Minggu, 11 November 2007

USTADZ DI PESANTREN: YANG LUPUT DARI PERHATIAN UU GURU

Dengan hadirnya UU Guru dan Dosen, tiap guru di Indonesia dijanjikan akan ditingkatkan kesejahteraannya. Bagaimana dengan para ustadz di Pondok Pesantren? Bukankah mereka juga termasuk guru?

SEJAK tiga bulan RUU guru dan dosen diwacanakan hingga kemudian disahkan pada tanggal 6 Desember 2005 lalu, konon pemerintah akan bertekad memenuhi janjinya untuk meningkatkan kesejahteraan bagi para guru di jalur pendidikan formal, baik itu guru PNS dan Swasta. Sementara untuk para ustadz yang berada di lingkungan pesantren, secara tersurat tidak disebutkan dalam UU guru dan dosen. Bahkan menurut Ahmadie, M. Pd, Kepala Seksi Pendidikan Umum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, UU Guru dan Dosen cenderung memperhatikan nasib guru PNS. “Jika melihat masukan dari Jakarta, UU ini cenderung ke PNS saja. Memang menurut aturan kan sama antara PNS dan non PNS. Tapi kok masih cenderung yang PNS saja,” tuturnya pada ALFIKR.
Munculnya harapan soal perlunya perhatian pemerintah terhadap pesantren, tampaknya tidak lepas dari peran-serta pesantren dalam membangun akhlak dan ikut mencerdaskan bangsa. Sebab, selain berfungsi sebagai lembaga keagamaan, pesantren juga merupakan lembaga pendidikan. Hal ini seperti dituturkan KH. Mujib Imron, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Yasini Pasuruan, “selain sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga sebagai lembaga dakwah, di mana juga membentuk watak dan wawasan kebangsaan yang sangat luhur. Selain itu, pesantren juga sebagai pusat pembentukan kader yang madani dan benteng bagi bangsa Indonesia.”
Lebih jauh, pesantren juga sudah cukup banyak berjasa meringankan beban pemerintah mengingat kewajiban pemerintah yang termaktub dalam Pasal 31 ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Dan di sisi lain, pesantren sebagai lembaga keagamaan dan pendidikan yang berperan besar meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia bangsa, ternyata lebih dahulu ada di bumi pertiwi ini dari pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Karena pesantren itu lebih dahulu ada daripada NKRI ini,” kata KH. Ali Maschan Moesa, Ketua PWNU Jawa Timur.
Sementara itu, pengakuan bahwa pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan keagamaan juga tercantum dalam Pasal 30 ayat 4 UU No 23/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yaitu “pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.” Selanjutnya dalam Pasal 13 juga disebutkan bahwa, “jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.”
Bertolak dari hal di atas, KH. Mahmud Ali Zain, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan berharap, sertifikasi profesi tidak hanya untuk para sarjana saja, tapi juga diberikan kepada siapa saja yang secara kualitas bisa melakukan uji kompetensi. “Jadi, arahnya pada formalitas atau skill? Jika skill, maka sistem rekrutmennya juga berbeda, sistem sertifikasinya juga beda. Seperti dulu kan pernah ada tes sertifikasi tukang bangunan. Apakah harus lulusan sarjana tekhnik, pertukangan, atau lulusan SMK pertukangan? Menurut saya, siapa pun yang bisa untuk diuji, berhak mendapat sertifikat. Karena contohnya begini, kenapa petugas bagian lapangan di pertanian itu tidak laku di hadapan masyarakat? Apa karena dia tidak faham betul terhadap pertanian itu? Setelah diselidik, ternyata dia cuma bisa di atas kertas-kertas saja. Nah! Jika demikian bagaimana dia akan menjadi penyuluh pertanian? Bagaimana mungkin?!” tandasnya kepada ALFIKR.
Senada dengan Kiai Mahmud, Agus Sunyoto, Dosen Fakultas Sastra Inggris Universitas Brawijaya Malang mengatakan bahwa kualitas guru yang telah memiliki gelar sarjana tidak musti lebih berkualitas dari pada ustadz-ustadz pesantren. “Siapa yang menjamin guru-guru yang tidak sarjana itu lebih rendah kualitas keilmuannya dengan para guru yang memiliki kualifikasi akademik dan bersertifikat? Bagaimana dengan kiai-kiai di pondok pesantren? Apa mereka tidak pantas menjadi guru?” tandasnya.
Sementara itu, harapan terhadap perhatian pemerintah kepada pesantren, kususnya terhadap para ustadz-ustadznya, menurut Kiai Mujib, harus seimbang. “Kita tidak bisa sepihak; satu sisi kesejahreraan dituntut tapi di sisi lain peningkatan profesionalisme sebagai kewajiban tidak. Itu tidak fair. Kita harus melihat semangat Surah Al-Fatihah ayat 5 yang bisa dirinci dengan lafadz, Iyaaka Na’budu (hanya kepada-Mu kami menyembah), artinya kewajiban yang harus didahulukan. Kemudian wa Iyyaka Nasta’in (dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan), baru menuntut hak,” tutur Kiai yang juga termasuk anggota Dewan Perwakilan Daerah Jawa Timur ini.
Di sisi lain, mengenai pola uji kompetensi dan sertifikasi profesi yang tepat bagi para ustadz pesantren, Dr. Ibrahim Bafadhal, Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Malang mengatakan,“untuk madrasah diniyah, untuk halaqoh-halaqohnya, kepesantrenannya, dan keagamaannya, saya kira harus pakai kriteria khusus. Tidak seperti kriteria UU ini. Sama dengan saya memandang untuk guru seni rupa, tidak sekedar kriteria formal, yaitu ijazah? Tidak! Bahkan untuk yang seni rupa, saya memandangnya pada sektor informalnya; yang punya bakat, punya minat, ahli orgen dan ahli melukis, lebih baik dari pada S1 seni rupa tapi nggak bisa apa-apa. Untuk guru olahraga juga begitu. Justru yang bakat-bakat itu yang harus lebih diutamakan. Nah, hal ini juga sama untuk para kiai, ustadz-ustadz atau guru-guru madrasah diniyah, saya kira juga khusus; tidak menggunakan sistem sertifikasi. Jika untuk formalnya ok. Pesantren Sidogiri di Pasuruan, tidak ada madrasah formalnya. Tapi Pondok Miftahul Ulum, banyak kan madrasah diniyahnya dan untuk ustadz-usyadznya mungkin bukan sertifikasi seperti ini. Yang merancang bukan Diknas, harus orang-orang yang pas, mungkin RMI yang merumuskannya dan DPR yang menggodoknya. Jika Diknas yang menanganinya, jelas mereka nggak ngerti soal madrasah diniyah.”
Senada dengan Ibrahim, H. Ahmad Saerozi, M. Pd,. Ketua PW LP. Ma’arif NU Jawa Timur, mengatakan, “jika pesantren punya semangat untuk menjadikan ustadz-ustadznya profesional, maka yang lebih berhak mengeluarkan sertifikasi bukan LPTK tapi asosiasi kiai sepuh. Dan jika hal ini dilakukan, maka pendidikan formal akan kalah. Karena selama ini tidak ada asosiasi guru yang profesional dalam salah satu bidang, misalkan MTK (Matematika), yang nanti akan menguji bahwa guru ini ahli dalam bidang MTK.
Lebih jauh, Saerozi menambahkan, “LPTK kita yang ada di pendidikan agama itu kan kalah wibawa dengan pesantren. Misalkan begini, wibawa mana antara IAIN dengan NU dalam bidang mengeluarkan fatwa? Coba bandingkan antara Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel dengan Rois Syuriah PWNU dalam bidang mengeluarkan fatwa, wibawa mana? Nah, hal ini bisa ditangkap oleh asosiasi kiai untuk membuat seperti itu; profesi untuk ustadz pesantren.”
Meski demikian, menurut Ali Maschan, yang terpenting adalah bagaimana kita memiliki kemauan untuk meningkatkan kualitas pesantren, tanpa harus terlalu bergantung kepada ada atau tidak adanya undang-undang yang mengatur profesi ustadz di pesantren. “Jika saya mewakili orang pesantren, tidak perlu terlalu melihat UU itu. Tapi mari kita tingkatkan kualitas kita. Ada UU atau tidak ada UU itu kan sama saja,” tegasnya.

Adib Minanurrachim
Dimuat di 13 Th XIV April-Juni 2006.

Tidak ada komentar: