Kamis, 22 November 2007

CINTA TUHAN, SHALAT NIKMAT

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh amat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka kembali kepada-Nya. (QS. Al-Baqarah, 2: 45-46)”

BAGI sebagian besar muslim, bukan rahasia bila menjalankan ibadah shalat acapkali dirasakan sebagai rutinitas yang melelahkan. Bahkan tak jarang, shalat dipahami sebagai rutinitas yang kadang-kadang menghambat seseorang dalam proses perolehan nafkah kehidupan. Ini biasanya dirasakan oleh sebagian masyarakat yang letih menghadapi himpitan hidup di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan lainnya. Sehingga di antara mereka tak sedikit yang dengan terpaksa meninggalkan shalat.
Perspektif di atas, tampakya bertolak dari pemahaman bahwa shalat adalah kewajiban yang harus dijalankan agar terhindar dari sanksi neraka dan harapan masuk surga. Pemahaman ini tidak salah. Tapi bila seseorang hanya memahami shalat sebatas rutinitas kewajiban yang harus dilaksanakan, maka dapat dipastikan ia akan mengalami kelelahan dan bahkan kebosanan. Hingga kemudian, ia bisa dengan mudah meninggalkan shalat.
Bertolak dari hal tersebut, dibutuhkan pemahaman tentang hikmah shalat yang nota bene bisa menjadikan jiwa seseorang menjadi tenang dan tentram. Tapi sayang, ini tak mudah dilakukan. Karena sebagaimana karakternya, hikmah tak mudah dicerna dengan panca indera kecuali rasa. Sehingga selain dibutuhkan pemahaman filosofis tentang shalat juga dibutuhkan pelatihan yang sungguh-sungguh untuk mendalami hakikat shalat, dengan harapan bisa memperoleh hikmah yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
***
SIFAT dasar manusia adalah pamrih. Kita akan merasa enggan bila memberikan sesuatu kepada orang lain bila kita tidak memperoleh sesuatu pun darinya. Tapi sikap pamrih ini ternyata tidak berlaku bagi seseorang yang jatuh cinta. Orang yang mabok asmara, bisa dipastikan akan melakukan segala sesuatu (meski kadang mustahil dilakukan) untuk seseorang yang ia cintai. Ia rela memberi meski ia tidak menerima. Sebab baginya, membahagiakan impian hati adalah kebutuhan dari gejolak rasa yang terus meluap tiada henti.
Keadaan mabuk asmara tersebut, adalah sebuah ibarat yang disampaikan Abu Sangkan dalam bukunya, Pelatihan Shalat Khusyu, Shalat sebagai Meditasi Tertinggi dalam Islam, untuk lebih mempermudah seseorang menyelami dan meresapi shalat khusyu (hal. 12). Dalam buku yang sudah dicetak sebanyak 12 kali ini, secara subtantif, ia hendak mengatakan bahwa dengan mencintai Tuhan, maka kita bisa mengerjakan shalat dengan khusyu. Karena itu dalam bukunya ia tidak terlalu memfokuskan pada pembahasan fiqhiyyah shalat. Tapi ia lebih tertarik mengajak seseorang untuk menyelami hakikat shalat yang nota bene merupakan wasilah untuk berdialog langsung dengan Tuhan. Harapannya, ada tetes-tetes hikmah yang bisa membasuh sikap dan perilaku setiap muslim menjadi muslim yang berakhlakul karimah. Sederhananya, Abu Sangakn ingin berkata seperti Jalaluddin Arrumi, kalian punya sayap tapi kenapa kalian tidak terbang ke langit? Malah terus-menerus merayap di bumi?
***
DALAM buku setebal 136 ini, Abu Sangkan mencoba membagi pengalamannya dalam menjalankan ibadah shalat. Buku ini terbagi menjadi beberapa bab. Tapi secara subtantif buku ini mengupas kedalaman shalat mulai dari persiapan menjelang shalat seperti wudhu hingga doa.
Buku ini cocok untuk semua umat islam yang mengalami kekeringan makna ketika menjalankan ibadah shalat. Lebih jauh, buku ini adalah ajakan untuk bersama-sama lebih mencintai Allah SWT melalui shalat khusyu. Bila anda ingin mencicipi nikmatnya bercinta dengan Tuhan, anda bisa membaca buku ini. Minimal anda akan mendapatkan pemahaman tentang hakikat dan hikmah shalat, meski itu semua butuh perjuangan yang tak pernah putus.

Adib Minanurrachim
Dimuat di SC Magazine Vol I

Tidak ada komentar: