Minggu, 11 November 2007

KORUPSI: DILEMA OTONOMI DAERAH

Seiring kebijakan otonomi daerah (Otoda) yang digulirkan 1 januari 2001 lalu, fenomena desentralisasi korupsi banyak ditemukan di daerah-daerah. Bagaimana daerah mengantisipasinya?

INDONESIA amat masyhur di bidang korupsi. Menurut Transparency International—lembaga internasional independen yang berpusat di Berlin, Jerman—di tahun 2004, peringkat korupsi negara Indoensia berada di posisi ke delapan, hampir mendekati posisi puncak sebagai negara terkorup di dunia.
Korupsi yang merupakan penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan pribadi, adalah penyebab utama dari rendahnya kualitas hidup manusia Indonesia. Hal ini tampak dari indeks taraf hidup yang dilaporkan The Economist, bahwa Indonesia menempati peringkat ke 71 dengan indeks sebesar 5.81, kalah jauh dengan Malaysia yang berada di posisi 36 dengan indeks 6.61. Adapun taraf hidup yang dimaksud The Economist, sebuah penerbitan yang mengukur taraf hidup dari penduduk di 111 negara, di antaranya meliputi penghasilan, pengangguran, kehidupan keluarga dan masyarakat. Sementara itu, dari sisi pembangunan manusia, menurut UNDP (United Nation Development Program), Indonesia menempati peringkat ke 110 dari 177 negara.
Melihat persoalan korupsi yang telah mencoreng citra bangsa Indonesia yang konon dikatakan sebagai bangsa religius, tampaknya pemerintah Indonesia tidak sekedar berpangku tangan. Hal ini tampak dari tekad Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika melantik Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada 2 Mei 2005 lalu. Dalam sambutannya, SBY bertekad akan menggusur para koruptor setelah para pendahulunya gagal.
Menaggapi tekad SBY ini, Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah mengatakan bahwa, ajakan cleaning house policy yang dilontarkan SBY patut dipuji. Tapi persoalannya, apakah political will SBY juga diikuti oleh segenap institusi negara, seperti legislatif dan yudikatif baik yang berada di pusat dan juga daerah mengingat pasca digulirkannya Otoda, ‘virus’ korupsi cenderung menyebar ke daerah-daerah?
Di antara bukti terjadinya kasus korupsi di daerah adalah, korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Banten tahun 2004 senilai Rp 1,5 miliar, yang diduga dilakukan oleh Syarifal, Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banten; kasus korupsi APBD Sidoarjo tahun 2003 yang diduga dilakukan oleh delapan belas mantan anggota DPRD Sidoarjo periode 1999-2004; kasus korupsi Usaha Peternakan Aliansi (UPA) senilai Rp. 3,5 miliar yang dilakukan M. Syoebairy, mantan kepala Bappeda dan Asisten II Pemkab Pasuruan; dan di Probolinggo, organisasi non-pemerintah Ampera (Aliansi Masyarakat Peduli Rakyat) mensinyalir adanya kasus korupsi dalam pembangunan Gedung Islamic Center (GIC) dan Pantai Wisata Bentar (PWB) senilai 31,1 M yang diduga melibatkan salah satu orang terkuat di Probolinggo.
Bertolak dari fakta di atas, Otoda yang mulanya diasumsikan sebagai upaya pemerintah pusat untuk lebih memberdayakan masyarakat dengan mengurangi sentralisasi hasil sumber daya alam daerah (SDA), ternyata juga dijadikan ‘lahan basah’ di mana praktik tindak pidana korupsi berlangsung. “Dari harapan-harapan itu (Otoda) nampaknya kita akan sejahtera dan mendapatkan pelayanan yang luar biasa. Tapi ternyata, di balik itu semua sudah muncul kriminologi, yaitu kondisi yang—jika kita tidak hati-hati—memungkinkan terjadinya penyimpangan tindak pidana korupsi,” ungkap Agus Sudaryanto, aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ketika menjadi nara sumber dalam seminar yang diadakan Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC. PMII) Probolinggo pada 22 Desember 2005 lalu.
Masih menurut Agus, “jika dulu sebelum Otoda (rezim orde baru, Red) praktek korupsi begitu terpusat, tapi sekarang sudah terjadi perpindahan korupsi. Daerah sudah terjangkiti penyakit tersebut.”
Sementara itu, melihat praktik korupsi yang selain melibatkan para pejabat eksekutif, juga dilakukan oleh anggota legislatif, Ibrahim Watnobandong, Manager Program Devisi Korupsi Politik dari ICW, dalam seminar PMII bertema “Berkomitmen Menuju Probolinggo Bebas dari Korupsi” menilai bahwa, “kekuatan parlemen yang tidak diperoleh ketika rezim orde baru, seperti pengawasan terhadap kinerja pemerintah, dijadikan alat untuk menekan lembaga pemerintah seperti BUMN maupun departemen lainnya. Dengan begitu, akan terjadi tarik-menarik kepentingan antara pemerintah dengan parlemen yang ujung-ujungnya terjadi korupsi politik.”
Lebih jauh, desentralisasi korupsi ternyata juga melibatkan kalangan partai, tokoh-tokoh kampus, organisasi non-pemerintah (Ornop) yang terlibat di lembaga-lembaga semi-negara seperti KPU dan KPUD serta Panitia Pengawas Pemilu. Dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang telah dilangsungkan beberapa bulan lalu, terbukti sebagai tempat di mana praktek korupsi berlangsung. Hal ini seperti temuan data ALFIKR bahwa, tidak jarang partai-partai menetapkan tarif untuk pasangan gubernur, bupati dan walikota yang meminta dukungan dari mereka (Parpol).
Merespon persoalan ini, Sugeng Hariono, Kepala Kejaksaan Kota Probolinggo, ketika menjadi salah satu nara sumber dalam seminar yang diadakan PC. PMII Probolinggo 22 Desember 2005 lalu, mengatakan, “setelah diundangkannya UU No 16/2004, Kejaksaan Agung Republik Indonesia baru-baru ini telah berkomitmen dan melakukan sumpah untuk bersama-sama memberantas korupsi.”
Memang! Setelah bertubi-tubi diwartakan oleh media massa dan Ornop yang konsentrasi dalam bidang pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), lembaga-lembaga pemerintah tampak menunjukkan komitmen untuk bersama-sama memberantas korupsi. Di antaranya ditunjukkan oleh Kapolri melalui lembaga Tim Tastipikor (Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi).
Meski demikian, upaya pemberantasan korupsi tidaklah semulus yang dibayangkan. Banyak pejabat publik yang dalam beberapa sidang kasus korupsi di pengadilan dinyatakan terlibat tindak pidana korupsi, ternyata dalam sidang pengadilan di tingkat selanjutnya, pejabat itu dinyatakan lolos. Sejarahnya adalah kasus Buloggate II Akbar Tanjung, mantan Ketua DPR RI.
Sementara itu, kendala-kendala pemberantasan korupsi juga dialami oleh daerah. Hal ini seperti yang dilaporkan Gerakan Anti Korupsi (GAK)—bentukan Ampera Probolinggo—dalam laporannya “Setahun Perjalanan Perjuangan Berantas Korupsi di Kabupaten Probolinggo” yang diberikan kepada ALFIKR. Dalam dokumentasi itu dikatakan bahwa, ketika GAK melaporkan dugaan kasus korupsi dana pemilu 2004 senilai 4 miliar lebih kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Probolinggo di Kraksaan pada Bulan Agustus 2005, laporan GAK itu ternyata tidak diproses. Malah di hari yang sama, Kejari mengeluarkan pernyataan bahwa setelah dilakukan investigasi tertutup, tidak ada penyimpangan dalam penggunaan dana pemilu 2004. Dan naifnya, laporan itu berbuntut pada tuduhan pencemaran nama baik yang dialamatkan kepada GAK. Lebih jauh, mereka juga mengalami teror dan intimidasi dari orang yang tidak dikenal.
Melihat persoalan ini, tidak aneh jika kemudian banyak kalangan yang cenderung menilai bahwa korupsi yang dilakukan oleh koruptor yang nota bene terdiri dari para pejabat negara, tidak mudah diselesaikan dari sudut pandang hukum saja. “Korupsi yang terjadi di negara kita bukan lagi fenomena hukum, bukan orang yang melangggar konstitusi dan undang-undang, tapi merupakan fenomena kekuasaan,” ungkap Watnobandong.
Bertolak dari persoalan desentralisasi korupsi dan beberapa kendala yang dihadapi oleh para aktivis Ornop, Agus Sudaryanto menawarkan dua solusi, pertama; melalui gerakan moral yang di antaranya adalah pembuktian terbalik. “Misalnya ada pejabat yang diduga melakukan korupsi, maka masyarakat bisa meminta pertanggungjawabannya untuk disampaikan kepada publik agar membuktikan bahwa, baik kekayaan dirinya sendiri, istrinya, anak-anaknya, maupun keluarganya tidak diperoleh dari hasil korupsi. Ini merupakan salah satu sarana pembelajaran kepada masyarakat. Kita berhak untuk menggunakan kebijakan pembuktian terbalik itu, tapi hal ini perlu keterlibatan beberapa elemen masyarakat agar memiliki kekuatan hukum,” jelasnya.
Kedua, melalui jalur hukum (litigasi). “Ini merupakan fasilitas yang bisa memberdayakan masyarakat dalam penegakan hukum. Apalagi secara litigatif, struktur formal aturan hukumnya sudah jelas, khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Itu bisa digunakan untuk mengontrol proses penegakan hukum,” pesannya pada sekitar 273 orang peserta seminar PMII Probolinggo.

Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 13 Th XIV April-Juni 2006.

Tidak ada komentar: