya Bung Karno menyebut perlunya mencari satu pandangan hidup atau filsafat, Weltanschauung, yang kita semua setujui," lanjut penulis produktif yang akrab disapa GM ini.
Untuk memperkuat pendapatnya soal Weltanschauung, Bung Karno mengambil contoh beberapa negara yang berdiri atas dasar sebuah Weltanschauung. "Lenin mendirikan negara Soviet di atas satu "Weltanschauung", yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas satu "Weltanschauung", yaitu "Tennoo Koodoo Seishin". Saudi Arabia, Ibnu Saud, mendirikan Arabia di atas satu "Weltanschauung", bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam. Lalu kita hendak membuat "Weltanschauung" apa?" kata Bung Karno.
Lalu Soekarno menawarkan lima dasar berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pertama, Kebangsaan Indonesia. Kedua, Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Ketiga, Mufakat atau Demokrasi. Keempat, Kesejahteraan Sosial. Kelima, Ketuhanan Yang Maha Esa. Lima dasar itu kemudian diberi nama Pancasila. "Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indera. Pandawa pun lima orangnya. (Tapi, red) Namanya bukan Panca Dharma, tetapi—saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa—namanya ialah Panca Sila," katanya.
"...di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia kekal dan abadi," lanjut Bung Karno berapi-api, dan disambut tepuk tangan meriah peserta sidang.
Mengomentari Pancasila dalam pidato Bung Karno itu, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, Frans Magnis Suseno, SJ., kepada ALFIKR mengatakan bahwa, Bung Karno mencetuskan Pancasila itu karena alasan strategis bagi negeri ini. "Sebab waktu itu, para founding fathers, yakni anggota BPUPKI terancam perpecahan karena persoalan dasar negara. Sebagian mereka menginginkan negara nasional, menjadikan barat modern sebagai kiblat. Tapi tak sedikit yang menghendaki Islam sebagai dasar negara, karena alasan mayoritas bangsa Indonesia adalah muslim."
Tapi sebagaimana yang pernah dirilis Mingguan ternama di Jakarta, perdebatan soal dasar negara itu bisa diselesaikan setelah para anggota BPUPKI melakukan pemungutan suara. Hasilnya, 15 suara mendukung dasar negara Islam, dan sisanya, 45 suara memilih kebangsaan.
Meski demikian, para pemimpin muslim memberikan catatan bahwa Sila Pertama dari Pancasila harus tentang Ketuhanan. Akhirnya, melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), para pemimpin Islam berhasil memperjuangkan Sila Ketuhanan pada Sila Pertama dari Pancasila.
Lebih jauh, melalui keputusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, kelompok Islam juga berhasil menempatkan "tujuh" kata dalam Sila pertama, yaitu "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Tapi pada malam tanggal 18 Agustus, ada kabar bahwa masyarakat dari Indonesia Timur yang tidak beragama Islam, merasa keberatan bila "tujuh kata" di atas tetap dimuat dalam Pancasila. “Jika terpaksa terus disahkan, mereka mengancam tak mau bergabung dengan Indonesia,” cerita Franz Magnis kepada ALFIKR di STF Driyarkara, Jakarta
Merespon kabar tersebut, Muhammad Hatta (Bung Hatta), memanggil empat anggota PPKI yang dianggap mewakili Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku Muhammad Hasan dan Kiai Wahid Hasyim. Akhirnya, demi keutuhan bangsa, pada saat-saat genting ini, mereka setuju untuk menghapuskan "tujuh kata" tersebut. "Itu merupakan pengorbanan umat islam. Karena mereka bersedia tidak mengistimewakan Islam dalam UUD dan Mukadimah yang memuat Pancasila, demi persatuan. Ini sebuah prestasi yang luar biasa," lanjut pria yang biasa dipanggil Romo ini kagum.
***
SETELAH 61 tahun Pancasila dipercaya sebagai dasar NKRI, tapi bukan berarti Pancasila selalu diposisikan sebagai falsafah bangsa yang nilai-nilai luhurnya terus diperjuangkan. "Pada masa Orde Baru (Orba), Pancasila disakralkan dan dijadikan instrumen politik untuk menjaga kelestarian status quo rezim Soeharto. Padahal, langkah ini jelas jauh dari semangat pemimpin bangsa di masa pergerakan kemerdekaan," kata Dr. Gumilar Rusliwa Soemantri, mantan Panitia Pengembangan dan Penelitian FISIP UI, Jakarta, ketika diwawancarai salah satu harian terkemuka di Jakarta.
Senada dengan Gumilar, Purnawirawan Letnan Kolonel Bungkus, mantan Pasukan Tjakrabirawa pada masa kepemimpinan Bung Karno, mengatakan bahwa pada masa Orde Baru Pancasila berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. "Salah sedikit orang ngomong Pancasila, pasti ditangkap dan diasingkan. Masak begitu Pancasila yang memuat nilai demokrasi? Saya tetap menentang jika cara begitu yang dimaksud Kesaktian Pancasila. Itu semua serba bertentangan dengan hati saya. Orang tidak boleh ngomong apa-apa," ceritanya pada ALFIKR di kediamannya, Besuki Situbondo Jawa Timur.
Lebih jauh, akibat praktik distorsi nilai-nilai Pancasila itu, sebagian bangsa Indonesia menjadi muak jika berbicara Pancasila. "Sesudah Soeharto lengser, Pancasila seakan-akan tidak bisa diandalkan, karena orang seakan-akan sudah muak dengan Pancasila. Ketika saya mengisi penataran P4 dan masalah kebudayaan, saya ingat betul betapa mahasiswa heran waktu saya mengatakan bahwa Pancasila itu penting. Mereka menganggap Pancasila itu hanya kedok ideologis Soeharto, menjadi pembenar otoritarianisme. Pancasila dijadikan alat untuk menindas komunis, juga Islam politik selama 30 tahun," ceritan Franz Magnis.
"Islam politik itu tidak ada di Pancasila. Meski demikian, Pancasila tidak mengatakan bahwa partai atas dasar agama itu tidak boleh. Asal taat pada konstitusi itu boleh. Tapi Soeharto memonopoli Pancasila untuk mengekang Islam politik. Karena dia takut, Islam politik akan menjadi oposisi setelah komunis tersingkir," lanjutnya.
Sementara itu, menjawab asal mula kelahiran hari Kesaktian Pancasila, Bungkus mengatakan bahwa, "Munculnya Kesaktian Pancasila, itu berawal dari maraknya pemberontakan–pemberontakan di dalam negeri."
Senada dengan Bungkus, Franz Magnis mengatakan bahwa, "pada tanggal 1 Oktober gerakan 30 September memang malakukan makar. Mengambil alih kekuasaan, melakukan sebuah kudeta. Kemudian, kejadian itu dibangkitkan menjadi hari Kesaktian Pancasila."
Lebih jauh, menurut HD. Haryo Sasongko, Ketua Lembaga Kajian Humaniora di Depok, dalam tulisannya Pak Harto; dari Eksekusi ke Korupsi, mengatakan bahwa, pada tanggal 1 Oktober 1965, telah terjadi eksekusi yang sangat jauh dari nilai-nilai Pancasila. Sebab menurutnya, para jenderal yang dituduh Soeharto makar ternyata dihukum mati tanpa terlebih dahulu menjalani pemeriksaan apalagi diadili. "Ketika terjadi Tragedi 1 Oktober 1965 yang kita kenal dengan Gestok (Gerakan Satu Oktober, istilah Bung Karno), atau G-30-S/PKI (istilah Pak Harto) yang berlangsung adalah eksekusi. Mula-mula ada enam orang jenderal dan seorang perwira menengah (yang dikira Jenderal Nasution) yang dieksekusi oleh para prajurit Tjakrabirawa atas perintah Letkol Untung sebagai Ketua Dewan Revolusi dalam rangka "menyelamatkan Presiden Soekarno yang akan digulingkan oleh Dewan Jenderal". Mereka dieksekusi tanpa diperiksa apalagi diadili dan harus menjalani hukuman terlebih dahulu bila memang terbukti bersalah. Mereka langsung ditembak mati pada saat itu juga. Ada yang dilaksanakan di rumahnya, ada pula yang baru dilaksanakan setelah mereka sampai di Lubangbuaya. Yang jelas, kesemuanya kemudian dibuang ke sumur tua tanpa nyawa lagi dan hanya membawa stigma sebagai anggota Dewan Jenderal yang akan menggulingkan pemerintah yang sah di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno," tulisnya.
"Peribahasa mengatakan, sekali dayung dua pulau terlampaui. Soeharto dengan lincah telah mengayunkan dayung itu. Sekali tebas, para pengikut atau yang dituduh pengikut PKI sekaligus Presiden Soekarno, tumbang. Eksekusi ini berkembang bukan hanya dalam bentuk pembunuhan massal melainkan juga pembuangan massal ke Pulau Nusakambangan dan Pulau Buru, di samping ratusan ribu lagi yang harus mendekam di ribuan penjara lokal di seluruh Indonesia. Dari eksekusi ke eksekusi sama modelnya: Tak pernah ada pemeriksaan, pengadilan, langsung vonis hukuman. Kecuali yang sempat naik ke panggung sandiwara mahmillub. Mereka yang dieksekusi ada yang mati, setengah mati, bahkan sanak saudara, anak cucu sampai bayi dalam kandungan pun ikut terkena vonis," lanjutnya.
Mengenai peringatan 1 Oktober ini, Franz Magnis mengatakan bahwa hal itu merupakan manipulasi Orba terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. "Itu sudah keliru, karena Pancasila adalah suatu rumusan bangsa Indonesia bersama yang tidak memiliki kesaktian pada dirinya sendiri. Pancasila bukan semacam jimat yang seakan-akan bisa menyelamatkan," katanya.
Senada dengan Franz, Francisco Budi Hardiman mengatakan bahwa Kesaktian Pancasila merupakan alat lgitimasi untuk melestarikan status quo Soeharto. "Kenyataannya, hal itu tidak inheren dengan substansi Pancasila, tapi hanya inheren dengan suatu rezim yang ingin melanggengkan kekuasaannya."
"Jadi perilaku memberhalakan itu adalah watak rezim Orba. Tapi jika watak bangsa ini pemberani dan warga negaranya punya keberanian, maka bangsa ini tak butuh peringatan hari-hari suci semacam itu. Bisa jadi momentum Kesaktian Pancasila tak harus tanggal 1 Oktober," lanjutnya.
***
BAGAIMANA dengan peristiwa Supersemar? Menjawab pertanyaan ini, Bungkus mengaku waktu itu sudah dipenjara. Cuma dirinya heran jika tulisan Bung Karno sebagai kepala negara sampai dirubah orang lain. "Tulisan kepala negara itu tidak bisa dirubah oleh siapa pun. Waktu itu saya mendengar, ada pemikiran salah seorang pejabat bahwa ada tiga lembar tulisan kepala negara yang sudah diperkecil menjadi dua lembar. Seperti itu kan tak boleh, walau hanya satu kalimat," katanya.
"Surat yang dibawa oleh Jenderal Yusuf itu adalah surat resmi. Lalu menurut Yusuf, sudah dibawa pada Jendral Soeharto. Suatu ketika, pernah salah seorang Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) menghimbau seluruh rakyat, mengharap siapa pun yang mengetahui kertas-kertas kecil (yang dimaksud adalah Surat Perintah Sebelas Maret, red) untuk dikembalikan. Nah ini kan aneh. Kenapa minta kepada rakyat, wong mereka tak tahu? Akhirnya saya berkesimpulan bahwa administrasinya kocar-kacir, atau memang sengaja dirahasiakan dan dilenyapkan supaya hilang bekasnya. Pak Yusuf sendiri berkata, waktu dipanggil sebetulnya tak tahu apa-apa, sebab saat mengambil dari Bogor telah diberikan pada Jendral Soeharto," lanjut pria yang pernah dijebloskan rezim Orba tanpa proses pengadilan ini.
Merespon persoalan Supersemar, Franz Magnis mengatakan bahwa Supersemar adalah sebuah manipulasi politik pihak yang mau berkuasa waktu itu. "Kejadian pada tanggal 1 Oktober 1965 sebenarnya tidak ada kaitan langsung dengan Pancasila. Melainkan hal itu memang sebuah makar politik, ingin mengambil alih kekuasaan," katanya.
Sementara itu, menanggapi persoalan polemik sejarah bangsa Indonesia, dalam sebuah wawancara dengan salah satu media di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan, bahwa perlu perspektif yang benar ketika melihat sejarah.
"Terdapat beberapa tonggak sejarah yang mengubah sejarah Bangsa Indonesia, mulai dari generasi 1908, 1928, 1945, 1966 serta 1998 dan barangkali akan muncul tonggak sejarah yang akan mengoreksi apa yang dilakukan sekarang ini. Itu adalah historical continuity. Karena itu marilah kita melihat sejarah dalam perspektif yang benar, tidak perlu ada kegamangan dalam melihat langkah ke depan dan juga tidak perlu ada suatu kegusaran melihat kembali dengan jernih masa lalu kita," papar Presiden.
Dengan cara pandang yang jernih, lanjut Presiden, maka tidak perlu lagi Bangsa Indonesia menciptakan sejarah serta memelihara luka atas yang terjadi di masa lalu. "Tapi dengan semangat rekonsiliasi, dengan semangat melihat ke depan, justru melihat masa lalu untuk memetik pelajaran yang berharga. Jangan terjadi lagi, dan kehidupan kita makin matang, demokrasi kita makin mekar, hak asasi manusia semakin kita hormati," ungkap Presiden.
***
REFORMASI telah berjalan sewindu. Tapi peringatan hari Kesaktian Pancasila—Meski ada perubahan pada naskah ikrar kesetiaan kepada Pancasila, dan Presiden bersama Wapres untuk pertama kalinya tidak lagi berkeliling Monumen Kesaktian Pancasila untuk melihat museum dan diorama tragedi G30S/PKI—masih terus berlangsung.
Sementara itu, ketika diwawancarai soal Pancasila di era Reformasi ini oleh salah satu media di Indonesia, Presiden SBY menegaskan bahwa, meski belum ada fenomena nyata yang mengancam Pancasila, tapi sikap waspada tetap perlu dijaga. "Meski saat ini tidak ada gerakan politik ataupun pernyataan untuk mengganti Pancasila, tetapi ancaman selalu ada. Jika kita tidak waspada, barangkali ada pengaruh, gerakan yang bisa meminggirkan Pancasila. Barangkali ingin menawarkan dan memaksakan dasar falsafah negara yang lain," ungkapnya.
Sementara itu, menjawab bagaiaman agar Pancasila tidak menjadi alat ideologisasi dan kepentingan seseorang/golongan dan atau rezim yang berkuasa, pernah ada sebuah usulan agar Pancasila dirubah menjadi ilmu, tidak sebagai ideologi lagi. Ini seperti yang ditulis Budiarto Danunjaya dalam tulisannya Reinventing Ideology. "Pada Januari 2001 dalam sebuah diskusi bertajuk Radikalisasi Ideologi Negara di Universitas Gadjah Mada, misalnya, sejarawan-novelis Dr Kuntowijoyo mengatakan, kita perlu mengubah persepsi Pancasila sebagai ideologi menjadi ilmu. Dengan begitu, ia bersifat obyektif, menghormati fakta, dan terbuka. Sebagai ilmu, Pancasila dapat dianggap filsafat sosial, cara pandang negara terhadap gejala sosial sekaligus metodologinya."
Usulan ideologi sebagai ilmu itu, menurut Budiarto (Budiarto mengutipnya dari harian Suara Merdeka, 26/1/2001, red), akan memunculkan kekhawatiran. "Kalau-kalau karena terlalu prihatin melihat kesemrawutan kehidupan bermasyarakat dan bernegara kini, kita lalu membiarkan atau tak menyadari penyusupan kembali kecenderungan lama ideologisasi dalam menciptakan kesadaran palsu mengenai sebuah model pembangunan ekonomi "ideal" dengan restriksi "sementara" di bidang-bidang lain, yang sampai Orba tutup buku sekalipun belum juga dicabut status kesementaraannya. Disemangati kekhawatiran semacam inilah kita perlu mempertanyakan upaya menghidupkan kembali diskursus Pancasila sebagai ilmu seperti dilontarkan Kuntowijoyo (semoga saja wartawannya salah menyimpulkan)," tulisnya.
Upaya semacam itu, mengingatkan bangsa Indonesia akan salah satu perwujudan Pancasila dalam kehidupan bangsa ala P4, saat Pancasila menjadi satu-satunya alam berpikir dan dipaksakan menyeruak ke segenap aspek kehidupan, termasuk ke dalam dunia ilmu pengetahuan kita. "Tentu belum lekang dari ingatan kita, ketika mantan Ketua PSSI Jenderal Bardosono menandaskan, sepak bola Indonesia sekali pun harus bercorak sepak bola Pancasila," lanjutnya.
Sementara itu, untuk memperkuat argumentasinya tentang penolakan Pancasila sebagai Ilmu, Budiarto memberikan beberapa contoh. "Upaya ideologisasi ilmu semacam itu, bukan monopoli Orba. Jauh sebelumnya, para negarawan Uni Soviet semacam Lenin juga melakukannya dengan membuat secorak ideologi komunisne yang kerap disebut sebagai Marxisme Ilmiah sebagai garis resmi Partai Komunis, yang harus menjadi haluan dan norma terakhir bagi kebenaran ilmu, politik, dan moral. Upaya reduktif semacam ini bahkan dapat dikatakan pekerjaan lazim rezim pemerintahan yang tiranikal untuk mengurangi kerepotan pluralisme berwacana dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jadi, meminjam cara berpikir Thomas S Kuhn, jelas bahwa ideologi bukan, dan tak mungkin menjadi, ilmu," tulis mantan Redaktur Opini Harian Kompas ini.
***
SELAIN terdapat kekhawatiran tentang kebangkitan fenomena ideologisasi Pancasila, sebagian kalangan juga merasa bahwa era reformasi yang telah berjalan sewindu ini, masih jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila. Di antaranya adalah terancamnya nilai pluralisme dengan konflik antar agama seperti di Poso Sulawesi Tengah, obsesi membuat peraturan daerah (Perda) tentang pemberlakuan ajaran agama tertentu, terorisme; terancamnya humanisme dengan kasus trafficking, buruh, kehadiran Perpres No. 36/2005 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum; terancamnya nasionalisme dengan gerakan separatisme seperti Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, UU Pemerintahan Aceh, praktik jual-beli pulau; terancamnya demokrasi dengan oligarki partai, efek dari Otonomi Daerah, fenomena ‘hukum rimba’ Pilkada, mentalitas buruk para politisi; terancamnya ekonomi kerakyatan dengan kebijakan ekonomi pro globalisasi, kehadiran RUU Rahasia Negara, maraknya KKN, makin senjangnya jarak antara si miskin dan si kaya, dan lain-lain.
Menjawab persoalan tersebut, Prof Dr Azyumardi Azra pernah melontarkan pendapat bahwa perlu revitalisasi Pancasila sebagai faktor integratif negara-bangsa Indonesia.
Sementara itu, Asvi Warman Adam, Pengamat Ahli Utama LIPI, Jakarta, mengatakan bahwa semangat persatuan di Indonesia sejauh ini masih ada. "Tentu saja masih ada, meski semangat sebagai bangsa yang kebingungan. Menjadi bingung, karena terlampau banyak masalah yang harus diselesaikan dalam waktu yang secepatnya. Selama 30 tahun lebih persoalan ditumpuk dan baru meledak pada tahun 1998 lalu," katanya kepada ALFIKR di kantor LIPI, lantai 11 no 18, Jakarta.
Lebih jauh, Asvi mensinyalir bahwa bangsa dan negara Indonesia terkesan lambat mencegahnya. "Pembenahan pelbagai persoalan itu nggak cepat. Misalnya soal otonomi yang menurut saya agak kacau Karena seharusnya otonomi itu diberikan ke daerah tingkat I. Karena hanya daerah tingkat I yang secara SDM dan SDA mampu untuk otonom dan mampu berhubungan dengan luar negeri. Tapi kala itu, ada trauma dari pemerintah pusat bahwa jika otonomi diberikan kepada daerah tingkat I akan terjadi pemberontakan-pemberontakan seperti Sumatra Barat pada tahun 1958. Sementara itu, jika otonomi diberikan kepada daerah tingkat II, mereka hanya memiliki SDM dan SDA yang terbatas. Sehingga ini dijadikan kesempatan bagi elit-elit daerah untuk berbuat macam-macam, anggota DPR korupsi di mana-mana," lanjutnya.
Sementara Franz Magnis, ketika ditanya soal perlu-tidaknya restorasi Pancasila, mengatakan bahwa Pancasila tidak perlu direstorasi. "Menurut saya, Pancasila tidak perlu direstorasi. Kita masih bisa hidup di negara Pancasila. Adapun yang perlu dikembalikan itu ingatan (penjiwaan) akan Pancasila. Karena Pancasila adalah pondasi untuk mempersatukan semua kelompok bangsa ini, tanpa harus menghilangkan identitas kultural dan agama masing-masing."
Senada dengan Franz, KH. Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI mengatakan bahwa restorasi tidak perlu, tapi Pancasila harus terus dikembangkan. "Kok perlu direstorasi, ada apa? Gimana bentuk tawarannya? Nggak jelas kan. Jadi Pancasila itu tidak perlu diotak-atik kembali. Tapi jika dikembangkan, iya," katanya kepada ALFIKR di kediamannya, Ciganjur Jakarta Selatan.
Sementara itu, menjawab bagaimana menilai sebuah nation-state ini telah menjalankan nilai-nilai Pancasila, Romo Franz Magnis (demikian dia akrab disapa) mengatakan bahwa, "pancasila harus menjadi semacam tolak ukur kritis untuk menilai keberhasilan kepemimpinan eksekutif, legislatif, yudikatif dan lainnya. Coba saja pantau, apakah keadilan sudah tercapai? Apakah kita betul-betul hidup bersama secara adil dan beradab?"

Adib Minanurrachim, Mahfudz Sunarjie, M Sa'dullah dan M Iqbal
Dimuat di ALFIKR No 14 Th XIV Desember 2006 Februari 2007

Tidak ada komentar: