Oleh. M. Adib Minanurohim
BUKAN rahasia bila di negara Indonesia, penghormatan terhadap hak asasi manusia masih harus diperjuangkan terus menerus. Karena waktu terus menunjukkan, betapa hak kebebasan menjalankan agama dan keyakinan masih merupakan sesuatu yang bernilai mahal.
Sekedar menyegarkan ingatan, pada tahun 2012 lalu, ada beberapa kasus yang merampas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Di antaranya adalah Penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Bogor; penyerangan dan kriminalisasi terhadap warga Syiah di Sampang; GKI Yasmin di Bogor; dan Kasus HKBP Filadelfia di Bekasi.
Berbagai kasus itu, percikan awal api konfliknya, adakalanya dimulai dari persoalan sosial, ekonomi, politik dan lainnya, hingga kemudian berujung pada konflik agama dan keyakinan, serta melibatkan banyak orang dan/atau kelompok. Peristiwa ini, tidak bisa tidak menunjukkan kegagalan negara dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya (baca; kelompok minoritas). Indonesia yang merupakan negara berideologikan Pancasila dan berfalsafah Bhineka Tunggal Ika, sudah semestinya melindungi kelompok-kelompok minoritas di atas. Karena Indonesia adalah negara yang lahir dari keragaman dan dibangun untuk melindungi keragaman.
Kegagalan negara itu, bisa dilihat dari dua hal sebagai berikut: Pertama, Kepolisian Negara Republik Indonesia yang salah satu tujuannya mewujudkan ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, acapkali gagal mencegah kekerasan yang terus berulang di berbagai wilayah. Kegagalan ini juga merupakan akibat dari tidak dilaksanakannya prosedur tetap penanganan anarki di jajaran kepolisian, yang diduga karena ketakutan atau bahkan kedekatan aparat kepolisian dengan petinggi ormas maupun tokoh-tokoh massa radikal.
Kedua, pemerintah daerah yang merupakan penyelenggara urusan pemerintahan di tingkat provinsi, kabupaten/kota gagal bertindak netral, dan dalam kondisi tertentu terdapat oknum pemerintah yang justru ikut memprovokasi kebencian yang berakibat pada tindak kekerasan. Dalam kasus GKI Yasmin di Bogor, dan HKBP Filadelfia di Bekasi, terdapat dugaan kuat bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin lokal terkait dengan kelompok minoritas sering berat sebelah. Setidaknya 5 gubernur dan 23 bupati/walikota telah mengeluarkan larangan beraktifitas bagi warga Ahmadiyah, dan ini menjadi alat legitimasi bagi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok intoleran.
Bahkan, kabar ironi datang dari kasus Syiah di Sampang. Karena, ketika puluhan warga Sampang berupaya mengakhiri konflik dengan jamaah Syiah di sana, pemerintah daerah Sampang malah membisu. Tak ada secuil pun dukungan yang diberikan pemerintah daerah untuk menjaga dan melanggengkan deklarasi damai yang dilaksanakan warga Sampang.
Tentu saja, dilihat dari kacamata negara yang berideologikan Pancasila dan berfalsafah Bhineka Tunggal Ika, fakta di atas cukup menyedihkan. Lebih-lebih, pada tahun 2013 ini, intoleransi antarumat beragama dan keyakinan yang mengancam keutuhan Indonesia masih berlangsung. Contoh yang paling segar adalah kasus penyerbuan terhadap Pesantren Darussholihin, di Desa Puger Kulon, Kecamatan Puger, Jember, Jawa Timur yang diduga beraliran Syiah, dan sikap antipati warga Lenteng Agung, Jakarta Selatan, terhadap Lurah Susan Jasmine Zulkifli yang bergama Kristen Katolik.
Sementara itu, dilihat dari sudut sosial, sebagian besar masyarakat Indonesia nampak masih kesulitan untuk bersikap toleran terhadap seseorang dan/atau kelompok yang memiliki perbedaan. Lebih-lebih, bila jurang perbedaannya terlampau besar, seperti kelompok minoritas di atas di mata kelompok mayoritas.
Selain itu, sebagai kelompok yang diuntungkan keadaan, kelompok mayoritas cenderung lupa bila sebenarnya mereka juga memiliki perbedaan di mata kelompok minoritas. Dan mereka juga kurang menyadari bila seandainya berada pada posisi kelompok minoritas. Dus, kondisi inilah yang acapkali dimanfaatkan oknum untuk membenihkan rasa benci hingga tumbuh berkembang menjadi kesadisan.
Karena itu, perlu ada gerakan yang bisa memberikan kesadaran bagi kelompok mayoritas sekaligus kelompok minoritas tentang pentingnya sikap saling memahami dan menghargai perbedaan. Pola penyadaran ini, tentu saja harus diiringi dengan internalisasi nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, agar sikap toleran terhadap liyan bisa melekat dalam kesadaran kedua belah pihak.
Gerakan Kultural dan Keagamaan
Menyikapi persoalan di atas, selain dibutuhkan sikap toleran dari para pemegang kebijakan, juga dibutuhkan gerakan kultural dan keagamaan.
Dalam gerakan kultural, kita bisa menyebarluaskan toleransi melalui media seni-budaya seperti pertunjukan wayang, musik, tarian, dan lain sebagainya. Tentang ini, kita bisa mengambil hikmah dari kisah walisongo yang begitu luwes tatkala berhadapan dengan budaya lokal saat itu.
Sementara pada gerakan keagamaan, kita bisa menyebarluaskan toleransi melalui rutinas ibadah dalam setiap agama di Indonesia. Untuk Islam, kita bisa menunjuk shalawatan, yasinan, tahlilan, hingga kuhtbah jumat sebagai media sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai toleransi.
Tentang khutbah jum’ah, ada pengalaman menarik yang pernah saya dapatkan. Saat itu, Jum’at, 6 Sepetember 2013, saya menjalankan ibadah sholat Jum’ah di Masjid Al Ikhlas yang terletak di dalam komplek Komando Daerah Militer (Kodam) III Siliwangi, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat. Berada dalam kawasan militer, saya menduga Khotib Jum’ah akan berkhutbah seputar cinta tanah air. Namun dugaan saya kurang tepat. Saat itu, khotib berkhutbah tentang toleransi antarmadzhab fiqh.
Ada beberapa dasar yang digunakan Khotib saat menggambarkan toleransi antarmadzhab fiqh. Pertama, adalah sikap Imam Syafi’i soal qunut. Jamak diketahui, bahwa Imam Hanafi dan Imam Hambali tegas mengatakan qunut tak sunah pada salat subuh, kecuali pada salat witir. Karena menurut mereka, dalam salat subuh, Nabi Muhammad melaksanakan qunut hanya selama satu bulan. Setelah itu tidak. Imam Syafi’i menolak pendapat ini. Dengan dalil yang tak kalah kuat, ia meyakini qunut subuh juga berstatus sunah. Sebagai ulama yang konsekuen, Imam Syafi’i tak putus membaca qunut subuh sepanjang hidupnya, kecuali pada suatu hari yang aneh. Ya, saat itu Imam Syafi’i meninggalkan qunut subuh. Perilaku ganjil yang sepintas tampak mengkhianati buah pikirannya sendiri ini terjadi di Baghdad, Iraq. Persisnya, di dekat sebuah makam. Mengapa? Ternyata Imam Syafi’i sedang menaruh hormat kepada ilmu dan jerih payah pemikiran ulama lain, kendatipun berseberangan dengan pahamnya. Karena di tanah makam di sekitar tempat ia salat itu telah bersemayam jasad mujtahid agung, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit alias Imam Hanafi.
Yang kedua adalah cerita tentang Ketua PBNU KH Idham Cholid dan Buya HAMKA yang merupakan Tokoh Muhammadiyah. Kedua tokoh organisasi besar Islam Indonesia ini, saling menghargai perbedaan dalam ibadah doa qunut.
Dari dua peristiwa di atas, khotib menekankan bahwa Islam akan menjadi agama rahmatan lil ‘aalamiin apabila setiap muslim di muka bumi ini mengedepankan akhlak/perilaku yang mulia. Tentang hal ini, Khotib Jum’ah mengutip hadis Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan bahwa sesungguhnya Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Selepas sholat jumat, kawan-kawan saya yang berbeda aliran fiqh dengan saya, menghampiri saya dan berkata bahwa isi khutbah jum’ah yang disampaikan terasa damai dan menyejukkan.
Cerita di atas, merupakan contoh tentang sikap toleran tentang perbedaan kecil. Merawat perbedaan kecil ini, tentu merupakan langkah penting menuju sikap toleran terhadap perbedaan-perbedaan besar. Tentu saja, bila sikap toleran ini terus-menerus dirawat, kita bisa turut membantu mewujudkan cita-cita para founding fathers tentang negara bangsa Indonesia yang rukun, damai, dan sejahtera. Semoga.
Pernah dimuat di Majalah ALFIKR tahun 2013
* Penulis adalah alumni PP Nurul Jadid, dan sempat aktif di LPM. ALFIKR periode 2001 s.d 2007. Sekarang tinggal di pinggiran Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar