Minggu, 11 November 2007

UU GURU DAN DOSEN: JANJI KESEJAHTERAAN YANG MASIH BURAM

“Sejak sekarang, tiada lagi guru tanpa tanda jasa. Semua guru dengan tanda jasa,” kata Mendiknas, Bambang Soedibyo. Tapi benarkah?

SOAL tuntutan kesejahteraan guru, memang tidak lepas dari kondisi riil para guru yang jauh dari cukup. Banyak di antara guru, lebih-lebih swasta, yang mencari obyek kerja selain mengajar di sekolah, seperti berdagang dan lainnya. Hal ini seperti yang dialami Pak Broto, guru agama di salah satu sekolah swasta di Surabaya. Sore itu, di tengah kesibukannya berdagang Hand Phone (HP) di salah satu Pasar di Kota Surabaya, ia mengatakan, “yah! gimana lagi mas? gaji juga segitu-gitu aja.”
Pilihan bisnis seperti yang dilakukan Pak Broto, akhirnya berakibat pada kurang maksimalnya dedikasi guru terhadap dunia pendidikan, khususnya terhadap perkembangan keilmuan si murid. Melihat fenomena ini, banyak dari masyarakat yang kemudian merasa dirugikan dan mempertanyakan tanggung jawab dan konsistensi guru dalam mengajar.
Namun demikian, jika dilihat secara bijak, pilihan mencari obyek kerja seperti bisnis, bukan semata-mata kenakalan para guru, tapi karena memang terdesak oleh kebutuhan ekonomi. Lebih-lebih jika mengingat terus naiknya harga minyak dari tahun ke tahun. Apalagi Bulan Oktober lalu, harga bahan bakar minyak (BBM) naik drastis mendekati angka 100% yang otomatis mempengaruhi seluruh harga kebutuhan pokok. Di sisi lain, gaji guru dan tunjangan yang mereka terima dari pemerintah masih jauh dari cukup. “Wah jelas gak cukup mas! Apalagi BBM naik dan harga kebutuhan pokok naik semua,” jelas Broto.
Sebenarnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di awal masa kampanye pernah berjanji akan memberikan gaji minimal 1 juta bagi para guru. Dan tampaknya, janji pemimpin negeri ini diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen 6 Desember lalu. Selain sebagai payung hukum bagi para guru dan dosen, serta bermaksud meningkatkan kualitas guru agar lebih professional melalui uji kompetensi dan sertifikasi, konon UU ini juga bertujuan meningkatkan kesejahteraan para guru dan dosen.
Sebelumnya, polemik soal pasal-pasal krusial cukup mewarnai proses pengesahan Rancangan UU Guru dan Dosen menjadi UU. Hal ini tampak dari diundurnya rencana pengesahan yang akan dilakukan pada tanggal 25 Nopember 2005, bertepatan dengan Hari Guru Nasional. Tapi, karena banyak dari RUU ini yang harus diperbaiki, maka pengesahannya diundur. Salah satu yang menjadi fokus perhatian ketika masih dalam bentuk RUU, adalah soal kesejahteraan, kususnya belum jelasnya keberpihakan pada kesejahteraan guru swasta. Hal ini seperti yang dituturkan oleh H. Abdul Hamid Wahid, M. Ag., anggota Komisi X DPR RI yang dihubungi ALFIKR via telepon, “di antara yang terpenting adalah soal kesejahteraan. Dan karena alasan ini, terutama perhatian negara terhadap guru swasta, kita sempat menunda pengesahan RUU ini.”
Mundurnya pengesahan RUU itu, ditengarai juga karena masih kurang riilnya pemerintah dalam mempertimbangkan antara janji tingkat kesejahteraan guru dengan kondisi riil keuangan negara. Hal ini seperti yang ditulis oleh Hananto Widodo, Dosen Fakultas Ilmu Sosial Unesa dalam tulisannya yang berjudul, “Dilema Kesejahteraan Guru dan Dosen”, yaitu, “apakah jaminan pasal 14 ayat 2 RUU ini (gaji guru dan dosen minimal 2 kali gaji PNS non-guru. Dan tunjangan profesi keguruan 50% dari gaji pokok, atau sama dengan satu kali gaji pokok PNS, Red) bisa diterapkan? Sebab dalam Pasal 5 UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dikatakan bahwa setiap produk UU harus memenuhi asas dapat dilaksanakan. Sementara kita tahu bahwa keuangan negara cukup terbatas”. Bertolak dari kondisi itu, akhirnya ketentuan pasal 14 RUU itu dihapuskan karena keuangan negara benar-benar terbatas.
Sementara itu, jika melihat perubahan beberapa pasal dari RUU sebelum menjadi UU, tampaknya kalangan guru pantas kecewa. Hal ini seperti yang ditulis ST. Sularto dalam tulisannya yang berjudul “Cerita Tentang Arogansi Kekuasaan”. Dalam tulisan itu, Sularto mengatakan, “setelah menjadi UU, pasal 14 ternyata dihapus. Pasal ini bergeser menjadi pasal 15 dengan tambahan ayat bahwa besarnya akan ditentukan lewat peraturan pemerintah (PP). Yang muncul lalu keharusan guru memiliki sertifikasi mengajar. Karena itu UU ini lebih tepat disebut UU Sertifikasi Guru ketimbang UU Guru dan Dosen.”
Lebih jauh, mengomentari persoalan kesejahteraan guru dan dosen, KH. Ali Maschan Moesa, Ketua PWNU Jawa Timur yang ditemui ALFIKR di kediamannya, mengatakan, “jika bicara soal guru, saya lebih melihat komitmen pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari anggaran pendidikan yang katanya sampai 20 persen. Tapi faktanya? Paling-paling hanya 6 atau 7 persen dari total anggaran negara.”
Memang, sejauh ini realisasi dana pendidikan masih berkisar 7% dari total anggaran APBN dan APBD. Alokasi dana pendidikan yang tidak maksimal itu, tampaknya didukung oleh Penjelasan Pasal 49 ayat 1 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang menyatakan bahwa pemenuhan pendanaan pendidikan (20%, Red) dapat dilakukan secara bertahap. Namun demikian, seperti dilaporkan reporter Majalah Berita Mahkamah Konstitusi (BMK), Rafiuddin Munis Tamara, bahwa telah dilakukan judicial rieview oleh Mahkamah Konstitusi atas permohonan Fathul Hadie Usman—Direktur ACC-SERGAP—terhadap Penjelasan Pasal 49 UU Sisdiknas atas Pasal 31 ayat 4 UUD 1945. Menurut Fathul Hadie, Pasal 49 dari UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) yang menegaskan bahwa, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. (BMK, No. 11/Juli-Agustus 2005).
Senada dengan hal di atas, kepada ALFIKR, KH. Mujib Imron, anggota Dewan Perwakilan Daerah Jawa Timur, juga menjelaskan, ”saya meminta komitmen pemerintah melalui Mendiknas, sejauh mana akan melakukan 20% ini? Mendiknas menjawab, akan ditempuh tahun 2009, sesuai dengan penjelasan yang ada di UU Sisdiknas. Waktu itu saya langsung menaggapi, kesepakatan pemerintah dan DPR itu batal demi hukum. Karena substansi ayat 4 pasal 31 UUD 1945, tidak bisa diinterpretasikan lagi.”
Bertolak dari hal di atas, tampaknya janji pemerintah soal kesejahteraan yang termaktub dalam UU Guru dan Dosen tidak akan jauh berbeda dengan kasus angka 20% dari UU Sisdiknas. “Lagi-lagi saya pesimis. Jangankan bicara peningkatan kesejahteraan guru dan dosen, saya masih sangat pesimis melihat perkembangan ekonomi saat ini. Bayangkan harga BBM saat ini? Sudahlah! Jika anggaran 20% itu diterapkan pemerintah, itu saja baik. Tapi sayang, faktanya itu lho!” sesal Ali Maschan kepada ALFIKR.
Lebih lanjut, ternyata janji kesejahteraan berupa tunjangan profesi itu juga tidak serta-merta mudah diperoleh para guru dan dosen. Dan jika pun bisa, hanya bisa diraih oleh sebagian kecil guru dan dosen yang ada saat ini. Karena mereka harus terlebih dahulu memiliki ijazah minimal SI atau D 4 bagi guru dan S2 bagi para dosen. Selanjutnya mereka juga harus melakukan uji kompetensi dan sertifikasi. “Dari UU ini, pemerintah akan menguji kompetensi para guru. Jika belum kompeten, hak dan kewajibannya belum bisa dipenuhi,” jelas Ahmadie, M.Pd., Kepala Seksi Pendidikan Umum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Melihat persoalan di atas dan mengingat bahwa dari total 2,7 juta guru tetap, baik PNS maupun non-PNS yang memiliki ijazah sarjana saat ini hanya sekitar 570.000 orang, tidak mengherankan bila banyak kalangan yang pesimis terhadap janji pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen. Hal ini seperti diungkapkan oleh Mohammad Abduhzen, Sekretaris Institut for Education Reform Paramadina Jakarta, “apalagi untuk guru SD yang kualifikasi akademiknya rata-rata di bawah S1 atau D4.”
Menanggapi persoalan kesejahteraan ini, H. Ahmad Saerozi, M. Pd, Ketua PW. LP. Ma’arif NU Jawa Timur yang ditemui ALFIKR di kantornya, menghimbau, “seharusnya pemerintah memperhatikan soal batasan minimal gaji. Bagaimana pun cara menikmatinya, jika ikan asin terus kan juga tidak enak. Gaji itu harus manusiawi.”
Senada dengan Saerozi, Ali Maschan menambahkan, “sistem hukum itu kan ada empat; isi hukum, struktur hukum, aparat hukum, dan kultur hukum. Nah, saat ini aturan hukumnya sudah ada, yaitu UU guru dan Dosen. Tapi jika aparat hukum, dan seterusnya tidak mendukung, ya sama saja. Dan repotnya, di setiap produk UU tidak ada yang mengatur soal sanksi bagi pemerintah.”

Adib Minanurrachim
Dimuat di ALFIKR No 13 Th XIV April-Juni 2006.

Tidak ada komentar: