Sabtu, 27 Oktober 2007

SISA PENEBANGAN HUTAN ILEGAL

(I)

Awal tahun 2000 hingga April 2003, adalah momentum yang mengingatkan kita pada terkuaknya kasus penebangan hutan ilegal terbesar di Indonesia.

BUKAN rahasia bila kasus penebangan hutan sangat merugikan negara. Bukan rahasia pula kasus yang melibatkan oknum Perhutani, aparat, pengusaha dan masyarakat pinggir hutan ini juga menimbulkan berbagai macam musibah seperti kekeringan, banjir, longsor dan lainnya. Harian Kompas tanggal 9 Februari 2003, menulis bahwa kasus ini menjadi salah satu penyebab dari timbulnya bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi sebanyak 72 kali. Bencana itu terjadi selama Januari 2002 sampai Februari 2003, dan meliputi Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, NTT, NTB, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah.
Kabupaten Banyuwangi adalah salah satu daerah yang hutannya tidak luput dari kasus penebangan ilegal. Saat ini sekitar 11.000 Ha tanaman hutan produksinya telah habis dijarah oleh sebagian besar masyarakat pinggir hutan. Penebangan ilegal itu terjadi di wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) selatan Banyuwangi yang memiiki luas 4221.649 Ha.
Hutan Banyuwangi yang secara keseluruhan memiiki luas 1.179.711,3 Ha, secara administratif dibagi menjadi tiga KPH, yakni KPH Selatan, KPH Utara dan KPH Barat. Untuk KPH Selatan yang mengelilingi 8 kecamatan, yaitu kecamatan pesanggaran, Bangorejo, Glenmore, Kalibaru, Muncar, Tegaldlimo, Purwoharjo dan Gambiran, saat ini kondisinya dalam keadaan yang gersang dan panas.
Sejak awal tahun 2003, kasus penebangan ilegal itu sudah mereda. Sebab selain pohon jati, mahoni dan pohon berharga lainnya sudah banyak yang dijarah, pemerintah juga mulai garang dalam penertiban. Sehingga tak banyak lagi ditemukan segerombolan orang berkapak dan bergergaji berlari-lari kecil di pahi buta menuju hutan.
Awal-mula terjadinya penebangan ilegal di KPH selatan ini, tidak bisa dilepaskan dari munculnya krisis ekonomi pada tahun 1997, yang mengakibatkan kebutuhan perut rakyat kecil melilit karena pekerjaan sulit. Praktis hal itu menjadi pemicu rakyat untuk mengambil ‘harta’ yang sebelumnya memang tidak pernah mereka jamah. Alasan ini seperti dikatakan Bapak Nur, salah satu warga pinggir hutan, “yang pertama karena krisis ekonomi yang membuat harga sembako menjadi mahal.”
Meski demikian, penebangan ilegal adalah pekerjaan terlarang. Karena pekerjaan itu merusak kekayaan negara yang nantinya juga untuk kesejahteraan rakyat. Lebih jauh, menurut UU No 41/1999 pasal 66 ayat 1 tentang penyelenggaraan kehutanan, pemerintah pusat telah menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah. Ini bertujuan untuk meningkatkan efektifitas kepengurusan hutan dan penghasilan daerah dalam rangka otonomi daerah.
Berangkat dari UU tersebut dan menimbang UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, hutan Banyuwangi dengan luas keseluruhan sekitar 1.179.711,3 Ha adalah satu kekayaan tersendiri yang dapat menjadi aset terbaik bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemkab Banyuwangi. Sehingga aset tersebut bisa membantu harapan semua pihak untuk mewujudkan kemajuan pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Ini tidak mustahil apabila Pemkab Banyuwangi beserta instansi terkait seperti Perhutani, berani memberikan perhatian besar terhadap hutan baik sistem pengolahannya maupun perlindungannya.
Tapi susahnya, bila penjaga hutan tidak setia menjaga hutan aset alam yang bernilai milyaran rupiah ini. Sehingga warga pinggir hutan menjadi iri, lalu ikut-iktan memperebutkan aset tersebut. “Kalau dulu warga sini takut menebang pohon hutan karena aparatnya jujur dan tegas,” ujar nur di kediamannya, Bangorejo.
Kasus penebangan hutan ilegal yang berakibat pada gundulnya hamparan hutan di wilayah KPH Selatan itu ditengarai juga dilakukan oleh oknum aparat yang bekerja sama dengan pengusaha kayu. “Saya ini pernah melihat truk-truk dengan beberapa polisi itu beok di sebelah barat sungai. Bahkan ada yang belok ke sini pada waktu malam-malam dan saya marahi. Tapi mereka malah enak-enakan dan membelokkan truknya di halaman Pondok Pesantren,” cerita KH Mudhoffar Sulton, tokoh masyarakat Desa Blokagung.
Keberadaan pengusaha dalam kasus penebangan ilegal ibarat pembeli yang ngebet terhadap barang dagangan, karena selain barangnya murah dan berkualitas, juga ditambah dengan proses pembelian yang tidak rumit, penjaga hutan bisa saja disuap.
Godaan suap itu juga pernah dialami oleh Kiai Mudhoffar, meski akhirnya ia tolak. “Saya pernah didatangi seseorang yang mengaku bekerja di koperasi departemen luar negeri. Dia itu masuk ke sini dan pesan kayu jati. Dia ngomong bahwa soal pengakutannya adalah urusannya sendiri. Saya disuruh menyediakan beberapa kontainer setiap minggunya. Dia ke sini sampai tiga kali. Tapi saya tetap tidak mau. Itu sudah 2-3 tahun yang lalu. Ini buktinya nota harga penjualannya,” kata pengasuh PP Darussalam Banyuwangi ini.
Hal yang sama juga ditegaskan Suwandi, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Akar Pala Banyuwangi. Pagi itu di tempat kosnya, aktivis alam yang masih mahasiswa UNTAG Banyuwangi ini mengatakan, “kerusakan hutan di Banyuwangi khususnya, dan Indonesia umumnya, memang tidak bisa dilepaskan dari oknum pengusaha dan aparat. Jika ada penebangan ilegal maka ada pembeli. Jelasnya ada barang ada pasar. Jika kita melihat daerah selatan, khsusnya Tegaldlimo dan Sembulungan, di sana itu banyak terdapat senso untuk membuat papan dalam ukuran-ukuran tertentu. Ini membuktikan bahwa yang melakukan penebangan bukan masyarakat murni. Jika masyarakat, mereka hanya untuk mengejar dapur mengepul. Lebih jauh, keikutan masyarakat itu kan karena mereka tidak pernah merasakan manfaat dari keberadaan hutan,” kata Suwandi serius.
Sementara itu, Ketua DPC PKB Banyuwangi, Ir Wahyudi mengatakan bahwa oknum Perhutani terlibat. “Pihak Perhutani tidak disiplin. Siapa menjamin mereka tidak terlibat? Jika memang ada yang menjamin kita igin bertemu, bagaimana dia punya argumentasi seperti itu?” tegasnya.
Melihat permasalahan yang cukup tali-temali, pihak Perhutani selaku penanggung jawab terhadap kelestarian hutan, memang harus berupaya sedini mungkin mengantisipasinya. Tapi saat ALFIKR bermaksud menanyakan langkah-langkah antisipatif kepada pihak Perhutani Kecamatan Pesanggaran, ternyata mereka menolak dan tidak siap untuk diwawancarai dengan alasan mengikuti prosedur. Padahal mereka adalah petugas yang lebih mengetahui kasus penebangan ilegal tersebut.
Meski demikian, petugas KPH selatan, Ayyib Darmansyah, bersedia memberikan keterangan seputar penebangan ilegal tersebut. “Memang benar bila penebangan hutan ini dipengaruhi leh pemilik modal. Namun gimana ya... jika kita menuduh terlibat, kita belum bisa membuktikan. Tapi kenyataan di lapangan membuktikannya,” katanya lesu.
Kelalaian bertugas, memang sering mengakibatkan sesuatu yang tidak diharapkan. Penebangan hutan ilegal di KPH selatan adalah salah satu contohnya. Kasus ini selain mengakibatkan cuaca makin panas dan kepunahan hewan-hewan seperti kijang, harimau, babi dan banteng, juga mengakibatkan perubahan perilaku sosial masyarakat setempat. “Dengan iming-iming uang yang cukup besar dari para penadah kayu, ini mengakibatkan perilaku orang-orang tepi Sungai Kalibaru menjadi rusak moralnya. Berbeda dengan dulu di mana istri saya sering mengadakan pengajian, tahlilan dan yaasinan. Tapi sekarang kegiatan itu mulai berkurang. Malah saat ini berganti dengan maraknya minum-minuman keras. Mereka hanya bisa menikmati tanpa bisa mensyukurinya,” sesal Kiai Mudhaffar.

Adib Minanurrachim dan Hendra Wahyudi
Dimuat di ALFIKR No 10 Th X/Agustus-Oktober 2003

Tidak ada komentar: