Minggu, 11 November 2007

PANCASILA DAN DEMOKRASI

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda // Mereka memang berbeda, tapi bagaimanakah bisa dikenali?// Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal // Terpecah belahlah itu, tapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran. (Mpu Tantular, Kakawin Sutasoma)

KUTIPAN bait di atas adalah terjemahan dari Bahasa Jawa Kuna (Kawi), yang dikutip dari Kakawin (Kitab) Jawa Kuna Sutasoma, karya Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit di abad XIV. Kakawin ini istimewa, karena menggambarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha di bawah bendera Majapahit. Atas sikap toleran dan kehendak bersatu ini, Majapahit pernah mengalami masa keemasan dan terkenal sebagai nation state (negara-bangsa) yang memiliki pola organisasi rapi seperti Imperium Romawi, dan merupakan negara maritim terbesar di dunia pada zamannya.
Subtansi pemikiran Mpu Tantular itu, lalu dijadikan motto Bangsa Indonesia dengan nama Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu). Ini seperti ditegaskan Ir. Soekarno di hadapan anggota Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945, bahwa Bangsa Indonesia hendak mendirikan sebuah negara “semua untuk semua”, bukan untuk satu orang atau satu golongan. Soekarno menegaskan subtansi ajaran itu, karena menyadari bahwa Bangsa Indonesia terdiri dari pelbagai macam suku, adat, ras dan agama yang berbeda-beda. Dia bercita-cita mendirikan nation-state seperti zaman Sriwijaya dan Majapahit melalui Pancasila dan demokrasi. Dengan Pancasila, Bangsa Indonesia memiliki karakteristik sekaligus cita-cita. Sementara demokrasi adalah instrumen perjuangannya.
Menurut Otto Bauer, tokoh Prancis yang dikutip Soekarno dalam pidato pertamanya, bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Bangsa bukan karena kesamaan suku, adat, ras dan agama. Bangsa adalah sikap bersama ketika nasib yang sama mempersatukannya. Sederhananya, menurut Ernest Renan, ada kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble). Ini dibuktikan ketika pada masa perjuangan, Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke memiliki kecenderungan sikap yang sama untuk merdeka dari cengkeraman penjajah Belanda maupun Jepang.
Tapi sebagai bangsa kita tidak kemudian menjadi chauvinis, mengaku sebagai bangsa tertinggi di dunia dan merendahkan bangsa lain. Kita harus menuju pada persatuan dan persaudaraan dunia. Bukan sebaliknya.
Cita-cita Bangsa Indonesia adalah terkandung dalam nilai-nilai dari Pancasila (lima sila/azas), yang mendasari berdirinya Negara Indonesia. Nilai-nilai itu adalah; pertama pluralisme agama (kebebasan menganut dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing); kedua humanisme; ketiga nasionalisme; keempat demokrasi; kelima ekonomi kerakyatan. Kelima nilai ini—meminjam istilah Jurgen Habermas—merupakan ‘proyek’ masa depan yang tak pernah usai, yang harus diperjuangkan terus-menerus agar kita bisa merasakan tetes-tetes sari patinya.
Bukti tak kunjung usainya ‘proyek’ itu, adalah masih sedemikian banyaknya masalah yang terus-menerus dihadapi Bangsa Indonesia sejak merdeka hingga era reformasi saat ini. Mulai soal terancamnya nilai pluralisme dengan konflik antaragama di Poso Sulawesi Tengah, obsesi membuat peraturan daerah tentang pemberlakuan ajaran agama tertentu; terancamnya humanisme dengan kasus trafficking, buruh; terancamnya nasionalisme dengan gerakan separatisme seperti Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku; terancamnya demokrasi dengan oligarki partai, fenomena ‘hukum rimba’ Pilkada; terancamnya ekonomi kerakyatan dengan makin maraknya KKN, dll.
Pertanyaannya, mengapa masalah itu bermunculan? Ada yang menjawab, itu terjadi karena Pancasila mulai kehilangan ruh dan maknanya. Sehingga perlu ada restorasi (pemugaran kembali) agar Pancasila bisa kembali bermakna dan lebih bisa memberi motivasi agar bangsa ini lebih mempererat persatuan.
Pendapat itu, barangkali merupakan keresahan sebagian kalangan terhadap fenomena kurangnya penjiwaan Bangsa Indonesia terhadap nilai-nilai Pancasila. Sebelumnya, ini juga terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin Soekarno dan lebih-lebih Demokrasi Pancasila Soeharto.
Pertama, Soekarno membubarkan parlemen dan mengumpulkan kekuasaan dalam hanya dirinya. Meski langkah diktatorial ini didukung oleh rakyat yang tak sabar dengan “cekcok para politisi”, tapi menurut Bung Hatta, sistem yang mengandalkan kekuasaan pada orang per orang, tak ubahnya seperti rumah kertas yang cepat rontok. Kedua, Soeharto memposisikan Pancasila sebagai instrumen politik untuk menjaga kelestarian status quo. Sehingga rezim ini menjadi tertutup, otoriter-represif dan menumbuh-suburkan KKN di segala lini dan tingkatan.
Merespon tawaran restorasi itu, KH. Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Republik Indonesia mengatakan bahwa restorasi tidak perlu, tapi Pancasila perlu dikembangkan. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila itu perlu terus diperjuangkan.
Sementara itu, sejauh ini instrumen perjuangan yang masih dianggap relevan adalah demokrasi. Karena demokrasi menjamin persamaan hak asasi manusia. Sehingga kita bisa memperbaiki pelbagai masalah melalui jalur musyawarah dan mufakat.
Lebih jauh, melalui demokrasi, kita tidak menjadi bangsa yang merdeka tapi kaum kapitalisnya merajalela. Artinya, kita punya peluang merealisasikan kesejahteraan sosial. Ini diperkuat dengan nilai sila kelima, yaitu ekonomi kerakyatan.
Meski demikian, jika demokrasi tanpa disertai dengan supremasi hukum yang independen, tujuan mulia di atas masih juga bisa dimanipulasi. Contoh mudahnya adalah kasus KKN Soeharto dan kroni-kroninya. Mereka lolos bukan karena tidak ada hukum, tapi karena hukum yang tidak independen.
Sementara itu, keberadaan pers bebas yang bertanggung jawab, sejauh ini ternyata bisa menjadi pilar demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Karena pers bisa meminimalisir kasus-kasus kejahatan melalui publikasi, yang kemudian dilanjutkan dengan kontrol oleh masyarakat. Mengingat betapa penting kehadiran pers bebas dan bertanggungjawab ini, barangkali kehadiran RUU Rahasia Negara perlu ditolak dan menggantinya dengan turut memperjuangkan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik menjadi legal drafting.
Terakhir, dalam rangka memperjuangkan nilai-nilai Pancasila, kehadiran civil society (masyarakat kuat) mutlak diperlukan. Ini bisa dilakukan bila segenap elemen pro demokrasi bersatu, merapatkan barisan untuk melakukan pendidikan terhadap masyarakat. Sehingga nantinya akan tercipta masyarakat yang berdaya. Karena itu, falsafah Bhinneka Tunggal Ika yang telah berurat akar ratusan tahun di bumi Indonesia, perlu terus kita pelihara dan jaga. Ini seperti kutipan syair lagu Iwan Fals yang berjudul Di Bawah TiangBendera: Pada tanah yang sama kita berdiri // Pada air yang sama kita berjanji // Karena darah yang sama jangan bertengkar // Karena tulang yang sama usah berpencar // Indonesia... Indonesia.

Adib Minanurrochim
Dimuat di ALFIKR No 14 Th XIV Desember 2006 Februari 2007

Tidak ada komentar: