Minggu, 11 November 2007

BENIH KONFLIK TAK BERUJUNG

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pertanggungjawaban KPUD dan persyaratan calon kepala daerah ditengarai potensial melahirkan konflik. Tapi di Banyuwangi, isu eksekusi tersebut tenggelam karena konflik akibat dualisme kepemimpinan di tubuh Dewan Pengurus Cabang Partai Kebangkitan Bangsa (DPC PKB).

HARAP-HARAP cemas tampak menyelimuti ruang psikologis segenap warga Kota Gandrung menyambut Pilkada yang tinggal menghitung hari. Kecemasan itu bersumber dari berlarut-larutnya konflik antara DPC Minak Jinggo pimpinan Ir Wahyudi dan DPC Pondok Wina pimpinan KH Hasyim Kholil soal legalitas partai dan hasil penetapan calon bupati yang boleh mengikuti Pilkada.
Hampir tiap hari terjadi aksi dukung-mendukung dari kedua belah pihak. Konflik ini bahkan memancing DPP dan DPW PKB Jawa Timur untuk turun ke Banyuwangi. Alih-alih menengahi konflik, tapi tambah menjadikan lebih panas perseteruan antara DPC Minakjinggo yang mencalonkan Ir Wahyudi dan DPC Pondok Wina yang mencalonkan Ir Syamsul Hadi. Meningkatnya tensi konflik itu terbukti dari dibawanya kasus tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya dan Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi.
Meski akhirnya PN Banyuwangi menetapkan pasangan Wahyudi-Eko Sukartono sebagai pihak yangberhak mengikuti Pilkada, namun riak-riak konflik di antara kedua belah pihak masik tampak. “Sebetulnya ada sedikit imbas dari persoalan PKB. Tapi setelah PN Banyuwngi memutuskan Ir Wahyudi sebagai ketua PKB, konflik sedikit mereda,” kata Teguh Dwi Prasetyo, anggota Panwasda Divisi Pengawasan.
Di sisi lain, dampak konflik yang melibatkan orang nomor satu Banyuwangi itu juga berimplikasi pada institusi seperti Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Ini terbukti dengan sulitnya KPUD mendapatkan kucuran dana Pilkada. (Hingga saat ini (21/05/05), sepersen pun dana dari Pilkada belum cair,” kata Daniel Didik HS, Staf KPUD banyuwangi.
Persoalan mancetnya dana tentu menjadikan tahaan-tahapan kinerja KPUD tidak maksimal. Seperti pantauan ALFIKR di lapangan, hingga tanggal 1 Juni, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Sempu, Rogojampi dan Genteng belum membentuk Panitia Pemungutan Suara (PPS). Padahal jadual yang telah ditentukan KPUD, rekrutmen PPS dilaksanakan pada tanggal 14 Mei 2005. Lebih jauh, mancetnya dana Pilkada juga berimlikasi pada komitmen staf KPUD. “Staf di sini banyak yang hengkang karena tidak digaji,” lanjut Daniel.
Implikasi konflik yang dirasakan oleh KPUD ini tidak bisa dilepaskan dari Surat Keputusan (SK) KPUD Banyuwangi No 07 tahun 2005, tentang keputusan menetapkan pasangan Wahyudi-Eko Sukartono dan menolak pasangan Syamsul Hadi dan Gatot Sirajjuddin. “KPUD terlalu berani. Seharusnya mereka menerima pasangan yang sudah matang. Sehingga tidak terkesan ikut intervensi persoalan internal partai politik,” kata Redy, aktivis PMII Banyuwangi.
Senada dengan Redy, Sugihartoyo, SH, rektor Universitas 17 Agustus (untag) Banyuwangi mengatakan, “saya bisa menggambarkan, urusan yuridis diselesaikan secara yuridis lewat lembaga hukum. Sementara yang politis dikembalikan kepada aturan main di masing-masing parpol. Bila yang yuridis dan politis ini sampai melambung ke dalam hal yang administratif di KPUD, akibatnya akan fatal.”
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Aliansi NGO Banyuwangi dalam buku yang berjudul “Peta Konflik; Tahapan Persiapan Pelaksanaan Pilkada tahun 2005 Banyuwangi.” Dalam buku itu dikatakan, KPUD telah melebihi kewenangannya sebagai penyelenggara Pilkada dengan bukti dikeluarkannya SK 07/2005. Menurut Alinasi NGOm SK itu tidak berdasarkan pasal 66 ayat 1 No 32 tahun 2004 pasal 5 PP No 6 tahun 2005, tentang tugas dan wewenang KPUD. Dalam pemberian wewenang itu tidak ada satu pun yang menjelaskan: memerintahkan KPUD bertindak untuk menjadi pihak penentu sebuah keabsahan kepengurusan parpol yang akan ikut Pilkada.
Lain Alinasi NGO lain pula alasan yang diberikan KPUD. Menurut ketua Pokja Pencalonan Bupati dan Wakil bupati KPUD Banyuwangi, Hary Priyanto, dasar dari penerbitan SK 07/2005 adalah UU No 13 tahun 2002 tentang Parpol. “UU No 13/2002 menyebutkan, jika terdapat dualisme kepengurusan Parpol dan pengadilan belum menetapkan yang sah, yang dianggap sah adalah kepengurusan sebelum tejadi pertikaian,” katanya.
Melihat implikasi dualisme kepemimpinan PKB Banyuwangi yang telah menyeret sebagian warga NU dalam aksi dukung-mendukung, KH Masykur Ali, Ketua PCNU Banyuwangi mencoba menengahinya, “sesuai dengan Tausyiah Muktamar NU ke 31, PCNU berusaha menjaga jarak agar tidak terjebak dalam aksi dukung-mendukung salah satu Cabub. Dan kami menghimbau warga NU jangan sampai terjebak konflik yang terjadi menjelang Pilkada, termasuk konflik di tubuh PKB.”
Senada dengan ketua PCNU, budayawan senior Banyuwangi, Hasnan Singodimayan berpesan, “tolong gunakanlah kearifan lokal dalam menyikapi Pilkada.”

POTENSI KONFLIK DARI EKSEKUSI MK
DI TENGAH panasnya konflik di tubuh PKB yang kemudian meluas dan berimplikasi pada lambatnya tahapan-tahapan Pilkada, potensi konflik lainnya adalah implikasi dari eksekusi MK tentang pola pertanggung jawaban KPUD yang tidak lagi kepada DPRD melainkan publik, dan persyaratan pengajuan calon kepala daerah yang bisa dari gabungan partai non parlemen.
Menanggapi eksekusi MK itu, Sugihartoyo mengatakan bahwa keputusan tersebut bias. “Saya pun masih memandang bias. Tapi jika KPUD bertanggungjawab kepada DPRD, minimal dikhawatirkan nanti bilamana pihak-pihak di DPRD kurang puas, maka ukurannya adalah puas-tidaknya DPRD terhadap hasil Pilkada. Ini membahayakan. Bisa jadi karena tidak puas, maka dianggap tidak berhasil,” katanya.
Sementara Teguh dari Panwasda mengatakan, masih ada tarik ulur mengenai mekanisme pertanggungjawaban, apakah seluruh masyarakat Banyuwangi atau DPRD? Tapi berangkat dari Perpu No 03/2005 ia mengatakan bahwa pertanggungjawaban KPUD tetap kepada DPRD lalu dinformasikan kepada publik.
***
PUTUSAN MK yang mengabulkan judicial review UU No 32/2004 tentang persyaratan Parpol yang boleh mengajukan calonnya meski tidak memiliki kursi di parlemen, tapi memiliki suara 15 % saat pemilu legislatif, ditanggapi beragam. Tapi bagi partai-partai gurem, putusan itu bak durian runtuh.
Saat ini di banyuwangi memang terdapat Cabub dan Cawabub yang berangkat dari gabungan 18 Parpol non parlemen. Ke-18 partai itu lebih dikenal dengan sebutan Gabungan Partai Politik Non Parlemen atau GPPNP. Sementara pasangan calon yang mereka usung adalah Ratna Ani Lestari dan Yusuf Nuris.
Menanggapi fenomena baru itu, Wahyudi, SE, Sekretaris DPC PKB Banyuwangi mencoba mengedepankan positive thinking. “Menurut saya, keputusan MK itu tidak menimbulkan ketersinggungan dari partai-partai besar. Karena itu diatur oleh UU dan kita harus mentaatinya.”
Meski demikian, ada juga partai besar yang menyayangkan aturan tersebut. “Bagaimana mereka mengetahui tentang regulasi UU dan sebagainya? Mungkin ini yang perlu disadari,” kata Hari Suharto, Tim Media Center Pemenangan Cabub dan Cawabub dari DPC PDIP Banyuwangi.
Melihat persoalan di atas, pengamat politik Banyuwangi Sugihartoyo mengatakan bahwa aturan tersebut perlu dilihat sebagai iktikad baik pemberdayaan demokrasi. “Kita perlu mensikapinya sebagai pemberdayaan demokrasi,” katanya.
Sementara Redy, calon konstituen dan aktivis PMII kelahiran Sumenep ini memandang keputusan MK dengan nada pesimistis. “Ok. tampaknya tidak ada apa-apa. Tapi bagaimana ketika misalkan partai gurem yang menang? Bagaimana mereka menghadapi kebijakan-kebijakan politis dari parlemen? Kira-kira, ketidak adaannya di parlemen apakan menjamin efektifitas kebijakan yang akan dikeluarkannya?”

Adib Minanurrachim dan Mahfudz Sunarjie
Dimuat di ALFIKR No 12 Th XIII Juni - Agustus 2005

Tidak ada komentar: