Bagi warga urban di Jakarta, menikmati masakan tradisional bersama keluarga di sebuah tempat yang asri dan terasa di kampung sendiri memang tak mudah. Tapi kesulitan itu dijawab Restoran Pondok Laras. Selain menyediakan menu masakan tradisional, saung yang luas, tempat mainan anak-anak, Pondok Laras juga memberikan sentuhan Islami.
SEKILAS, restoran bergaya tradisional Jawa ini kurang menarik dilihat. Halamannya hanya bisa menampung beberapa mobil. Sementara bagian dinding depannya terbuat dari kayu yang sudah mulai kusam. Sehingga orang yang tidak pernah berkunjung ke sana, tampak ngeh untuk mampir dan menikmati makanan di dalamnya.
Tapi setelah kita masuk di dalamnya, perasaan ngeh tadi akan berubah takjub. Dengan luas sekira 700 m, restoran ini ternyata tak sekedar menyajikan menu masakan tradisional khas Jawa yang lezat, tapi juga menyediakan ruangan yang luas dan lingkungan yang asri seperti di taman rekreasi.
Restoran ini terdiri dari dua ruangan. Di ruangan pertama, selain kita bisa memilih duduk di kursi atau lesehan, kita juga bisa membaca buku-buku Islami di perpustakaan mini yang sengaja disediakan di pojok ruang depan. Sementara bila kita ingin lebih menikmati masakan dengan nuansa alami, kita bisa turun ke ruang kedua yang terletak di bawah. Di sana kita bisa memilih beberapa saung yang memiliki ukuran berbeda-beda. Mulai saung kecil yang cukup ditempati untuk satu keluarga hingga saung yang bisa memuat sekira 300-an orang dan bisa digunakan untuk acara hajatan semisal pernikahan hingga acara rapat atau syukuran. Saung-saung ini berdiri di atas kolam ikan. Menariknya, nama-nama saung ini diambil dari tempat-tempat haji, seperti Makkah, Madinah, Mina dan lain sebagainya. Sementara di sekitarnya terdapat rerumputan hijau dan bunga-bunga yang menyegarkan mata. Lebih jauh, terdapat beberapa hewan untuk melengkapinya, seperti monyet dan burung kausari.
Restoran ini terasa makin tentram dengan nuansa Islami yang bersumber dari mushalla yang indah dengan kubah menjulang tinggi. Bangunan ini tak sekedar diperuntukkan ibadah shalat saja, tapi juga untuk pengajian dan tahsin al-Qur’an. Di samping itu, kita juga akan senang dengan sikap ramah gadis-gadis berjilbab ketika melayani pesanan makanan.
Lebih jauh, restoran ini juga cocok bagi keluarga yang membawa putra-putrinya. Karena di ruangan bawah, terdapat beberapa mainan. Sehingga, selain bisa menikmati masakan yang lezat pengunjung juga bisa bercengkerama dengan keluarga. Dus, restoran pondok laras memang sesuai dengan namanya, tempat beristirahat. “Sesuai namanya, saya ingin menjadikan restoran ini sebagai rumah makan plus tempat melepas penat,” kata H. Djoko Waloeyo, pemilik restoran Pondok Laras kepada SC Magazine.
MENU TRADISIONAL
SEBAGAIMANA diceritakan Djoko, menu yang disajikan hanya masakan-masakan tradisional Jawa. “Ini sebagai bentuk keprihatianan saya terhadap fenomena masakan tradisional yang mulai di lupakan oleh bangsa Indonesia, khususnya warga perkotaan.”
Salah satu menu utama restoran yang berdiri sejak tahun 1991 ini adalah ayam plenet. Masakan yang terbuat dari ayam goreng yang diplenet/ditumbuk dengan sambal pedas ini merupakan masakan yang paling digemari para pengunjung. Ketika ditanya tentang asal mula menu tersebut, Djoko mengatakan bahwa ayam plenet ini berasal dari Nganjuk, Jawa Timur. “Ketika saya mampir di salah satu warung di Nganjuk, saya dihidangkan masakan ayam plenet. Setelah merasakan kelezatannya, saya meminta resepnya dan kemudian istri saya mencobanya di rumah. Ternyata hasilnya nikmat. Sejak itu saya menjadikannya salah satu menu utama di restoran ini,” kata bapak berpenampilan sederhana ini.
Selain ayam plenet, Djoko juga mempunyai daftar menu tradisional yang cukup variatif dan menggoda selera. Daftar menu tersebut di bagi menjadi enam. Pertama masakan tradisional semisal, gurame asam manis, ayam plenet, pecel lele, sop iga dan lainnya. Kedua masakan laut semisal, cumi goreng tepung, udang saus tiram, udang goreng tepung dan udang asem manis. Ketiga makanan kecil semisal, lumpia, otak-otak, tempe mendoan dan lainnya. Keempat jus, semisal jus tomat, melon, markisa, strawbery dan lainnya. Kelima wedang, semisal wedang bajigur, beras kencur, temulawak, jahe dan lainnya. Terakhir makanan penutup semisal, asinan, rujak gobet dan buah.
SENTUHAN ISLAMI
SEMENTARA mengenai nuansa Islam yang hadir di restoran, Djoko mengaku menerapkannya setelah dekat dengan Islam. Awalnya ia sering bertemu dengan beberapa orangtua murid saat mengantar anaknya di sekolah Dasar Islam Nurul Fikri pada tahun 1993 lalu. Dari situ kesadaran Islamnya bersemi, hingga akhirya dia dan seluruh kelaurganya berupaya mengamalkan Islam secara kaffah. Bahkan para pegawai wanitanya yang berjumlah 17 orang diwajibkan berjilbab.
“Memang pada awalnya berat. Tapi setelah kita beri pengertian dan penyadaran mengenai agama, malah mereka semakin senang,”ujarnya menjelaskan. Kepedulian Djoko dengan da’wah tidak sebatas itu, bahkan dia acapkali mengundang masyarakat sekitar untuk mengikuti pengajian di Mushollanya. Sekira 40 orang hadir setiap Selasa Malam. Kini dia merasakan betul, ternyata sentuhan Islam di restorannya turut menarik pembeli. Bila di hari-hari biasa saja sudah ramai, apalagi di Bulan Ramadhan dan Idul Fitri. “Bila Ramadhan kita hanya buka mulai jam 4 hingga setelah Maghrib. Melihat pembeli, masyaaallah restoran ini seperti lautan putih. Kebahagiaan yang saya rasakan melebihi keuntungan yang saya dapatkan,” katanya berkaca-kaca.
Menurut Djoko, selain yakin kepada Allah, ketekunan dan kesabaran adalah kunci suksesnya. “Dengan ketekunan dan kesabaran kita akan mampu mengatasi berbagai permasalahan,” ujarnya.
Lebih dari itu, landasan dalam berusahanya mengacu pada Surat Al-Baqarah ayat 45, yakni sabar dan shalat sebagai penolong kaum mukmin. Hingga kini dia bersyukur selalu dimudahkan dalam berusaha.
Sekarang, pria kelahiran Manahan, Solo 12 Desember 62 tahun lalu ini merasa bahagia dengan restoran yang diwarnai sentuhan Islami itu. Namun bukan pemilik saja yang merasakannya, salah satupengunjung dan pelanggan yang berhasil di temuai SC Magazine, menyatakan hal yang sama. “Saya suka makan di sini, selain tempat dan pelayannya yang menyenangkan, makan di sini juga menyejukkan suasana hati,” kata Wahyu, pelanggan yang berprofesi sebagai dosen di STAI Al-Qudwah Depok.
Sentuhan Islami terbukti membuat Pondok Laras semakin digemari pengunjung, namun suasana Islami itu tak sekedar polesan penarik langganan, tapi Djoko dan keluarganya tak segan-segan menegur jika di tempatnya dijadikan sebagai ajang kencan. Bahkan sepasang muda-mudi diberi tempat di ruang depan dan jika suasana agak sepi beberapa pelayan berkumpul di ruang sebelahnya. Semua ini bukan hanya untuk menjaga citra, namun menegaskan bahwa sebagai pengusaha ia juga dapat berdakwah.
“Saya ini tidak pandai berceramah, tapi saya yakin apa pun profesinya, kita harus berupaya menegakkan syiar Islam,” tambahnya tegas.*
Adib Minanurrachim dan Azti Arlina
Dimuat di SC Magazine Vol I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar